Está en la página 1de 85

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh sinovitis erosive yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular.1 Sebagian besar kasus perjalanannya kronik fluktuatif yang mengakibatkan kerusakan sendi yang progresif, kecacatan dan bahkan kematian dini. Dampak penting dari AR adalah kerusakan sendi dan kecacatan. Kerusakan sendi pada AR terjadi terutama dalam 2 tahun pertama perjalanan penyakit. Kerusakan ini bisa dicegah atau dikurangi dengan pemberian DMARD, sehingga diagnosis dini dan terapi agresif sangat penting untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien AR. Pada sisi lain diagnosis dini dan terapi agresif sangat penting untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien AR. Pada sisi lain diagnosis dini sering menghadapi kendala yaitu pada dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik AR karena gambaran karakteristik AR berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat. Diagnosis AR hingga saat ini masih mengacu pada criteria diagnosis menurut ACR tahun 1987, tetapi di Indonesia gejala klinis nodul rheumatoid sangat jarang ditemui.1 Berdasarkan hal ini perlu dipikirkan untuk membuat criteria diagnosis AR versi Indonesia pada masa yang akan datang berdasarkan data pola klinis AR di Indonesia. Artritis Reumatoid sering mengenai penduduk pada usia produktif sehingga member dampak social dan ekonomi yang besar.

Page 1

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

BAB II Nyeri dan bengkak pada pergelangan dan jari-jari tangan, simetris, disertai kaku di pagi hari I. ANAMNESIS

a. Riwayat Penyakit Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnosis semua penyakit, termasuk pula penyakit reumatik. Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan kronologis. b. Umur Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi frekuensi setiap penyakit terdapat pada kelompok umur tertentu. Misalnya osteoarthritis lebih sering ditemukan pada pasien lanjut usia dibandingkan usia muda. Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih ditemukan pada kelompok wanita muda dibandingkan kelompok usia lainnya. c. Jenis Kelamin Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin berbeda pada beberapa kelompok penyakit. d. Nyeri Sendi Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien reumatik. Pasien sebaiknya diminta menjelaskan lokasi nyeri serta punctum maximumnya , karena mungkin sekali nyeri tersebut menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan karakteristik yang disebabkan oleh penekanan radiks saraf.3,4 Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis dengan yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah melakukan aktivitas. Terdapat beberapa hal penting yang menjadi dasar kajian awal terhadap rasa nyeri yang dikeluhkan seorang pasien, yaitu: Lokasi nyeri Mintalah pada pasien untuk menjelaskan daerah mana yang merupakan bagian paling nyeri atau sumber nyeri. Walaupun demikian perlu diperhatiakan bahwa lokasi anatomic ini belum tentu sebagai sumber rasa nyeri yang dikeluhkan pasien.

Page 2

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Intensitas nyeri Pada umumnya digunakan rating scale dengan analogi visual atau dikenal sebagai

Visual Analogue Scale (VAS).3,4 Mintalah pasien membuat rating terhadap rasa nyerinya (0-10) baik yang dirasakaan saat ini, kapan nyeri yang paling buruk dirasakan atau yang paling ringan dan pada tingkatan mana rasa nyeri masih dapat diterima. Kualitas nyeri Gunakan terminologi yang dikemukakan pasien itu sendiri seperti nyeri tajam, seperti terbakar, seprti tertarik, nyeri tersayat dan sebagainya. Awitan nyeri, variasi durasi dan ritme Perlu ditanyakan kapan mulai nyeri terjadi, variasi lamanya kejadian nyeri itu sendiri serta adakah irama atau ritme terjadinya maupun intensitas nyeri. Apakah nyeri tetap berada pada lokasi yang diceritakan pasien? Apakah nyeri menetap atau hilang timbul (breakhtrough pain) ?. Faktor pemberat dan yang meringankan nyeri Apa saja yang dapat memberatkan rasa nyeri yang diderita pasien dan factor apa saja yang meringankan rasa nyeri hendaklah ditanyakan pada pasein tersebut. Pengaruh nyeri Dampak nyeri yang perlu ditanyakan adalah seputar kualitas hidup atau terhadap halhal yang lebih spesifik seperti pengaruhnya terhadap pola tidur, selera makan, energi, aktivitas keseharian, hubungan dengan sesame manusia, atau mungkin terhadap mood, kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan, pembicaraan dan sebagainya. Gejala lain yang menyertai Apakah pasien menderita keluhan lainnya disamping rasa nyeri seprti gatal, mual dan muntah, konstipasi, mengantuk, atau terlihat bingung, retensio urinae serta kelemahan ?. e. Kaku Sendi Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar untuk menggerakkan sendi (worn off).2 Keadaan ini biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang mengalami inflamasi(kapsul sendi, sinovia, dan bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau setelah istirahat. Setelah digerak gerakkan, cairan akan menyebar dari jaringan yang mengalami inflamasi dan pasien merasa terlepas dari ikatan (wears off).3,4 Lama dan beratnya kaku send pada pagi hari atau setelah istirahat biasanya sejajar dengan beratnya inflamasi sendi (kaku sendi pada AR lebih lama daripada OA ; kaku sendi pada AR berat lebih lama daripada AR ringan).

Page 3

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

f. Bengak Sendi dan Deformitas Pasien yang sering mengalami bengkak sendi, ada perubahan warna, perubahan bentuk atau perubahan posisi struktur ekstremitas. Biasanya yang dimaksud pasien dengan deformitas ialah posisi yang salah, dislokasi atau subluksasi. g. Disabilitas dan Handicap Disabilitas terjadi apabila suatu jaringan, organ atau system tidak dapat berfungsi secara adekuat. Handicap terjadi bila disabilitas mengganggu aktivitas sehari hari, aktivitas social atau mengganggu pekerjaan/jabatan pasien. Disabilitas yang nyata belum tentu menyebabkan handicap (seseorang yang diamputasi kakinya di atas lutut mungkin tidak akan mengalamai kesukaran bila pekerjaan yang bersangkutan dapat dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya disabilitas ringan justru dapat mengakibatkan handicap.3,4 h. Gejala Sistemik Penyakit sendi inflamator baik disertai maupun tidak disertai keterlibatan multisystem lainnya akan mengakibatkan peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP. Selain itu akan disertai gejala sistemik seperti panas, penurunan berat badan, kelelahan, lesu, dan mudah terangsang. Kadang kadang pasien mengeluh hal yang tidak spesifik, seperti merasa tidak enak badan. Pada orang usia lanjut sering disertai gejala kekacauan mental. II. PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN FISIK

II.1.

1. Selama inspeksi, kita harus memperhatikan kesimetrisan bagian yang terkena. Apakah terdapat perubahan yang simetris pada persendian di kedua sisi tubuh, atau apakah perubahan hanya terjadi pada satu atau dua sendi saja? Kelainan akut hanya pada satu sendi menunjukkan trauma, arthritis septic, arthritis gout. Arthritis rheumatoid secara khas melibatkan beberapa sendi dan distribusi kelainannya simetris.5 Juga perhatikan setiap deformitas atau ketidaksejajaran tulang. 2. Gunakan inspeksi dan palpasi untuk memeriksa jaringan di sekitarnya dengan memperhatikan perubahan kulit, nodule subkutan, serta atrofi otot. Perhatikan setiap gejala krepitasi, yaitu bunyi gemeretak yang dapat didengar dan/diraba ketika terjadi gerakan tendon atau ligamentum pada tulang. Keadaan ini dapat terjadi pada sendi yang normal tetapi lebih signifikan ketika disertai gejala maupun tanda.

Page 4

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Nodul subkutan ditemukan pada RA atau demam rematik, efusi ditemukan pada trauma, krepitasi ditemukan pada daerah sendi yang mengalami inflamasi, osteoarthritis atau selubung tendon yang mengalami inflamasi.5 3. Pengujian kisaran gerak dan manuver (yang dijelaskan untuk setiap sendi) dapat memperlihatkan keterbatasan pada kisaran gerak atau peningkatan mobilitas dan instabilitas sendi karena mobilitas ligamentum sendi yang berlebihan; keadaan ini dinamakan kelemahan(laksitasi) ligamentum. Berkurangnya kisaran gerak ditemukan pada arthritis, inflamasi jaringan di sekitar sendi, fibrosis pada sendi atau di sekitarnya, atau fiksasi tulang (onkilosis). Kelemahan (laksitas) ligamentum krusiatum anterior (LKA) ditemukan pada trauma lutut. 4. Pengujian kekuatan otot dapat membantu menilai fungsi sendi. Atrofi atau kelemahan otot terjadi pada arthritis rematoid. Waspadai khususnya terhadap tanda-tanda inflamasi dan arthritis. 5. Pembengkakan. Pembengkakan yang dapat diraba meliputi (1) membrane sinovial yang dapat teraba lunak seperti spons atau liat seperti adonan roti; (2) efusi akibat cairan sinovial yang berlebihan dalam rongga sendi; dan (3) struktur jaringan lunak seperti bursa, tendon, serta selubung tendon. Perabaan lunak seperti spons atau liat seperti adonan roti yang dapat dirasakanpada membrane sinovia menunjukkan sinovitis yang sering disertai efusi. Cairan sendi yang dapat diraba ditemukan pada efusi sendi; nyeri tekan di daerah selubung tendon pada tendinitis. 6. Kalor (rasa hangat). Gunakan punggung jari tangan untuk membandingkan sendi yang sakit dengan sendo kontralateralnya yang sehat, atau dengan jaringan di sekitarnya jika kedua sendi itu mengalami inflamasi. Arthritis, tendinitis, bursitis, osteomielitis. 7. Nyeri tekan. Coba identifikasi struktur anatomic spesifik terasa nyeri ketika ditekan. Trauma dapat pula menyebabkan nyeri tekan. Gejala nyeri tekan dan rasa hangat (kalor) di daerah sinovium yang menebal dapat menunjukkan arthritis atau infeksi. 8. Kemerahan (rubor). Kemerahan pada kulit di atasnya merupakan tanda inflamasi yang paling jarang ditemukan di dekat persendian. Kemerahan (rubor) pada sendi yang nyeri ketika ditekan menunjukkan arthritis septic atau artritis gout, atau mungkin pula arthritis rematoid.
Page 5

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

II.2.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium

Artrosentesis dan Analisis Cairan Sendi Artrosentesis (aspirasi cairan sendi) dan analisis cairan sendi merupakan pemeriksaan yang sangat penting di bidang reumatologi, baik untuk diagnosis ataupun penatalaksanaan penyakit reumatik. Analisis cairan sendi bisa dianalogikan seperti pemeriksaan urinalisis untuk menilai kelaina traktus urinarius. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan macros, mikroskopik, dan beberapa pemeriksaan khusus, dimana dari pemeriksaan ini cairan sendi abnormal dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu : inflamasi, non inflamasi, purulen, dan hemoragik.6 Walaupun dari masing masing kategori tersebut terdapat beberapapenyakit yang menyebabkannya, tetapi paling tidak pemeriksaan ini dapat mempersempit diagnosis banding. Berdasarkan hasil analisis sejumlah penelitian, Shmerling menyimpulkan bahwa ada dua alas an terpenting dari analisis cairan sendi adalah untuk identifikasi infeksi sendi dan diagnosis artropati Kristal.6 Pada umumnya cairan sendi diperoleh dari lutut, walaupun dapat pula dari sendi sendi lainnya seperti bahu, siku, dan pergelangan kaki. Indikasi Diagnostik Membantu diagnostic artritis Memberikan konfirmasi diagnostic klinis Selama pengobatan artritis septic, artrosentesis dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah leukosit, pengecatan gram dan kultur cairan sendi. Terapeutik Artrosentesis saja Evakuasi kristel untuk mengurangi inflamasi pada pseudogout akut dan crystal induced arthritis lain. Evakuasi serial pada artritis septic untuk mengurangi destruksi sendi. Pemberian kortikosteroid intraartikular Mengontrol inflamasi steril pada sendi, bila obat anti inflamasi non steroid telah gagal, kemungkinan akan gagal atau merupakan kontraindikasi. Mempersingkat periode nyeri pada artritis gout Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat
Page 6

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi

Kontraindikasi Diagnosis Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi Bakteriemi Secara anatomis tidak bisa dilakukan Pasien tidak kooperatif Terapeutik Kontraindikasi diagnostic Instabilitas sendi Nekrosis avaskular Artritis septic
Gambaran Analisa Cairan Sendi Normal6 Jenis pemeriksaan PH Jumlah Leukosit/mm3 PMN Limfosit Monosit Sel sinovia Protein total g/dl Albumin (%) Globulin (%) Hyaluronat g/dl Nilai normal 7.3-7.43 13-180 0-25 0-78 0-71 0-12 1.2-3.0 56-63 37-44 Rata - rata 7.38 63 7 24 48 4 1.8 60 40 0.3

Page 7

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

C-Reactive Protein (CRP) 6 Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan CRP Normal atau peningkatan Peningkatan sedang tidak mg/dl) Kerja berat Common cold Kehamilan Gingivitis Stroke Kejang Angina CRP merupakan salah satu protein fase akut, CRP terdapat dalam konsentrasi rendah (trace) pada manusia. CRP adalah suatu alfa globulin yang timbul dalam serum setelah terjadinya proses inflamasi. CRP mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi jalur klasik komplemen setelah berintegrasi dan berikatan dengan berbagai ligan biologic, kemudian memacu perubahan sel fagosit melalui jalur proinflamasi dan anti inflamasi Faktor Reumatoid (FR) FR merupakan antibody sendiri terhadap determinan antigenic a pada fragmen Fe dari immunoglobulin. Klas immunoglobulin yang muncul dari antibody ini ialah IgM, IgA, IgG, IgE. Tetapi yang selama ini diukur ialah factor rheumatoid kelas IgM. Istilah reumatoidnya diberikan karena factor ini kebnayakan diberikan pada AR.
Perbandingan FR pada AR dan penyakit non- reumatik6 AR Factor Reumatoid Rendah Titer Tinggi Penyakit non reumatik

Peningkatan tinggi (>10 mg/dl)

signifikan

(<1 (1-10 mg/dl)

Infark miokard Keganasan Pancreatitis Infeksi mukosa Bronchitis.sistitis Penyakit rematik

Infeksi bakteri akut Trauma berat Vaskulitis sistemik

Page 8

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

++ Heterogenitas Lengkap Reaksinya terhadap gamma globulin manusia dan hewan IgM,IgG,IgA Klas immunoglobulin Sinovium dan tempat Lokasi produksi ekstravaskuler lainnya

+ Tidak lengkap

Terutama IgM Tidak jelas tetapi bukan pada daerah synovial

Radiologik Perubahan radiologis baru terlihat lama setelah terjadi gejala klinis. Arthritis rematoid cenderung memiliki distribusi yang simetris, paling sering mengenai tangan dan kaki. Setiap sendi synovial dapat terlibat, tanda-tanda yang paling signifikan pada ruang sendi, erosi marginal, dan osteoporosis periartrikular. Gambaran berikut dapat ditemukan:7 Pembengkakan sendi: akibat proliferasi membrane synovial dan efusi sendi. Erosi: pada awalnya berlokasi pada daerah periartrikular di sepanjang tepi sendi, di mana tidak terdapat lapisan pelindung. Erosi biasanya menyebar melewati permukaan artrikular. Osteoporosis: pada awalnya berada di periartrikular, namun kemudian menjadi umum akibat tidak digunakan dan menjadi hyperemia. Penyempitan rongga sendi: pelebaran rongga sendi pada daerah di luar penyakit, namun dapat terjadi penyempitan yang signifikan dari erosi dan deformitas kartilago. Obliterasi dan destruksi komplet pada ruang sendi sewaktu-waktu dapat menyebabkan ankilosis. Daerah-daerah khusus yang terlibat : Tangan: sendi metakapofalang (MCP) dan interfalang proksimal (PIP) adalah yang paling sering terkena, sedangkan sendi interfalang distal jarang terlibat. Kelainankelainan yang meliputi pembengkakan jaringan lunak dan subluksasi pada sendi-sendi MCP: Deformitas Boutonnir: deformitas fleksi pada sendi interfalang proksimal dan perluasan pada sendi interfalang distal. Deformitas swan neck/leher angsa: hiperekstensi pada sendi interfalang proksimal dan fleksi pada sendi interfalang distal. Kaki: secara umum kelainan menyerupai kelainan pada tangan.
Page 9

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Pergelangan tangan: erosi yang disertai penggabungan tulang karpal. Siku: lokasi yang umum untuk nodul rheumatoid jaringan lunak. Bahu: erosi pada kaput humerus dan sendi akromioklavikula. Lutut: penyempitan rongga sendi yang seragam disertai osteoporosis. Kista Baker merupakan komplikasinya, dengan rupture yang menyebabkan tanda dan gejala yang menyerupai tanda dan gejala pada thrombosis vena dalam.

Tulang belakang servikal: subluksasi, erosi, dan gabungan. Subluksasi paling sering terjadi di sendi atlantoaksial.

Pada pemeriksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi metatarsofalang dan biasanya simetris.7 Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi.

Terdefinisi dengan baik erosi tulang di tulang tulang karpal danmetakarpal basis pasien dengan radang sendi tangan.

Di metacarpophalangeal subluksasi sendi, dengan ulnaris penyimpangan, pada pasien radang sendi tangan.

III.

DIAGNOSIS BANDING III.1. OSTEOARTHRITIS Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian.8 Osteoartritis adalah bentuk artritis yang paling umum, dengan jumlah pasiennya sedikit melampaui separuh jumlah pasien artritis. Gangguan ini sedikit lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki dan terutama orang-orang yang berusia lebih dari 45 tahun.8 Penyakit ini pernah dianggap sebagai suatu proses penuaan normal, sebab insidens bertambah dengan meningkatnya usia. Tetapi, temuan-temuan yang lebih baru dalam bidang biokimia dan biomekanik telah menyanggah teori ini.

Page 10

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Gejala biasanya timbul secara bertahap dan pada awalnya hanya mengenai satu atau sedikit sendi. Yang sering terkena adalah sendi jari tangan, pangkal ibu jari, leher, punggung sebelah bawah, jari kaki yang besar, panggul dan lutut. Nyeri yang biasanya akan bertambah buruk jika melakukan olah raga, merupakan gejala pertama. Beberapa penderita merasakan kekakuan pada sendinya ketika bangun tidur atau pada kegiatan non-aktif lainnya, tetapi kekakuan ini biasanya menghilang dalam waktu 30 menit setelah mereka kembali menggerakkan sendinya.9 Kerusakan karena orteoartritis semakin memburuk, sehingga sendi menjadi sukar digerakkan dan pada akhirnya akan terhenti pada posisi tertekuk. Pertumbuhan baru dari tulang, tulang rawan dan jaringan lainnya bisa menyebabkan membesarnya sendi, dan tulang rawan yang kasar menyebabkan terdengarnya suara gemeretak pada saat sendi digerakkan. Pertumbuhan tulang (nodus Herbeden) sering terjadi pada sendi di ujung jari tangan. Pada beberapa sendi (misalnya sendi lutut), ligamen (yang mengelilingi dan menyokong sendi) teregang sehingga sendi menjadi tidak stabil. Menyentuh atau menggerakkan sendi ini bisa menyebabkan nyeri yang hebat. Sendi panggul menjadi kaku dan kehilangan daya geraknya sehingga menggerakkan sendi panggul juga menimbulkan nyeri. Osteoartritis sering terjadi pada tulang belakang. Gejala utamanya adalah nyeri punggung. Biasanya kerusakan sendi di tulang belakang hanya menyebabkan nyeri dan kekakuan yang sifatnya ringan. Osteoartritis pada leher atau punggung sebelah bawah bisa menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri dan kelemahan pada lengan atau tungkai, jika pertumbuhan tulang berlebih menekan persarafannya. Kadang pembuluh darah yang menuju ke otak bagian belakang tertekan, sehingga timbul gangguan penglihatan, vertigo, mual dan muntah. Pertumbuhan tulang juga bisa menekan kerongkongan dan menyebabkan kesulitan menelan.
III.1.1. Pemeriksaan Fisik Osteoarthritis a. Hambatan Gerak

Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada osteoartritis yang masih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi
Page 11

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) meupun eksentris (salah satu arah gerakan saja).
b. Krepitasi

Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinik osteoartritis lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif dimanipulasi.
c. Pembengkakan Sendi yang Seringkali Asimetris

Pembengkakan sendi pada osteoartritis dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak banyak (<100cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yang dapat mengubah permukaan sendi.10
d. Tanda-tanda Peradangan

Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada osteoartritis karena adanya sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tak menonjol dan timbul belakangan, seringkali dijumpai di lutut, pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki.
e. Perubahan Bentuk (Deformitas) Sendi yang Permanen

Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi.
f.

Perubahan Gaya Berjalan Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat

badan. Terutama dijumpai pada osteoartritis lutut, sendi paha, dan osteoartritis tulang belakang dengan stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan bahu, siku, pergelangan tangan, osteoartritis juga menimbulkan gangguan fungsi. III.1.2. Pemeriksaan Diagnostik Osteoarthritis Diagnosis osteoartritis biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.

Page 12

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Radiografis Sendi yang Terkena

Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena osteoartritis sudah cukup memberikan gambaran diagnostik yang lebih canggih. Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi di atas, secara radiografi osteoartritis dapat digradasi menjadi ringan sampai berat (kriteria Kellgren dan Lawrence). Harus diingat bahwa pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal. Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan magnetik mungkin diperlukan pada beberapa keadaan tertentu. Bila osteoartritis pada pasien dicurigai berkaitan dengan penyakit metabolik atau genetik seperti alkaptonuria, oochronosis, displasia epifisis, hiperparatiroidisme, penyakit Paget atau hemokromatosis (terutama pemeriksaan radiografi pada tengkorak dan tulang belakang). Radiografi sendi lain perlu dipertimbangkan juga pada pasien yang mempunyai keluhan banyak sendi (osteoartritis generalisata). Pasien-pasien yang dicurigai mempunyai penyakit-penyakit yang meskipun jarang tetapi berat (osteonekrosis, neuropati Charcot, pigmented sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih mendalam. Untuk diagnosis pasti penyakit-penyakit tersebut seringkali diperlukan pemeriksaan lain yang lebih canggih seperti sidikan tulang, penginderaan dengan resonansi magnetic (MRI), artroskopi dan artrografi. Pemeriksaan lebih lanjut (khususnya MRI) dan mielografi mungkin juga diperlukan pada pasien dengan osteoartritis tulang belakang untuk menetapkan sebab-sebab gejala dan keluhan-keluhan kompresi radikular atau medulla spinalis.7,10
Pemeriksaan Laboratorium Osteoarthritis

Hasil pemeriksaan laboratorium pada osteoartritis biasanya tak banyak berguna. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam batas-batas normal, kecuali osteoartritis generalisata yang harus dibedakan dengan artritis paradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor reumatoid dan komplemen) juga normal. Pada osteoartritis yang disertai peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel peradangan (<8000m) dan peningkatan protein. III.1.3. Patofisiologis Osteoarthritis Seperti telah disebutkan, tulang rawan sendi merupakan sasaran utama perubahan degeneratif pada osteoartritis. Tulang rawan sendi memiliki letak strategis, yaitu di ujungujung tulang untuk melaksanakan dua fungsi : (1) menjamin gerakan yang hampir tanpa

Page 13

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

gesekan di dalam sendi, berkat adanya cairan sinovium, dan (2) di sendi sedemikian sehingga tulang di bawahnya dapat menerima benturan dan berat tanpa mengalami kerusakan. Kedua fungsi ini mengharuskan tulang rawan elastis (yaitu memperoleh kembali arsitektur normalny setelah tertekan) dan memiliki daya regang (tensile strength) yang tinggi. Kedua ciri ini dihasilkan oleh dua komponen utama tulang rawan : suatu tipe khusus kolagen (tipe II) dan proteoglikan, dan keduanya dikeluarkan oleh kondrosit. Seperti pada tulang orang dewasa, tulang rawan sendi tidak statis; tulang ini mengalami pertukaran; komponen matriks tulang tersebut yang aus diuraikan dan diganti. Keseimbangan ini dipertahankan oleh kondrosit, yang tidak saja menyintesis matriks, tetapi juga mengeluarkan enzim yang mengeluarkan matriks. Oleh karena itu, kesehatan kondrosit dan kemampuan sel ini memelihara sifat esensial matriks tulang rawan menentukan integritas sendi. Pada osteoartritis, proses ini terganggu oleh beragam sebab. Osteoartritis ditandai dengan perubahan signifikan baik dalam komposisi maupun sifat mekanis tulang rawan. Pada awal perjalanan penyakit, tulang rawan yang mengalami degenerasi memperlihatkan peningkatan kandungan air dan penurunan konsentrasi proteoglikan dibandingkan dengan tulang rawan sehat. Selain itu, tampaknya terjadi perlemahan jaringan kolagen tipe II dan peningkatan pemecahan kolagen yang sudah ada. Kadar molekul perantara tertentu, termasuk IL-1, TNF, dan nitrat oksida, meningkat pada tulang rawan osteoartritis dan tampaknya ikut berperan menyebabkan perubahan komposisi tulang rawan. Apoptosis juga meningkat, yang mungkin menyebabkan penurunan jumlah kondrosit fungsional. Secara keseluruhan, perubahan ini cenderung menurunkan daya regang dan kelenturan tulang rawan sendi. Sebagai respon terhadap perubahan regresif ini, kondrosit pada lapisan yang lebih dalam berproliferasi dan berupaya memperbaiki kerusakan dengan menghasilkan kolagen dan proteoglikan baru. Meskipun perbaikan ini pada mulanya mampu mengimbangi kemerosotan tulang rawan, sinyal molekular yang menyebabkan kondrosit lenyap dan matriks ekstrasel berubah akhirnya menjadi predominan. Faktor yang menyebabkan pergeseran dari gambaran reparatif menjadi degeneratif ini masih belum diketahui. Pada rawan sendi pasien osteoartritis juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkhondral tersebut.

Page 14

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Perubahan tulang subkhondral yang mengikuti degenerasi tulang rawan sendi meliputi peningkatan densitas tulang subchondral, pembentukan rongga-rongga yang menyerupai kista yang mengandung jaringan myxoid, fibrous, atau kartilago. Respon ini muncul paling sering pada tepi sendi tempat pertemuan tulang dan tulang rawan yang berbentuk bulan sabit (crescent). Peningkatan densitas tulang merupakan akibat dari pembentukan lapisan tulang baru pada trabekula biasanya merupakan tanda awal dari penyakit degenerasi sendi pada tulang subchondral, tetapi pada beberapa sendi rongga-rongga terbentuk sebelum peningkatan densitas tulang secara keseluruhan. Pada stadium akhir dari penyakit, tulang rawan sendi telah rusak seluruhnya, sehingga tulang subchondral yang tebal dan padat kini berartikulasi dengan permukaan tulang denuded dari sendi lawan. Remodeling tulang disertai dengan kerusakan tulang sendi rawan mengubah bentuk sendi dan dapat mengakibatkan shortening dan ketidakstabilan tungkai yang terlibat. Pada sebagian besar sendi sinovial, pertumbuhan osteofit diikuti dengan perubahan tulang rawan sendi serta tulang subchondral dan metafiseal. Permukaan yang keras, fibrous, dan kartilaginis ini biasanya muncul di tepi-tepi sendi. Osteofit marginal biasanya muncul pada permukaan tulang rawan, tapi dapat muncul juga di sepanjang insersi kapsul sendi (osteofit kapsuler). Tonjolan tulang intraartikuler yang menonjol dari permukaan sendi yang mengalami degenerasi disebut osteofit sentral. Sebagian besar osteofit marginal memiliki pernukaan kartilaginis yang menyerupai tulang rawan sendi yang normal dan dapat tampak sebagai perluasan dari permukaan sendi. Pada sendi superfisial, osteofit ini dapat diraba, nyeri jika ditekan, membatasi ruang gerak, dan terasa sakit jika sendi digerakkan. Tiap sendi memiliki pola karakter yang khas akan pembentukan osteofit di sendi panggul, osteoarthritis biasanya membentuk cincin di sekitar tepi acetabulum dan tulang rawan femur. Penonjolan osteofit sepanjang tepi inferior dari permukaan artikuler os humerus biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit degenartif sendi glenohumeral. Osteofit merupakan respon terhadap proses degerasi tulang rawan sendi dan remodelling tulang sudkhondral, termasuk pelepasan sitokin anabolik yang menstimulasi proliferasi dan pembentukan sel tulang dan matrik kartilageneus. Kerusakan tulang rawan sendi mengakibatkan perubahan sekunder dari synovium, ligamen, kapsul, serta otot yang menggerakan sendi yang terlibat. Membran sinovial sering mengalami reaksi inflamasi ringan serta sedang dan dapat berisi fragmen-fragmen dari tulang rawan sendi. Semakin lama ligamen, kapsul dan otot menjadi contracted. Kurangnya

Page 15

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

penggunaan sendi dan penurunan ROM mengakibatkan atropi otot. Perubahan sekunder ini sering mengakibatkan kekakuan sendi dan kelemahan tungkai.
Faktor-faktor Resiko Osteoartritis

Untuk penyakit dengan penyebab yang tak jelas, istilah faktor resiko (faktor yang meningkatkan resiko penyakit) adalah lebih tepat. Secara garis besar faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis (primer)adalah seperti di bawah ini. Harus diingat bahwa masingmasing sendi mempunyai biomekanik, cedera dan persentase gangguan yang berbeda, sehingga peran faktor-faktor resiko tersebut untuk masing-masing osteoartritis tertentu berbeda.10
1. Umur

Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya osteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi harus diingat bahwa osteoartritis bukan akibat ketuaan saja. Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan berbeda dengan perubahan pada osteoartritis.
2. Jenis Kelamin

Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan osteoartritis banyak sendi dan lelaki lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan, di bawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi osteoartritis lebih banyak pada wanita daripada pria. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis.
3. Genetik

Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis misalnya pada ibu dari seorang wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden) terdapat 2 kali lebih sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai 3 kali lebih sering daripada ibu dan anak perempuanperempuan dari wanita tanpa osteoartritis tersebut. Adanya mutasi dalam gen prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan

Page 16

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada osteoartritis tertentu (terutama osteoartritis banyak sendi).
4. Kegemukan dan penyakit metabolik

Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya osteoartritis baik npada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan sendi osteoartritis sendi lain (tangan atau stemoklavikula). Oleh karena itu, disamping faktor mekanis yang berperan (karena meningkatnya beban mekanis), diduga terdapat faktor lain (metabolik) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan antara osteoartritis dan kegemukan juga disokong oleh adanya ikatan anara osteoartritis dengan penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi. Pasien-pasien osteoartritis ternyata mempunyai resiko penyakit jantung koroner dan hipertensi yang lebih tinggi daripada orang-orang tanpa osteoartritis.
5. Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olahraga

Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetik kapas) berkaitan dengan peningkatan resiko osteoartritis tertentu. Demikian juga cedera sendi dan olahraga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan resiko osteoartritis yang lebih tinggi. Peran beban benturan yang berulang pada timbulnya osteoartritis masih menjadi pertentangan. Aktivitas-aktivitas tertentu dapat menjadi predisposisi osteoartritis cedera traumatik (misalnya robeknya meniscus, ketidakstabilan ligamen) yang dapat mengenai sendi. Akan tetapi, selain cedera yang nyata, hasil-hasil penelitian tak menyokong pemakaian yang berlebihansebagai suatu faktor untuk timbulnya osteoartritis. Meskipun demikian, beban benturan yang berulang dapat menjadi suatu faktor penentu lokasi pada orang-orang yang mempunyai predisposisi osteoartritis dan dapat berkaitan dengan perkembangan dan beratnya osteoartritis.
6. Faktor-faktor Lain

Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan resiko timbulnya osteoartritis. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu mengurangi menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan pada lebih tingginya osteoartritis pada orang gemuk dan pelari (yang umumnya mempunyai tulang yang lebih padat) dan
Page 17

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

kaitan negatif antara osteoporosis dan osteoartritis. Merokok dilaporkan menjadi faktor yang melindungi untuk timbulnya osteoartritis, meskipun mekanismenya belum jelas. III.1.4. Penatalaksanaan Osteoarthritis Non Medika Mentosa Tidak ada obat untuk menyembuhkan osteoartritis ini, yang ada adalah terapi untuk mengurangi nyeri dan ngilu serta menjaga pergerakan dan aktifitas sehari-hari. Pengangkatan dan penggantian engsel merupakan pilihan terakhir dan akan dilakukan jika semua cara terapi telah ditempuh.
1.

Terapi fisik dan rehabilitasi Pengobatan awal pada osteoartritis ringan dapat berupa:

Istirahat. Jika terjadi nyeri/ngilu pada engsel dianjurkan untuk beristirahat sekurangnya 12 jam. Bergeraklah secara biasa tetapi hindari menggerakkan engsel yang sama secara berulang-ulang dan istirahat sekitar 10 menit setelah satu jam bergerak.

Olahraga. Dengan ijin dokter anda dapat melakukan olah raga biasa seperti bersepeda, jalan bahkan berenang. Olah raga ini akan meningkatkan daya tahan otot sekitar engsel. Jika mulai terasa nyeri/ngilu berhenti atau istirahat.

Gunakan kompres. Kompres hangat atau dingin mampu mengurangi nyeri/ngilu yang terjadi. Ginakan kompres hangat sekurangnya 20 menit sehari. Untuk kompres dingin dapat digunakan es batu.

Terapi. Mungkin anda memerlukan terapi khusus tulang agar anda dapat terpantau secara khusus sehingga peningkatan kemampuan gerak maju lebih cepat.

Kurangi stres engsel. Terapis akan membantu anda menemukan cara menghindari stres engsel.
2. Penurunan berat badan

Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor yang akan memperberat penyakit osteoartritis. Oleh karenanya berat badan harus selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apabila berat badan berlebihan, maka harus diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin mendekati berat badan ideal.

Page 18

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Medika Mentosa
1. Analgesik Oral Non Opiat

Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri penyakitnya, terutama dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali obat-obatan yang dijual bebas yang mampu mengurangi rasa sakit. Pada umumnya pasien mengetahui hal ini dari iklan melalui media masa, baik cetak (koran), radio, maupun televisi.
2. Analgesik Topikal

Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan di pasaran dan banyak sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan cara ini, sebelum memakai obat-obatan peroral lainnya.
3. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak berhasil, pada umumnya pasien mulai datang ke dokter. Dalam hal seperti ini kita pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh karena obat golongan ini di samping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi. Oleh karena pasien osteoartritis kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obat-obatan jenis ini harus sangat berhati-hati. Jadi pilihlah obat yang efek sampingnya minimal dan dengan cara pemakaian yang sederhana, di samping itu pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya efek samping selalu harus dilakukan.
4. Chondroprotective Agent

Yang dimaksud dengan chondroprotective agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien osteoartritis. Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, superoxidase desmutase dan sebagainya. Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai kemampuan untuk menghambat enzim MMP dengan cara menghambatnya. Salah satu contoh adalah doxycycline, sayangnya obat ini baru dipakai pada hewan dan belum dipakai pada manusia.

Page 19

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Asam hialuronat disebut juga sebagai viscosupplement oleh karena salah satu manfaat obat ini adalah dapat memperbaiki viskositas cairan sinovial, obat ini diberikan secara intra-artikuler. Asam hialuronat ternyata memegang peranan penting dalam pembentukan matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan. Di samping itu pada binatang percobaan, asam hialuronat dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat angiogenesis dan khemotaksis sel-sel inflamasi.

Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam proses degradasi tulang rawan, antara lain : hialuronidase, protease, elastase, dan cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan sendi manusia.

Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok vertebrata, dan terutama terdapat pada matriks ekstraselular sekeliling sel.10 Salah satu jaringan yang mengandung kondroitin sulfat adalah tulang rawan sendi dan zat ini merupakan bagian dari proteoglikan. Matriks ini membentuk satu struktur yang utuh sehingga mampu menerima beban tubuh. Pada penyakit degeneratif seperti osteoartritis terjadi kerusakan tulang rawan sendi dan salah satu penyebabnya adalah hilangnya atau berkurangnya proteoglikan pada tulang rawan tersebut.

Vitamin C, dalam penelitian ternyata vitamin C dapat menghambat aktivitas enzim lisozim. Pada pengamatan ternyata vitamin C mempunyai manfaat dalam terapi osteoartritis.

Superoxide Dismutase, dapat dijumpai pada setiap sel mamalia dan mempunyai kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan hydroxil radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu merusak asam hialuronat, kolagen, dan proteoglikan sedang hydrogen peroxyde dapat merusak kondrosit secara langsung.

Steroid intra-artikuler, pada penyakit artritis reumatoid menunjukkan hasil yang baik. Kejadian inflamasi kadang-kadang dijumpai pada pasien osteoartritis, oleh karena itu kortikosteroid intra artikuler telah dipakai dan mampu mengurangi rasa sakit, walaupun hanya dalam waktu yang singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan keuntungan yang nyata pada pasien osteoartritis, sehingga pemakaiannya dalam hal ini masih kontroversial.

Page 20

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

III.2.

GOUT Arthritis pirai (gout) adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena deposisi kristal

monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraselular.11 Asam urat adalah asam yang berbentuk kristal-kristal yang merupakan hasil akhir dari metabolisme purin (bentuk turunan nukleoprotein), yaitu salah satu komponen asam nukleat yang terdapat pada inti sel-sel tubuh. Secara alamiah, purin terdapat dalam tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel hidup, yakni makanan dari tanaman (sayur, buah, kacang-kacangan) atau pun hewan (daging, jeroan, ikan sarden). Jadi asam urat merupakan hasil metabolisme di dalam tubuh , yang kadarnya tidak boleh berlebih, kelebihan asam urat akan dibuang melalui urin. Setiap orang memiliki asam urat di dalam tubuh, karena pada setiap metabolisme normal dihasilkan asam urat. Sedangkan pemicunya adalah makanan dan senyawa lain yang banyak mengandung purin. Sebetulnya, tubuh menyediakan 85 persen senyawa purin untuk kebutuhan setiap hari. Ini berarti bahwa kebutuhan purin dari makanan hanya sekitar 15 persen. Penyakit gout sebagian besar mempengaruhi orang berumur diatas 30 tahun dan lebih banyak pria yang terkena penyakit ini. Dua hal tadi yang merupakan kepentingan dari anamnesis umur dan jenis kelamin pasien. Nyeri sendi biasanya perlu ditanyakan sebagai tanda gejala awal dari penyakit ini. Nyeri sendi yang sering terjadi paa artritis gout terjadi biasanya berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari, sedangkan pada malam hari sebelumnya pasien tidak merasakan apa-apa, rasa nyeri ini biasanya self limiting dan sangat responsif dengan pengobatan.11 Apabila sudah berlanjut akan dapat menyebabkan kekakuan dan bengkak dari sendi tersebut. Apabila sudah terjadi kekakuan dari sendi tersebut tentu saja ini akan menyebabkan ketidakmampuan sendi tersebut berfungsi secara adekuat. Infeksi sistemik ini sendiri dapat terjadi pada penderita gout. Gout sendiri pada stadium lanjut merupakan penyakit inflamatoir dan akan mengakibatkan peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP yang akan mengakibatkan keluhan kelelahan, lesu, mudah marah, berat badan turun, dan mudah sekali terangsang.12 Anamnesis lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya kesakitan pada daerah perut, kesakitan ini mungkin saja merupakan komplikasi dari penyakit itu sendiri yaitu

Page 21

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

terjadinya kerusakan pada ginjal. Selain kerusakan ginjal juga perlu ditanyakan status berkemih pasien tersebut karena komplikais lain yang dimungkinkan yaitu adanya batu urat yang tersumbat di saluran kemih. III.2.1. Fisik Pemeriksaan fisik yang penting pada sistem muskuloskeletal dapat dibagi menjadi pada saat diam/istirahat dan pada saat bergerak. Dan dapat juga dilakukan palpasi untuk beberapa hal seperti yang akan dibahas. Inspeksi deformitas sangat perlu dilakukan pada sendi-sendi yang terserang gout ini, selain daripada deformitas pada saat diam juga perlu dilakukan inspeksi pada saat bagian tersebut coba digerakan. Hal ini bertujuan untuk menentukan apakah tungkai tersebut mengalami deformitas yang dapat dikoreksi atau deformitas yang sudah tidak dapat dikoreksi. Deformitas yang dapat dikoreksi apabila deformitas tersebut masih dapat digerakan yang diakibatkan oleh penumpukan jaringan lunak. Sedangkan deformitas yang tidak dapat dikoreksi biasanya disebabkan oleh restriksi kapsul sendi atau kerusakan sendi. Pemeriksaan inspeksi lainnya yaitu melihat benjolan apabila terdapat benjolan pada sendi pasien. Hal yang patut diperhatikan adalah ukuran dari benjolan, suhu, warna kulit di sekitar benjolan. Bisanya pada penderita gout benjolannya akan berwarna kemerahan, teraba panas, dan akan berasa nyeri. Untuk mendeteksi kelainan sekunder yang mungkin terjadi yaitu mencari kelainan yang menyangkut anemia, pembersaran organ limfoid, keadaan kardiovaskular dan tekanan darah.11,12 Kelainan yang mungkin juga timbul walaupun sangat jarang terjadi yaitu timbulnya febris yang bersifat sistemik. Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan pada penderita gout adalah melihat cara berjalan, sikap/postur badan.12 Sikap badan dan postur badan harus diperhatikan saat pasien masuk ruangan. Karena sikap badan odan cara berjalan orang yang menahan sakit akan berbeda dari normal. Sikap berjalan yang paling sering ditunjukan pada penderita gout apada kali adalah gaya berjalan antalgik, yaitu pasien akan segera mengangkat tungkai yang nyeri atau deformitas sementara pada tungkai yang sehat akan lebih lama diletakan di lantai; biasanya akan diikuti oleh gerakan tangan yang asimetri. Pergerakan beserta bunyi apabila digerakan juga patut diperhatikan pada penderita, bunyi pada penderita gout merupakan bunyi krepitus halus yang terdengar sepanjang struktur yang terkena dan biasanya lemah dan hanya terdengar mengunakan stetoskop. Pemeriksaan fisik yang mungkin juga dapat diketemukan kelainan yaitu pemeriksaan ginjal. Pemeriksaan ginjal yang dapat dilakukan
Page 22

Pemeriksaan Gout

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

adalah pemeriksaan perkusi ginjal, pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi apakah ada nyeri pada daerah ginjal. Pemeriksaan ginjal bisanya dilakukan pada penderita lanjut karena dikhawatirkan terjadi penyumbatan saluran kemih dengan komplikasi lanjutan yaitu pembengkakan ginjal. Penunjang 1. Laboratorium Pemeriksaan lab yang paling dapat menegakkan kristal urat dari cairan sendi ataupun topus yang mengandung kristal urat. Cara yang dapat digunakan dapat dilakukan dengan reaksi kimia ataupun dilihat langsung dengan mengunakan mikroskop. Karena tidak semua penderita gout ini sampai terjadi topus dan sulitnya mengambil cairan sendi pada sendi kecil seperti sendi pada daerah kaki, cara ini relatif lebih sulit dilakukan daripada pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan lainnya yang dimaksud adalah mendeteksi LED, hitung leukosit, dan CRP pada fase akut, kadar kreatinin 24 jam.12 Asam urat darah dan urin 24 jam. Pada aspirasi cairan sendi dapat diketemukan cairan yang berwarna putih susu. Cairan ini merupakan manifestasi hitung sel yang dapat meningkat sampai dengan 60.000/L dan juga terdapat timbunan monosodium urat pada cairan sendi.12 Pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah asam urat darah dan urin dan kreatinin darah dan urin 24 jam. Pemeriksaan asam urat urin 24 jam orang diet rendah purin selama 3-5 hari dibawah 600 mg/hari. Apabila hasilnya berada diatas itu orang tersebut diduga mengalami kelebihan produksi asam urat. Tetapi mungkin juga hasil dibawah 600 mg/hari bukan merupakan batas normal oleh karena itu diperlukan pemeriksaan kadar kreatinin urin dan darah untuk memantau kemampuan bersihan ginjal.12 Kadar asam urat dalam urin tersebut dapat tercapai karena ketidakmampuan ginjal untuk mengeluarkan asam urat dari dalam tubuh, ini yang disebut dengan underexcretion. Pemeriksaan kadar urin ini merupakan suatu standar yang perlu diperhatikan karena kadar asam urat darah yang tinggi akan meningkatkan kemungkinan gout yang timbul. Kadar asam urat 24 jam masih dapat dikatakan normal tanpa diet dalam batas 800 mg/hari. Apabila kadar asam urat tanpa diet rendah urat melebihi angka itu patut dicurigai adanya overproduction dari urat tersebut. Walaupun tidak semua orang yang memiliki asam urat yang tinggi akan menderita gout, begitupun tidak semua orang yang memiliki kadar asam urat normal tidak akan terkena gout. Menurut penelitian yang dilakukan di Indonesia sekitar 21% orang yang menderita gout memiliki kadar asam urat darah yang

Page 23

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

masih dalam batas normal. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa apabila hanya ditemukan artritis pada pasien dengan hiperurisemia tidak bisa didiagnosis gout. Pemeriksaan LED, hitung leukosit, dan CRP merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk mendeteksi apakah terjadi inflamasi pada pasien tersebut. Reaksi inflamasi akan terjadi pada penderita gout pada fase akut, oleh karena itu pemeriksaan LED, hitung leukosit, dan CRP akan meningkat. Pemeriksaan yang paling jarang tatapi masih mungkin dilakukan dan hanya digunakan untuk penelitian adalah pemeriksaan enzim-enzim dalam tubuh. Pemeriksaan enzimnya antara lain PRPP synthetase, enzim HPRT, xantin oksidase untuk penyakit gout primer sedangkan unutk gout sekunder yaitu glukosa 6 fosfatase. Seluruh penyakit hiperurisemia dan gout yang disebabkan oleh enzim tersebut merupakan kelainan genetik, oleh karena itu biasanya penyakit-penyakit teserbut sudah mulai dapat dilihat perubahannya pada masa anak-anak. 2. Radiologi Pemeriksaan radiologi yang sering digunakan sebagai alat bantu diagnosis gout adalah pemeriksaan foto polos. Pemeriksaan foto polos ini digunakan karena memberikan hasil yang cukup spesifik dengan biaya yang cukup terjangkau. Pemeriksaaan radiologi ini hanya dapat dilaksanakan pada pasien gout interkritikal. Pada pasien awal tidak dapat dilakukan pemeriksaan karena pasti akan mendapatkan hasil normal. Hal ini disebabkan karena belum terbentuknya kristal urat yang akan memberikan gambaran radiopaq. Perubahan yang radiografis pada penyakit gout ditemukan pada sekitar 50% pasien. Dimana sebagian besar pasien menunjukan kelainan pada sendi metatarsophalangeal yang pertama yaitu sekitar 60% pasien. Selain dari sendi itu, lokasi lain yang sering terjadi radang gout antaralain jari kaki, mata kaki, tangan, dan bursa olecranon. Seringnya diketemukan kelainan pada daerah ini sudah dapat dijelaskan secara ilmiah, dan akan dibahas pada bagian patogenesis. Perubahan tersebut terjadi diluar dari sendi yang terserang atau pada daerah juxtaartricular dan didifinisikan sebagai punched-out lytic lesion dan lama kelamaan akan menjadi bertambah besar.7,12 Pertambahan besar lesi ini sangat dipengaruhi oleh pola diet pasien. Pada sebagian kasus sering terjadi patah tulang. Unutk penyakit gout yang kronis hampir selalu diketemulan topus dan penyempitan dari sendi tersebut. Apabila penyempitan sendi tersebut dibiarkan maka akan sangat mungkin terberbentuknya deformitas sendi dan
Page 24

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

kasifikasi dari jaringan lunak disekitar sendi tesebut. Pada sebagian kasus dapat juga diketemukan penyakit degeneratif yang terdapat pada sendi metatarsophalangeal. Pada penyakit yang kronis biasanya diketemukan inflamasi asimetris, artritis erosif yang kadangkadang disertai nodul jaringan lunak.

Gambar diatas sebelah kiri, gambaran tangan kiri pasien mengambarkan terbentuknya topus pada jari pertama dengan bagian yang lebih opaq dan terdapat pembengkakan sendi tersebut.7,12 Sedangkan pada tangan kanan pada jari kedua dan kelima antara phalang medial dan distal juga terbentuk pembengkakan yang lebih opaq. Dapat juga diperhatikan bahwa sendi-sendi tersebut sudah lebih rapat dibandingkan sendi yang normal. Untuk gambar yang disebelah kanan menunjukan adanya topus pada metatarsophalangeal pada kaki kiri pasien.

Page 25

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

III.2.2.

Diagnosis Gout

Untuk mendiagnosis penyakit gout tidak hanya berdasarkan pada uji laboratorium yang menunjukan adanya hiperurisemia dan gejala klinik adanya artritis saja. Penyakit gout secra umum biasanya diketemukan kombinasi-kombinasi berikut: Riwayat inflamasi klasik artritis monoartrikuler khusus pada sendi MTP-1; Diikuti oleh stadium interkritik dimana bebas simptom; Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin; Hiperurisemia. Kriteria klasifikasi Artritis Gout pada fase akut dapat dipastikan dengan menemukan kelainan-kelainan seperti yang ditulis di bawah ini. a. b. Ditemukan kristal urat yang karakteristik dalam cairan sendi, atau Tofus yang terbukti mengandung kristal urat dengan cara kimia atau mikroskop polarisasi, atau c. Ditemukan 6 dari 12 fenomena klinis, laboratoris dan riadologis sebagai tercantum di bawah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Lebih dari satu kali serangan artritis akut Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu satu hari Serangan artritis monoartikular Sendi kemerahan Nyeri atau bengkak pada sendi mtp-1 Serangan unilateral yang melibatkan sendi mtp-1 Serangan unilateral yang melibatkan sendi tarsal Dugaan tofus Hiperurikemia

10. Pembengkakan tidak simetris di antara sendi (radiologis) 11. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis) 12. Kultur cairan sendi untuk mikroorganisme pada waktu serangan inflamasi sendi memberikan hasil negatif. Berbeda dengan stadium gout interkritikal dimana stadium gout interkritikal tidak akan diketemukan reaksi radang akut yang ditandai dengan adanya pembengkakan, merah, panas dan nyeri. Pada stadium gout interkritikal ini dapat dideteksi dengan aspirasi cairan sendi dan ditemukan kristal urat. Sedangkan untuk stadium gout menahun, gejala yang paling khas
Page 26

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

adalah dengan adanya topus, topus yang diperiksa ini haruslah menunjukan adanya kristal urat. Apabila kristal urat ini telah ditemukan, maka dapat dipastikan adanya penyakit gout. Kelainan radiografi pada kronik gout adalah inflamasi asimetri, artritis erosif yang kadangkadang disertai dengan nodul jaringan lunak. III.2.3. Patogenesis Gout Gout merupakan gangguan yang disebabkan oleh penimbunan asam urat, yaitu suatu produk akhir dari metabolisme purin, dalam jumlah berlebihan di jaringan. Asam urat yang tertimbun ini berbentuk kristal mononatrium urat, dalam waktu yang lama, kristal ini akan membesar dan membentuk tofi dan dapat juga terjadi deformitas sendi yang kronis.13 Bentuk sediaan histopatoligis dari gout ini biasanya menunjukkan granuloma dikelilingi oleh butir kristal monosodium urat. Dan karena terjadi reaksi inflamasi maka akan diketemukan sel nononuklear dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul fibrosa biasanya prominen di sekeliling tofi. Kristal tofi berbentuk jarum dan sering membentuk sekelompok kecil secara radier. Pada gout akut pada cairan sendi juga biasanya akan diketemulan monosodium urat. Apabila aspirasi diambil saat inflamasi akut maka akan diketemukan banyak kristal di dalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses fagositosis. Walaupun memiliki hubungan sebab akibat antara gout dan hiperurisemia, tetapi tidak berarti setiap penderita hiperurisemia pasti akan menderita gout, begitupun sebaliknya tidak semua penderita gout pasti juga telah menderita hiperurisemia. Gout sendiri dibagi menjadi tiga kategori yaitu gout primer, gout sekunder, gout idiopatik. Gout promer adalah gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain, terdiri dari hiperurisemia primer dengan kelainan molekuler yang masih belum jelas dan

hiperurisemianya karena adanya kelainan enzim. Guot sekunder adalah gout yang disebabkan karena penyakit lain atau penyebab lain. Gout sekinder dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan biosontesis de novo, kealinan yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan kelainan yang menyebabkan underexcretion. Gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer, kelainan genetik dan tidak ada kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas.

Page 27

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Gambar diatas merupakan gambar proses metabolisme dari pembentukan asam urat.13 Kelainan kelainan pada enzim PRPP synthetase, enzim HPRT, xantin oksidase akan menyebabkan penyakit gout primer, kelainan pada enzim glukosa 6 phospatase terdapat pada penyakit gout sekunder. Dimana peningkatan PRPP dan atau penurunan HPRT dan APRT akan menyebabkan overproduction. Peningkatan enzim xantin oksidase yang akan mengakibatkan juga peningkatan asam urat.b Tetapi penurunan glukosa 6 phospatase justru akan menyebabkan hiperurisemia. Hiperurisemia ini terjadi karena kombinasi overproduction dan under excretion karena peningkatan pemecahan ATP. Selain daripada itu aktivitas fisik yang berat secara normal dapat menyebabkan hiperurisemia karena terjadi pemecahan ATP datau keadaan anaerob yang menghasilkan zat-zat yang kemudian dipecah menjadi xantin dan asam urat. Dari semua yang telah disebutkan diatas merupakan keadaan over production, sedangkan untuk keadaan underexcretion dikelompokan menjadi penurunan masa ginjal, penurunan filtrasi glomerulus, penurunan fractional uric acid clerance dan pemakaian obatobat. Dari tulisan yang ada di atas semuanya telah menunjukan bagaimana terjadinya hiperurinemia, tetapi tidak menunjukkan bagaimana proses inflamasi dari gout tersebut. Pada prinsipnya, ini merupakan reaksi peradangan biasa terhadap monosodium urat. Onset dari serangan gout berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum, suhu lingkungan, dan

Page 28

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

perubahan PH. Perubahan kadar asam urat yang meninggi seperti yang terjaid pada skenario karena banyak mengkonsumsi jeroan dapat meningkatkan reaksi inflamasi yang terjaid pada pasien tersebut. Perubahan yang bersifat penurunan kadar asam urat dalam darah dapat menyebabkan tofi ataupun tofus yang tinggi kandungan monosodium uratnya akan mengeluarkan zat tersebut ke luar dari tofi sehingga menyebabkan juga reaksi inflamasi. Kelarutan monosodium urat akan tinggi pada suhu yang tinggi dan rendah pada suhu yang rendah. Oleh karena itu dapat dijelaskan bahwa pengendapan monosodium urat itu lebih mudah terjadi pada organ tubuh yan glebih dingin. Bagian tubuh yang paling dingin terdapat pada kaki lalu pada ujung-ujung jari tangan. Untuk pH, rentang kelarutan untuk suatu kelarutan dalam tubuh sangat lebar, dan tidak begitu berpengaruh pada manusia. Karena pada pH 7,5 dan 5,8 kelarutannya tidak berbeda banyak yang tidak dapat menyebabkan reaksi inflamasi. Hal yang juga penting adalah kecepatan difusi molekul urat dari ruang sinovia kedalam plasma hanya setengah kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam caiaran sendi seperti MTP-1 menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang hari selanjutnya bila cairan sendi diresorbsi waktu berbaring akan meningkatkan kadar urat lokal. Reaksi randang yang timbul seperti bagan diatas dapat terjadi melalui dua proses peradangan yaitu dengan pengaktifan komplemen dan yang dimediasi oleh makrofag. Kristal urat sendiri dapat mengaktifkan jalur komplemen klasik dan jalur alternatif. Zat ini dapat mengaktifkannya tanpa bantuan imunoglobin. Kedua jalur klasik dan jalur alternatif ini akan mengkatifkan C3 menjadi C3a yang akan mempermudah fagositosis dan memanggil sel netrofil. Selain itu C3a juga akan mengaktifkan C5 menjadi C5a yang fungsi kemotaksisnya lebih besar dari C3a. Berdasarkan dari fungsi yang diatas akan menyebabkan membrane attak complex yg merupakan komponen akhir proses aktivasi komplemen yang bersifat sitotoksik pada sel patogen maupun sel host. Makrofag pada sinovium merupakan sel utama dalam proses peradangan yang dapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi yang merupakan penyebab dari peradangan itu sendiri. Setelah kristal urat ini menyebabkan makrofag mengeluarkan mediator peradangan maka akan juga terjadi pemangilan leukosit ke tempat peradangan dan menyebabkan peningkatan junlah leukosit sistemik. Mediator peradangan yang mungkin dikeluarkan oleh makrofag adalah IL-1, TNF, IL-6, dan GM-CSF. Semua pengkspresian gen ini terjadi akibat degranulasi dan melalui jalur signal transduction pathway dan berakhir dengan aktivasi transkripsi faktor. Peningkatan jumlah leukosit sistemik ini yang dapat dipantau pada pemeriksaan lab yang merupakan salah satu pertanda dari adanya inflamasi.
Page 29

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Stadium dari gout ini dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu stadium gout akut, stadium interkritikal dan stadium gout menahun. Pada stadium gout akut rasa nyeri timbul sangat cepat dalam waktu yang singkat. Nyeri yang singkat biasanya dialami mono artrikuler bengkak, merah, terasa hangat, dan dengan gejala sistemik.seperti yang telah disebutkan sebelumnya sendi yang sering terkena pada MTP-1. Keluhan ini dapat sembuh dalam beberapa jam atau hari, tetapi apabila tidak dipantau penyakitnya akan menyebabkan gout kronis. Stadium berikutnya yaitu stadiium interkritikal, stadium ini tidak didapati gejala tanda-tanda radang akut namum pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlajut walaupun tanpa keluahn. Keadaan ini dapat terjaid satu atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan akut. Stadium gout menahun dapat terjadi apabila tidak dilakukan penanganan yang baik pada stadium gout sebelumnya. Ciri khas stadium ini yaitu besarnya tofi dan terdapat poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulut sembuh dengan obat, kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi yang sering yaitu pada cuping telinga, MTP-1, olekranoon, tendo achilles dan jari tangan. Pada stadium ini juuga sering disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun. III.2.4. Penatalaksanaan

Secara umum penanganan artritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain, misalnya pada ginjal. Tujuan terapi gout adalah: 1. Menghentikan serangan akut secepat mungkin 2. Mencegah serangan akut berulang 3. Mencegah komplikasi akibat timbunan Kristal urat di sendi, ginjal atau tempat lain. Modalitas yang tersedia untuk terapi gout dan hiperurisemia: 1. Edukasi Sebagian besar kasus gout dan hiperurisemia (termasuk hiperurisemia asimptomatik) mempunyai latar belakang penyebab primer, sehingga memerlukan pengendalian kadar asam urat jangka panjang. Perlu compliance yang baik dari pasien untuk mencapai tujuan terapi di atas, dan hal itu hanya didapat dengan edukasi yang baik. Pengendalian diet rendah purin juga menjadi bagian tata laksana yang penting.

Page 30

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

2. Terapi serangan akut: kompres dingan, kolkisin, OAINS, steroid, ACTH Pada keadaan serangan akut pemberian kompres dingin dapat membantu mengurangi keluhan nyeri. Semua yang meningkatkan dan menurunkan asam urat harus dikendalikan. Tidak diperbolehkan minum alkohol. Penggunakan obat penurun asam urat dihindari, kecuali sebelumnya sudah mengkonsumsinya secara rutin, maka harus diteruskan dan tidak boleh dihentikan. Kolkisin mempunyai efek anti inflamasi yang kuat, namun batas amannya sangat sempit, dan sering menimbulkan efek samping. Secara tradisional dulu kolkisin digunakan pada serangan akut arthritis dengan dosis 0,5-0,6 mg tiap jam peroral sampai terjadi tiga hal yaitu keluhan arthritis membaik; muncul efek samping mual, muntah, diare; atau sudah mencapai dosis maksimal seba-nyak 10 dosis.13 Saat ini para ahli lebih menganjurkan pemberian tiap 2-6 jam sehingga tidak menimbulkan banyak efek samping, dan lebih berharap pada efek prevensi serangan berikutnya. Pemberian kolkisin intravena menjadi alternatif, namun dengan risiko efek samping yang lebih besar. Hati-hati pada gangguan fungsi ginjal. Terapi dengan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) menjadi pilihan utama untuk diberikan pada serangan akut dengan dosis yang optimal, dengan syarat fungsi ginjal yang masih baik.6 Jenis OAINS termasuk yang selektif COX-2 tidak terlalu berpengaruh terhadap respon klinik, tapi sebaiknya digunakan yang jenis deng-an onset kerja cepat, dan dengan pertimbangan efek samping-nya. Pemakaian kortikosteroid intrartikuler cukup bermanfaat pada arthritis monoartikuler atau yang melibatkan bursa. Sedangkan kortikosteroid sistemik dapat digunakan terutama pada gangguan fungsi ginjal, atau intoleran dengan kolkisin dan OAINS. Dosis steroid yang diperlukan sesuai de-ngan prednisone 20-60 mg perhari. Adrenocorticotropic (ACTH) injeksi intramuskuler dapat mengatasi serangan akut pada pemberian pertama kali, meskipun kadang-kadang diperlukan pe-ngulangan 24-48 jam kemudian.

3. Kontrol hiperurisemia: xanthine oxidase inhibitors, urikosurik agent


Kontrol hiperurisemia dilakukan dengan diet rendah purin, serta menghindari obatobatan yang meningkatkan kadar asam urat serum terutama diuretik. Selanjutkan diperlukan urate lowering agent seperti golongan xanthine oxidase inhibitor, maupun uricosuric agent,
Page 31

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

dengan catatan tidak boleh dimulai pada saat serangan akut. Pada hiperurisemia asimptomatik terapi farmakologik dimulai jika kadar asam urat serum >9 mg/dL. Sedangkan pada penderita gout telah diketahui bahwa pemberian urate lowering agent juga menjadi faktor pencetus serangan akut, sehingga diberikan juga kolkisin dosis prevensi 0,6 mg 1-3 kali perhari, atau OAINS dosis rendah, dan dimulai setelah tidak adanya tanda-tanda inflamasi akut. Rilonacept, suatu inhibitor IL-1 sedang dikembangkan sebagai obat pencegah serangan akut pada awal terapi penurun asam urat. Target terapi adalah menurunkan kadar asam urat serum sampai di bawah 6,8 mg/dL (lebih baik sampai 5-6 mg/dL). Jenis urate lowering agent yang pertama yaitu golongan xanthine oxidase inhibitor dengan cara kerja penghambatan oksidasi hipo-xantin menjadi xantin, dan xantin menjadi asam urat. Obat yang termasuk golongan ini adalah allopurinol. Diberikan mulai dosis 100 mg/hari dan dinaikkan tiap minggu sampai tercapai target (rata-rata diperlukan minimal 300 mg/hari). Pada gangguan fungsi ginjal dosis harus disesuaikan. Jenis obat yang lain seperti febuxostat, non-purine xanthine oxidase inhibitor yang juga cukup poten, maupun pegylated recombinant uricase, masih dikembangkan. Sedangkan jenis urate lowering agent yang kedua yaitu golongan uricosuric agent, bekerja dengan cara menghambat reabsorsi urat di tubulus renalis. Yang paling sering dipakai adalah probenesid dan sulfinpirazon. Probenesid dengan dosis 0,5-3 gram dibagi 2-3 kali perhari. Sedangkan sulfinpirazon diberikan dengan dosis 300-400 mg dibagi 3-4 kali perhari. Pemakaian obat urikosurik ini lebih diindikasikan pada keadaan dengan ekskresi asam urat di urin <800 mg perhari, dan dengan fungsi ginjal yang masih baik (creatinine clearance >80ml/menit). Risiko batu ginjal semakin besar pada kadar asam urat di urin yang tinggi. Pada beberapa kasus yang sulit dikendalikan dengan obat tunggal, kombinasi uricosuric agent dan xanthine oxidase inhibitor dapat dibenarkan. III.2.5. Pencegahan

Makanan yang mengandung tinggi purin dan tinggi protein sudah lama diketahui dapat menyebabkan dan meningkatkan risiko terkena gout. Makanan kaya protein dan lemak merupakan sumber purin. Padahal walau tinggi kolesterol dan purin, makanan tersebut sangat berguna bagi tubuh, terutama bagi anak-anak pada usia pertumbuhan. Kolesterol penting bagi prekusor vitamin D, bahan pembentuk otak, jaringan saraf, hormon steroid, garam-garaman empendu dan membran sel. Orang yang kesehatannya baik hendaknya tidak makan

Page 32

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

berlebihan. Sedangkan bagi yang telah menderita gangguan asam urat, sebaiknya membatasi diri terhadap hal-hal yang bisa memperburuk keadaan. Misalnya, membatasi makanan tinggi purin dan memilih yang rendah purin. Pengaturan diet sebaiknya segera dilakukan bila kadar asam urat melebihi 7 mg/dl dengan tidak mengonsumsi bahan makanan golongan A dan membatasi diri untuk mengonsmsi bahan makanan golongan B. Juga membatasi diri mengonsumsi lemak serta disarankan untuk banyak minum air putih. Apabila dengan pengaturan diet masih terdapat gejala-gejala peninggian asam urat darah, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter terdekat untuk penanganan lebih lanjut. Jumlah asupan kalori harus benar disesuaikan dengan kebutuhan tubuh berdasarkan pada tinggi dan berat badan. Penderita gangguan asam urat yang kelebihan berat badan, berat badannya harus diturunkan dengan tetap memperhatikan jumlah konsumsi kalori. Asupan kalori yang terlalu sedikit juga bisa meningkatkan kadar asam urat karena adanya badan keton yang akan mengurangi pengeluaran asam urat melalui urin Hal yang juga perlu diperhatikan, jangan bekerja terlalu berat, cepat tanggap dan rutin memeriksakan diri ke dokter. Karena sekali menderita, biasanya gangguan asam urat akan terus berlanjut. Tinggi karbohidrat Karbohidrat kompleks seperti nasi, singkong, roti dan ubi sangat baik dikonsumsi oleh penderita gangguan asam urat karena akan meningkatkan pengeluaran asam urat melalui urin. Konsumsi karbohidrat kompleks ini sebaiknya tidak kurang dari 100 gram per hari. Karbohidrat sederhana jenis fruktosa seperti gula, permen, arum manis, gulali, dan sirop sebaiknya dihindari karena fruktosa akan meningkatkan kadar asam urat dalam darah. Rendah protein Protein terutama yang berasal dari hewan dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah. Sumber makanan yang mengandung protein hewani dalam jumlah yang tinggi, misalnya hati, ginjal, otak, paru dan limpa. Asupan protein yang dianjurkan bagi penderita gangguan asam urat adalah sebesar 50-70 gram/hari atau 0,8-1 gram/kg berat badan/hari. Sumber protein yang disarankan adalah protein nabati yang berasal dari susu, keju dan telur.

Page 33

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Rendah lemak Lemak dapat menghambat ekskresi asam urat melalui urin. Makanan yang digoreng,

bersantan, serta margarine dan mentega sebaiknya dihindari. Konsumsi lemak sebaiknya sebanyak 15 persen dari total kalori. Tinggi cairan Konsumsi cairan yang tinggi dapat membantu membuang asam urat melalui urin. Karena itu, Anda disarankan untuk menghabiskan minum minimal sebanyak 2,5 liter atau 10 gelas sehari. Air minum ini bisa berupa air putih masak, teh, atau kopi. Selain dari minuman, cairan bisa diperoleh melalui buah-buahan segar yang mengandung banyak air. Buah-buahan yang disarankan adalah semangka, melon, blewah, nanas, belimbing manis, dan jambu air. Selain buah-buahan tersebut, buah-buahan yang lain juga boleh dikonsumsi karena buahbuahan sangat sedikit mengandung purin. Buah-buahan yang sebaiknya dihindari adalah alpukat dan durian, karena keduanya mempunyai kandungan lemak yang tinggi. Tanpa alkohol Berdasarkan penelitian diketahui bahwa kadar asam urat mereka yang mengonsumsi alkohol lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mengonsumsi alkohol. Hal ini adalah karena alkohol akan meningkatkan asam laktat plasma. Asam laktat ini akan menghambat pengeluaran asam urat dari tubuh. III.3. INFEKSIUS ARTHRITIS

Infeksius arthritis merupakan sebuah bentuk peradangan pada daerah sendi dengan penyebab bakteri.14 Bakteri yang sering menyebabkan peradangan di Indonesia merupakan Microbacterium toberculosa. Bakteri dapat masuk ke dalam sendi dapat melaui berbagai jalan termasuk lewat aliran darah selain aspirasi langsung pada cairan synovial. Bakteri yang terdapat di sendi akan memiliki dua kemungkinan yaitu akan mati difagosit oleh synovial lining cells. Pemakanan ini akan memunculkan reaksi antigen antibodi yang akan mengaktifkan jalur klasik. Apabila bakteri yang masuk ke sendi tersebut memiliki toksin, maka toksin tersebut akan mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif. Kemungkinan ketiga yaitu bakteri tersebut akan terfagosit oleh PMN, dimana dalam proses fagositosisnya

Page 34

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

akan mengeluarkan ke lingkungan sedikit enzim lisozomal. Ketiga faktor tersebut lah yang mengakibatkan inflamasi pada daerah sendi. Gejala klinis yang dapat terlihat pada penyakit infeksious arthritis adalah nyeri, bengkak, kaku, dan berwaran kemerahan pada sendi. Sendi yang terkena biasanya hanya nomoartrikular. Gejala lainnya yang pasti terjadi dan berdampak sistemik adalah deman. Dari beberapa gejala yang disebutkan diatas sesuai dengan gout. Pemeriksaan hitung leukosit yang didapatkan akan lebih dari 50.000/ml dengan PMN lebih dari 80%. Kenaikan yang tinggi ini jarang diketemukan pada penderita gout, walaupun pada sebagian penderita dapat terkena. Pada pemeriksaan ini glukosa dan LDH darah tidak begitu berguna. Gambaran radiologis yang didapatkan pada otot polos pada fase awal akan menunjukan adanya osteoporosis periartrikular, penyempitan celah sendi dan terdapat erosi. MRI akan lebih spesifik dibandingkan dengan foto polos pada stadium awal. MRI dapat lebih spesifik karena pada stadium awal akan terjadi pembengkakan dan pendesakan jaringan lunak dan sendi.
Yang Berisiko Mengembangkan Septic Arthritis

Ketika infeksi sendi adakalanya mempengaruhi orang-orang dengan faktor-faktor risiko yang mempengaruhi yang tidak diketahui, ia lebih umum terjadi ketika situasi-situasi risiko tertentu hadir. Risiko-risiko untuk perkembangan dari septic arthritis termasuk

mengkonsumsi obat-obat yang menekan sistim imun, penyalahgunaan obat intravena, penyakit sendi masa lalu, luka, atau operasi, dan penyakit-penyakit medis yang mendasarinya termasuk diabetes, alkoholisme, penyakit sel sabit, penyakit-penyakit rheumatik, dan kelainan-kelainan kekurangan imun. Orang-orang dengan yang mana saja dari kondisikondisi ini yang mengembangkan gejala-gejala dari septic arthritis harus segera mencari perhatian medis. Mendiagnosis Septic Arthritis Septic arthritis didiagnosis dengan mengidentifikasi cairan sendi yang terinfeksi. Cairan sendi dapat secara mudah dikeluarkan secara steril di ruang praktek, klinik, atau rumah sakit dengan suatu jarum dan penyemprot (suntikan). Cairan dianalisa di sebuah laboratorium untuk menentukan apakah ada suatu jumlah yang naik dari sel-sel darah putih yang menyarankan peradangan. Suatu kultur dari cairan sendi dapat mengidentifikasi mikroba tertentu dan menentukan kepekaannya terhadap suatu keragaman dari antibiotik-antibiotik. Studi-studi X-ray dari sendi dapat bermanfaat untuk mendeteksi luka dari tulang yang berdekatan pada sendi. MRI scanning adalah sangat sensitif dalam mengevaluasi kerusakan
Page 35

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

sendi. Tes-tes darah seringkali digunakan untuk mendeteksi dan memonitor peradangan. Testes ini termasuk jumlah sel darah putih, angka pengendapan (sedimentation rate), dan Creactive protein. Merawat Septic Arthritis Septic arthritis dirawat dengan antibiotik-antibiotik dan pengaliran dari cairan sendi (synovial) yang terinfeksi dari sendi. Secara optimal, antibiotik-antibiotik diberikan segera. Seringkali, antibiotik-antibiotik intravena diberikan dalam suatu penatalaksanaan rumah sakit. Pilihan-pilihan dari antibiotikantibiotik dapat dipandu oleh hasil-hasl dari kultur cairan sendi. Sampai hasil-hasil itu diketahui, antibiotik-antibiotik empiris dipilih untuk mencakup suatu batasan yang luas dari kemungkinan agent-agent infeksius. Adakalanya, konmbinasi-kombinasi dari antibiotikantibiotik diberikan. Antibiotik-antibiotik dapat diperlukan untuk empat sampai enam minggu. Pengaliran adalah penting untuk pembersihan yang cepat dari infeksi. Pengaliran dapat dilakukan dengan penyedotan-penyedotan yang teratur dengan sebuah jarum dan penyemprot (suntikan), seringkali setiap pagi, atau via prosedur-prosedur operasi. Arthroscopy dapat digunakan untuk mengalirkan sendi dan mengangkat jaringan pelapis sendi yang terinfeksi. Jika pengaliran yang cukup tidak dapat dipenuhi dengan penyedotan-penyedotan sendi atau arthroscopy, operasi sendi terbuka digunakan untuk mengalirkan sendi. Setelah arthroscopy atau operasi sendi terbuka, pipa-pipa saluran adakalanya ditinggalkan di tempat untuk mengalirkan kelebihan cairan yang dapat terkumpul setelah prosedur. Komplikasi-Komplikasi Septic Arthritis Pembersihan yang cepat dari infeksi adalah kritis untuk memelihara sendi. Jika antibiotikantibiotik yang tepat dimulai segera, integritas sendi dapat dipelihara, dan kembalinya ke fungsi diharapkan. Jika infeksi telah berjalan lama, kemungkinan dari kerusakan sendi ada. Kunci-kunci ke hasil yang sukses adalah perhatian medis dan pengaliran yang cepat dan pemberian antibiotik-antibiotik yang akurat yang padanya mikroba-mikroba yang menyerang adalah peka.

Page 36

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

III.4.

CARPAL TUNNEL SYNDROM

Penggunaan komputer secara rutin ternyata memicu Carpal Tunnel Syndrome (CTS). CTS adalah gangguan kesehatan dengan gejala kesemutan dan nyeri pada tangan, terutama pada 3 jari pertama (ibu jari, telunjuk, dan jari tengah).15 Gejala akan lebih terasa pada malam hari, atau saat seseorang berada dalam ruang ber-AC. Gejala itu disebabkan adanya pembengkakan saraf yang melewati terowongan karpal di pergelangan tangan. Penyakit ini dapat disembuhkan bila cepat ditangani. Gangguan ini kerap mendera individu yang sering menggunakan pergelangan tangan dalam jangka waktu lama, seperti; memegang mouse komputer. Hubungan dengan pekerjaan

Profesi yang berisiko besar terancam CTS antara lain jenis pekerjaan yang banyak menggunakan tangan dalam jangka waktu panjang. Pekerjaan yang dimaksud umumnya menggunakan kombinasi kekuatan dan pengulangan gerakan yang sama pada jemari dan tangan, seperti; pekerjaan yang sering memakai komputer, olahragawan, dokter gigi, musisi, guru, ibu rumah tangga dan pekerja lapangan yang mengoperasikan alat bervibrasi seperti bor.
Patofisiologi

Sebagian besar sindrom karpal tunner terjadi perlahan-lahan (kronis). Pada jaringan pelindung tendon yaitu tenosynovium membengkak, dicurigai karena cairan synovial yang berfungsi melindungi dan melumasi tendon tertimbun, terjadi juga penebalan fleksor retinakulum.15 Kedua keadaan ini akan menekan n.Medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama pada n.Medianus akan menyebabkan tekanan intrafasikuler meninggi. Keadaan ini menyebabkan perlambatan aliran vena. Kongesti ini lama-lama akan mengganggu nutrisi intrafasikuler, selanjutnya terjadi anoksia yang akan merusak endotel, menimbulkan kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini dapat menerangkan keluhan yang sering pada sindrom karpal tunner yaitu berupa rasa nyeri dan sembab terutama malam atau pagi hari, yang akan berkurang setelah tangan yang bersangkutan digerak-gerakan atau diurut, mungkin karena perbaikan dari gangguan vaskuler ini. Bila keadaan berlanjut terjadi fibrosis epineural dan merusak serabut saraf. Selanjutnya saraf menjadi atrofi dan diganti jaringan ikat sehingga fungsi n.medianus akan terganggu. Pada sindrom karpal tunner yang akut, biasa terjadi kompresi yang melebihi tekanan perfusi kapiler, sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi saraf. Saraf menjadi iskemik, terjadi

Page 37

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

peninggian tekanan fasikuler yang juga akan memperberat keadaan iskemik ini. Selanjutnya terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan edema yang menimbulkan terganggunya sawar darah saraf dan selanjutnya merusak saraf tersebut. Pengaruh mekanik/tekanan langsung pada saraf tepi dapat pula menimbulkan invaginasi nodus Ranvier dan demieliminasi setempat sehingga konduksi saraf terganggu. Selainnya dari faktor mekanik dan vaskuler ini mungkin ada keadaan lain yang membuat n.Medianus menderita dalam sindrom karpal tunner. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis sindrom karpal tunner kita harus mengetahui tanda dan gejalanya. Keluhan timbul berangsur-angsur, dan yang spesifik ialah: Rasa nyeri di tangan pada malam atau pagi hari. Penderita sering terbangun karena nyeri ini. Penderita biasanya berusaha sendiri mengatasi keluhannya misalnya dengan meninggikan letak tangannya, menggerak-gerakkan tangannya ataupun mengurutnya, ternyata dengan gerakan-gerakan itu keluhannya dapat mereda bahkan hilang. Keluhan juga berkurang jika pergelangan tangan banyak beristirahat dan sebaliknya keluhan menghebat pada pergerakan - pergerakan yang menyebabkan tekanan intrakanal meningkat. Lama - kelamaan keluhan ini makin sering dan makin berat bahkan dapat menetap pada siang dan malam hari. Rasa kebas, kesemutan, baal atau seperti terkena aliran listrik pada jari-jari. Biasanya pada jari jempol, telunjuk, tengah dan manis. Kadang tidak dapat dirasakan dengan pasti jari mana yang terkena atau dirasakan gangguan pada semua jari. Dapat pula terasa gangguan pada beberapa jari saja, misalnya jari ke 3 dan 4, tetapi tidak pernah keluhan timbul hanya pada jari kelingking saja, hal ini sesuai dengan distribusi dari n.medianus.15 Rasa nyeri kadang dapat terasa sampai ke lengan atas bahkan leher, tetapi rasa kebas, kesemutan dan baal hanya terbatas pada daerah distal pergelangan tangan saja. Bengkak, sembab dan kaku pada jari-jari, tangan dan pergelangan terutama pada pagi hari dan terdapat perbaikan setelah beraktifitas, walau kadang tidak terlihat jelas tetapi dirasakan penderita.

Page 38

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Gerakan jari - jemari kurang trampil misalnya waktu menyulam, menulis atau memungut benda kecil. Kadang pasien sering tidak sadar menjatuhkan benda yang dipegangnya. Bila terjadi pada anak - anak maka akan terlihat bahwa anak tersebut bermain hanya dengan mengunakan jari 4 dan ke 5 saja.

Otot telapak tangan yang makin lama semakin menciut juga sering dikeluhkan.
Pada pasien didapatkan keluhan telah lebih dari 10 tahun mengeluh nyeri dan sulit untuk

menggunakan jari-jemarinya, terutama pada tangan kiri. Awalnya keluhan hanya timbul saat pasien bekerja yaitu menjahit atau melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi lama kelamaan menetap. Keluhan ini juga dirasakan menjalar sampai ke bahu walau rasa baal dan bengkak hanya pada telapak tangan. Hampir setiap malam pasien mengeluh tangannya yang semakin sakit jika tidak sengaja tertindih atau tertekuk, keluhan ini awalnya mudah hilang jika tangan dikibaskan atau diurut. Untuk menegakkan diagnosis Sindroma Terowongan Karpal pada keluhan -keluhan tersebut, maka diperlukan pemeriksaan fungsi motorik, sensorik dan otonom pada tangan. Untuk itu dapat dilakukan beberapa pemeriksaan dan tes provokasi untuk mempertajam diagnosis.
1. Tes Phalen (Phalens test)

Penderita diminta untuk fleksi palmar secara maksimal. Bila sebelum 60 detik timbul rasa kebas, kesemutan atau seperti kena listrik pada daerah distribusi n.Medianus, tes dinyatakan positif. Banyak penulis yang menyatakan tes ini baik untuk diagnosis Sindroma terowongan karpal, dengan sensitifitas 75% dan spesifisitas 95%. (Pemeriksaan ini juga dilakukan serentak pada kedua tangan agar dapat dibandingkan). Walaupun Sindroma Terowongan Karpal banyak yang bilateral, tangan mana yang lebih dahulu positif dapat menentukan bahwa Sindroma Terowongan Karpal pada tangan tersebut lebih berat dari tangan yang satu lagi. (Tes ini tak dapat dinilai bila ada gangguan pergerakan sendi).15
2. Paresis otot (kekuatan, ketrampilan, ketepatan)

Dapat dinilai dengan manual atau alat khusus (dinamometer). Penderita diminta melakukan abduksi palmar secara maksimal, lalu mempertautkan ujung jari ke 1 dan ke 2, kemudian jari 1, 2 dan 3 serta jari 1 dan 5. Begitu juga kekuatan jepitan antara jari 1 dan 2. Dengan cara-cara ini kekuatan otot yang dipersarafi n.Medianus dapat dinilai satu persatu.
Page 39

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Untuk ketrampilan/ketepatan, dilihat cara penderita melakukan gerakan rumit, misalnya menyulam, menulis dan lain-lain.
3. Tes ekstensi pergelangan (Wrist extension test)

Rasa kebas, semutan atau seperti kena listrik pada daerah distribusi n.Medianus, dinyatakan tes positif hal ini dapat menyokong diagnosis Sindroma Terowongan Karpal. (sebaiknya pemeriksaan dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan). Bila ada gangguan pergerakan sendi (arthritis, ankylose dll) tes ini tak dapat dinilai.
4. Tes bendungan (Tourniquet test)

Dengan melakukan bendungan memakai alat pemeriksa tekanan darah (tensimeter) proksimal siku sedikit diatas tekanan sistolik. Bila dalam 60 detik timbul rasa kesemutan, kebas atau seperti kena listrik pada derah distribusi n.Medianus, tes dinyatakan positif hal ini menyokong untuk diagnosis Sindroma Terowongan Karpal. (Tes ini akan positif pula pada beberapa penyakit lain misalnya penyakit Raynaud).
5. Tes Tekanan (Pressure test)

Dengan memakai ibu jari, n.Medianus di pergelangan (tempat memeriksa tanda dari Tinel) ditekan dengan lembut. Bila dalam waktu < 120 detik timbul rasa kesemutan, kebas, seperti kena listrik ataupun nyeri di daerah distribusi n.Medianus dinyatakan tes positif, menyokong untuk diagnosis Sindroma Terowongan Karpal. (Pemeriksaan dilakukan serentak pada kedua tangan).
6. Pemeriksaan rongent, USG resolusi tinggi, CT scan dan MRI

Dapat membantu mengetahui kondisi dalam terowongan karpal. Tapi karena biaya pemeriksaan canggih ini cukup mahal, pemeriksaan ini hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu saja sebelum tindakan operasi.
7. Pemeriksaan neurofisiologi

Dengan melakukan pemeriksaan elektromiografi (EMG) dapat dinilai fungsi motoris dan sensoris suatu saraf. Bila terdapat gangguan setempat pada satu saraf, dapat ditentukan dimana lokasi gangguan (lesi) tersebut. Banyak teknik pemeriksaan EMG yang diajukan untuk pemeriksaan sindrom karpal tunner.

Page 40

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Penatalaksanaan Berhubung Sindroma Terowongan Karpal ini sering didasari oleh penyakit atau keadaan lain (10-50%), maka terapi ditujukan untuk Sindroma Terowongan karpal sendiri atau untuk penyakit serta keadaan lain yang mendasarinya.
Terapi Sindroma Terowongan Karpal

Konservatif 1. Pemasangan Bidai Pemasangan bidai di pergelangan tangan pada posisi netral, diharapkan pergelangan dapat istirahat secara fisiologis dan tekanan dalam terowongan karpal menjadi lebih minimal. Tergantung dari beratnya keluhan, bidai dipasang terus menerus atau malam hari saja selama 2 - 6 minggu. Pemasangan bidai malam hari sangat berarti bagi penderita yang sering tidur dengan fleksi pergelangan tangan. Pemakaian bidai ini efektif jika dilakukan dalam jangka tiga bulan sejak timbul keluhan. 2. Penyuntikan steroid ke dalam terowongan karpal Selain untuk terapi Sindroma Terowongan Karpal, penyuntikan steroid yang dapat menghilangkan atau mengurangi keluhan Sindroma Terowongan Karpal ini merupakan salah satu tes untuk menegakkan diagnosis Sindroma Terowongan Karpal. Penyuntikan steroid ke dalam terowongan karpal, diharapkan dapat mengatasi edema dalam terowongan karpal.15 Efek samping penyuntikan steroid : a. b. c. d. obat masuk ke saraf (nyeri) atrofi, hipopigmentasi, perdarahan robeknya tendon secara spontan radang lokal

3. Pengontrolan cairan misalnya diuretika Dengan berkurangnya cairan tubuh secara sistemik, maka diharapkan cairan di daerah terowongan karpal akan berkurang, hal ini akan mengurangi tekanan dalam terowongan karpal. 4. Anti inflamasi non steroid atau steroid Obat - obatan anti inflamasi baik steroid maupun non steroid akan mengurangi edema di dalam terowongan karpal.

Page 41

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

5. Estrogen Karena penderita Sindroma terowongan karpal terutama pada wanita diatas 40 tahun (menopause), Schiller dan Kolb menduga mungkin kekurangan estrogen akan mempengaruhi pertumbuhan jaringan ikat, sehingga mereka memberi estrogen pada pasien-pasiennya yang disebutnya sebagai suatu Sindroma menopause. Tapi pendapat ini ditentang oleh penulispenulis lain. 6. Vitamin Neurotropik Ellis, Folker dkk dan beberapa penulis lain menyatakan defisiensi pyridoxin merupakan salah satu faktor etiologi Sindroma Terowongan Karpal Sehingga memberikan pyridoxin sebagai terapi Sindroma Terowongan Karpal dan menurut mereka, hasilnya cukup memuaskan. Tapi penulis-penulis lain banyak pula yang menentang pendapat ini, apalagi karena pyridoxin yang berlebihan dapat pula menyebabkan neuropati (karena intoksikasi). Tapi menurut penulis yang setuju memakai pyridoxin, neuropati karena pyrodoxin ini hanya terjadi pada penderita yang telah mempunyai kecenderungan akan timbulnya neuropati. Dosis pyridoxin yang dianjurkan adalah 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Menurut Folker selain defisiensi pyridoxin pada Sindroma Terowongan Karpal terdapat pula defisiensi riboflavin. Terlepas benar atau salahnya teori defisiensi vitamin-vitamin ini pada Sindroma Terowongan Karpal sebagai pelengkap terapi neuropati. Kita selalu memberi vitamin kombinasi golongan B karena vitamin ini banyak mempengaruhi perbaikan-perbaikan saraf tepi yang rusak. Begitu juga mecobalamin disebut-sebut berguna untuk regenerasi saraf perifer. III.5. SINDROM REITER

III.5.1. Definisi Sindrom Reiter Sindroma Reiter merupakan peradangan pada sendi dan tendon (urat daging) yang melengkapinya, sering disertai dengan peradangan pada konjungtiva mata dan selaput lendir (misalnya di mulut, saluran kemih, vagina dan penis), dan ruam-ruam yang khas.16 Sindroma Reiter disebut artritis reaktif karena peradangan sendi muncul sebagai reaksi terhadap infeksi yang berasal dari bagian tubuh lainnya selain sendi. Terdapat 2 bentuk Sindroma Reiter: 1. Terjadi dengan penyakit menular seksual seperti infeksi klamidia, dan lebih sering terjadi pada laki-laki muda 2. Terjadi setelah infeksi saluran pencernaan, misalnya salmonelosis.

Page 42

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

III.5.2. Penyebab Sindrom Reiter Penyebab yang pasti dari sindroma Reiter tidak diketahui. Paling sering terjadi pada pria yang berusia kurang dari 40 tahun.16 Bisa timbul setelah terjadinya penyakit menular seksual atau infeksi disenterik karena Chlamydia, Campylobacter, Salmonella atau Yersinia. Faktor genetik kemungkinan berperan dalam terjadinya penyakit ini. III.5.3. Gejala Sindrom Reiter Gejalanya dimulai dalam 7-14 hari setelah terjadinya infeksi. Gejala awalnya sering berupa peradangan uretra (saluran yang membawa air kemih dari kandung kemih keluar tubuh). Pada laki-laki, peradangan ini menyebabkan nyeri dan keluarnya nanah dari penis. Kelenjar prostat bisa meradang dan nyeri. Gejala saluran kemih-kelamin pada wanita biasanya ringan, berupa keputihan ringan atau nyeri waktu berkemih. Konjungtiva (selaput yang melapisi kelopak mata dan bola mata) bisa menjadi merah dan meradang, menyebabkan rasa gatal atau rasa terbakar dan pengeluaran air mata yang berlebihan. Nyeri dan peradangan sendi bisa ringan atau berat. Beberapa sendi biasanya terkena, terutama lutut, sendi jari kaki dan daerah dimana tendon (urat otot) menempel ke tulang (misalnya tumit). Pada kasus yang lebih berat, nyeri dan peradangan bisa mengenai tulang belakang. Luka kecil yang tidak terasa nyeri bisa terjadi di mulut, lidah dan ujung penis. Kadang-kadang ruam yang khas dari bintik tebal dan keras, bisa timbul di kulit, terutama pada telapak tangan dan telapak kaki. Endapan kuning bisa terbentuk dibawah kuku jari tangan dan kuku jari kaki. Pada sebagian besar penderita, gejala awalnya menghilang dalam 3-4 bulan. Pada 50% penderita, artritis dan gejala lainnya muncul lagi setelah beberapa tahun. Jika gejalanya menetap atau sering kambuh, bisa terjadi kelainan bentuk pada sendi dan tulang belakang. III.5.4. Diagnosa Sindrom Reiter Adanya gabungan dari gejala-gejala pada sendi, alat kelamin, alat kemih, kulit dan mata mengarah kepada diagnosis penyakit ini. Karena gejala-gejala ini tidak muncul bersamaan,

Page 43

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

penyakit ini mungkin tidak terdiagnosis selama beberapa bulan. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat memperkuat diagnosis penyakit ini. Untuk mencoba menentukan organisme penyebab infeksi yang memicu sindroma ini bisa dilakukan pemeriksaan terhadap contoh dari uretra atau cairan sendi, atau biopsi sendi. III.5.5. Pengobatan Sindrom Reiter Antibiotik diberikan untuk mengobati infeksinya, tetapi pengobatan ini tidak selalu berhasil dan lamanya pemberian yang optimal tidak diketahui. Artritis biasanya diobati dengan obat anti peradangan non-steroid. Bisa juga digunakan obat imunosupresan, seperti sulfasalazin atau metotreksat. Kortikosteroid disuntikkan langsung ke dalam sendi yang meradang. Konjungtivitis dan luka di kulit tidak perlu diobati, tetapi peradangan mata yang berat mungkin memerlukan salep atau tetes mata kortikosteroid. III.6. OSTEOMYELITIS

Osteomyelitis pertama kali dikemukakan pertama kali oleh Nelaton (1834), disebut coined osteomyelitis.17 Osteomyelitis merupakan problem yang paling sering, namun sering terlewatkan karena manifestasinya hampir sama dengan infeksi jenis lain. Diagnosa awal sangat sulit, karena diagnosisnya di titik beratkan pada klinis sehingga sering terjadi osteomyelitis yang kronis. Edukasi yang baik kepada pasien sangat diperlukan. Berdasarkan waktunya, dibedakan menjadi:

Akut: beberapa hari sampai beberapa minggu, tanda inflamasi dan infeksi lokal, dengan gangguan pada ektrimitas, keadaan umum sakit berat dan bisa menunjukkan nyerinya dengan jelas di daerah tulang yang terkena infeksi dengan foto roentgen normal.

Kronis: lebih dari sepuluh hari, lowgrade inflamasi, tetapi mempunyai luka yang tidak sembuh-sembuh, ada nanah yang bersumber dari tulang, kemungkinan berupa vistel dengan nyeri minimal/tidak nyari, sedikit demam/tidak demam, dan tidak sembuh bila diberikan antibiotik. Foto roentgen tidak normal, tidak bisa diberikan antibiotik karena sudah terbentuk sequestrum (avaskular dari segmen tulang, diliputi pus/ jaringan granulasi infeksi) yang tata laksananya dengan operasi. Kemungkinan juga ditemukan involucrum (tulang baru terbentuk yang di dalamnya terdapat kuman). Cloacea, yang bisa tembus ke kulit membentuk vistel. Berdasarkan pathogenesis.
Page 44

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

III.6.1. Patofisiologi Osteomyelitis Infeksi yang berhubungan dengan osteomyelitis dapat terlokalisir dan menyebar di periosteum, korteks, sum-sum tulang, dan jaringan kansellosa.18 Bakteri patogen yang menginfeksi bergantung pada usia pasien dan mekanisme infeksi. Infeksi pada tulang dapat terjadi dengan dua mekanisme yaitu melalui aliran darah tulang dan melalui inokulasi langsung dari jaringan sekitar. Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan adanya bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada tulang yang berasal dari bakteri yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang yang mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak dan disebut dengan osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang paling sering terkena adalah metaphyse yang bervaskularisasi tinggi dan dalam masa perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan mudahnya terjadi thrombosis dan dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri. Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar terjadi akibat kontak langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat trauma atau post operasi. Mekanisme ini dapat terjadi oleh karena inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang terbuka, bakteri yang berasal dari jaringan sekitar tulang yang mengalami infeksi, atau sepsis setelah prosedur operasi. III.6.2.
Klasifikasi Osteomyelitis

Klasifikasi osteomyelitis berdasar dari beberapa kriteria seperti durasi dan mekanisme infeksi dan jenis respon host terhadap infeksi. Osteomyelitis berdasarkan durasi penyakit dapat diklasifikasi menjadi akut, subakut, dan kronik. Akan tetapi batas waktu untuk tiap klasifikasi masih belum tegas. Mekanisme infeksi dapat exogenous dan hematogenous. Osteomyelitis exogenous disebabkan oleh fraktur terbuka, operasi (iatrogenik), atau penyebaran infeksi dari jaringan lunak lokal.18 Jenis hematogenous terjadi akibat bakteremia. Osteomyelitis juga dapat dibagi berdasarkan respon host terhadap penyakit ini, pembagian tersebut adalah osteomyelitis pyogenik dan nonpyogenik. Cierny dan Mader mengajukan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronis berdasarkan kriteria faktor host dan anatomis.

Page 45

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Sistem klasifikasi yang lebih banyak digunakan adalah berdasarkan durasi (akut, subakut, dan kronis) dan berdasarkan mekanisme infeksi (exogenous dan hematogenous). III.6.3.
Diagnosis Osteomyelitis

Diagnosis osteomyelitis berdasar pada penemuan klinis, laboratorium, dan radiologi. Gold standar adalah dengan melakukan biopsi pada tulang yang terinfeksi untuk analisa histologis dan mikrobateriologis. Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan jaringan lunak, menentukan daerah yang mengalami nyeri, stabilitas abses tulang, dan evaluasi status neurovaskuler tungkai.18 Pemeriksaan laboratorium biasanya kurang spesifik dan tidak memberikan petunjuk mengenai derajat infeksi. ESR dan CRP meningkat pada kebanyakan pasien, akan tetapi WBC hanya meningkat pada 35% pasien. Terdapat banyak pemeriksaan radiologik yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi osteomyelitis kronik; akan tetapi, tidak ada teknik satupun yang dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis osteomyelitis. Pemeriksaan radiologik sebaiknya dilakukan untuk membantu konfirmasi diagnosis dan untuk sebagai persiapan penanganan operatif. Radiologi polos dapat memberikan informasi berharga dalam menegakkan diagnosis osteomyelitis kronik dan sebaiknya merupakan pemeriksaan yang pertama dilakukan. Tanda dari destruksi kortikal dan reaksi periosteal sangat mengarahkan diagnosis pada osteomyelitis. Tomography polos dapat berguna untuk mendeteksi sequestra. Sinography dapat dilakukan jika didapatkan jejak infeksi pada sinus. Pemindaian tulang dengan isotop lebih berguna pada osteomyelitis akut dibanding dengan bentuk kronik. Pemindaian tulang techentium 99m, yang memperlihatkan pengambilan yang meningkat pada daerah dengan peningkatan aliran darah atau aktivitas osteoblastik, cenderung memiliki spesifitas yang kurang. Akan tetapi pemeriksaan ini, memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk hasil yang negatif, walaupun negatif palsu telah dilaporkan. Pemindaian dengan Gallium memperlihatkan peningkatan pengambilan pada area dimana leukosit atau bakteria berakumulasi. Pemindaian leukosit dengan Indium 111 lebih sensitif dibanding dengan technetium atau gallium dan terutama digunakan untuk membedakan osteomyelitis kronik dari arthropathy pada kaki diabetik.

Page 46

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

CT scan memberikan gambaran yang sempurna dari tulang kortikal dan penilaian yang cukup baik untuk jaringan lunak sekitar dan terutama berguna dalam identifikasi sequestra. Akan tetapi, MRI lebih berguna dibanding CT scan dalam hal penilaian jaringan lunak. MRI memperlihatkan daerah edema tulang dengan baik. Pada osteomyelitis kronik, MRI dapat menunjukkan suatu lingkaran hiperintens yang mengelilingi fokus infeksi (rim sign). Infeksi sinus dan sellulitis tampak sebagai area hiperintens pada gambaran T2-weighted. Seperti yang sebelumnya dijelaskan, gold standard dari diagnosis osteomyelitis adalah biopsi dengan kultur atau sensitivitas. Suatu biopsi tidak hanya bermanfaat dalam menegakkan diagnosis, akan tetapi juga berguna menentukan regimen antibiotik yang akan digunakan. III.6.4.
Penatalaksanaan Osteomyelitis

Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi. Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada osteomyelitis tulang tengkorak. Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan instabilitas tulang.17,18 Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun tulang perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah perencanaan yang baik dan identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan MRI. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan untuk fase rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan myocutaneus. Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya, pemberian antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis kronik. Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1 minggu pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6 minggu.

Page 47

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan tulang dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai dengan bone graft untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous dengan transfer tulang yang bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya tidak memiliki vaskularisasi a. Graft Tulang Terbuka Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut : 1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi; 2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi dan mencegah terjadinya infeksi; 3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna; 4. Drainase yang adekuat; 5. Immobilisasi yang adekuat; 6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang. Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau untuk penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik.Operasi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut; (1) eksisi jaringan terinfeksi dengan atau tanpa stabilisasi dengan menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous autografting; dan (3) penutupan kulit.

Page 48

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

b.

Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA) Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan penggunaan antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi untuk penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar toksisitas dalam serum dan sistemik tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport. Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer; jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang. Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead; vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin, polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis antibiotik tersebut tidak dapat digunakan. Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan pada implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al melaporkan hasil yang bagus pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA bead. Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor. Kadar bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah impantasi dan setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap benda asing dan merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA juga terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang fagositik. Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam interval 72 jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup.

Page 49

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

c.

Transfer Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer) Transfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi

debridement luas dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga transfer jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah yang penting bagi mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan antibiotik dan penyembuhan osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik ini dilaporkan oleh literatur adalah sebesar 66% hingga 100%. Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik pada tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot soleus digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas dengan mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek sekitar 1/3 distal tibia. III.6.5.
Komplikasi Osteomyelitis

Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi yang tidak terkendali dan pemberian antibiotik yang tidak dapat mengeradikasi bakteri penyebab. Komplikasi osteomyelitis dapat mencakup infeksi yang semakin memberat pada daerah tulang yang terkena infeksi atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar bahkan ke aliran darah sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai berikut : Abses Tulang Bakteremia Fraktur Patologis Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic) Sellulitis pada jaringan lunak sekitar. Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.

III.6.6. Pencegahan Osteomyelitis Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan bakteri pada tulang dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan diagnosis yang tepat dan dini serta penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer. Osteomyelitis inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik, pembersihan daerah

Page 50

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna, dan pemberian antibiotik profilaksis yang agresif dan tepat pada saat terjadinya cedera. III.7. SYSTEMIC LUPUS ERYTEMATOSUS Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004). III.7.1. Etiologi Systemic Lupus Erytematosus Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLADR3. Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
Page 51

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000). Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas. The Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 44 tahun yang menderita SLE mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct miocard daripada wanita sehat. Penyebab peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi endotelial, mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari SLE). Dari suatu hasil penelitian menunjukkan penyebab mortalitas 144 dari 408 pasien dengan SLE yang dimonitor lebih dari 11 tahun adalah lupus yang akif (34%), infeksi (22%), penyakit jantung (16%), dan kanker (6%) (Bartels, 2006). III.7.2. Klasifikasi Systemic Lupus Erytematosus Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. a. Discoid Lupus Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritem yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005). b. Systemic Lupus Erythematosus SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
Page 52

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998). c. Lupus yang diinduksi oleh obat Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).
Definitely Hidralazin Possible Antikonvulsan Propitiourasil Unlikely Griseofulvin

Prokainamid Isoniazid Klorpromazin Metildopa

Fenitoin Karbamazepin Asam valproat Etosuksimid -bloker Propranolol Metoprolol Labetalol Acebutolol Kaptropil Lisinopril Enalapril Kontrasepsi oral

Metimazol Penisilinamin Sulfasalazin Sulfonamid Nitrofurantoin Levodopa Litium Simetidin Takrolimus

Penisilin Garam emas

Page 53

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

III.7.3. Patofisiologi Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998). Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcRIIA dan FcRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003). Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor V3, CD36,
Page 54

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001). III.7.4. Kriteria Systemic Lupus Erytematosus Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu : 1. 2. Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi. Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut. 3. 4. 5. Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari. yang

Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri. Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi.

6.

Serositis Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura. Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.

7.

Kelainan ginjal Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+ Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.

8. 9.

Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab. Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm3), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.

10.

Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid

Page 55

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

11.

Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente, 2002).

III.7.5. Data Laboratorium Systemic Lupus Erytematosus Anti ds-DNA Batas normal : 70 200 IU/mL Negatif Positif : < 70 IU/mL : > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman). Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodiantigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002). Tes Laboratorium lain Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

Page 56

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

III.7.6. Manifestasi Klinis Systemic Lupus Erytematosus Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002). Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud. Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002). Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002). Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002). Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi
Page 57

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002). III.7.7. Tinjauan Tentang Pengobatan SLE Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000). Terapi nonfarmakologi Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).

Page 58

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Terapi farmakologi Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien. NSAID NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002). Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak

direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000). NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat
Page 59

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal, 2002). Oleh karena itu penggunaan NSAID sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung. Dengan menghambat prostaglandin, NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam lambung dan menyebabkan ulserasi. (Neal, 2002). Karena efek samping tersebut di atas maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif (Rahman, 2001). Kortikosteroid Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (10 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah
Page 60

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001). Siklofosfamid Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit. Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000). Obat lain Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi. Azatioprin Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 3 mg/kg BB

Page 61

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan guanin melalui supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst, 1994). Pada penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001). Apabila penyakitnya sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah mungkin setelah itu baru dilakukan tapering azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan monitoring fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal et al., 2000). Azatioprin diserap baik di saluran cerna dan dimetabolisme menjadi merkaptopurin. Efek imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dan masih berlanjut ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada hubungan antara konsentrasi dalam serum dengan efetivitas atau toksisitasnya. Merkaptopurin dan sejumlah kecil obat dalam bentuk utuh diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 4,2 menit, sedangkan merkaptopurin 0,9 0,37 jam (Katzung, B.G., 2006). Azatioprin mempunyai efek samping pada saluran cerna dan supresi sumsum tulang. Apabila supresi sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan atau dosisnya dikurangi. Blood count harus dimonitor secara rutin. Pada pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko hematopoitik dan kanker limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster, kemandulan, hepatotoksik (Herfindal et al., 2000). Metotreksat Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5 15 mg secara oral satu kali seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi obat bervariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan secara luas ke dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif dengan konsentrasi terbesar berada dalam ginjal, limpa, hati, kulit, dan saluran kemih. Lebih dari 90% dari dosis oral diekskresikan melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam waktu 24 jam. t1/2 metotreksat pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah 3-10 jam sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15 jam (McEvoy, 2002). Efek samping metotreksat meliputi defisiensi asam folat, gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau dispepsia, teratogenik (Brooks, 1995).

Page 62

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Intravena gamma globulin Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma Gillae-Barre, miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain. Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan fungsi reseptor Fc, menganggu aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan sel B. Komponenkomponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang utuh, IgA, CD4, CD8, molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine and Kaveri, 2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB (Katzung, 2006). Intravena gamma globulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002). Efek samping intravena imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit kepala, urtikaria, hipertensi, dll. (McEvoy, 2002). Terapi hormon Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001). IV. DIAGNOSIS KERJA : RHEMATOID ARTRITIS Criteria Diagnosis Artritis Reumatoid Kriteria diagnostic AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite khusus dari American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena criteria tersebut dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam klinik, komite tersebut melakukan peninjauan kembali terhadap criteria klasifikasi AR pada tahun 1958.19 Dengan criteria tahun 1958 ini seseorang dikatakan menderita AR klasik jika memenuhi 7 dari 11 kriteria yang ditetapkan, definit jika memenuhi 5 kriteria, probable jika memenuhi 3 kriteria dan possible jika hanya 2 kriteria. Walaupun criteria tahun 1958 ini telah digunakan

Page 63

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

selama hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan yang pesat mengenai AR, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan criteria tersebut banyak dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat memasukkan artritis lain seperti

spondyloarthropathy seronegatif, penyakit pseudorheu-matoid akibat deposit calcium pyrophosphate dehydrate, lupus eritematosus sistemik, polymyalgia rheumatic, penyakit lyme dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai AR. Pembagian AR sebagai classic, definite, probable, dan possible, secara klinis juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek sehari hari tidak perlu dibedakan penatalaksanaan AR yang classic dari AR definite.19 Selain itu seringkali pasien yang terdiagnosis sebagai penderita AR probable ternyata menderita penyakit artritis yang lain. Walaupun peranan factor rheumatoid dalam pathogenesis AR belum dapat diketahui dengan jelas, dahulu dianggap penting untuk memisahkan kelompok pasien seropositif dari seronegatif. Akan tetapi pada faktanya, factor rheumatoid seringkali tidak dapat dijumpai pada stadium dini penyakit atau pembentukannya dapat ditekan oleh disease modifying antirheumatic drugs (DMARD). Selain itu spesifitas factor rheumatoid ternyata tidak dapat diandalkan karena dapat pula dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua criteria tahun 1958 yang lain seperti analisis bekuan musin dan biopsy membrane synovial memerlukan prosedur invasive tidak praktis untuk digunakan dalam diagnosis rutin.

Kriteria No Kaku pagi hari 1

Definisi Kekakuan pada pagi hari pada persendian & sekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal

Artritis pada 3 daerah Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih 2 persendian lebih efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-

kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang dokter Artritis pada persendian Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian 3 tangan Artritis simetris 4 tangan seperti yang tertera di atas Keterlibatan sendi yang sma (seperti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah sisi (keterlibatan PIP, MCP

Page 64

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris) Nodul reumatoid 5 Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservasi oleh seorang dokter Faktor reumatoid serum Terdapat titer abnormal faktor reumatoid serum yang 6 positif diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa Perubahan 7 radiologis gambaran Perubahan gambaran radiologis yang radilogis khas bagi artritis reumatoid pada pemeriksaan sinar-x tangan posterior atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi

(perubahan akibat osteoartritis saja tidak memenuhi persyaratan) Dengan menggabungkan variable yang paling sensitive dan spesifik pada 262 pasien AR dan 262 pasien control, pada 1987 ARA berhasil dilakukan revisi susunan criteria klasifikasi rheumatoid artritis dalam format tradisional yang baru. Susunan criteria tersebut adalah sebagai berikut :19 Kaku pagi Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih Artritis pada persendian tangan Artritis simetris Nodul rheumatoid Factor reumatois serum positif Perubahan gambaran radiologis Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya criteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu. V. ETIOLOGI RHEMATOID ARTRITIS Walaupun factor penyebab maupun patogenenesis AR yang sebenarnya hingga kini tetap belum diketahui dengan pasti, factor genetic seperti produk kompleks histokompatibilitas
Page 65

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

kelas II (HLA-DR) dan beberapa factor lingkungan telah lama diduga berperanan dalam timbulnya penyakit ini. I. Kompleks Histokompatibilitas Utama kelas II Telah lama diketahui bahwa AR lebih sering dijumpai pada kembar monozygotic dibanding dari kembar dizygotic. Akan tetapi bukti terkuat yang menunjukkan bahwa AR memiliki presdiposisi genetic diketahui dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (MHC Class II Determinants), khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengemban HLA-DR4 memiliki resiko relative 4:1 untuk menderita penyakit ini. Molekul antigen MHC Class II dapat dideteksi secara serologis, baik dengan cara mencampurkan limfosit pasien dengan antiodi humoral terhadap HLA tertentu atau dengan melakukan mixed lymphocyte culture (MLC). Dengan cara MLC saat ini sekurang kurangnya telah diketahui terdapat 5 subtype dari HLA-DR4 yaitu Dw4,Dw10, Dw13, Dw14 dan Dw15. Perbedaan subtype HLA-DR4 ini ditentukan oleh susunan rantai polipeptida pada variable domain 1. Kerentanan populasi manusia terhadap AR ternyata berbeda pada berbagai ras. Pada orang kulit putih kerentanan terhadap AR diketahui berhubungan dengan subtype Dw4 dan orang Jepang berhubungan dengan Dw15. Berbeda dengan pola yang lazim, selain berhubungan dengan Dw10, kerentanan bangsa Yahudi terhadap AR ternyata tidak berhubungan dengan HLA-DR4 akan tetapi HLA-DR1. Hal ini dapat diterangkan karena HLA-DR1 ternyata memiliki susunan rantai polipeptida variebel domain 1 yang identik dengan subtype Dw14. II. Hubungan Hormon Seks dengan Artrititis Reumatoid Berbagai observasi telah menimbulkan dugaan bahwa hormone sex merupakan salah satu factor predisposisi penyakit ini. Sebagai contoh, pravalensi AR diketahui 3 kali lebih banyak diderita kaum wanita dibandingkan dari kaum wanita dibandingkan kaum pria. Rasio ini dapat mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur. Demikian pula remisi seringkali dijumpai pada pasien AR yang sedang hamil. Akan tetapi, walaupun masih banyak kontroversi dalam hal ini, beberapa observasi telah menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral atau penggunaan preparat estrogen eksternal bagi wanita yang telah mengalami menopause menimbulkan kesan terjadinya penurunan insidens penyakit ini. Walaupun demikian, dari meta-analisis yang dilakukan oleh Romieu dan kawan kawan telah dapat disimpulkan bahwa walaupun penggunaan kontraseptif oral mengesankan adanya suatu efek protektif terhadap terjadinya AR, secara statistic hal ini tidak bermakna.
Page 66

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

III.

Factor Infeksi Sebagai Penyebab Artritis Reumatoid Sejak tahun 1930, factor infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Pada saat itu

Nanna Svartz seorang ahli dari Swedia telah menciptakan sulfasalazine (salicyl-azosulfapyridine) yang terdiri dari gabungan dua konstituen kimia yaitu sulphapyridine yang bersifat antimikroba dan asam 5-aminosalisilat yang memiliki khasiat seperti obat antiinflamasi non-steroid. Dugaan factor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul dugaan kuat bahwa penyakit ini sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga penyebab AR antara lain adalah bakteri, mycoplasma, dan virus. Walaupun hingga saat ini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan synovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin

mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR. Pada percobaan binatang telah dibuktikan bahwa Mycoplasma arthritidis dapat menimbulkan gejala artritits pada kelinci dan virus HTLV-1 dapat menimbulkan artropati inflamatif pada tikus. Pada manusia, gejala artritis dapat pula dijumpai pada pasien hepatitis B atau demam reumatik. Akhir akhir ini, virus Epstein-Barr (EBV) telah banyak menarik perhatian para ahli. Pada pasien yang mengalami infeksi EBV, seringkali dijumpai gejala atralgia, walaupun jarang dijumpai gejala artritis yang jelas. Akan tetapi, karena pada beberapa penelitian dijumpai titer antibody terhadap EBV yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dari kelompok control dan secara in vitro dan telah terbukti bahwa transformasi limfosit terjadi lebih cepat setelah dilakukan pemaparan terhadap EBV, timbul dugaan kuat bahwa EBV merupakan salah satu factor penyebab AR. Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa walaupun EBV bukan merupakan penyebab langsung darri timbulnya AR, kemungkinan bahwa EBV menyebabkan terjadinya perubahan respons imun terhadap antigen eksogen atau endogen lain belum dapat disingkirkan. Infeksi virus rubella dapat pula menimbulkan berbagai manifestasi artikular, yang walaupun jarang dapat pula menimbulkan berbagai gejala poliartritis simetris kronik.

Page 67

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Walaupun demikian hingga kini belum terbukti bahwa virus rubella merupakan salah satu factor penyebab timbulnya AR. VI. EPIDEMIOLOGI RHEMATOID ARTRITIS Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik. Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3 sampai 2,1 persen).Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1.Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur. Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita. Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan 600.000 pria. VII. MANIFESTASI KLINIS RHEMATOID ARTRITIS Walaupun gejala AR dapat timbul berupa serangan akut yang berkembang cepat dalam beberapa hari, pada umumnyagejala penyakit ini berkembang secara perlahan dalam masa beberapa minggu. Dalam keadaan dini, AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic rheumatism, yaitu timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul yang berlangsung antara 3-5 hari dan diselingi dengan masa remisi sempurna sebelumbermanifestasi sebagai pauciartcular rheumatism, yaitu gejala poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran klinis seperti ini seringkali menyebabkan kesukaran dalam menegakkan diagnosis AR dalam masa dini. Manifestasi Artikular Manifestasi artikular AR dapat dibagi menjadi 2 kategori : gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversible. Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel.20 Adalah sangat penting untuk membedakan kedua hal ini karena penatalaksanaan klinis kedua kelainan tersebut sangat berbeda. Sinovitis merupakan kelainan yang umumnya bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau pengobatan non-surgikal lainnya. Pada pihak lain kerusakan struktur persendian akibat kerusakan rawan sendi atau erosi tulang periartikular merupakan proses yang tidak dapat diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi mekanik atau pembedahan rekonstruktif.

Page 68

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku pada pagi hari. Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai pada AR aktif. Berbeda dengan rasa kaku yang dapat dialami oleh pasien osteoartrosis atau kadang kadang oleh orang normal, kaku pagi hari pada AR berlangsung lama, yang pada umumnya lebih dari 1 jam. Lamanya kaku pagi hari pada AR agaknya berhubungan dengan lamanya imobilisasi pada saat pasien sedang tidur serta beratnya inflamasi. Gejala kaku pagi hari akan menghilang jika remisi dapat tercapai. Factor lain penyebab kaku pagi hari adalah inflamasi akibat sinovitis. Inflamasi akan menyebabkan terjadinya imobilisasi persendian yang jika berlangsung lama akan mengurangi pergerakan sendi baik secara aktif maupun secara pasif. Otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan cenderung untuk mengalami spasme dan pemendekan. Fenomena ini terutama jelas terlihat pada otot intriksik tangan yang berjalan sepanjang persendian metacarpophjalangeal, (MCP) dan otot peroneus anterior yang berjalan sepanjang persendian talonavikularis pada arkus pedis. Deformitas persendian pada AR dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus. Sinovitis akan menyebabkan kerusakan rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga menyebabkan terbentuknnya permukaan sendi yang tidak rata. Jika kerusakan rawan sendi terjadi pada daerah yang luas dan imobilisasi berlangsung lama, akan terjadi fusi tulang tulang yang membentuk persendian. Lebih jauh pannus yang menginvasi jaringan kolagen serta proteoglikan rawan sendi dan tulang dapat menghancurkan struktur persendian sehingga terjadi ankilosis. Ligament yang dalam keadaan normal berfungsi untuk mempertahankan kedudukan persendian yang stabil dapat pula menjadi lemah akibat sinovitis yang menetap atau pembentukan pannus yang memilki kemampuan melarutkan kolagen tendon, ligament, atau rawan sendi. Gangguan stabilitas persendian dapat jelas terlihat pada subluksasio persendian MCP akibat terjadinya perubahan arah gaya tarik tendon sepanjang aksis rotasi sehingga menyebabkan terbentuknya deviasi ulnar yang khas pada AR. Walaupun peran sinovitis dalam menyebabkan deformitas persendian berlaku bagi semua persendian, terdapat beberapa aspek khusus yang berhubungan dengan sendi tertentu. Vertebra Servikalis Walaupun AR jarang melibatkan segmen vertebralis lainnya, vertebra servikalis merupakan segmen yang seringkali terlibat pada AR. Proses inflamasi ini melibatkan persendian diartrodial yang tidak tampak atau teraba oleh pemeriksaan. Gejala dini AR pada vertebra servikalis umumnya bermanifestasi sebagai kekakuan pada seluruh segmen leher disertai dengan berkurangnya ruang lingkup gerak sendi secara menyeluruh. Tenosinovitis
Page 69

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

ligament transvesum C1 yang mempertahankan kedudukan prosesus odontoid yang menyebabkan pengenduran dan rupture ligament sehingga menimbulkan penekanan pada medulla spinalis. Gangguan stabilitas sendi akibat peradangan dan kerusakan pada permukaan sendi apofiseal dan pengenduran ligament juga dapat menyebabkan terjadinya subluksasio yang sering terjadi pada C4-C5atau C5-C6. Gelang Bahu Peradangan pada gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi gelang bahu. Karena dalam aktivitas sehari hari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak yang luas, umumnya pada keadaan dini pasien tidak merasa terganggu dengan keterbatasan tersebut. Walaupun demikian, tanpa latihan pencegahan akan mudah terjadi kekakuan gelang bahu yang berat yang disebut frozen shoulder syndrome Siku Karena terletak superficial, sinovitis artikulasio kubiti dapat dengan mudah teraba oleh pemeriksa. Sinovitis dapat menimbulkan penekanan pada nervus ulnaris sehingga menimbulkan gejala neuropati tekanan. Gejala ini bermanifestasi sebagai parestesia jari 4 dan 5 akan kelemahan otot fleksor jari 5. Tangan Berlainan dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relative jarang ditemui, keterlibatan persendian pergelangan tangan , MCP dan PIP hampir selalu dijumpai pada AR. Gambaran swan neck deformities akibat fleksi kontraktur MCP, hperekstensi PIP dan fleksi DIP serta boutonniere akibat kontraktur otot serta tendon fleksor dan introseus merupakan deformitas patognomonik yang banyak dijumpai pada AR. Selain gejala yang behubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat dijumpai nyeri atau disfungsi persendian akibat penekanan nervus medianus yang terperangkap dalam rongga karpalis yang mengalami sinovitis sehingga menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome. Walaupun jarang, nervus ulnaris yang berjalan dalam canal Guyon dapat pula mengalami penekanan dengan mekanisme yang sama. AR dapat pula menyebabkan terjadinya tenosinovitis akibat pembentukan nodul rheumatoid sepanjang sarung tendon yang dapat menghambat gerakan tendon dalam sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat menyebabkan terjadinya erosi tendon dan mengakibatkan terjadinya rupture tendon yang terlibat. Panggul Karena sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul akibat AR sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan sendi panggul mungkin hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak yang tidak jelas atau atau gangguan ringan
Page 70

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

pada kegiatan tertentu seperti saat mengenakan sepatu. Walaupun demikian, jika destruksi rawan sendi telah terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan berkembang lebih cepat dibandingkan gangguan pada persendian lainnya. Lutut Penebalan synovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada permukaan. Herniasi kapsul sendi kea rah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker. Kaki dan Pergelangan Kaki Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan pergelangan kaki merupakan gambaran yang khas AR. Karena persendian kaki dan pergelangan kaki merupakan struktur yang menyangga berat badan, keterlibatan ini akan menimbulkan disfungsi dan rasa nyeri yang lebih berat dibandingkanketerlibatan ekstremitas atas. Peradangan pada sendi talonavikularis akan menyebabkan spasme otot yang berdekatan sehingga menimbulkan deformitas berupa pronasio dan eversio kaki yang khas pada AR. Walaupun jarang, nervus tibilais posterior dapat pula mengalami penekanan akibat sinovitis pada rongga tarsal (tarsal tunnel) yang dapat menimbulkan gejala parestesia pada telapak kaki. Manifestasi Ekstraartikular Kulit Walaupun jarang dijumpai di Indonesia, di Negara barat nodul rheumatoid merupakan gejala AR yang patognomonik. Nodul rheumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah kulit terutama pada lokasi yang banyak menerima tekanan, seperti olekranon, permukaan eksternsor lengan dan tendon Achilles. Vaskulitis seringkali bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis pada kulit dan nekrosis kkuku. Jika vaskulitis menyebabkan iskemia pada daerah yang cukup luas, kelainan ini dapat menyebabkan terbentuknya gangrene atau ulkus terutama pada ekstremitas bawah. Mata Kelainan mata yang sering dijumpai pada AR adalah kerato konjungtivis sicca yang merupakan manifestasi sindrom sjogren. Pada keadaan dini gejala ini seringkali tidak dirasakan oleh pasien. Untuk itu pada pasien AR kemungkinan terdapatnya kelainan mata harus selalu dicari secara aktif agar kerusakan mata yang berat dapat dicegah. Pada AR umumnya dapat dijumpai beberapa episode episkleritis yang umumnya sangat ringan dan akan sembuh secara spontan. Walaupun demikian, dapat pula terjadi gejala skleritis yang

Page 71

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

secara histologist menyerupai nodul rheumatoid dan dapat menyebabkan erosi sclera sampai pada lapisan koroid serta menimbulkan gejala skleromalasia perforans yang dapat menyebabkan gejala. Sisitem Respiratorik Peradangan pada sendi krkoaritenoid tidak jarang dijumpai pada paien AR. Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapar berupa nyeri tenggorokan, nyeri menelan atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari. Walaupun jarang menunjukkan gejala klinis yang berat, paru merupakan organ yang sering terlibat dalam AR. Umumnya keterlibatan paru yang ringan hanya dapat diketahui dari hasil autopsy berupa pneumonitis interstisia. Akan tetapi pada AR yang lanjut dapat pula ditemukan efusi pleura dan fibrosis paru yang luas. System Kardiovaskular Seperti halnya pada system respiratorik, pada AR jarang dijumpai gejala perikarditis berupa nyeri dada dan gangguan faal jantung. Namun demikian pada beberapa pasien dapat pula dijumpai perikarditis konstruktif yang berat. Lesi inflamatif yang menyerupai nodul dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomen embolissi, gangguan konduksi, aortitis, dan kariomiopati. System Gastrointestinal Umumnya pada AR tidak pernah dijumpai kelainan traktus gastrointestinal yang spesifik selain daripada xorostomia yang berhubungan dengan sindrom sjorgen atau komplikasi gastrointestinal akibat vaskulitis. Kelaina gastrointestinalis yang sering dijumpai pada AR adalah gastritis dan ulkus peptic yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit disease modifying anti rheumatoid drugs (DMARD) yang merupakan factor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada AR. Ginjal Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik, pada AR jarang sekali d ijumpai kelainan glomerular, jika pada pasien AR dijumpai proteinuria, umumnya kejadian tersebut lebih disebabkan karena efek samping pengobatan seperti garam emas dan d- penisilamin atau
Page 72

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

terjadi sekunder akibat amiloidosis. Walau[un kelainan ginjal interstisisal dapat dijumpai pada sindrom sjorgen, umumnya kelainan tersebut lebih banyak berhubungan dengan penggunaan OAINS. Penggunaan OAINS yang tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan nekrisis papilar ginjal. System Syaraf Komplikasi neurologis yang sering dijumpai pada AR umumnya tidak memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi neurologis akibat lesi artikuler dari lesi neuropatik. Pathogenesis komplikasi neurologis pada AR umumnya berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas vertebra, servikal, neuropati jepitan atau neuropati iskemik akibat vaskulitis. System Hematologis Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit normositiknormokromik (hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar besi serum yang rendah serta kapasitas pengikatan besi yang normal atau rendah merupakan gambaran umum yangs sering dijumpai pada AR. Anemia akibat penyakit kronik ini harus dibedakan dari anemia defisiensi besi yang dapat juga dijumpai pada AR akibat pengguanaan OAINS dan DMARD yang menyebabkan erosi mukosa lambung. Pada pasien AR yang berat dengan HLA-DR, positif sering dijumpai sindrom felty yang merupakan gabungan dari gejala AR, splenomegali, leucopenia dan ulkus pada tungkai. Sindrom felty umumnya juga sering disertai dengan limfadenopati dan trombositopenia. Selain sindrom Felty, trombositopenia juga dapat timbul sebagai komplikasi akibat penekanan sumsum tulang pada penggunaan obat imunosupresif atau berhubungan dengan proses autoimun pada penggunaan garam emas, d- penisilamin atau sulfasalazin. VIII. PATOFISIOLOGI RHEMATOID ARTRITIS Pathogenesis AR dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada membrane synovial. Pada membrane synovial tersebut, antigen tersebut akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel denritik atau makrofag dan semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membrane selnya. Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada CD4+ suatu subset sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Untuk memungkinkan terjadinya aktivasi CD4+,
Page 73

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

sel tersebut harus mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membrane APC.20 Proses aktivasi CD4+ ini juga dibantu oleh interleukin-1 (IL-1) yang disekresi oleh monosit atau makrofag. Pada tahap selanjutnya, antigen, determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membrane APC dan CD4+ akan membentuk suatu kompleks antigen trimolekuler. Kompleks antigen trimolekuler tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oleh CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptornya dan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkungan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti -interferon, tumor necrosis factor (TNF-), IL-3, IL-4 (B-cell differentiating factor), granulocyte/macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B untuk memproduksi antibody. Produksi antibody oleh sel B ini juga dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4 yang disekresi oleh sel CD4+ yang telah teraktivasi. Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibody yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun pada membrane synovial akan menyebabkan aktivasi system komplemen dan membebaskan komplemen C5a. Komplemen C5a merupakan factor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vascular juga menarik lebih banyak sel PMN yang memfagositir komplek imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi mast cells dan pembebasan radikal oksigen, leukotriene, enzim lisosomal, prostaglandin, collagenase dan stromelysin yang semuanya bertanggung jawab atas tejadinya infamasi dan kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hyaluronate sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi serta juga merusak jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Walaupun leukotrien LTB4 diketahui menyebabkan terjadinya migrasi dan agregasi neutorfil yang kuat, akn tetapi peranan LTB4 pada pathogenesis AR belum dapat dijelaskan dengan pasti. Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-. Akan tetapi karena PGE2 juga menghambat sekresi IL-2 dan -interferon, PGE2 juga memiliki efek anti inflamasi. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T ke dalam membrane synovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling
Page 74

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

bersifat destruktif pada pathogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang berproliferasi dan jaringan mikrovaskular. Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta tulang sehingga dapat menghancurkan struktur persendian. Jika proses pembentukan pannus tidak terhenti baik karena pengobatan atau terjadinya remisi spontan, proses ini akan menyebabkan terjadinya ankilosis. Pembentukan pannus juga mengakibatkan terjadinya peningkatan ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang merupakan tempat perlekatan sel mononucleus pada sel endotel mikrovaskular. Ekspresi ICAM-1 pada sel endotel kapiler synovial mengakibatkan terjadinya peningkatan adhesi sel mononucleus pada endothel kapiler. Walaupun pada AR terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan adhesi sel mononuclear, tidak semua subset sel T mengalami migrasi dari kapiler synovial. Hanya fenotip sel T tertentu saja yang keluar dari kapiler synovial yaitu subset CD4+, CD45RO, dan CD29 bright. Peristiwa di atas menunjukkan bahwa pengenalan antigen AR terjadi setelah sel T tersebut meninggalkan thymus. Terdpatnya reseptor MHC Class II seperi HLA-DR,DQ, DP pada permukaan sel T bersama dengan adanya very late antigen type I (VLA-1) menunjukkan bahwa aktivitas dan proliferasi sel T terjadi secara local. Dari penemuan ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas sel T mungkin dicetuskan oleh suatu antigen yang tidak diketahui, APC atau kompleks peptide trimolekuler dalam ruang sendi yang mengakibatkan terjadinya sinovitis pada AR. Rantai Peristiwa imunologi ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Berlangsung terusnya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan karena terbentuknya factor rheumatoid. Factor rheumatoid adalah suatu autoantibody terhadap epitope fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70% sampai 90% pasien AR. Bagaimana suatu immunoglobulin dapat berubah sifatnya menjadi antigen, hal ini belum dapat diterangkan dengan jelas. Factor rheumatoid juga dapat berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Terbentuknya autoantibody terhadap collagen type II baik yang bersifat native ataupun yang telah mengalami denaturasi dapat pula mengekalkan terjadinya peradangan dengan mekanisme yang sama.

Page 75

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

IX.

PENATALAKSANAAN RHEMATOID ARTRITIS Konsep Pengobatan RA Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada pasien AR ditujukan untuk : Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik local maupun sistemik. Mencegah terjadinya destruktif jaringan. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik. Mengembalkan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat mungkin normal kembali. Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuhkan pendekatan multidisipliner. Suatu tim yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi,ahli okupasional, pekerja social, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing masing dalam pengelolaan pasien AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan penyakit ini. Pertemuan berkala yang teratur antara pasien dan keluarganya dengan tim pengobatan ini umumnya akan memungkinkan penatalaksanaan paien menjadi lebih baik dan juga akan meningkatkan kepatuhan pasie untuk berobat. Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama. Peranan Pendidikan Dalam Pengobatan RA Penerangan tentang kemungkinan factor etiologi, pathogenesis, riwayat alamiah penyakit da penatalaksanaan AR kepada pasien merupakan hal yang amat penting untuk dilakukan. Dengan penerangan yang baik mengenai penyakitnya, psien AR diharapkan dapat melakukan control atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu akibat penyakit ini. Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini pada pasien AR. Salah satu yang banyak dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah The Arthritis Self Management Program, yang diperkenalkan oleh Lorig dan kawan kawan dari Stanford University. Peningkatan pengetahuan pasien tentang penyakitnya telah terbukti akan meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri yang dialaminya.

Page 76

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

Pengobatan RA Berbeda dengan trend pada decade yang lalu, saat ini banyak diantara para ahli penyakit reumatik yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional yang menggunakan piramida terapeutik. Beberapa ahli bahkan menganjurkan untuk menggunakan pendekatan step down bridge dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai pada saat yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah dapat terkontrol. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang tepat hanya dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa dini penyakit. I. Penatalaksanaan OAINS Dalam Pengobatan AR Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS) umumnya diberikan pada pasien AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dialami walaupun belum terjadi proliferasi synovial yang bermakna. Selain dpat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesic yang sangat baik. OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklo-oxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase juga berperan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS bekerja dengan cara : Memungkinkan stabilisasi membrane lisosomal. Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamine, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya). Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan. Menghambat proliferasi seluler. Menetralisasi radikal oksigen. Menekan rasa nyeri.

Efek Samping OAINS pada Pengobatan Pasien AR Semua OAINS secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas OAINS yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis, terutama jika OAINS digunakan bersama obat obatan lain, alcohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu factor resiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat OAINS. Pada pasien yang sensitive dapat digunakan preparat OAINS yang berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir akhir ini telah banyak digunakan OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme

Page 77

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa. Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta penekanan system hematopoietic. II. Penggunaan DMARD pada Pasien AR Berbagai cara pendekatan pengobatan dengan menggunakan DMARD yang dahulu banyak diterima, saat ini telah banyak berubah. Sebagai contoh ; penggunaan levamizole sebagai DMARD telah lama ditinggalkan karena khasiat dan efektivitas obat tersebut dianggap tidak memuaskan untuk mencapai dan mempertahankan remisi.demikian pula dengan D- Penicillamine (DP) yang banyak digunakan sejak decade tujuhpuluhan, saat ini sudah kurang disukai lagi untuk digunakan sebagai DMARD karena obat ini bekerja sangat lambat. Umumnya diperlukan waktu pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat mencapai keadaan remisi yang adekuat dengan DP, dan rentang waktu ini dianggap terlalu lama bagi sebagian besar pasien AR. Garam emas yang dahulu dianggap sebagai gold standard dalam pengobatan AR saat ini mulai banyak ditinggalkan karena seringkalo menimbulkan efek samping yang berat. Pada dasarnya saat ini terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan pasien AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Brook dan Corbett, pada penelitiannya menemukan bahwa 90% pasien AR telah menunjukkan gambaran erosi secara radiologis pasa dua puluh tahun pertama setelah menderita penyakit . hasil pengobatan jangka panjang yang buruk pada sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena pengobatan baru dimulai setelah masa kritis dilampaui. Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD dalam pengobatan AR ini timbul sejak decade yang silam karena banyak diantara para ahli reumatologi beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekuensial, pada waktu jangka panjang tidak berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah

Page 78

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka. Jenis-jenis yang digunakan adalah: a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik. b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia. c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus. d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.

Page 79

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

e.

Obat imunosupresif atau imunoregulator. Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Walaupun penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam pengobatan AR, akan tetapi seperti halnya penggunaan sitostatika lain, MTX sebaiknya hanya siberikan kepada pasien AR yang progresif dan gagal dikontrol dengan DMARD standard lainnya. Cyclosporin A Siklosporin- A (CS-A) adalah salah satu undecapeptida siklik yang memiliki efek sebagai antibiotika dan imunosupresan yang diisolasi dari jamur Tolypocladium inflatum Gams pada tahun 1972. Bagaimana mekanisme imunosupresan masih belum diketahui dengan jelas walaupun CS-A diduga berhubungan dengan hambatan CS-A pada fungsi dan proliferasi limfosit. Sifat imunosupresif CS-A kemungkinan disebabkan karena terjadinya hambatan yang bersifat spesifik dan reversible pada sel T dalam fase G0 (resting phase) atau G1 (post mitotic/presynthetic phase) siklus sel. CS-A terutama menghambat sel Thelper walaupun juga menghambat sel-T suppressor, sel T- sitotoksik dan activated Thelper yang memproduksi interleukin-2 dan juga interleukin -1. Berbeda dari imunosupresan lainnyaCS-A tidak memiliki sifat mielosupresif yang bermakna. CS-A memiliki efek nefrotoksok yang umumnya bergantung pada dosis dan bersifat reversible. Pada beberapa kasus, juga dapat meningkatkan kadar ureum, kreatinin, dan asam urat darah. Pada AR, CS-A umumnya diberikan dalam dosis aawal 2.5 3.5 mg/KgBB/hari yang dibagi dalam 2 dosis. Setelah 4 sampai 8 minggu dosis dapat ditingkatkan 0.5 1.0 mg/KgBB/hari. Kontraindikasi yaitu : Terdapatnya riwayat penyakit keganasan Hipertensi yang tidak terkontrol

f.

g.

Leflunomide Leflunomide (Lef) merupakan DMARD yang terbaru yang digunakan sejak akhir tahun 1998. Dalam percobaan klinis bahwa khasiat Lef dapat disetarakan dengan MTX, sehingga baik sekali untuk digunakan pada pasien yang gagal diobat dengan MTX atau untuk pasien yang karena suatu hal tidak dapat mentolerir MTX. Untuk mencapai keadaan steady state obat ini dianjurkan untuk digunakan dalam dosis awal 100mg/hari selama 3 hari berturut turut dan kemudian dilanjutkan dalam dosis 10

Page 80

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

sampai 20 mg/hari. Onset Lef dapat dicapai dalam waktu 4 sampai 8 minggu. Efek samping Lef antara lain adalah peningkatan enzim transaminase yang dapat diatasi dengan penghentian penggunaan obat. Dalam penggunaan Lef harus dilakukan pemantauan rutin darah perifer dan fungsi hati tiap 2 minggu pada bulan pertama dan setiap bulan untuk selanjutnya. Efek toksiknya meliputi diare, nyeri lambung, dan alopesis. Untuk wanita hamil terlebih dahulu harus menggunakan cholestiramin 3 x 8 g/hari selama 11 hari berturut turut sampai kadar Lef dalam darah yang diukur pada 2 kali pemeriksaan selang 14 hari menunjukkan kadar kurang dari 0.02 mg/L. h. Bridging Therapy dalam Pengobatan AR Bridging Therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan prednisone 5 sampai 7.5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun pemberian glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan yang bermakna kadar dan irama kortisol plasma atau growth hormone, pemberian glukokortikoid dosis rendah ini akan mengurangi keluhan pasien sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja. i. Peran Dietetik AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu penyakit metabolic. Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetic, antara lain yang terakhir berupa suplementasi asam lemak omega 3 seprti asam eikosapentanoat pernah dicoba dalam beberapa penelitian, ternyata hasilnya sangat bersifat controversial. X. KOMPLIKASI RHEMATOID ARTRITIS Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.

Page 81

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

XI.

PROGNOSIS RHEMATOID ARTRITIS

Penyakit RA tidak dapat sembuh, penderita harus diterangkan mengenai penyakitnya dan diberikan dukungan psikologi. Pada umumnya pasien artritis reumatoid akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode artritis reumatoid dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Tapi sebagian besar penyakit ini telah terkena artritis reumatoid akan menderita penyakit ini selama sisa hidupnya dan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita artritis reumatoid yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwasannya penyakit ini bersifat sistemik. Maka seluruh organ dapat diserang, baik mata, paru-paru, jantung, ginjal, kulit, jaringan ikat, dan sebagainya. Bintik-bintik kecil yang berupa benjolan atau noduli dan tersebar di seluruh organ di badan penderita. Pada paru-paru dapat menimbulkan lung fibrosis, pada jantung dapat menimbulkan pericarditis, myocarditis dan seterusnya. Bahkan di kulit, nodulus rheumaticus ini bentuknya lebih besar dan terdapat pada daerah insertio dan otot-otot atau pada daerah extensor. Bila RA nodule ini kita sayat secara melintang maka kita akan dapati gambaran: nekrosis sentralis yang dikelilingi dengan sebukan sel-sel radang mendadak dan menahun yang berjajar seperti jeruji roda sepeda (radier) dan membentuk palisade.21 Di sekitarnya dikelilingi oleh deposit-deposit fibrin dan di pinggirnya ditumbuhi dengan fibroblast. Benjolan rematik ini jarang dijumpai pada penderita-penderita RA jenis ringan. Disamping hal-hal yang disebutkan di atas gambaran anemia pada penderita RA bukan disebabkan oleh karena kurangnya zat besi pada makanan atau tubuh penderita. Hal ini timbul akibat pengaruh imunologik, yang menyebabkan zat-zat besi terkumpul pada jaringan limpa dan sistema retikulo endotelial, sehingga jumlahnya di daerah menjadi kurang. Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gratitis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (desease modifying antiremathoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.

Page 82

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

BAB III PENUTUP Kesimpulan Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh sinovitis erosive yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Gejala klinis utama AR adalah poliatritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang di sekitarnya. Hal ini dapat menyebabkan kecacatan yang sangat merugikan pasien. Sehingga, penting bagi masyarakat untuk mengetahui pencegahan penyakit AR.

Page 83

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

DAFTAR PUSTAKA 1. Siddharth Wayangankar, Md, Mph. Reumatoid Artritis. Edisi Februari 2010. Diunduh Dari Www.Emedicine.Medscape.Org, 26 Maret 2010. 2. Nasution. Aspek Genetik Penyakit Reumatik. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Ed. III. Jakarta : Balai penerbit FKUI ; 1996. h. 29-36. 3. Gleadle, J. 2007. At A Glance. Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik. Alih Bahasa: Annisa Rahmalia. Editor : Amalia Safitri. Jakarta : Penerbit Erlangga. 4. Markum MS. Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisis. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2005. 5. Bates. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Ed-8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2009. 6. Kumar, Cotran, Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007. h : 850, 852. 7. Patel, PR. Radiologi. Alih Bahasa : Vidhia Umami. Editor : Amalia Safitri. Ed -2. Jakarta: Erlangga. 2007. 8. Harrison. Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. 9. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Edisi Ke-2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2001. 10. Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Alih Bahasa : Brahm U. Pendit, Et Al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005. h. 1358-1359, 1367-1368, 1371. 11. Edward ST. Arthritis Pirai (Arthritis Gout). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-4. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. 12. Arthritis Gout. Diunduh Dari Http://Www.Klikdokter.Com/Illness/Detail/44 (2008). 13. Asam Urat (Gout Arthritis). Diunduh Dari

Http://Www.Jakartalantern.Com/Content/Health-Topic/Gout.Html (12 Oktober 2009). 14. Septic Artritis. Diunduh Dari TotalKesehatanAnda.com. 2008. 15. Shiel Wc. Carpal Tunnel Syndrome & Tarsal Tunnel Syndrome.

Http://Www.Medicinenet. Com/Carpal_Tunnel_Syndrome/Index.Htm. 16. Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius, 2000. h : 358-359, 2

Page 84

[Rhematoid Arthritis]

Sistem Musculoskletal II

17. Schwartz. Si, Shires.Gt, Spencer.Fc. Alih Bahasa: Laniyati, Kartini.A, Wijaya.C, Komala.S, Ronardy.Dh. Editor Chandranata.L, Kumala.P. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC ; Jakarta. 2000. 18. Tim Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Buku Petunjuk Praktikum Blok Muskuloskeletal. Surakarta : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret ; 2008. h : 13-14. 19. Medical Journal Editors. Artritis Reumatoid. Edisi November 2009. Diunduh dari www.medicastore.com. 26 Maret 2010. 20. Sudoyo,D Arua, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. 2006. 21. Peter, A. Arthritis Rheumatoid. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed. XIII. Vol. 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2000. h 1840-1847.

Page 85

También podría gustarte