Está en la página 1de 17

HELICOBACTER PYLORI INFECTION

From Molecular Biology to Clinical Practice

HERNOMO KUSUMOBROTO
DIVISION OF GASTROENTERO-HEPATOLOGY DEPARTMENT OF MEDICINE AIRLANGGA UNIVERSITY SCHOOL OF MEDICINE SUTOMO HOSPITAL SURABAYA

Presented at :

PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN ILMU PENYAKIT DALAM XVII FK UNAIR RSUD Dr. Soetomo Surabaya Surabaya, 7-8 September 2002

HERNOMO KUSUMOBROTO
DIVISION OF GASTROENTERO-HEPATOLOGY DEPARTMENT OF MEDICINE AIRLANGGA UNIVERSITY SCHOOL OF MEDICINE SUTOMO HOSPITAL SURABAYA

HELICOBACTER PYLORI INFECTION


From Molecular Biology to Clinical Practice
SUMMARY
Helicobacter pylori is the major aetiological agent of chronic active gastritis and is generally accepted as having a causative role in the pathogenesis of peptic ulcer (PU) disease. H pylori infection has also been aetiologically linked to the development of gastric carcinoma. It is estimated that more than 50% of the world's population are infected with H pylori. However, only a minority of H pylori infected subjects develop PU or gastric cancer. The reasons for this are not well understood. The interaction of H. pylori with the surface mucosa results in release the proinflammatory cytokine IL-8 (interleukin 8) which leads to recruitment of polymorphonucleus cells and may begin the inflammatory process. The clinical significance of Helicobacter pylori in upper gastrointestinal disorders has been confirmed recently. This infection plays an important role in the pathogenesis of acute and chronic gastritis, peptic ulcer disease, gastric adenocarcinoma, and mucosa associated tissue lymphoma. In 1994, the International Agency for Research on Cancer (IARC), a working party of the World Health Organization, designated H. pylori class 1 (definite) carcinogen. The presence of the cytotoxine-associated gene (cagA), vaculating cytotoxine gene (vacA), and also a new gene iceA (induced by contact with epithelium gene), are several markers for H pylori strains that are more likely to induce gastroduodenal ulcer disease, more extensive antral and corpus inflammation, atrophic gastritis, and distal gastric adenocarcinoma. H. pylori is suited to an acid environment, therefore when acid secretion is reduced, as in atrophic gastritis or by treatment with an acid-pump inhibitor, H. pylori colonization diminished. The addition of a highly effective antiscretory agent to certain antibiotics increases eradication further. A more likely explanation for the effectiveness of acid suppression in association with antimicrobial therapy is that many antibiotics are more effective at a neutral pH so the reduction in acid secretion may enable them to exert their antibacterial effect more efficiently. Therefore a wide range of different antibiotic combinations have been used in many different studies, with many different names such as : "mono" "dual", "triple" or "quadruple" therapy. The advantages of this combination treatments are that there are fewer side effects, but symptom relief and healing in peptic ulcer patients is more rapid and complete, and gives eradication rates of around 90 %.

RINGKASAN
Helicobacter pylori merupakan penyebab utama dari gastritis kronik aktif dan umumnya telah disetujui memegang peranan penting dalam patogenesis tukak peptic. Infeksi H. pylori juga mempunyai hubungan etiologi terhadap timbulnya kanker lambung. Diduga lebih dari 50 % penduduk dunia telah terinfeksi denga H. pylori. Namun hanya sebagian kecil saja yang kemudian berkembang menjadi tukak peptic dan kanker lambug. Penyebabnya masih belum banyak diketahui. Interaksi kuman H. pylori dengan permukaan mukosa lambung menghasilkan terlepasnya proinflammatory cytokine IL-8, yang selanjutnya akan merangsang sel-sel polimorf untuk memulai proses keradangan. Kuman H. pylori ditemukan tersebar merata hampir di seluruh lambung (dari antrum, korpus, fundus, sampai kardia), dan memegang peranan penting untuk timbulnya gastritis kronik, gastritis atrofik, metaplasia intestinal, karsinoma dan mucosal associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma. Karena peranannya dalam perkembangan ke arah kanker lambung ini, pada tahun 1994 IARC (The International Agency for Research on Cancer) yang merupakan kelompok kerja dari WHO, telah memasukkan kuman H. pylori ini sebagai bahan karsinogenik kelas I (definitive carcinogenic). Adanya cytotoxine-associated gene (cagA), vaculating cytotoxine gene (vacA), dan juga gene yang paling baru iceA (induced by contact with epithelium gene), merupakan beberapa marker dari strain H pylori yang banyak menimbulkan tukak lambung, tukak duodenum, keradangan daerah antrum dan korpus yang lebih ekstensif, gastritis atrofik, dan adenokarsinoma lambung daerah distal. Kuman H. pylori sangat cocok hidup dalam suasana asam. Karena itu bila sekresi asam menurun, misalnya akibat pemberian obat-obat antisekretorik seperti penghambat pompa proton (PPP), kolonisasi H. pylori juga akan mengurang. Penambahan antisekretorik yang kuat, seperti PPP, pada beberapa antibiotika dapat meningkatkan efek eradikasi antibiotika tersebut, karena antibiotika sendiri hanya dapat bekerja optimal dalam suasana pH normal atau mendekati normal. Karena itu selama beberapa tahun terakhir ini telah diajukan berbagai macam kombinasi antibiotika untuk eradikasi kuman ini, baik berupa "mono" "dual", "triple" maupun "quadruple", dengan mengutamakan penambahan antisekretorik yang kuat, seperti PPP, untuk menghasilkan efek eradikasi maksimal, dengan efek samping yang minimal.

INFEKSI KUMAN HELICOBACTER PYLORI


Dari Biomol sampai Aplikasinya Dalam Klinik

HERNOMO KUSUMOBROTO Divisi Gastroentero-hepatologi Laboratorium SMF Penaykit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Sutomo Surabaya

1. PENDAHULUAN
Kuman Helicobacter pylori (H. pylori atau Hp) ditemukan pertama kali pada tahun 1984 oleh Marshall dan Warren dari Perth Australia. Sejak saat ini banyak peneliti yang kemudian menaruh perhatian besar pada kuman ini, terutama terhadap peranannya untuk menimbulkan inflamasi pada saluran cerna bagian atas, penyakit tukak peptik dan kemungkinan peranannya dalam perkembangan gastritis kronik ke arah karsinoma lambung (Dixon, 1994 ; Hsu, 2002 ; Pajares, 1995 ; Pallone, 1993 ; Pounder, 1994 ; Tytgat, 1990). Semua individu yang terkena infeksi kuman ini akan mengalami keradangan lambung yang kronik dan menetap (persistent), namun pada sebagian besar kasus tampaknya tidak menimbulkan morbiditas maupun mortalitas yang berarti (Williams, 1999). Diperkirakan 50 % penduduk dunia telah terinfeksi oleh kuman H. pylori ini. Namun hanya sebagian kecil saja yang kemudian berkembang menjadi tukak peptic dan kanker lambung. Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui dengan pasti (Hsu, 2002). Kuman H. pylori ditemukan tersebar merata hampir di seluruh lambung (dari antrum, korpus, fundus, sampai kardia), dan memegang peranan penting untuk timbulnya gastritis kronik, gastritis atrofik, metaplasia intestinal, karsinoma dan mucosal associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma (Hsu, 2002 ; Sharma, 2000 ; Williams, 1999). Karena peranannya dalam perkembangan ke arah kanker lambung ini, pada tahun 1994 IARC (The International Agency for Research on Cancer) yang merupakan kelompok kerja dari WHO, telah memasukkan kuman H. pylori ini sebagai bahan karsinogenik kelas I (definitive carcinogenic) (Williams, 1999). Kuman Helicobacter pylori hampir selalu ditemukan dalam prevalensi yang tinggi pada tukak duodenum, namun pada tukak lambung dan gastritis kronik kurang prevalensinya. Dia dapat menimbulkan hipergastrinemia dan hiperpepsinogenemia, namun tampaknya tidak mempengaruhi asiditas dalam lambung. Dengan melakukan eradikasi kuman ini,

kelihatannya angka kekambuhan tukak duodenum dapat ditekan (Malfertheimer, 1994 ; Pounder, 1994). Karena kuman H. pylori sangat cocok hidup dalam suasana asam, maka bila sekresi asam menurun, misalnya pada gastritis atrofik atau pemberian obat-obat antisekretorik seperti penghambat pompa proton (PPP), kolonisasi H. pylori juga akan mengurang. Kenyataan ini dipakai sebagai acuan dalam upaya pemberantasan atau eradikasi kuman H. pylori ini (Axon, 1994). Dispepsia non-tukak atau dispepsia fungsional (Non-ulcer dyspepsia = NUD) merupakan kelainan yang paling sering ditemukan di klinik gastroenterologi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa resiko kumulatif untuk timbulnya tukak pada penderita dyspepsia fungsional ini berkisar antara 1 21 % dalam pengamatan selama 1 10 tahun. Harus disadari pula bahwa penderita semacam ini dikemudian hari dapat saja meninggal akibat tukak yang mengalami perforasi. Karena itu perlu diketahui factor-faktor resiko apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan penderita dengan keluhan dyspepsia fungsional ke arah terjadinya tukak peptic (Hsu, 2002). Meskipun banyak peneliti telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara dyspepsia non-tukak dan infeksi H. pylori, namun keuntungan pemberian anti-H. pylori pada penderita dengan keluhan dyspepsia non-tukak, masih tetap menjadi kontroversi. Menarik juga untuk dicatat bahwa meskipun sekitar 50 % penderita dengan dyspepsia non-tukak tidak terinfeksi dengan kuman H. pylori, perjalanan penderita dengan dyspepsia non-tukak yang negatif Hp-nya ini sampai sekarang masih belum pernah diteliti (Hsu, 2002). Karena penyakit-penyakit yang ada hubungannya dengan infeksi kuman H. pylori merupakan penyakit yang paling banyak prevalensinya di dunia, maka setiap dokter seyogyanya mengetahui tentang infeksi kuman ini, bagaimana membuat diagnosisnya, juga cara penanganannya (Graham, 1998).

2. EPIDEMIOLOGI
Penyebaran Hp di masyarakat banyak diteliti dalam beberapa tahun terakhir ini. Ternyata angka infeksi kuman ini sangat bervariasi baik di dalam masyarakat, maupun di antara masyarakat sendiri. Prevalensi ditemukan lebih tinggi di negara yang sedang berkembang dibanding dengan negara maju. Dinegara maju sendiri, prevalensi ini sangat bervariasi tergantung kelompok etnik, budaya, genetik, sosioekonomik, lingkungan, dan beberapa faktor lainnya. Di Amerika, prevalensi ini meningkat dengan bertambahnya usia, lebih tinggi pada kelompok kulit hitam dan Hispanik, dibanding kelompok kulit putih. Angka infeksi ini juga ditemukan tinggi di daerah yang padat penduduknya dengan lingkungan sosioekonomi yang kurang. Di Cina, beberapa laporan menunjukkan bahwa di lingkungan perkotaan prevalensinya lebih tinggi dibanding di pedesaan (Malaty, 1994). Pada kelompok anak dengan retardasi mental dan di panti asuhan, ditemukan frekuensi infeksi Hp lebih tinggi dibanding dengan kelompok di sekitarnya. Anak dari ibu dengan Hp positif, mempunya prevalensi infeksi Hp yang lebih tinggi dari pada anak dari ibu

dengan Hp negatif. Frekuensi infeksi Hp sama tingginya pada kelompok wanita maupun pria. Di negara-negara yang sedang berkembang, anak dengan seropositif ditemukan lebih tinggi (75 - 85 %) dari pada di negara-negara maju (5 %) (Pajares, 1995). Penelitian di Indonesia, baik dengan cara serologik maupun test urea (CLO test) juga menunjukkan frekuensi yang sangat bervariasi tergantung daerah di mana penelitian dikerjakan. Pada kelompok donor darah dan individu sehat di beberapa kota (Malang, Solo dan Medan) menunjukkan frekuensi 34 - 37 %, sementara di Mataram lebih tinggi sekitar 54 %. Pada anak usia < 14 tahun, frekuensi infeksi H. pylori juga ditemukan lebih rendah di Malang dan Solo (< 7 %), dibanding di Mataram (35 %) dan Denpasar (35 %) (Haryono, 1995). Pada penyakit saluran cerna, prevalensi Hp sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Namun pada umumnya frekuensinya tinggi (95 - 100 %) pada tukak duodenum, dan lebih rendah pada tukak lambung (85 - 90 %), gastritis kronik (90 - 95 %), dan karsinoma lambung (70 - 80 %) (Pajares, 1995). Beberapa penelitian di Indonesia juga menunjukkan bahwa angka infeksi H. pylori pada dispepsia nontukak bervariasi antara 9 - 72 %, sementara pada tukak peptik antara 40 - 100 % (Haryono, 1995 ; Hernomo, 1996). Di Surabaya sendiri ada perbedaan yang cukup menyolok antara frekuensi relatif infeksi H. pylori pada dispepsia non-tukak di RS Pemerintah (36 %) di banding dengan RS Swasta (9 - 15 %) (Laksmi, 1994 ; Hernomo, 1996).

3. PATOFISIOLOGI
Lambung merupakan sebuah empang yang berisi asam, yang menyebabkan sebagian besar mikroorganisme tidak mampu berkolonisasi di sini. Namun penelitian membuktikan bahwa masih cukup banyak spesies bakteri yang dapat memanfaatkan lambung sebagai tempat tinggal mereka. Salah satu di antaranya adalah kuman H. pylori. Kuman ini mempunyai sifat khusus, tinggal di bawah lapisan mucus di permukaan epitel atau mukosa lambun (Graham, 1998). Infeksi kuman H. pylori dalam lambung menimbulkan kelainan melalui : 1). efek sitotoksik langsung sehingga timbul kerusakan mukosa lambung, 2). reaksi inflamasi kronik serta 3). respons imunologik yang menyebabkan penurunan resistensi mukosa, (Black, 1993 ; Dixon, 1994). Reaksi tubuh terhadap infeksi kuman H. pylori, dapat berupa : kerusakan langsung ("direct injury") pada mukosa lambung, atau melewati reaksi imunologik (Pajares, 1995).

Reaksi langsung
Degenerasi permukaan epitel (yang disertai penurunan produksi mucin dan kerusakan sel exfoliated cells) merupakan gambaran yang menarik dari gastritis kronik aktif akibat H. pylori, dan ini berhubungan positif dengan kontak yang erat dari sejumlah kuman H.

pylori dengan membran plasma. Hal ini menimbulkan dugaan adanya efek toksik langsung dari produk bakteri pada epitel sel. Beberapa strain kuman H. pylori membuat vacuolating cytotoxin yang dapat dilihat secara invitro, namun secara invivo ternyata arti kepentingan patologinya masih kontroversi. Ammonia, yang dibuat lewat aktivitas bacterial urease, mungkin juga merupakan toksin seluler yang poten. Namun produk ammonia yang lain, mungkin lebih berarti, misalnya mono-N-chloramine yang dibuat oleh interaksi antara ammonia dengan asam hipoklorid, yang dibuat oleh aktivasi netrofil. Phospholipase yang dibuat oleh kuman H. pylori juga dapat merusak permukaan epitel. Fosfolipase A2 dan C dapat merusak lapisan kembar (bilayer) fosfolipid yang normal dari membran epitel sel dan mempengaruhi integritas sel. Bahan ini juga dapat melepas asam arachidonat, yang kemudian diubah (converted) menjadi leucotrienes dan eicosanoids, yang meningkatkan permeabilitas membran, menyebabkan mucus discharge dan efek pro-inflammatory. Fosfolipase juga merusak lapisan mucus, menyebabkan mucus yang terinfeksi kuman H. pylori ini, menjadi kurang hidrofobik dibanding mucus yang normal. Kuman H. pylori juga membuat platelet-activating factor (PAF) secara langsung atau lewat pengaruhnya terhadap mast cell. Bahan ini menimbulkan aktivasi trombosit dan trombosis, menyebabkan timbulnya oklusi pada mikrosirkulasi, dan hilangnya integritas epitel akibat kerusakan iskemia (ischaemic damage). Dengan cara yang sama, kuman H. pylori dapat memproduksi endotoksin yang mempunyai efek merusak terhadap endotel kapiler dengan segala akibat yang sama (Dixon, 1994 ; Graham, 1998).

Reaksi inflamasi kronik


Pada infeksi H. pylori, perbedaan pola keradangan mempengaruhi perjalanan penyakitnya. Pada sebagian besar kasus akan timbul gastritis difus atau pangastritis, yang umumnya asimtomatik. Sebagian penderita ini kemudian akan menderita tukak lambung, dan sebagian kecil lagi akan berkembang menjadi karsinoma lambung. Sebaliknya pada kelompok lain dapat timbul gastritis yang timbul terutama di daerah antrum, yang kemudian akan berkembang menjadi tukak duodenum. Perbedaan pola ini diduga akibat perbedaan dalam respons imun dari tiap-tiap bagian lambung, akibat perbedaan strain kuman H. pylori, atau akibat perbedaan produksi asam dalam lambung (Dixon, 1994 ; Vaezi, 2000). Pada penderita dengan gastritis kronik yang difus, akibat infeksi H. pylori yang berlangsung lama, biasanya akan terjadi atrofi dan metaplasia jaringan kelenjar dalam mukosa lambung, yang akan menimbulkan penipisan lapisan mukosa lambung. Peristiwa ini biasanya terjadi di bagian proksimal lambung di daerah kurvatura minor. Sebagai akibatnya komposisi mukus dan produksi bikarbonat menurun, yang akan menimbulkan penurunan faktor defensif mukosa lambung. Dalam jangka lama, ini akan menyebabkan timbulnya tukak lambung, yang pada sebagian penderita akan berkembang menjadi kanker lambung (Dixon, 1994 ; Graham, 1998 ; Williams, 1999). Lebih dari 90 % penderita dengan tukak duodenum disertai gastritis kronik aktif terutama di daerah antrum, akibat infeksi H. pylori. Penderita-penderita ini pada umumnya

menunjukkan adanya peningkatan kadar gastrin dalam plasma. Penyebab hipergastrinemia ini diduga akibat : peran mediator-mediator inflamasi - seperti IL-1 (Interleukin-1), IL-6 dan TNF-alfa, penurunan produksi somatostatin, dan disregulasi selsel G dan D akibat kerusakan neuron pasca keradangan. Hipergastrinemia ini akan memacu peningkatan produksi asam lambung, yang berakibat timbulnya tukak duodenum (Dixon, 1994 ; Graham, 1998). Dalam keadaan normal mukosa antrum tidak mengandung sel radang menahun. Sementara mukosa korpus yang normal kadang-kadang mengandung agregat-agregat small lymphoid yang terletak dekat muskularis mukosa, namun tidak ada yang sampai di daerah superficial lamina propria. Infiltrasi sel-sel keradangan kronik dengan limfosit, sel plasma dan beberapa eosinofil, merupakan gambaran yang mencolok pada gastritis kronik (keculai pada : end-stage gastritis dengan glandular atrophy yang berat dan metaplasia). Dan ini dianggap sebagai respons imunologi mukosa terhadap infeksi H. pylori (Dixon, 1994).

Respons imunologi
Kuman H. pylori mengeluarkan beberapa antigen penting antara lain : urease, lipopolysaccharide (LPS)-endotoxin, 62K heat-shock protein, 87K cytoxin dan cytoxin-associated protein. Awalnya antigen-antigen ini ditangkap oleh monosit dalam lamina propria, yang kemudian mengeluarkan tumour necrosis factor-alpha (TNFalpha) dan interleukin (ILs) 1 dan 6. TNF-alpha mendorong terjadinya adesi lekosit pada endotel sel, dan mengumpulkan sel-sel lekosit di tempat infeksi. Proses yang terjadi ini, bersama-sama antigen dan ILs 1 dan 6, merangsang sel-sel T-helper (CD4+), dan semua ini akan menimbulkan pengeluaran beberapa cytokines, termasuk Ils 4, 5. 6 dan 8, dan interferon-gamma (IFN-gamma). IL-8 merupakan chemotaxin penting terhadap polimorf yang produksinya dari limfosit dilengkapi oleh epithelial production sebagai respons terhadap cytoxin dari kuman H pylori. Cytoxin ini dipacu produksinya oleh adanya cytokines yang lain. Polimorf yang ada dalam dan dekat permukaan epitel, kemudian akan ditangkap oleh bacterial leucotaxins dan selanjutnya dimasukkan ke dalam lapisan mucus (Dixon, 1994 ; Graham, 1998). Interleukin yang lain, terutama IL-6, merangsang deferensiasi sel-sel limfosit B menjadi sel-sel plasma yang khusus mengeluarkan antibody (specific antibody-producing plasma cells). Interferon merangsang ekspresi class II histocompatibility antigens (HLA-DR) di sel-sel epitel lambung, yang kemudian akan menjadi antigen-presentimg cells. Selanjutnya ini akan diikuti dengan produksi immunoglobulin (Ig)M, sekresi IgA dan IgG (Dixon, 1994).

Strain virulen kuman H. pylori


Perjalanan penyakit serta kelainan yang timbul pada saluran cerna bagian atas akibat H. pylori ini juga ditentukan oleh jenis strain kuman yang ada. Dari laporan epidemiologi

sebelumnya dapat ditunjukkan bahwa di negara berkembang, terutama di Asia, terdapat prevalensi yang tinggi dari cagA-positive strain (cytotoxin-associated gene). Adanya cagA-positive strain ini merupakan marker stain H. pylori yang banyak menimbulkan tukak lambung, tukak duodenum, keradangan daerah antrum dan korpus yang lebih ekstensif, gastritis atrofik, dan adenokarsinoma lambung daerah distal. Ini dibuktikan dari penelitian Vaezi dan kawan-kawan, yang menunjukkan bahwa kelainan di atas ternyata lebih banyak ditemukan pada penderita dengan cagA-positive dibanding yang dengan cagA-negative (Vaezi, 2000 ; Williams, 1999). Sebaliknya pada penderita dengan dispepsia non-tukak, lebih banyak ditemukan H. pylori dengan cagA-negative strain (Williams, 1999). Penyebab terjadinya gastrititis kronik atrofikans (atrophic chronic gastritis atau ACG) adalah multifaktorial, menyangkut factor lingkungan dan respons tuan rumah (host) terhadap infeksi Helicobacter pylori. Data yang menyangkut sosiodemografik, social behaviour, aspek biologi, diet, dan faktor virulensi dari H pylori strains tertentu yang telah dikumpulkam dalam penelitian cross sectional dari 19 pusat penelitian di Europa di 14 negara, menunjukkan bahwa adanya antibody anti-CagA and anti-VacA (vacuolated-associated gene) yang ditemukan bersama-sama meningkatkan resiko timbulnya ACG pada penderita Eropa dengan dyspepsia. Sebaliknya diit dan riwayat keluarga bukan merupakan factor resiko untuk timbulnya ACG. (Broutet, 2002). Selain vacuolating cytotoxin gene (vacA) s1a genotype dan cytotoxin associated gene (cagA) yang telah di buktikan mempunyai hubungan dengan virulensi kuman H. pylori dan timbulnya tukak peptic (meskipun ada laporan lain yang membantah), satu gene baru lain iceA (induced by contact with epithelium gene) juga telah dilaporkan mempunyai sifat-sifat virulensi yang sama. Dua allelic variants dari gene ini (iceA1 and iceA2) juga telah diteliti. Beberapa penelitian yang dilakukan pada populasi orang Barat menimbulkan dugaan adanya hubungan antara iceA 1 dengan tukak peptik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa lipopolysaccharides (LPS) dari sebagian besar isolat kuman H. pylori meng-expressi antigen-antigen golongan darah Lewisx (Lex) y dan/atau Le , dan antigen-antigen ini juga di-expressi pada mukosa lambung manusia. Diduga bahwa molecular mimicry ini ikut memainkan peranan dalam patogenesis infeksi H. pylori. Penyakit tukak peptik telah di duga ada hubungannya dengan H. pylori yang diexpressi oleh Lex/Ley, dan hubungan antara cagA gene dan expressi dari Lex/Ley juga telah dilaporkan. Expressi dari Le antigens dan prevalensi dari iceA belum pernah diteliti secara mendalam di negara-negara Asia, di mana cagA gene cukup tinggi tanpa melihat penyakit yang menyertainya. Strain H pylori mungkin saja berbeda sesuai dengan masing-masing daerah geografinya, dan penelitian pada populasi yang berbeda-beda dapat menjelaskan pentingnya faktor-faktor virulensi kuman serta geografinya. Zheng dkk. telah melakukan penelitian terhadap expressi antigen Le dan prevalensi dari cagA, ice A, dan vacA pada 108 isolat kuman H. pylori di Singapore. Expressi dari 2 atau lebih antigen Le (Lex, Ley, Lea, or Leb) ternyata lebih tinggi secara bermakna pada kuman H. pylori yang diisolasi dari penderita tukak dibandingkan dengan yang non-tukak (89.6% v 73.2%, p=0.035). Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada prevalensi dari cagA maupun iceA1 pada kuman H pylori yang diisolasi dari penderita tukak maupun non-tukak (86.6% v 90.2% untuk cagA; 70.1% v 68.3% untuk

iceA1), dan tidak ditemukan hubungan antara tukak peptik dengan genotype yang spesifik dari vacA. Penelitian Zheng ini membuktikan bahwa tukak peptik berhubungan dengan peningkatan expressi antigen Lewis, tetapi tidak dengan cagA, iceA, maupun vacA genotype pada isolat kuman H pylori di populasi Singapore. Ini menimbulkan dugaan bahwa cagA, iceA, dan vacA bukan merupakan marker virulensi yang universal; dan bahwa interaksi antara host-pathogen merupakan hal yang penting dalam menentukan perjalanan klinik penyakitnya (Zheng, 2000).

Hubungan dengan OAINS


Beberapa factor predisposisi untuk timbulnya tukak akibat OAINS pernah diteliti oleh Hawkey dkk. Ternyata usia lanjut, riwayat tukak di masa lalu, adanya rheumatoid arthritis, dan infeksi H. pylori mempunyai hubungan bermakna untuk terjadinya tukak. Tukak duodenum lebih sering ditemukan pada mereka yang mempunyai riwayat tukak di masa lalu, infeksi H. pylori, dan pada penderita pria. Sementara tukak lambung erat hubungannya dengan wanita, usia yang lanjut, dan pemakaian OAINS dosis tinggi (Hawkey, 2002). Dari penelitian Hsu dkk., terbukti bahwa : infeksi H. pylori, penggunaan OAINS, dan usia lanjut, juga merupakan factor-faktor resiko independen yang mempengaruhi perkembangan NUD ke arah tukak di kemudian hari. Karena itu, pengamatan dengan pemeriksaan endoskopi sangat dianjurkan untuk penderita NUD yang mempunyai factor resiko multiple, bila keluhan timbul kembali (Hsu, 2002).

Hubungan dengan GERD


Beberapa penelitian terakhir menunjukkan adanya dugaan bahwa kuman H. pylori mempunyai hubungan terbalik dengan dengan penyakit gastro-esofageal (GERD). Seperti diketahui infeksi kuman H. pylori akan menimbulkan proses keradangan menahun yang akan menimbulkan atrofi mukosa dan metaplasia intestinal di bagian antrum dan korpus, yang merupakan daerah produsen utama asam lambung. Beberapa penderita bahkan dapat mengalami aklorhidria, atau paling sedikit hipoklorhidria. Karena itu tiadanya infeksi H. pylori akan menyebabkan meningkatnya resiko timbulnya GERD dan komplikasinya (Barretts esophagus dan kanker). Demikian pula eradikasi kuman H pylori akan menyebabkan perbaikan proses keradangan di lambung, sehingga produksi asam menjadi normal, bahkan akan meningkat. Ini juga menjadi salah satu factor yang memungkinkan meningkatnya resiko timbulnya GERD. Namun dugaan hubunngan patogenesis ini banyak diragukan oleh beberapa peneliti lain (Vaezi, 2000 ; Williams, 1999).

4. PENGOBATAN
Mengingat bahwa infeksi H. pylori secara teoritis dapat diberantas, maka skrining masal untuk H. pylori yang diikuti dengan pengobatan yang efektif, idialnya dapat dipakai 10

untuk mencegah timbulnya kanker lambung (Williams, 1999). Namun ada beberapa kendala yang berhubungan dengan eradikasi kuman ini. Organisme ini tinggal dalam lumen lambung berada di permukaan mukosa, sehingga sulit dicapai oleh semua antibiotika yang mempunyai akses dari sirkulasi. Sebaliknya karena H. pylori ditemukan di bawah lapisan mukus, antibiotika yang berada dalam lumen lambung juga akan mengalami kesulitan untuk mencapainya. Selain itu gerakan pengosongan lambung yang teratur, juga mempersulit pemberian obat lokal, karena akan membutuhkan pemberian obat yang lebih sering frekuensinya untuk mempertahankan efek yang stabil dalam 24 jam. Selanjutnya sebagian besar antibiotika pada umumnya akan lebih efektif pada suasana pH netral atau mendekati netral, sehingga suasana asam dalam lambung akan mengganggu kerja antibiotika tersebut (Axon, 1994). Kuman H. pylori sangat cocok hidup dalam suasana asam. Karena itu bila sekresi asam menurun, misalnya pada gastritis atrofik atau pemberian obat-obat antisekretorik seperti penghambat pompa proton (PPP), kolonisasi H. pylori juga akan mengurang. Hambatan terhadap produksi asam sendiri, tidak dapat menyebabkan eradikasi kuman ini, karena kuman Hp dapat berkolonisasi kembali setelah sekresi asam kembali ke keadaan semula, sebelum pengobatan. Penambahan antisekretorik yang kuat, seperti PPP, pada beberapa antibiotika dapat meningkatkan efek eradikasi antibiotika tersebut. Meskipun peningkatan pH intragastrik sendiri dapat mengurangi kolonisasi kuman Hp, PPP sendiri juga mempunyai efek antibakteri langsung meskipun lemah (Axon, 1994 ; Graham, 1998). Tujuan pengobatan tukak peptik adalah : 1. menghilangkan keluhan penderita, 2. menyembuhkan tukak dan 3. mencegah kekambuhan dan komplikasi. Ini dapat dicapai dengan kombinasi obat-obat anti-tukak dan anti-helicobacter (Axon, 1994 ; De Boer, 1995 ; Hernomo, 1993 ; Hosking, 1994 ; Lee, 1995).

Obat anti-Helicobacter Karena kuman H. pylori dianggap bertanggung jawab terhadap timbulnya hampir semua kasus tukak duodenum, sebagian besar kasus tukak lambung, dan mungkin ikut bertanggung jawab pula terhadap kemungkinan timbulnya kanker lambung, maka pengobatan untuk mengeradikasi kuman ini tampaknya cukup beralasan untuk dikerjakan. Selama beberapa tahun terakhir ini telah diajukan berbagai macam kombinasi antibiotika untuk eradikasi kuman ini, baik berupa "mono" "dual", "triple" maupun "quadruple" therapy, dengan hasil yang sangat bervariasi. Pada umumnya digunakan penambahan antisekretorik, seperti ARH-2 (antagonis reseptor H-2) atau PPP. Keuntungan dual therapy dibanding triple therapy adalah efek samping obat yang sedikit, keluhan lebih cepat hilang, dan penyembuhan tukak lebih cepat dan lebih sempurna. Kerugiannya adalah efektivitas yang lebih kecil. (Axon, 1994 ; Beker, 1995 ; De Boer, 1995 ; Fennerty, 1995 ; Hunt, 1997). Terdapat banyak kontroversi mengenai apakah pemberian obat anti-H. pylori dapat megurangi resiko terjadinya tukak peptic selama pengobatan dengan OAINS. Labenz

11

dkk. telah melakukan penelitian multisenter secara secara acak, buta ganda, dengan kontrol plasebo pada penderita dengan H. pylori yangmembutuhkan pengobatan dengan OAINS. Semua penderita tidak mempunyai tukak peptic pada saat dan sebelum pengobatan. OAINS yang diberikan adalah diclofenac 50 mg 2 x/hari selama 5 minggu, dalam kombinasi dengan 1 atau 4 pengobatan anti-H. pylori yang diberikan secara acak selama 1 miggu. Semua penderita diendoskopi sebelum dan sesudah pengobatan. Data dari 660 penderita dimasukkan dalam intention to treat analysis. Penderita yang mendapatkan pengobatan aktif anti H. pylori menunjukkan keluhan lebih sedikit dibanding yang tanpa pengobatan. Pada semua penderita dengan infeksi H. pylori, semua pengobatan dengan anti-H.pylori dapat mengurangi terjadinya tukak maupun keluhan dyspepsia akibat OAINS. (Labenz, 2002). Data yang dikumpulkan dari penelitian multisenter skala besar (The OMNIUM = Omeprazole versus Misoprostol for NSAID Induced Ulcer Management, the ASTRONAUT = Acid Suppression Trial: Ranitidine or Omeprazole for NSAID Associated Ulcer Treatment, dan the OPPULENT = Omeprazole versus Placebo as Prophylaxis against Ulcers or Erosions from NSAID Treatment studies), menunjukkan bahwa penyembuhan tukak lambung dan tukak duodenum terjadi lebih cepat secara bermakna dengan omeprazole 20 mg dibanding misoprostol 4 x 200 ug, atau ranitidine 2 x 150 mg. Misoprostol lebih efektif untuk penyembuhan erosi. Tukak lambung menyembuh lebih perlahan pada tukak yang besar atau bila ada riwayat tukak sebelumnya. Penyembuhan lebih cepat bila ada infeksi H. pylori, terutama bila diberikan tambahan obat penekan produksi asam (Hawkey, 2002). Salah satu pertanyaan penting yang masih belum bisa terjawab sampai saat ini adalah, apakah eradikasi kuman H. pylori dapat menimbulkan perbaikan keluhan yang permanen pada penderita dengan dyspepsia fungsional (NUD). Ada 2 penelitian yang mirip satu sama lain yang pada saat ini telah selesai dikerjakan yaitu : (the ORCHID dan OCAY studies). Hasil kombinasi dari kedua penelitian, yang bersifat multisenter, multinasional, secara acak, membuta ganda, dengan kontrol ini untuk melihat efek eradikasi terhadap keluhan dyspepsia fungsional yang diikuti selama 12 bulan. Pada ORCHID study yang meliputi 370 penderita pengobatan yang diberikan adalah omeprazole, amoxycillin, and clarithromycin (OAC) atau plasebo diberikan selama 7 hari. Pada OCAY study, 348 penderita diacak untuk pengobatan selama 7 hai dengan OAC atau omeprazole/placebo antibiotics. Pada kedua penelitian ini, penderita diikuti selama 12 bulan untuk dievaluasi menghilangnya atau mengurangnya keluhan yang diukur dengan 7 parameter sesuai dengan Likert scale. Pada analisa pertama, ternyata tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam keluhan maupun kualitas hidup penderita pada kedua kelompok (dengan pengobatan OAC atau plasebo). Namun pada analisa kedua, kelompok di mana gastritisnya mengalami penyembuhan, hasil pengobatan ternyata lebih baik secara bermakna, disbanding yang gastritisnya tidak sembuh. Pada analisa subkelompok, penderita dengan ulcer-like dan reflux-like menunjukkan hasil yang lebih baik dengan pengobatan anti-H. pylori, sementara pada kelompok dismotility-like tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (Veldhuyzen van Zanten, 2002).

12

Dalam consensus Maastricht 2-2000 telah disepakati beberapa patokan mengenai konsep terbaru penatalaksanaan infeksi H. pylori (tabel 1 dan 2), yang kiranya sementara ini dapat dipakai secara global, termasuk di Indonesia. Untuk pilihan pertama, eradikasi H. pylori dapat dipakai triple drug : PPI (omeprazole 2 x 20 mg) atau RBC (ranitidine bismuth citrate) + clarithromycin (2 x 500 mg) + amoxicillin (2 x 1 gram) atau metronidazole (2 x 500 mg) selama minimum 1 minggu. Bila gagal, dapat dipakai pilihan ke dua quadruple therapy : PPI (2 x dosis standard) + bismuth (4 x 120 mg) + metronidazole (3 x 500 mg) : tetracycline (4 x 500 mg) selama minimum 7 hari (EHPSG, 2000).

5. RINGKASAN Kuman H. pylori ditemukan tersebar merata hampir di seluruh lambung (dari antrum, korpus, fundus, sampai kardia), dan memegang peranan penting untuk timbulnya gastritis kronik, gastritis atrofik, metaplasia intestinal, karsinoma dan mucosal associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma. Karena peranannya dalam perkembangan ke arah kanker lambung ini, pada tahun 1994 IARC (The International Agency for Research on Cancer) yang merupakan kelompok kerja dari WHO, telah memasukkan kuman H. pylori ini sebagai bahan karsinogenik kelas I (definitive carcinogenic). Perjalanan penyakit serta kelainan yang timbul pada saluran cerna bagian atas akibat H. pylori ini juga ditentukan oleh jenis strain kuman yang ada. Adanya cagA-, vacA-, dan iceApositive strain, merupakan marker stain H. pylori yang banyak menimbulkan tukak lambung, tukak duodenum, keradangan daerah antrum dan korpus yang lebih ekstensif, gastritis atrofik, dan adenokarsinoma lambung daerah distal. Kuman H. pylori sangat cocok hidup dalam suasana asam. Karena itu bila sekresi asam menurun, misalnya akibat pemberian obat-obat antisekretorik seperti penghambat pompa proton (PPP), kolonisasi H. pylori juga akan mengurang. Penambahan antisekretorik yang kuat, seperti PPP, pada beberapa antibiotika dapat meningkatkan efek eradikasi antibiotika tersebut, karena antibiotika sendiri hanya dapat bekerja optimal dalam suasana pH normal atau mendekati normal. Karena itu selama beberapa tahun terakhir ini telah diajukan berbagai macam kombinasi antibiotika untuk eradikasi kuman ini, baik berupa "mono" "dual", "triple" maupun "quadruple", dengan mengutamakan penambahan antisekretorik yang kuat, seperti PPP, untuk menghasilkan efek eradikasi maksimal, dengan efek samping yang minimal. Mengingat sebagian penderita dengan NUD dapat berkembang menjadi tukak peptic, ada baiknya untuk dipertimbangkan pemberian obat anti-H. pylori pada kelompok penderita ini, khususnya yang menunjukkan infeksi H. pylori yang positif, yang disertai gastritis kronik aktif pada pemeriksaan endoskopi, serta yang menunjukkan keluhan dyspepsia dengan ulcer-like atau reflux-like. Demikian pada penderita gastropati akibat OAINS, pemberian anti-H. pylori pada mereka yang positif mempunyai infeksi kuman ini, akan memberikan hasil yang lebih baik.

13

6. DAFTAR PUSTAKA 1. Axon, A.T.R. 1994. Treatment of Helicobacter pylori infection. In Helicobacter pylori, its role in gastrointestinal disease. Ed. by A.T.R. Axon, Science Press Ltd., London, p. 57. 2. Beker, J.A. ; Porro, G.B. ; Bigard, M.A. et al. 1995. Double-blind comparison of pantoprazole and omeprazole for the treatment of acute duodenal ulcer. Europ. J. Gastroenterol. Hepatol. 7 : 407. 3. Black, P. and Charlesworth, P. 1993. Peptic ulcers. Med. Digest 11 : 9. 4. Broutet, N. 2002. The Eurohepygast Study Group : Risk factors for atrophic chronic gastritis in a European population: results of the Eurohepygast study. Gut
50:779-785

5. De Boer, W.A. ; Driessen, W.M.M. ; Janz, A.R. and Tytgat, N.J. 1995. Quadruple therapy compared with dual therapy for eradication of H. pylori in ulcer patients : results of randomized proscpective single-centre study. Europ. J. Gastroenterol. Hepatol. 7 : 1189. 6. Dixon, F. 1994. Helicobacter pylori and acid peptic disease. In Helicobacter pylori, its role in gastrointestinal disease. Ed. by A.T.R. Axon, Science Press Ltd., London, p. 18. 7. EHPSG (European Helicobacter Pylori Study Group), 2000. Current Concept in the Management of Helicobacter pylori infection. The Maastricht 2-2000 Comsensus Report, 21 22 September. 8. Fennerty, M.B. 1995. "Cure" of Helicobacter pylori and "cure" of peptic ulcer : do they mean the same thing ?. Am. J. Gastroentrol. 90 : 1203. 9. Graham, K.S. and Graham, D.Y. 1998. Contemporary Diagnosis and Management of H. pylori-Associated Gastrointestinal Disaeses. Handbooks in Health Care Co., Newtown, Pensylvania, USA. 10. Hawkey, C.J. ; Wilson, I ; Nsdal, J et al 2002. Influence of sex and Helicobacter pylori on development and healing of gastroduodenal lesions in nonsteroidal anti-inflammatory drug users. Gut 51:344-350 11. Harijono A. 1995. Aspek epidemiologi Helicobacter pylori di Indonesia. Naskah Lengkap Simposium Aspek Epidemilogi, Klinis, Komplikasi dan Pengelolaan Infeksi Helicobacter Pylori. Malang, 8 April hal. 15. 12. Hatlebakk, J.G. ; Berstad, A. ; Carling, L. et al. 1993. Lanzoprazole versus omeprazole in short-term treatment of reflux esophagitis. Results of a Scandinavian multicenter trial. Scand. J. Gastroenterol. 28 : 224. 14

13. Hernomo K. 1993. Patofisiologi dan Pengelolaan Tukak Peptik. Konggres Nasional VI PGI-PEGI dan Pertemuan Ilmiah VII PPHI, Bandung, 30 Nopember - 4 Desember. 14. Hernomo K. 1996. Prevalensi Helicobacter pylori pada penderita dispepsia pada sekelompok masyarakat di Surabaya (data pribadi). 15. Hosking, S.W., Ling, T.K.W., Chung, S.C.S. et al. 1994. Duodenal ulcer healing by eradication of Helicobacter pylori without anti-acid treatment : randomized controlled trial. Lancet 343 : 508. 16. Hunt, R.H. 1997. Peptic ulcer disease : defining the treatment strategies in the era of Helicobacter pylori. Am. J. Gastroenterol. 92 (Suppl.) : 36 S. 17. Hsu1,P.I. ; Lai1, K.H. ; Lo1, G.H., et al. 2002. Risk factors for ulcer development in patients with non-ulcer dyspepsia: a prospective two year follow up study of 209 patients Gut 51:15-20
18. Labenz, J. ; Blum, A.L. ; Bolten, W.W. et al. 2002.

Primary prevention of diclofenac associated ulcers and dyspepsia by omeprazole or triple therapy in Helicobacter pylori positive patients: a randomised, double blind, placebo controlled, clinical trial. Gut 51:329-335

19. Laksmi, W. 1994. Kaitan Helicobacter pylori dengan dispepsia non-ulkus di RSUD Dr. Sutomo. Karya Akhir, FK Unair, Surabaya. 20. Lee, A. ; Dixon, M.F., Danon, S.J. et al. 1995. Local acid production and Helicobacter pylori : a unifying hypothesis of gastroduodenal disease. Eurp. J. Gastroenterol. Hepatol. 7 : 461. 21. Malaty, H.M. ; Mitchell, H.M. and Grahamn, D.Y. 1994. Epidemiology of Helicobacter pylori infection. In Helicobacter pylori, its role in gastrointestinal disease. Ed. by A.T.R. Axon, Science Press Ltd., London, p. 11. 22. Malfertheimer, P. 1994. Diagnosis of Helicobacter pylori infection. In Helicobacter pylori, its role in gastrointestinal disease. Ed. by A.T.R. Axon, Science Press Ltd., London, p. 46. 23. Pajares, J.M. 1995. H. pylori infection : its role in chronic gastritis, carcinoma and peptic ulcer. Hepato-Gastroenterol. 42 : 827. 24. Pallone, F. ; Luzza, F. ; Fave, G.D. et al. 1993. Lanzoprazole and Helicobacter pylori infection. Clin. Therap. 15 (Suppl. B) : 49.

15

25. Peura, D.A. 1997. Ulcerogenesis : Integrity the roles of Helicobacter pylori and acid secretion in duodenal ulcer. Am. J. Gatroenterol 92 (Suppl.) : 8 S. 26. Pounder, R. 1994. Peptic ulceration. Medicine Int. 7 : 225. 27. Sharma, P. ; Topalovski, M. ; Mayo, M.S. et al. 2000. Helicobacter pylori eradication dramatically improves inflammation in the gastric cardia. A. J. Gastroenterol. 95 : 3107. 28. Spiro, H.M. 1993. Clinical Gastroenterology, 4t ed, McGraw-Hill Inc., Toronto p. 251. 29. Tytgat, G.N.J. 1990. Campylobacter pylori. Past, present and future. ADIS Int., Manchester. 30. Vaezi, M.F. ; Falk, G.W. ; Peek, R.M. et al. 2000. CagA-positive starins of Helicobacter pylori may protect against Barretts esophagus. Am. J. Gastroentrol. 95 : 2206. 31. Veldhuyzen van Zanten, S.J.O. ; Talley, N.J. ; Blum, A.L. et al 2002. Combined analysis of the ORCHID and OCAY studies: does eradication of Helicobacter pylori lead to sustained improvement in functional dyspepsia symptoms? Gut 50:iv26-iv30 32. Williams, M.P. and Pounder, R.E. 1999. Helicobacter pylori : from the benign to the malignant. Am. J. Gastroenterol. 94 (Suppl.) : S 11. 33. Zheng, P.J. ; Hua, J ; Yeoh, K.G. and Ho, B. 2000. Association of peptic ulcer with increased expression of Lewis antigens but not cagA, iceA, and vacA in Helicobacter pylori isolates in an Asian population Gut 47:18-22 ( July )

----oo0oo----

16

Tabel 1. Maastricht 2-2000 Consensus Report 1. Pilihan pertama untuk triple therapy : PPI atau RBC (ranitidine bismuth citrate) + amoxicllin + clarithromycin. 2. Tukak duodenum tanpa komplikasi : eradikasi Hp selama 1 minggu, tanpa perlu diikuti antisekretorik. 3. Search-and-treat program dilakukan pada penderita tukak peptic dengan pengobatan antisekretorik jangka lama secara intermittent. 4. Test-and-treat dianjurkan pada penderita dewasa, usia < 40 tahun, dengan dyspepsia yang persisten. 5. NUD dengan infeksi H. pylori positif, sebaiknya diterapi anti-H. pylori, karena biasanya penderita membutuhkan pengobatan jangka lama untuk menghilangkan keluhannya. 6. Infeksi H. pylori tidak akan diikuti dengan timbulnya GERD, dan pada sebagian besar kasus, tak akan memperjelek GERD yang sudah ada.

Tabel 2. Maastricht 2-2000 Consensus Report rekomendasi pemberian anti-H. pylori 1. Strongly recommended Tukak lambung atau duodenum (aktif atau tidak, termasuk PUD dengan komplikasi. MALToma Gastritis atrofikans. Pasca reseksi pada Ca lambung. Penderita yang mempunyai hubungan keluarga lini pertama, dengan penderita kanker lambung. Penderita menginginkan pengobatan anti-H. pylori (setelah diberi penjelasan sejelasnya oleh dokter yang mengangani. 2. Advisable indication: Dispepsia fungsional, anti-H. pylori merupakan pilihan terbaik, guna menghindari pemakaian obat jangka lama guna menghilangkan keluhan. GERD, eradikasi H. pylori tidak mempengaruhi perjalanan penyakitnya. OAINS, anti-H. pylori dapat menekan insidensi tukak bila diberikan sebelum OAINS; tetapi tidak menekan timbulnya tukak, bila OAINS tetap dipakai.

17

También podría gustarte