Está en la página 1de 24

TRAUMA

Definisi Keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera yang mempunyai dampak psikologis dan sosial, bersifat holistik dan dapat menghilangkan produktivitas seseorang. Trauma dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imunologi dan gangguan faal berbagai organ. Penderita trauma berat menggalami gangguan faal yang penting, seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem imunologi dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC= Disseminated Intravaskular Coagultion). Patologi Respon metabolik pada trauma terbagi 3, yaitu: 1. Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah trauma terjadi ; kembalinya sistem sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia. 2. Fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh dengan imbang nitrogen negatif, hiperglikemia dan produksi panas.Fase ini dapat berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu, tergantung beratnya trauma, keadaan kesehatan sebelum trauma, tindakaan pertolongan medisnya. 3. Fase ketiga terjadi anabolisme, yaitu penumpukan kembali protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secara keseluruhan teratasi. Fase ini berlangsung lebih lama daripada fase katabolisme (fase kedua) dan lebih progresif, karena sintesis protein hanya bisa mencapai 35gr/hari. Trauma menyebabkan hipotalamus merangsang neuroendokrin. Peningkatan sekresi humoral sebabkan lipolisis perifer yang berujung naiknya glukosa, asam amino, dan limabh metabolisme berupa asam laktat dalam plasma. Hati bereaksi jadi peningkatan kortisol dan glukagon, produksi glukosa meningkat melalui glukogenolisis dan glukoneogenesis. Namun penggunaan glukosa perifer menurun, akhirnya intoleransi glukosa akibat trauma. Pada ginjal bereaksi peningkatan antidiuretik dan aldosteron, menahan air dan kalium. Pada trauma berat ekskresi nitrogen naik hingga 15-20 gr/hari,

seperti kehilangan massa tubuh tanpa lemak, terutama otot sebanyak 750 gr/hari. Pemberian analgesik dan imobilisasi bagian tubuh yang cedera dapat mengurangi rangsangan neurohumoral, sehingga menghambat hilangnya jaringan otot. Pasien trauma berat harus dilakukan evaluasi kebutuhan air, kalori (2000-3000), protein (1,5gr/KgBB/hari)/nitrogen, elektrolit, dan vitamin setiap hari. Pemberian kalori atas kabohidrat 60% dan 40% lemak, bila ada penyulit kebutuhan kalori jadi minimal 2500 cal dengan 2 gr protein/KgBB/hari (protein diberikan lebih banyak selama ureum tidak naik). Pada pasien trauma berat terjadi dilatasi arteriol dan sfingter prakapiler dengan pascakapiler tetap kontriksi hingga tekanan hidrostatik kapiler meningkat. Air, kalium dan klorida ekstravasasi dari intavaskular ke ruang interstisial (edema). Ketika tekanan osmotik meningkat karena keluarnya cairan, menyebabkan cairan keluar semakin terhambat. Ekstravasasi ini dapat menyebabkan hilanganya cairan intravaskular yang dapat menyebabkan hipovolemik hingga syok hipovolemik. Reaksi inflamasi dan koagulasi yang terjadi pada trauma dan sepsis dapat menganggu keutuhan endotel karena mikroagregasi trombosit dan leukosit dapat menjadi emboli di pembuluh jaringan yang luka atau terinfeksi. Gumpalan agregat tersebut melepaskan berbagai toksik yang merusak endotel atau menyebabkan vasodilatasi di daerah emboli, menyebabkan ektravasasi air, kalium, klorida dan protein. Dikarenakan hipovolemik atau syok jaringan akan mengalami hipoksia yang menyebabkan gangguan perfusi organ, akhirnya terjadi anergi yang berujung pada penurunan sistem imunitas tubuh yang meningkatkan persentase terjadinya infeksi. Etiologi 1. Trauma Tumpul Terkadang tidak menimbulkan kelaina jelas pada permukaan tubuh, namun dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya. Dapat berupa benturan pada benda tumpul, perlambatan (deselerasi) dan kompresi (tekanan). Flail chest atau patah tulang iga dapat terjadi karena benturan benda tumpul pada regio thoraks, dapat juga hematotoraks dan pneumotoraks akibat kerusakaan pleura dan jaringan paru.

Cedera perlambatan sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas. Cedera kompresi misalnya pada orang yang tertimbun runtuhan atau longsoran yang menimbulkan tekanan tiba-tiba. Cedera ledak adalah luka atau kerusakan jaringan akibat ledakan bom atau ledakan air. 2. Trauma Majemuk Hampir setiap trauma merupakan trauma majemuk, yaitu yang mengenai satu atau lebih daerah tubuh seperti kepala, leher, toraks, vertebra, abdomen, pelvis dan tungkai (cedera klinis) dan atau cedera yang menyebabkan kegagalan satu atau lebih sistem tubuh seperti saraf, pernapasan, kerdiovaskular, hati, ginjal dan pankreas (cedera kritis) 3. Kecelakaan Lalu Lintas Diagnosis dengan meneliti riwayat truma dengan cermat, mengenali biomekanikanya. Seperti pada pengemudi mobil yang tidak mengenakan sabuk pengaman dan di tabrak dari depan. Korban akan tersungkur ke depan dan lutut terbentur dashboard sehingga terjadi fraktur patela dan atau luksasi sendi panggul. Kepala membentur bingkai kaca depan dan dapat menyebabkan trauma kepala dan atau wajah, cedera otak dan frkatur servikal. Dada membentur kemudi sehingga menyebabkan fraktur strenum, iga dan cedera jantung atau paru. Korban terbanting kembali ke tempat duduknya, kalau tidak ada senderan kepala akan terjadi cedera gerakan cambuk (whiplash) pada tulang leher. Penumpang di sebelah pengemudi mukanya akan membentur dashborard sebelum mengenai kaca depan, dan tidak banyak cedera dinding toraks. Penumpang di belakang akan terlempar ke depan dan kepala mengenai sandaran kursi depan hingga terjadi hiperekstensi kepala menyebabkan cedera tulang leher. Pada pengemudi motor atau sepeda yang tertabrak mobil, dapat mengalami cedera pada daerah tibia karena tinggi bemper mobil sama dengan tungkai bawah. Korban akan terlempar ke jalan atau ke atas dan kepala membentur bingkai atas kaca mobil hingga terjadi hiperekstensi dengan cedera otak dan tulang leher. Ada juga kemungkinan cedera pada perut. Komplikasi Trauma

1. Perdarahan Luka robek pada arteri leher, tangan dan paha dapat menyebabkan kematian dalam satu hingga tiga menit. Pada aorta atau vena kava dalam 30 detik. Pada perdarahan arteri, darah akan tampak menyemprot dan merah segar; pada vena darah keluar mngalir dan berwarna kehitaman; sedangkan pada perdarahan kapiler darah keluar merembes dan berwarna merah segar. Gejala klinis berupa takikardia, hipotensi, pucat, gelisah. Untuk penanganan, perdarahan kasus bedah dikelompokan dalam beberapa kategori berdasarkan fasilitas transfusi. Kategori I, tergolong membahayakan atau mengancam nyawa bila untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 100mmHg diperlukan koreksi transfusi sebanyak 2000mL atau lebih dalam kurun waktu kurang dari delapan jam. Memerlukan pertolongan bedah segera. Kategori II, koreksi transfusi sebanyak 2000mL diperlukan dalam kurun waktu 8-24 jam, harus dihentikan dengan intervensi bedah setelah persiapan yang lebih baik. Kategori III, tidak memerlukan tindakan bedah, koreksi transfusi diperlukan dalam waktu lebih dari 24 jam. 2. Gangguan koagulasi Penderita sering ditemukam gangguan koagulasi setelah transfusi masif, dapat sebabakan oleh pemakainan darah yang disimpan lama, hipotermia (sekuestrasi trombosit), gangguan pembekuan akibat habisnya faktor beku I, II, VIII, serta gangguan fungsi trombosit. 3. Sepsis Penyebab kematian tersering pada penderita trauma. Infeksi bergantung pada usia penderita, waktu antara trauma dan penanggulangannya, kontaminasi luka, jenis dan sifat luka, kerusakan jaringan, syok, jenis tindakan dan pemberian anitbiotik. Makin lama tertunda penanggulanganannya makin besar kemungkinan terinfeksi. Luka tembak dianggap 2-3 kali lebih buruk kontaminasinya daripada luka tusuk. 4. Gagal organ

Gagal otak, kesadaran penderita dapat menurun sampai hilang atau koma. Dapat disebabkan oleh trauma kepala, heat stroke, intosikasi alkohol, keracunan barbiturat, kelebihan dosis narkotik, syok elektrik, sepsis, asfiksia, syok hipovolemik (iskemia otak) dan gagal jantung.

Gagal napas, cedera dinding dada, rongga toraks atau paru, serta syok dan sepsis dapat menjadi penyebab. Dapat terlihat jika dalam satu menit pernapasan mencapai 25-30 kali dengan tidal volume kurang dari 4mL/kgBB dan curah jantung rendah.

Gagal kardiovaskular, volume darah menurun karena kehilangan darah dan sekuestrasi cairan dalam jaringan yang rusak dan akibar koagulasi, inflamasi dan ekstravasasi plasma ke seluruh jaringan akibat kerusakan endotel. Secara klinis tanda gagal kardiovaskular menyerupai syok hipovolemik, kecuali tekanan atrial kanan yang mendekati normal.

Gagal hati, hiperbulirubin dengan ikterus pada penderita dapat terjadi prahepatik, insufisiensi hepatoselular yaitu hepatik atau obstruksi pascahepatik. Insufisiensi hepatoselulardengan ikterus hepatik terjadi pada nekrosis karena hipoksia, hipotensi, hepatitis pascatransfusi, inflamasi atau reseksi hati akibat trauma. Ikterus pascahepatik dapat terjadi pada trauma perut (obstruksi akibat cedera pada daerah saluran empedu).

Gagagl ginjal, pascatrauma sering berupa gagal ginjal akut yang dapat timbul pada penderita usia 60 tahun keatas, penderita penyakit ginjal, syok berat lebih dari setengah jam, sepsis atau penggunaan obat nefrotoksik.

Gagal organ multipel, dapat ditemukan pascabedah operasi besar, pasca trauma multipel berat terutama jika disertai infeksi dan sepsis. Penanggulangan harus dilakukan di rumah sakit yang dilengkapi dengan unit menanggulangan paru (respirasi buatan), gagal ginjal (dialisis darah), jantung (alat jantung-paru buatan), gangguan koagulasi, penyulit multipel saluran cerna, gagal hati dan gangguan nutrisi. Prognosis dubia (meragukan).

5. Syok hipovolemik Pemeriksaan

1. Riwayat trauma Anamnesa, meneliti bagaimana terjadinya trauma, biomekanikanya seperti apa agar dapat menarik hipotesis yang kemudian ditegaskan dengan pemeriksaan selanjutnya. 2. Pemeriksaan fisik Mencari bagian tubuh yang terkena trauma, kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat trauma. Prioritaskan pemeriksaan jalan napas, nadi, denyut jantung dan perdarahannya. Segeralah bertindak setelah pemeriksaan fisik yang sederhana, cepat dan sistematik agar tidak ada yang terlewat. Menilai tanda-tanda tersebut untuk kemudian ditentukan penanggulangan selanjutnya. 3. Pemeriksaan laboratorium Memeriksa golongan darah, kadar hemoglobin dan hematokrit serta sedimen urin untuk menentukan adanya cedera atau perdarahan pada saluran kemih. 4. Pemeriksaan roentgen atau CT scan Berguna dalam menentukan adanya fraktur atau tidak. Kalau sonografi untuk pemeriksaan jaringan padat seperti hati, pankreas, limpa dan ginjal. CT-scan bila perlu, untuk pemeriksaan otak dan tengkorak, terutama pada trauma kepala. Harus diingat pemeriksaan tidak boleh menghambat resusitasi. Penilaian Derajat Trauma Gambaran beratnya trauma berdasarkan pemeriksaan pernapasan, perdarahan dan kesadaran. Setiap parameter diberi angka 0-4 (makin rendah angka, makin buruk). Berat trauma diperkiraan berdasarkan jumlah semua angka; terendah adalah 0 dan tertinggi 12. Pernapasan ditentukan frekuensinya, perdarahan dinilai berdasarkan tekanan darah arterial, sedangkan kesadaran diukur berdasarkan skala koma Glasgow.

BASIC TRAUMA LIFE SUPPORT (BTLS)


Merupakan pelatihan penanggulangan trauma untuk menurunkan tingkat kematian atau nilai mortalitas akibat trauma. Kematian Penderita Berdasarkan Periode Waktu 1. Kematian dalam detik-detik pertama dan menit berikutnya (50%) Laserasi otak dan pangkal otak Kerusakan sumsum tulang belakang bagian atas Kerusakan jantung, aorta serta pembuluh-pembuluh darah besar. Subdural atau epidural. Hemtopneumotoraks Robekan limpa Laserasi hati Fraktur panggul atau multipel yang disebabkan perdarahan masif.

2. Kematian dalam menit pertama hingga beberapa jam (35%)

3. Kematian setelah beberapa hari hingga beberapa minggu (15%) (biasanya disebabkan disfungsi beberapa organ atau sepsis). Tindakan Dalam Penanggulangan Trauma a. Airway with C-spine control Pemberian distribusi oksigen dalam kurun waktu kurang dari 8-10 menit. Bila pasien sadar dan berbicara jelas maka saluran napasnya baik-baik saja (airway clear). Pada pasien tidak sadar lakukan pemeriksaan Look-Listen-Feel. Apakah terlihat gelisah, bagaimana gerakan dinding dadanya. Ada atau tidak suara napas, terasakah hembusan napasnya di pipi dalam satu waktu. Obstruksi total karena benda asing sebabkan apnea, lakukan manuver Heilmicth atau abdominal thrust. Bila terjadi pada anak kecil, cukup balikan

badannya secara vertikal; dilakukan pada pasien sadar. Lakukan fingersweep untuk membersihkan saluran napas. Ini dilakukan pada pasien tidak sadar. Obstruksi partial, tanda-tandanya: Gurgling (kumur-kumur), adanya air pada saluran napas, tangani dengan suction. Stridor (crowing), adanya benda padat, pasangkan endotrakeal tube. Snorg (mengorok), lidah terlipat dan pasien tidak sadar, buka mulut pasien dan angkat rahang bawahnya (chin lify atau jaw thrust), bersihkan jalan napas dengan fingersweep. Tindakan dengan oropharingeal tube dan nasopharyngeal untuk pasien sadar. C-spine kontrol dilakukan dengan indikasi trauma multipel, jejas di daerah serviks ke atas, penurunan kesadaran; jika semua gagal, terapi bedah. b. Breathing and ventlation Inspeksi toraks, cyanosis atau tidak, pasien mampu berbicara panjang dan lancar dalam keadaan sadarkah. Perkusi bagian toraks (dada terlihat menggembung asimetris). Hipersonor tandanya pneumotoraks Redug tandanya pleurahemorrhage, tindakan tusuk dengan needle 14G. Resusitasi paru Mouth to mouth Mouth to mask Bag to mask (Ambu bag)

Ventilator oksigen melalui: Kanul, saturasi oksigen bebas 24-44% Face mask, saturasi oksigen bebas 35-60% Non rebreathing mask, saturasi oksigen bebas 80-90%

c. Circulation with hemorrhage control Nilai sirkulasi darah, tanda-tanda: Keadaan pucat

Akral dingin Nadi lemah atau tidak teraba Hitung volume urin dengan kateter

Tangani status cairan pasien, cari sumber perdarahan Berikan cairan intravena dalam suhu hangat Tutup atau tekan luka dengan kain kassa, lalu imobilisasi. Massage jantung bila jantung berhenti. Nilai keadaan neurologik, keadaan pupil dan kecepatannya. Eye: Membuka spontan (skor 4) Membuka terhadap suara (skor 3) Membuka terhadapa nyeri (skor 2) Tidak merespon (skor 1)

d. Disability (neurologic evaluation)

Verbal: Berorientasi baik (skor 5) Berbicara tapi tidak berbentuk kalimat (skor 4) Berbicara kacau, meracau (skor 3) Suara merintij atau menerang (skor 2) Tidak merespon (skor 1)

Motorik: Mengikuti perintah (skor 6) Melokalisir nyeri (skor 5) Fleksi normal, menarik anggota yang dirangsang (skor 4) Fleksi abnormal, dekortikasi (skor 3) Ekstensi abnormal, desebrasi (skor 2) Tidak merespon (skor 1)

Kesadaran baik diatas 13 ; sedang 9-12 ; buruk atau koma di bawah 8.

Respon pupil dinilai di kedua mata, bila ada laserasi curiga ada cedera kepala yang ipsilateral.

e. Exposure and environment (membuka atau merobek pakaian penderita untuk eksplorasi trauma. Menjaga agar tidak terjadi hipotermia) Bila semua sudah dilakukan dan keadaan pasien stabil, lakukan secondary survey.

FRAKTUR
Definisi Hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total atau parsial. Proses Terjadinya Untuk menilai kita perlu ketahu bagaimana keadaan fisik tulang dan bagaimana trauma yang dapat menyebabkan tulang patah (biomekanika). Kebanyakaan fraktur terjadi karena kegagalan tulan menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan. Trauma dapat bersifat: Trauma langsung Menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Biasanya terjadi fraktur komunitif dan jaringan lunak mengalami kerusakaan. Trauma tidak langsung Trauma yang dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur klavikula. Biasanya jaringan lunak tetap utuh. Jenis-jenis tekanan pada tulang: Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblique. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi atau fraktur dislokasi. Tekanan vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah (fraktur burst) misalnya pada vertebra, talus atau fraktur buckle pada anak-anak.

Trauma langsung disertai resistensi pada satu jarak tertentu menyebabkan fraktur oblique atau fraktur Z. Fraktur dari remuk yang terkenan tekanan. Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian tulang.

Klasifikasi Fraktur 1. Klasifikasi Etiologis Fraktur traumatik, karena trauma yang tiba-tiba. Fraktur patologis, kelemahan tulang bersifat patologis yang menyebabkan fraktur. Fraktur stres, karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat tertentu. 2. Klasifikasi Klinis Fraktur tertutup (simple fracture), fraktur yang tidak ada hubungan dengan dunia luar. Fraktur terbuka (compound fracture), fraktur dengan hubungan dunia luar akibat luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (robekan dari dalam akibat tulang itu sendiri) atau from without (dari luar) 3. Klasifikasi Radiologis Lokalisasi - Diafisial - Metafisial - Intra-artikuler - Fraktur dengan dislokasi Konfigurasi - Fraktur transversal - Fraktur oblik - Fraktur spiral - Fraktur Z - Fraktur segmental

- Fraktur komunitif, lebih dari dua fragmen. - Fraktur baji, biasanya pada vertebra karena trauma kompresi. - Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik otot atau tendo (fraktur epikondilus humeri, fraktur tronkanter mayor, fraktur patela). - Fraktur depresi, karena trauma langsung (pada tulang tengkorak). - Fraktur impaksi - Fraktur pecah (burst), fragmen kecil berpisah. - Fraktur epifisis. Menurut ekstensi - Fraktur total - Fraktur tidak total - Fraktur buckle atau torus - Fraktur garis rambut - Fraktur green stick Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya. - Tidak bergeser (undisplaced) - Bergeser (displaced) a.Bersampingan b. Angulasi c.Rotasi d. Distraksi e.Over riding f. Impaksi Gambaran Klinis 1. Anamnesis Penderita datang dengan trauma baik yang hebat maupun ringan, dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak dengan rasa sakit yang luar biasa, pembengkakan, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau gejala lainnya. Dapat terjadi fraktur karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau pada

orang tua yang jatuh di kamar mandi, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan pekerja oleh karena mesin atau trauma olahraga. 2. Pemeriksaan Fisik a. Syok, anemia atau perdarahan b. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, abdomen dan panggul. c. Faktor predisposisi, misalnya frkatur patologis. 3. Pemeriksaan Lokal a. Inspeksi Bandingankan dengan bagian yang sehat Perhatikan posisi anggota gerak Keadaaan umum pasien secara keseluruhan Ekspresi wajah karena nyeri Lidah kering atau basah Adanya tanda-tanda anime karena perdarahan. Evaluasi keadaan kulit dan jaringan lunak, fraktur terbuka atau tertutup. Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Adanya deformitas berupa angulasi, rotasi atau kependekan. Survei menyeluruh, evaluasi adakah trauma pada organ lain. Perhatikan kondisi mental penderita. Keadaan vaskularisasi. Lakukan dengan sangat hati-hati karena penderita merasa sangat sakit. Perhatikan temperatur setempat yang meningkat Nyeri tekan ; jika berisfat superfisial biasanya disebabkan oleh kerusakaan jaringan lunak dalam akibat fraktur pada tulang. Krepitasi ; bunyi seperti kertas krep ketika dielus. Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal taruma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesurai anggot agerak yang kena.

b. Palpasi

Refilling arteri pada kuku, warna pada bagian distal daerah trauma dan temperatur kulit. Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.

c. Pergerakan (Move) Meminta penderita untuk menggerakan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada penderita fraktur akan ada nyeri hebat pada setiap gerakan dan berkemungkinan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan syaraf, jadi lakukan dengan hati-hati. d. Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan safar secara sensoris dan motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropaksia, aksonotmesis atau neuromesis. e. Pemeriksaan radiologis Hipotesis fraktur diperkuat dengan pemeriksaan radiologi (foto polos) untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindari kerusakan jaringan lunak lebih lanjut, sebaiknya pergunakan bidai bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum pemeriksaan radiologis. Tujuannya : Mempelajari gambaran normal tulang dan sendi Konfirmasi adanya fraktur ; baru atau tidak ; fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler Melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya Menentukan teknik pengobatan Melihat adanya kelainan patologis lain pada tulang. Melihat adanya benda asing, misal peluru. Pemeriksaan dengan Prinsip Dua: Dua posisi proyeksi, antero-posterior dan lateral

Dua sendi pada ekstremitas, sendi atas dan bawah dari bagian yang mengalami fraktur. Dua anggota gerak, pada anak-anak sebaiknya difoto pada kedua anggota gerak. Dua trauma, pada trauma hebat sering menyebabkan dua fraktur. Misalnya fraktur kalkaneus dan femur, maka difoto panggul dan tulang belakang.

Dua kali foto, pada beberapa fraktur foto pertama gambarannya tidak jelas, contoh fraktur skafoid dibutuhkan foto berikutnya 10-14 hari kemudian.

4. Pemeriksaan radiologis lainnya. Tomografi, misalnya fraktur vertebra atau kondilus tibia. CT-scan MRI Radioisotop scanning.

Ekstremitas Atas 1. Gelang bahu Dislokasi sendi strenoklavikular Jarang terjadi ; bila terjadi trauma langsung yang medorong klavikula ke dorsal yang menyebabkan dislokasi posterior atau retrosternal ; atau tumbukan pada depan bahu sehingga klavikula bagian medial terdorong ke depan dan sendi strenoklavikular terlepas kearah anterior. Penatalaksanaan : konservatis, dengan reposisi dan imobilisasi ; bila gagal perlu dioperasi. Dislokasi sendi akromioklavikular Dislokasi sendi akromioklavikular tanpa robeknya ligamentum korakoklavikular biasanya tidak menyebabkan dislokasi fragmen distal ke kranial dan dapat diterapi secara konservatif dengan mitela serta latihan otot bahu. Bila ada robekan ligamentum korakoklavikular dilakukan pembedahan

untuk reposisi terbuka dan fiksasi interna yang kokoh. Mobilisasi pasca operasi untuk cegah kekakuan. Fraktur klavikula Sering terjadi akibat jatuh dengan bertumpu pada tangan, gaya disalurkan ke lengan, sendi bahu dan selanjutnya ke sendi akromioklavikular. Karena sendi sternoklavikular terfiksasi, gaya ini mematahkan klavikul (biasanya di tengah atau medial klavikula). Dislokasi disebabkan oleh kontraksi otot dan bobot anggota gerak atas. Penatalaksanaan: konservatif tanpa reposisi, pemasangan mitela letak tangan lebih tinggi daripada siku. Pemberian analgetik dan latihan gerak jari dan tangan pada hari pertama diikuti latihan gerak bahu setelah beberapa hari. Dilakukan ORIF bila non-union (sangat jarang). Fraktur skapula Biasa terjadi di bagian korpus dan kadang glenoid akibat trauma yang hebat. Fraktur yang mengenai daerah glenoid sering berupa impaksi. Penatalaksanaan : pemberian analgetik dan latihan untuk mencegah frozen shoulder. Dislokasi sendi glenohumeral Pada dislokasi inferior kaput humerus terperangkap dibawah kavitas glenoid sehingga lengan terkunci pada posisi abduksi (luksasio erekta). Dislokasi posterior jarang terjadi. Dislokasi anterior sering terjadi pada usia muda, kaput humerus terdorong ke depan sehingga menyebabkan avulsi simpai sendi dan kartilago beserta periosteum labrum glenoidale bagian anterior. Pasien merasa bahunya keluar dari sendi dan tidak mampu menggerakan lengannya sehingga lengan yang cedera ditopang oleh tangan disebelahnya. Posisi badan penderita miring kearah sisi sakit. Ada 2 ciri khas : sumbu humerus yang tidak menunjuk ke bahu dan kontur bahu berubah karena daerah di bawah akromion kosong ; pemeriksaan fisik terlihat daerah deltoid menjadi rata mirip bentuk segi empat karena kaput humerus bergeser ke anteromedial dan berada di daerah subkorakoid atau subglenoid.

Penatalaksanaan : Reposisi segera dengan metode Stimson, kemudian bahu dipertahankan dalam posisi endorotasi dengan penyangga ke dada selama minimal 3 minggu. Komplikasi : dapat terjadi disloksi anterior yang kambuhan (luksasio habitualis, bila imobilitasi kurang dari 3 minggu), lesi pleksus brakialis dan nervus aksilaris dan interposisi tendo bisep kaput longum. Fraktur humerus subkapital Sering terjadi pada lansia, terutama yang terjatuh pada siku atau tangan, umumnya berupa fraktur impaksi. Pada dewasa muda terjadi akibat trauma berat, sedangkan pada anak terjadi trauma ringan dalam posisi lengan ekstensi (fraktur epifisis tipe II). Gejala klinis : Rasa nyeri terutam pada pergerakan, hematoma pada lengan atas setelah beberapa hari dan dapat meluas hingga siku. Penatalaksanaan : Jika berupa impaksi segera mobilisasi dengan latihan bahu berupa gerakan penduler kerucut. Jika bukan impaksi (fraktur humerus subkaput terdislokasi dan fragmen proksimalnya dalam posisi abduksi) dilakukan reposisi dan lengan difiksasi dalam posisi abduksi dengan gips spika bahu tipe abduksi atau dipertahankan dengan traksi kulit dalam posisi zero, selama 6 minggu. 2. Patah tulang korpus humerus Kontraksi oto biseps, korakobrakialis dan triseps akan mempengaruhi posisi fragmen fraktur batang humerus yang mengakibatkan angulasi atau rotasi. Pada bagian posterior tengah humerus ada n. radialis yang melingkari periosteum diafisis humerus dari proksimal ke distal dan mudah mengalami cedera akibat patah tulang humerus bagian tengah. Selalu pastikan keutuhan n.radialis dan a.brankialis Gejala klinis : Nyeri lengan atas dan terbentuk hematom dalam jaringan lunak sehingga lengan patah terlihat lebih besar. Penanganaan : Dapat ditangani secara tertutup terhadap angulasi (hingga 30), pemendekan serta rotasi fragmen patahan tulang ; dengan mitela atau traksi tulang

yang dipasang pada olekranon (fraktur korpus humerus). Hanya fraktur terbuka dan non-union yang harus ditangani reposisi terbuka diikuti fiksasi interna. Komplikasi : lesi n.radialis, didapati ketidakmampuan melakukan ekstensi pergelangan tangan sehingga pasien tidak mampu melakukan fleksi jari secara efektif (tidak dapat menggenggam). Adanya lesi saraf yang bukan neuropaksia merupakan indikasi untuk eksplorasi sekaligus melakukan fiksasi interna. 3. Regio siku Fraktur suprakondiler humerus Ada dua jenis : jenis ekstensi (paling sering terjadi) dan jenis fleksi (jarng terjadi). Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku saat lengan bawah dalam posisi supinasi dan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen dital humerus akan terdislokasi kearah posterior terhadap korpus humerus. Jenis fleksi (biasa pada anak) terjadi akibat jatuh pada telapak tangan dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Gejala klinis: siku yang bengkak dengan sudut jinjing yang berubah dengan tanda frkatur yang jelas. Pada lesi n.radialis didapat ketidakmampuan ekstensi jari pada sendi metakarpofalangeal, juga gangguan sensorik di sisi dorsal sela metakarpus I. Pada lesi n.ulnaris didapati ketidakmampuan melakukan abduksi dan adduksi jari, gangguan sensorik didapati pada bagain volar jari V. Pada lesi n.medianus didapti ketidakmampuan melakukan oposisi ibu jari, gannguan sensoriknya pada bagian volar ibu jari. Bila ada gejala 5P (Pain, parestesia, pallor [pucat], pulselessness [nadi tidak teraba] dan paralisis) harus dicurigai adanya sindrom ompartemen yang dapat mengakibatkan kontaktur otot iskemia Volkmann. Penatalaksanaan: Reposisi pada anak dilakukan di bawah nakosis umum. Pasien tidur telentang, asisten memegang lengan atas pada ketiak pasien dan operator menarik lengan bawah dengan siku dalam posisi ekstensi. Bila reposisi tercapai, perlahan seraya tetap menarik lengan bawah, siku difleksikan sambil merabaarteri radialis. Bila masih teraba, fleksi siku dapat

ditambah (fleksi mksimal untuk memfiksasi reposisi lengan dengan tegangnya otot triseps, namun menganggu peredaran darah). Reposisi berhasil 1 minggu kemudian foto roengent kontrol. Gips dilepas dan diganti yang baru dan dibiarkan 3 minggu, kemudian diganti mitela untuk pasien mulai latihan gerakan fleksi ekstensi. Bila reposisi gagal atau ada gejala iskemia Volkmann (lesi saraf tepi), hilangkan posisi fleksi siku, bila gejala iskemia menghilang, pertahankan posisi tersebut. Bila iskemia tidak hilang harus dilakukan operasi untuk membebaskan atau memulihkan arteri dan reposisi fraktur secara operatif atau traksi. Fraktur humerus kondiler Sering ditemukan pada anak, fraktur kondilus lateralis humerus dan fraktur epikondilus medialis humerus. Pada orang dewasa umumnya didapati fraktur kondiler komunitif berbentuk T atau Y. Pada anak fraktur kondilus lateralis humerus dapat terjadi dislokasi karena tarikan dari otot ekstensor tangan. Bagian proksimal pecahan kondilus dapat tertarik ke distal dan bagain distal pecahan kondilus tertahan atau masuk ek dalam sendi sehingga posisi pecahan terbalik. Dapat juga terjadi fraktur yang pecahannya tidak terdislokasi atau terdilokasi minimal. Fraktur ini termasuk fraktur epifisis berat tipe 4 pada anak, merupakan fraktur intra-artikuler ; reposisi fraktur harus seanatomis mungkin (reposisi secara operatif). Fraktur epikondilus medialis humerus merupakan fraktur avulsi dan terjadi akibat gaya abduksi atau valgus yang berlebihan.Bila siku masih dapat bergerak, fraktur ini cukup ditangani secara konservatif. Bila terdapat instabilitas, diperlukan pembedahan untuk mengembalikan stabilitas siku. Fraktur kondiler humerus pada dewasa yang biasanya berbentuk T atau Y merupakan fraktur intra-artikuler hingga rerposisi harus seanatomis mungkin secara operatif dan fiksasi yang kokoh. Reposisi terbuka tanpa fiksasi yang kokoh justru menyebabkan kekakuan sendi akibat perlengketan sendi pascabedah, mobilisasi pascabedah harus segera dilakukan. Fraktur olekranon

Biasanya disertai distraksi yang jelas karena tonus m.triseps, merupakan fraktur intra-artikuler sehingga prinsip penanggulangannya reposisi seanatomis mungkin dengan ORIF dengan menggunakan ikatan kawat sehingga memungkinkan mobilisasi segera pascabedah. Terapi nonoperatif dapat dilakukan pada fraktur olekranon tanpa dislokasi. Fraktur kapitulum radius Sering disebabkan trauma tidak langsung pada tangan yang benturannya disalurkan melalui batang tulang radius. Terdapat 3 jenis fraktur: fragmen yang patahannya tidak terdislokasi; yang kapitulumnya terdilokasi; dan yang kapitulumnya remuk menjadi fraktur komunitif. Gejala klinis: Pembengkakan yang sering terbatas di daerah lateral siku, nyeri tekan, nyeri sumbu dan nyeri pergerakan. Penatalaksanaan: Fraktur tanpa dislokasi diimobilisasi selama 3minggu dan dilanjutkan dengan mobilisasi. Pada orang dewasa dengan frkatur kapitulum terdislokasi dapat dilakuakan eksisi kapitulum tersebut, pada anak sedapat mungkin dipertahankan. Dislokasi sendi siku Merupakan dislokasi sendi humeroulnar dan humeroradial, biasanya terjadi dislokasi fragmen distal ke posterior dan lateral terhadap fragmen proksimal. Dislokasi ini karena trauma tidak langsung, benturan pada tangan dan lengan bawah dengan siku dalam posisi ekstensi dan sedikit fleksi serta lengan atas terdorong ke arah volar dan medial. Gejala klinis : Bengkak, nyeri spontan dan nyeri sumbu (pada pemeriksaan dorsal siku) dan didapati perubahan segitiga sama kaki yang dibentuk olek olekranon, epikondilus lateral dan epikondilus medial menjadi segitiga tidak sama kaki. Perlu penilaian keadaan vaskularisasi dan saraf perifer. Penatalaksanaan : Karena dapat menyebabkan robekan ligamen yang mempertahankan stabilitas sendi siku, bila terjadi instabilitas lakukan imobilisasi dengan gips selama 3 minggu baru kemudian mobilisasi. Bila tidak ada instabilitas, setelah reposisi dapat mobilisasi segera.

Luksasi kaput radius Disebut siku tertarik karena siku ditarik samapai kaput tertarik lepas dari lingkaran ligamentum. Terjadi pada anak yang jatuh ketika ditarik tangannya oleh orang tua atau pengasuhnya. Gejala klinis : Nyeri, gangguan ekstensi, fleksi, pronasi dan supinasi. Penatalaksanaan : Reposisi dengan siku posisi fleksi, tekanan kearah sumbu supinasi dan reposisi kaput kearah ulna.

4. Fraktur lengan bawah Fraktur Satu Tulang Fraktur radius akibat suatu trauma langsung dan sering terjadi pada bagian proksimal radius. Fraktur ini sulir direposisi secara tertutup dan mudah mengalam redislokasi bila reposisi berhasil Sebaiknya lakuakan ORIF dengan pelat jenis kompresi. Fraktur ulna bisa disebabkan oleh trauma langsung seperti menangkis pukulan. Posisi fragmenbiasanya tidak berubah, sehingga cukup ditangani secara konservatif dengan gips. Jika ada fragmen terdislokasi, teliti adakah fraktur tulang radius juga atau dislokasi sendi radioulnar. Pada fraktur komunitif dapat terjadi penyatuan kambat atau pseudoartrosis yang memerlukan pembedahan disertai cangkok tulang. Fraktur Antebrakii Pada anak sering berupa greenstick fracture. Tampak angulasi anterior dan biasanya kedua ujung tulang yang patah masih berhubungan satu sama lain. Pengobatan dengan reduksi tertutup kemudian imobilisasi denga gips sampai atas siku selama 3-4 minggu. Pada dewasa biasanya disebabkan kecelakaan lal linas atau perkelahian. Fraktur radius ulna sering disertai dislokasi fragmen fraktur. Penanganan berupa reposisi tertutup dengan anestesi. Setelah tereduksi dipasangkan gips sampai atas siku selama 6-8 minggu. Bila secara reduksi tertutup tdak berhasil, tindakan operatif menjadi pilihan. Fraktur Monteggia

Fraktur 1/3 proksimal ulna disertai dislokasi kapitulum radius ke anterior (dislokasi dapat terjadi juga ke lateral dan posterior). Penyebab umumnya trauma langsung pada ulna, misalnya menangkis sesuatu dengan gaya berat. Mirip fraktur antebrakii dan bila ada dislokasi ke anterior, kapitulum radius dapat diraba pada fossa kubiti. Penatalaksanaan: Pada anak secara konservatif dan metode operatif pada dewasa. Fraktur Galeazzi Fraktur distal radius yang disertai dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal, biasa terjadi karena trauma langsung sisi lateral ketika jatuh. Gejala klinis: Bila ringan nyeri dan tegang hanya dirasakan di daerah fraktur. Bila berat biasanya terjadi pmendekan lengan bawah. Penatalaksanaan: Dapat secara konservatif, namun kurang memuaskan, bila demikian terapi bedah menjadi pilihan.

Daftar Pusaka Pengantar Ilmi bedah Ortopedi, 2007, Prof. Chairuddin Rasjad, MD., Ph. D. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed. 3, 2011, De Jong Wikipedia.com

También podría gustarte