Está en la página 1de 12

Latar Belakang Benih yang diharapkan petani adalah benih yang memiliki viabilitas benih dan vigor yang

tinggi. Hal itu disebabkan karena viabilitas dan vigor benih merupakan salah satu parameter yang perlu dipertimbangkan sebelum benih disimpan, didistribusikan dan ditanam. Uji viabilitas benih memberikan informasi kemampuan berkecambah suatu benih pada suatu kondisi tertentu. Uji viabilitas dapat dilakukan dengan pengecambahan benih dan diamati daya kecambah dan kekuatan kecambahnya. Salah satu metode yang digunakan untuk menduga kualitas benih adalah uji tetrazolium (TZ). Uji tetrazolium bertujuan dalam mengaktifkan sel/jaringan benih dan membedakan antara sel atau jaringan yang hidup atau mati. Uji tersebut sangat cepat dan tepat apabila diaplikasikan pada benih yang yang mengalami dormansi dan mengalami pemasakan lanjutan (after ripening). Uji tetrazolium sangat perlu diketahui untuk mengefektifkan proses persemaian benih, terutama pada benih-benih dorman. Selain itu, uji ini juga memiliki tingkat ketelitian yang tinggi. Oleh karena itu, pada Praktikum Teknologi Benih Lajutan ini akan dilakukan uji tetrazolium untuk mengetahui apakah benih yang diamati merupakan benih hidup atau benih mati. Meskipun uji tetrazolium belum tentu membuktikan bahwa viabilitas tanaman itu baik, tetapi secara tidak langsung uji ini dapat mempermudah untuk mengetahui kondisi benih. 2. Tujuan Praktikum Tujuan praktikum Teknologi Benih Lanjutan acara III adalah untuk menguji viabilitas benih secara cepat dan tidak langsung. B. Tinjauan Pustaka Kekurangan yang terjadi pada uji perkecambahan secara langsung dapat diatasi apabila viabilitas benih dapat diukur dengan suatu penduga biokimia di aktivitas metabolisme benih. Di dalam suatu uji biokimia tanda terjadinya proses reduksi dalam sel hidup dihasilkan oleh reduksi di suatu indikator. Garam tetrazolium merupakan bahan yang tidak berwarna, di dalam jaringan sel hi bahan ini akan ikut serta dalam proses reduksi (Soejadi et al., 2001). Pengujian viabilitas ada beberapa macam yaitu pengujian pemotongan (cutting test), tetrazolium (TZ), pemotongan embrio, dan pengujian hydrogen peroksida (H2O2). Pengujian viabilitas benih biasanya kurang tepat diterapkan untuk benih-benih yang berukuran sangat kecil, bahkan teknik pengambilan/pemotongan embrio hampir tidak mungkin dilakukan. Untuk memudahkan dalam pengujian benih, benih yang digunakan harus berukuran agak besar seperti sengon buto (Enterolobium cyclocarpum Jacq.) (Hendri, 2008). Pada pengujian secara biokimia akan terjadi proses reduksi pada jaringan hidup. Proses reduksi ini menjadi ciri bahwa benih yang diuji tersebut hidup. Bahan yang digunakan untuk pengujian adalah garam tetrazolium. Pada jaringan hidup, jika benih mengimbibisi larutan ini maka terjadi proses reduksi. Dengan adanya prosese dehidrogenase maka larutan 2,3,5 triphenyl tetrazolium chlorode atau bromide akan berwarna merah sehingga jaringan yang hidup berwarna merah stabil dan merupakan substan yang tidak terlarut oleh triphenyl formazan yang dihasilkan oleh jaringan hidup. Jaringan yang hidup berwarna merah dan yang akan mati tidak berwarna (Kuswanto, 2007). Prinsip kerja uji Tetrazolium adalah berdasarkan perbedaan warna dari benih setelah direndam dalam larutan Tetrazolium. Jaringan dalam benih itu hidup akan menghasilkan suatu reaksi pada benih dengan menimbulkan warna merah. Sedangkan jika tidak menimbulkan warna menunjukan bahwa benih sudah mati ( Chapman dan Lark, 2005). Beberapa metode uji cepat yang biasa digunakan untuk menduga kualitas benih adalah uji tetrazolium, uji hidrogen peroksida, uji belah, metode radiografi, uji eksisi embrio, dan uji

konduktivitas. Faktor yang mempengaruhi kesuaian jenis terhadap metode tertentu adalah karakter, ukuran, tipe dormansi dan ketahanan benih dalam kondisi tanpa kulit. Pengetahuan tentang karakter benih memberikan petunjuk bagaimana benih tersebut ditangani agar tetap memiliki vigor optimum hingga akan ditanam kembali, demikian juga dalam pengujian kualitasnya, yaitu harus diuji dengan metode yang lebih cepat (TZ, uji belah dan kontras radiografi) (Byrd, 1988). Uji tetrazolium juga disebut uji biokhemis benih dan uji cepat viabilitas. Disebut uji biokhemis karena uji tetrazolium mendeteksi adanya proses biokimia yang berlangsung di dalam sel-sel benih khususnya sel-sel embrio. Disebut uji cepat viabilitas karena indiksi yang diperoleh dari pengujian tetrazolium bukan berupa perwujudan kecambah, melainkan pola-pola pewarnaan pada embrio, sehingga waktu yang diperlukan untuk pengujian tetrazolium tidak sepanjang waktu yang diperlukan untuk pengujian yang indikasinya berupa kecambah. Kegunaan uji tetrazolium antara lain untuk mengetahui viabilitas benih yang segera akan ditanam, viabilitas benih dorman, hidup atau matinya benih segar tidak tumbuh dalam pengujian daya berkecambah benih (Vega, 2011). C. Metodologi Praktikum 1. Waktu dan Tempat Praktikum Praktikum Teknologi Benih Lanjutan acara III dilaksanakan pada Hari Kamis, 3 November 2011, bertempat di Laboratorium Ekologi dan Manajemen Produksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Alat dan Bahan a. Alat 1) Gelas piala 2) Petridish 3) Oven 4) pH meter b. Bahan 1) Benih tanaman pangan : jagung, kacang tanah 2) Garam tetrazolium 3) KH2PO4 dan Na2HPO4.2H2O 3. Cara Kerja a. Merendam benih padi dalam lartan KNO3 1%, 2%, 3%, 4% dan HNO3. b. Membuat larutan penyangga dengan melarutkan 9,078 gr KH2PO4 dan 11,876 gr Na2HPO4.2H2O (masing-masing dalam 1000 ml air). c. Mencampurkan 400 ml larutan pertama dan 600 ml larutan kedua. d. Melakukan test pH larutan dengan pH meter. e. Melarutkan 10 gr garam tetrazolium dalam larutan penyangga. f. Membelah benih yang telah direndam melalui embryonic axis dan kemudian merendam dalam larutan garam tetrazolium tersebut sampai 0,5 dan 1 jam dalam temperature 400C dalam oven. g. Mencuci benih dan melakukan pengamatan, menghitung benih yang viabel maupun yang non viabel dengan pewarnaan dari lembaga. h. Menggambar struktur benih beserta bagia-bagiannya. 4. Pengamatan yang Dilakukan a. Warna embrio setelah direndam dalam larutan tetrazolium b. Benih yang hidup dan mati

5. Analisis Data

D. Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Pengamatan Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Uji Tetrazolium pada Benih Jagung (Zea mays) Indikasi Warna Ulangan Merah Cerah Merah Muda Merah Tua Merah Sebagian 1 0 1 0 0 2 0 1 0 0 3 0 1 0 0 Jumlah 0 3 0 0 Rerata 0 1 0 0 Sumber : Laporan Sementara Tabel 3.2 Hasil Pengamatan Uji Tetrazolium pada Benih Kedelai (Glacyne max) Indikasi Warna Ulangan Merah Cerah Merah Muda Merah Tua Merah Sebagian 1 0 1 0 0 2 0 1 0 0 3 0 1 0 0 Jumlah 0 3 0 0 Rerata 0 1 0 0 Sumber : Laporan Sementara Tabel 3.3 Hasil Pengamatan Uji Tetrazolium pada Benih Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.) Indikasi Warna Ulangan Merah Cerah Merah Muda Merah Tua Putih 1 0 1 0 0 2 0 1 0 0 3 0 0 0 1 Jumlah 0 2 0 0 Rerata 0 0,67 0 0,33 Sumber : Laporan Sementara

Gambar 3.1 Benih Jagung (Zea mays)

Gambar 3.2 Benih Kedelai (Glacyne max)

Gambar 3.3 Benih Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.) 2. Pembahasan Uji Tetrazolium (TZ) merupakan salah satu uji kualitas benih dengan mengamati apakah suatu benih masih viabel atau tidak. Uji tersebut dilakukan dengan cara melihat warna yang timbul pada embrio benih akibat adanya reaksi dengan garam tetrazolium. Prinsip metode TZ adalah bahwa setiap sel hidup akan berwarna merah oleh reduksi dari suatu pewarnaan garam tetrazolium dan membentuk endapan formazan merah, sedangkan sel-sel mati akan berwarna putih, enzim yang mendorong terjadinya proses ini adalah dehidrogenase yang berkaitan dengan respirasi. Kriteria pewarnaan dalam uji Tetrazolium antara lain: a. merah cerah : jaringan masih hidup atau benih viabel b. merah muda : jaringan atau viabilitas sudah lemah c. merah tua : jaringan rusak d. tidak berwarna : jaringan sudah mati (Byrd, 1988). Struktur benih meliputi kulit benih, embrio, radikula, kotiledon beserta jaringan-jaringan penghubungnya. Oleh karena itu, evaluasi pola pewarnaan tidak hanya dilakukan pada bagian luar benih saja tetapi juga dilakukan pada bagian dalam kotiledon benih. Benih dikatakan viabel apabila ujung radikula, bagian penghubung antara radikula dan kotiledon, bagian penghubung antara radikula dan hilum serta bagian dalam kotiledon yang tidak membentuk spot berwarna merah muda. Uji tetrazolium yang dilakukan pada praktikum Teknologi Benih Lanjutan acara III diketahui bahwa benih jagung dan benih kedelai yang berwarna merah muda masing-masing sebanyak 3 benih. Sedangkan, benih kacang hijau yang berwarna merah muda sebanyak 2 benih dan 1 berwarna putih. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa benih kedelai dan jagung masih memiliki viabilitas yang baik, sedangkan pada benih kacag hijau terdapat benih yang viabel dan tidak, karena masih ada benih yang berwarna putih. Uji tetrazolium merupakan salah satu pengujian viabilitas benih secara cepat dan tidak langsung. Hal ini dikarenakan, uji tersebut dapat dilakukan tanpa mengecambahkan benih terlebih dahulu, tetapi dengan menggunakan zat kimia 2, 3, 5 Triphenyl Tetrazolium Kloride (garam tetrazolium). Metode tidak langsung didasarkan pada proses metabolisme benih serta

kondisi fisik yang merupakan indikasi tidak langsung. Uji cepat memiliki tujuan menentukan secara cepat kualitas benih suatu jenis yang berkecambah lambat atau menunjukkan dormansi di bawah perkecambahan normal, benih yang mengalami pemasakan lanjutan (after ripening) dan menentukan viabilitas potensial dari suatu kelompok benih (Willan, 1985).

1.1

Latar Belakang

Uji tetrazolium juga disebut uji biokhemis benih dan uji cepat viabilitas. Disebut uji biokhemis karena uji tetrazolium mendeteksi adanya proses biokimia yang berlangsung di dalam sel-sel benih khususnya sel-sel embrio. Disebut uji cepat viabilitas karena indiksi yang diperoleh dari pengujian tetrazolium bukan berupa perwujudan kecambah, melainkan pola-pola pewarnaan pada embrio, sehingga waktu yang diperlukan untuk pengujian tetrazolium tidak sepanjang waktu yang diperlukan untuk pengujian yang indikasinya berupa kecambah.Pengujian tetrazolium menggunakan zat indikator 2.3.5 Trifenil tetrazolium Klorida/bromida yang larut dalam air untuk mengindikasi adanya sel-sel yang hidup. Bila indikator diimbibisi oleh benih kedalam sel-sel benih yang hidup dengan bantuan enzim dehidrogenase akan terjadi proses reduksi sehingga terbentuk zat trifenil formazan, endapan yang berwarna merah. Pada sel-sel yang mati tidak terjadi reduksi, sehingga warnanya tetap. Adanya pola-pola warna merah pada bagian-bagian penting pada embrio benih mengindikasikan benih mampu menumbuhkan embrio menjadi kecambah yang normal. Kegunaan uji tetrazolium cukup banyak : untuk mengetahui viabilitas benih yang segera akan ditanam, untuk mengetahui viabilitas benih dorman, untuk mengetahui hidup atau matinya benih segar tidak tumbuh dalam pengujian daya berkecambah benih. Uji tetrazolium sebagai uji vigor bisa dilakukan, dengan cara membuat penilaian benih lebih ketat untuk katagori benih vigor diantar benih viabel. 1.2

Tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Dormansi

Dormansi merupakan cara embrio biji mempertahankan diri dari keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan, tetapi berakibat pada lambatnya proses perkecambahan.

(Redaksi AgroMedia.

Dormancy is a seed event is not active rest or activity of growth, usually during the dry season due to water shortages.

Dormansi adalah peristiwa istirahat atau biji tidak aktif melakukan aktivitas pertumbuhan, biasanya pada musim kemarau karena kekurangan air. (Gunawan Susilowarno,dkk.

Dormancy is a resting phase of a plant organ that has the potential to grow actively, because it has the meristem tissue.

Dormansi merupakan fase istirahat dari suatu organ tanaman yang mempunyai potensi untuk tumbuh aktif, karena mempunyai jaringan meristem. . 2.2 Definisi Uji Tetrazolium .

2.3 Macam Dormansi Dormansi diklasifikasikan menjadi bermacam-macam kategori berdasarkan faktor penyebab, mekanisme dan bentuknya.

Berdasarkan faktor penyebab dormansi o Imposed dormancy (quiscence): terhalangnya pertumbuhan aktif karena keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan o Imnate dormancy (rest): dormancy yang disebabkan oleh keadaan atau kondisi di dalam organ-organ biji itu sendiri o Berdasarkan mekanisme dormansi di dalam biji o Mekanisme fisik

Merupakan dormansi yang mekanisme penghambatannya disebabkan oleh organ biji itu sendiri; terbagi menjadi: - mekanis : embrio tidak berkembang karena dibatasi secara fisik - fisik: penyerapan air terganggu karena kulit biji yang impermeabel - kimia: bagian biji/buah mengandung zat kimia penghambat

Mekanisme fisiologis

Merupakan dormansi yang disebabkan oleh terjadinya hambatan dalam proses fisiologis; terbagi menjadi: - photodormancy: proses fisiologis dalam biji terhambat oleh keberadaan cahaya - immature embryo: proses fisiologis dalam biji terhambat oleh kondisi embrio yang tidak/belum matang - thermodormancy: proses fisiologis dalam biji terhambat oleh suhu

Berdasarkan bentuk dormansi Kulit biji impermeabel terhadap air/O2

Bagian biji yang impermeabel: membran biji, kulit biji, nucellus, pericarp, endocarp Impermeabilitas dapat disebabkan oleh deposisi bermacam-macam substansi (misalnya cutin, suberin, lignin) pada membran. Kulit biji yang keras dapat disebabkan oleh pengaruh genetik maupun lingkungan. Pematahan dormansi kulit biji ini dapat dilakukan dengan skarifikasi mekanik. Bagian biji yang mengatur masuknya air ke dalam biji: mikrofil, kulit biji, raphe/hilum, strophiole; adapun mekanisme higroskopiknya diatur oleh hilum. Keluar masuknya O2 pada biji disebabkan oleh mekanisme dalam kulit biji. Dormansi karena hambatan keluar masuknya O2 melalui kulit biji ini dapat dipatahkan dengan perlakuan temperatur tinggi dan pemberian larutan kuat.

Embrio belum masak (immature embryo)

Ketika terjadi abscission (gugurnya buah dari tangkainya), embrio masih belum menyelesaikan tahap perkembangannya. Misal: Gnetum gnemon (melinjo) Embrio belum terdiferensiasi Embrio secara morfologis sudah berkembang, namun masih butuh waktu

2.4 Macam Perlakuan Pemecahan Dormansi

Dormansi dapat diatasi dengan perlakuan perlakuan ; pemarutan atau penggoresan (skarifikasi) yaitu dengan cara menghaluskan kulit benih ataupun menggores kulit benih agar dapat dilalui air dan udara ; melemaskan kulit benih dari sifat kerasnya ; memasukkan benih ke dalam botol yang disumbat dan secara periodik mengguncang guncangnya ; stratifikasi terhadap benih dengan suhu rendah ataupun suhu tinggi ; perubahan suhu ; dann zat kimia. (Kartasapoetra, 2003). Pada pematahan dormansi dapat diganti oleh zat kimia seperti KNO3, thiorea dan asam giberalin. Pada kenyataannya, pada organ secara visual disebut dormansi, sesungguhnya masih berlangsung perubahan perubahan biokimia dan struktur mikroskopiknya. ( Pandey and Sinha, 1992). Mengklasifikasikan dormansi atas dasar penyebab dan metode yang dibutuhkan untuk mematahkannya. Tipe Dormansi Immature embryo Metode Pematahan Dormansi Alami Buatan Pematangan secara alami Melanjutkan proses fisiologis setelah biji disebarkan pemasakan embryo setelah biji mencapai masa lewat-masak (after-ripening) Dekomposisi bertahap pada Peretakan mekanis struktur yang keras Fluktuasi suhu Skarifikasi mekanis, pemberian air panas atau bahan kimia Pencucian (leaching) oleh air, Menghilangkan jaringan buah dekomposisi bertahap pada dan mencuci bijinya dengan air jaringan buah Pencahayaan Pencahayaan Penempatan pada suhu Stratifikasi atau rendah di musim dingin pemberian perlakuan Pembakaran suhu rendah Pemberian suhu yang Pemberian suhu tinggi berfluktuasi Pemberian suhu berfluktuasi

Dormansi mekanis Dormansi fisis

Dormansi chemis

Fotodormansi Thermodormansi

Hartmann .1997) 2.5 Prinsip Metode TTZ

Prinsip metode TZ adalah bahwa setiap sel hidup akan berwarna merah oleh reduksi dari suatu pewarnaan garam tetrazolium dan membentuk endapan formazan merah, sedangkan sel-sel mati akan berwarna putih. Enzim yang mendorong terjadinya proses ini adalah dehidrogenase yang berkaitan dengan respirasi .Kelebihan metode TZ meliputi waktu pengujian yang singkat, sangat tepat diaplikasikan pada benih yang mengalami dormansi serta benih yang mengalami pemasakan lanjutan (after ripening), tingkat ketelitian tinggi, sedangkan kelemahannya memerlukan keahlian dan pelatihan yang intensif, bersifat laboratoris, tidak dapat mendeteksi kerusakan akibat fungi atau mikroba lainnya dan bersifat merusak. (Byrd, 1988). 2.6 Kategori Benih Viabel dan Non Viabel dalam Uji TTZ Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam uji TZ adalah evaluasi pola topografi perwarnaan untuk menentukan benih viable dan non-viable.Paradigma ini diterima karena definisi viable (hidup) diartikan hanya sebagai kemampuan benih tersebut untuk berkecambah, dan tidak menjadi soal apakah berkecambah secara normal atau abnormal. Dengan paradigma demikian, maka hasil uji TZ tidak diperkenankan menjadi data yang dicantumkan di label benih karena akan memberikan kesalahan positif (yaitu persentase benih viable yang lebih tinggi dibandingkan persentase daya berkecambah). Akan tetapi, apabila ditelusuri dari berbagai literatur internasional, maka akan diperoleh suatu kesimpulan bahwa paradigm tersebut di atas kurang tepat. ISTA sebagai organisasi pengujian benih internasional yang diakui kredibilitas dan metodenya digunakan di seluruh dunia mendefinisikan benih viable benih yang memperlihatkan potensi untuk menjadi kecambah normal, sedangkan benih non-viable adalah terdiri dari benih yang berkembang secara abnormal baik pada embrio maupun pada struktur penting lainnya dan menunjukkan jaringan yang mati (ISTA 2008).

BAB III METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan 3.2 Alur Kerja (diagram alir) k

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 4.1.2 4.1.3 4.1.4 Hasil Pemecahan Dormansi (dalam table) Dokumentasi Pemecahan Dormansi Hasil Uji TTZ (dalam table) Dokumentasi Uji TTZ

4.2 Pembahasan 4.2.1 4.2.2 4.2.3 k Perbandingan Perlakuan Skarifikasi (literature) Perbandingan Perlakuan Stratifikasi (literature) Uji TTZ (literature)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA Bradbeer, J.W. 1989. Seed Dormancy and Germination. Chapman & Hall, New York. 146p.

Byrd, H.W. 1988. Pedoman Teknologi Benih (Terjemahan). State College. Mississipi.

Gunawan Susilowarno,dkk. Biologi SMA/MA XII. Grasindo.

Ilyas, S. dan W.T. Diarni. 2007. Persistensi dan Pematahan Dormansi Benih. Jurnal Agrista 11 (2): 92-101.

ISTA.2008

Kartasapoetra, A. G. 2003. Teknologi Benih ( Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum) . PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Pandey, S. N and Sinha, B. K. 1992. Plant Physiology. Vikas Publishing House PVT LTD. India

Redaksi AgroMedia. 2007. Kunci Sukses Memperbanyaka Tanaman. Agromedia Pustaka.Jakarta

Salisbury, F.b dan Ross, C.W.1995. Fisiologi Tumbuhan jilid 1 edisi IV alih bahasa Luqman, RR dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung.

Sutopo, L. 1998. Teknologi Benih. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Wilkins, B Malcomn Alih bahasa Sutedjo Mul Mulyadi & Kartasaputro, 1969. Fisiologi Tanaman., Bina Aksaea: Jakarta.
About these ads

También podría gustarte