Está en la página 1de 7

1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………


……………………………….......1

DAFTAR ISI..................................................................................... .........1


KONTRIBUSI EMPATI DAN DISIPLIN DIRI DALAM PENEGAKAN MORAL DI
SEKOLAH................................................................................................2
I.PENDAHULUAN.....................................................................................2
II.PERMASALAHAN..................................................................................2
III.PEMECAHAN MASALAH.......................................................................3
IV.KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................6
DAFTAR BACAAN:...................................................................................7
2

KONTRIBUSI EMPATI DAN DISIPLIN DIRI DALAM


PENEGAKAN MORAL DI SEKOLAH

I. PENDAHULUAN
Dapat dipercaya, rasa hormat, bertanggung jawab, adil, jujur,
ikhlas, mandiri, dan penuh perhatian merupakan konsep-konsep pokok
moral yang sangat baik. Namun sayang, pada saat sekarang yang
serba tidak menentu, dimana krisis moral dan tindakan kekerasan yang
terjadi dimana-mana, rasanya sulit bagi anak untuk memahami,
menghargai, dan menerapkan kata-kata mulia seperti itu dalam
kehidupan sehari-hari. Demikian pula bagi seorang guru untuk
mengintegrasikannya dalam proses pembelajaran sehingga tujuan
pendidikan nasional “membentuk manusia Indonesia seutuhnya dapat
tercapai”.

II. PERMASALAHAN
Pada saat sekarang ini, anak didik menghadapi tantangan
lingkungan sosial yang amat dahsyat. Mereka mengalami berbagai
krisis yang berkepanjangan, kesenjangan sosial dan ekonomi,
meningkatnya tindak kekerasan dan sadistik yang dilakukan oleh orang
dewasa, menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah, serta kecenderungan masyarakat untuk lebih
mementingkan keuntungan pribadi dan materi sehingga membawa
pengaruh psikologis yang sangat besar terhadap anak didik, seperti:
rasa putus asa, dan rasa ketidak berdayaan untuk berbuat sesuatu.
Perasaan dan pengalaman tersebut dapat merusak rasa percaya diri
dan kemampuan anak didik untuk saling membantu. Anak didik akan
mudah tergoda oleh budaya meteri yang mempromosikan budaya
kepuasan secara instan. Budaya kekerasan yang mereka lihat dan
alami sehari-hari akan membuat mereka kurang peka terhadap
penderitaan dirinya dan penderitaan orang lain.

Disadari atau tidak, para orang tua telah mewariskan lingkungan


seperti itu, sehingga anak-anak hidup diantara perbedaan yang tajam
antara kata dan perbuatan. Oleh karena itu, para orang tua, para
pemimpin politik, pemimpin pendidikan, dan pemimpin agama harus
bertanggungjawab dan komit terhadap kelangsungan nilai atau norma
tersebut di atas dengan memberikan contoh teladan yang baik kepada
anak didik dan membantu anak didik untuk mempraktikkannya dalam
3

kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun di lingkungan


masyarakat yang lebih luas.

Disamping itu, para orang tua juga perlu membantu masyarakat


sekolah menjadi masyarakat moral dimana para siswa menjalani nilai-
nilai luhur yang kita miliki. Visi kita adalah sekolah sebagai benteng
moral masyarakat yang membudayakan empati dan disiplin diri.

III. PEMECAHAN MASALAH


Johnson dkk (1983) mengemukakan bahwa empati
adalah kecenderungan untuk memahami kondisi atau
keadaan pikiran orang lain. Seorang yang empati
digambarkan sebagai seorang yang toleran, mampu
mengendalikan diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta bersifat
humanistik. Batson dan Coke (Brigham, 1991) mendefinisikan
empati sebagai suatu keadaan emosional yang dimiliki oleh
seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan oleh orang
lain. Kemampuan merasakan perasaan ini membuat seorang
yang empati seolah mengalami sendiri peristiwa yang dialami
orang lain (Eisenberg dan Fabes, 1989).

Amitai Etzioni, seorang pakar sosiologi dari Universitas Georgia


Washington, menyusun suatu kerangka konseptual untuk mencoba
membantu merubah pengembangan karakter menjadi keterampilan-
keterampilan yang dapat dicapai baik oleh guru maupun oleh anak
didik. Lebih jauh, ia mengindentifikasi dua keterampilan pokok, yaitu:
empati dan disiplin diri. Menurutnya, kedua kata tersebut merupakan
prasyarat dalam pengembangan suatu karakter.

Dengan empati, anak didik akan lebih menghargai perasaan dan


pandangan orang lain, lebih peduli terhadap rasa ketidak adilan dan
ketidakjujuran, serta dapat membedakan antara yang baik dari yang
tidak baik. Dengan disiplin diri, mempersiapkan anak didik untuk
mampu dan siap melakukan atau tidak melakukan apapun, walau hal
itu berkaitan dengan kesenangan diri anak, karena ia memeliki rasa
tanggung jawab terhadap suatu perangkat nilai atau norma. Dengan
demikian, kedua keterampilan tersebut, secara bersama akan
mempersiapkan anak didik untuk berperilaku sesuai dengan ucuan
norma atau moral yang diharapkan.

Masalah keamanan dan ketertiban saat ini misalnya, lebih


mengacu kepada program yang bersifat kuratif terhadap tindak
kekerasan. Mulai dari penataran resolusi konflik sampai terbentuknya
4

satu satuan pengamanan. Walaupun kegiatan tersebut dilakukan


secara intensif, tidaklah akan sempurna apabila program tersebut tidak
disertai dengan program pendidikan dan pengembangan karakter
melalui keterampilan-keterampilan empati dan disiplin. Tanpa kedua
keterampilan ini, sekolah akan menjadi suatu lembaga yang beku dan
dikelilingi oleh rasa ketakutan, bukan oleh rasa tanggung jawab.

Membudayakan empati dan disiplin diri adalah harapan yang


sangat didambakan dalam membangun akar rumput etika moral untuk
memberikan kebenaran dan tanggung jawab terhadap anak didik.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, diantaranya:

1. Mempelajari dasar pembuatan kebijaksanaan (tata tertib


sekolah, misalnya) untuk mengembangkan kedua keterampilan
tersebut secara perspektif;

2. Mengembangkan perangkat nilai atau norma positif yang dapat


diterjemahkan ke dalam tindakan sehari-hari;

3. Mempelajari dan memberikan contoh bagaimana melaksanakan


tanggung jawab secara konsisten;

4. Adanya kesempatan untuk melakukan pengujian dan berhasil;


dan

5. Diperlukan retrukturisasi semua kegiatan pembelajaran dalam


konteks pengembangan diri.

Bagaimana sekolah dapat membantu tugas-tugas keluarga


dalam menanamkan norma atu moral masyarakat sekolah dengan
baik? Berikut ini adalah prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan:

1. Masyarakat sekolah secara bersama-sama mengembangkan,


merumuskan dengan jelas, dan melaksanakan nilai atau Norma
pokok (core values). Anggota masyarakat sekoah bisa
mengembangkan rumusan misi, aturan tanggung jawab, dan
secara bersama mempraktikkan norma sekolah bisa
mengembangkan rumusan misi, aturan, tanggung jawab, dan
secara bersama mempraktikkan norma atau moral tersebut.
Untuk mendorong anak didik menghidupkan nilai-nilai ini, para
guru bisa mensosialisasikannya melalui kepemimpinan sebaya,
pembelajaran lintas kelas, menanam dan memelihara pohon
serta memperindah lingkungan sekolah. Para guru dan siswa
juga dapat memajang poster, atau sajak-sajak yang ada
hubungannya dengan empati dan disiplin diri.
5

2. Para pendidik perlu memberikan contoh moral yang positif


dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari, baik dengan
teman-teman sejawatnya maupun dengan para siswa.

3. Sekolah dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat. Aliansi


yang kita bangun dangan orang tua siswa, konglomerat, dan
anggota masyarakat, mengembangkan karakter. Biarkan pintu
sekolah tebuka sampai sore hari dengan menawarkan program-
program yang dapat melayani masyarakat dalam segala usia.
Undangan para orang tua siswa dan anggota masyarkat untuk
saling berbagi pengalaman dan keterampilan.

4. Para siswa dapat mengembangkan keterampilan, melakukan


pemecahan masalah, berkoperasi, dan melaksanakan resolusi
konflik. Para pendidik dapat membantu para siswa dalam
mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial, nilai-nilai
moral melalui modeling, pengajaran langsung, pengalaman,
dan praktik yang terus-menerus. Norman Hand dkk. (1985)
dalam penelitiannya menemukan bahwa “walaupun anak-
anaknya dapat memahami empati secara mendalam, namun
mereka sangat kurang terampil dalam mengatasi konflik-konflik
moral.

5. Para siswa dilibatkan dalam pembuatan kebijakan baik di dalam


kelas maupun di sekolah. Memberikan kesempatan kepada
para siswa untuk berpartisipasi dalalm kebijakan-kebijakan
yang mempengaruhi kehidupannya sesuai dengan tahapan
berdemokrasi, seperti berpartisipasi dalam pertemuan dalam
kelas untuk mendiskusikan aturan-aturan dan nilai-nilai moral.
Menjadi panitia penerimaan anggota baru sekolah, menjadi
duta seni atau olah raga bagi sekolahnya, dan bertemu dengan
komite sekolah dalam mengkaji mata-mata pelajaran baru.

6. Para pendidik dapat menggunakan pendekatan pemecahan


masalah untuk meningkatkan disiplin anak didik. Untuk
mengembangkan disiplin diri, diperlukan struktur, dan aturan
dan konsekwensi yang jelas. Mulai dari Taman Kanak-kanak,
anak didik perlu diajari bagaimana menggunakan manajemen
konflik dan menggunakan kesempatan untuk memacu
keterampilan sosial mereka.

7. Komite sekolah menyiapkan pelayanan yang baik di dalam


maupun di luar sekolah. Layanan belajar sebagai salah satu
cara dalam mengembangkan empati danmempraktekkan
disiplin diri. Anak-anak dapat mengambil tanggung jawab di
6

lingkungan sekitar sekolah. Siswa yang lebih tua dapat menjadi


sukarelawan di dalam organisasi-organisasi sosial atau politik;
menyiapkan kepemimpinan sebaya atau menjadi tutor pada
siswa yang lebih muda. Anak-anak juga harus dilibatkan dalam
bertanya dengan pertanyaan yang agak sulit sekalipun, seperti:
bagaimana kita secara kolektif dapat mengangkat kembali
standar moral yang tinggi, mencari akar masalah dari suatu
kekerasan yang dilakukan sekelompok orang, perbedaan sosial
ekonomi masyarakat, dan krisis lingkungan. Kita juga harus
membiarkan para siswa membuat keputusan sendiri dan
bertanggungjawab terhadap apa yang telah mereka lakukan.
Para siswa membutuhkan pengalaman dan mereka lebih baik
menjadi bagian dari solusi dari pada menjadi pengamat pasif.

8. Para siswa dan anggota staf menghargai perbedaan budaya


dan kepercayaan melalui belajar dari pengalaman langsung.
Kita dapat membantu seluruh masyarakat sekolah
mengembangkan empati dengan memperluas batasan
keluarga, agama, kelas,budaya, bangsa, dan kelompok rasial
secara konsisten. Melalui literatur, kita dapat mendorong atau
menawarkan kontak langsung dengan orang-orang yang
berbeda dalam usia atau budaya, sehingga mempersiapkan
mereka dengan sebuah landasan yang kokoh untuk
menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut serta
mengembangkan hubungan yang harmonis. Melalui
telekomunikasi, para siswa dan orang dewasa berkolaborasi
dengan masyarakat di daerah atau dengan negara lain.

9. Sekurang-kurangnya satu orang dewasa berhubungan secara


pribadi dengan secara pribadi dengan satu orang anak. Seperti
layaknya hubungan anak angkat melalui sekolah atau rumah di
sekitar sekolah. Mentor, tutor, dan pembimbing sebaiknya
menjadi pasangan para siswa dalam waktu yang agak lama
karena anak-anak membutuhkan bimbingan dan kesempatan
yang sama dalam mengambil resiko dan mengatasi kejenuhan.
Empati dan disiplin diri sebaiknya diimplementasikan melalui
kehidupan sehari-hari.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

1. Pendidikan empati dan disiplin diri dapat membantu anak-


anak dalam mengembangkan rasa tanggung jawab sosial
7

dengan membantu mereka memahami nilai-nilai atau norma


melalui pengalaman yang mereka peroleh dari kehidupan
sehari-hari.

2. Disaat anak-anak merasakan adanya perbedaan-perbedaan


diantara mereka, mereka akan dapat mengembangkan
tanggung jawab, rasa hormat, disiplin diri, dan empati
sehingga seluruh kebijakan dan kebajikan yang kita harapkan
dapat kita lihat dengan jelas.

Saran

1. Kita dapat mengajarkan suatu kebaikan kepada mereka


melalui contoh teladan yang kita lakukan dalam kehidupan
sehari-hari baik ketika kita sedang suka, maupun duka
sehingga secara bersama dapat melihat konsekuensi dari
tindakan-tindakan kita di masa datang. Dengan demikian,
anak-anak akan dapat melihat bahwa tindakan dan pilihannya
akan mempunyai dampak dalam menciptakan dunia saat ini
dan yang akan datang.

DAFTAR BACAAN:
Barreth, D & Berman, S. 1997. Character building for a democratic civil
society. Washington, DC: The communication network.

Brigham. J. C. 1991. Social Psychology. Second Edition. New York


: Herper Collins Publishers Inc.

Haan, N., Aerts, E., & Cooper, B. 1985. On moral ground: The search for
practical morality. New York: University Press.

Johnson. J. A. Check, J. M, Smither R., 1983. The Structure of


Empathy. Journal Of Personality and Social Psychology. Vol 45
No 6 1299-1312.

También podría gustarte