Está en la página 1de 14

LOWER GI DISORDERS IN DIABETES MELLITUS (PATHOGENESIS AND TREATMENT)

HERNOMO KUSUMOBROTO
GASTRO-HEPATOLGY CENTER AIRLANGGA UNIVERSITY SCHOOL OF MEDICINE SUTOMO HOSPITAL SURABAYA

Presented at : SURABAYA DIABETES UPDATE XI Surabaya, 2-3 November 2002

SUMMARY
Abnormalities of gastrointestinal function in diabetics are thought to be related, at least in part, to autonomic neuropathy of the enteric nervous system (ENS). However, the exact prevalence of ENS-neuropathy in diabetics is unknown, especially since in vivo diagnosis is difficult. One study surveyed 136 diabetic patients, and found that 76 percent reported at least one gastrointestinal symptom Diarrhea and rarely steatorrhea can occur in diabetics, particularly those with advanced disease. The diarrhea is watery and painless, occurs at night, and may be associated with fecal incontinence. Bouts of diarrhea can be episodic with intermittent normal bowel habits or even alternating with periods of constipation The prevalence of diabetic diarrhea has been estimated to vary between 8 and 22 percent. It is likely, however, that the true incidence is substantially lower. In a population-based trial, for example, no differences in the prevalence of diarrhea were detected between non-insulin-dependent diabetics, insulin-dependent diabetics, and healthy controls. Another study of 200 diabetic patients attending an outpatient clinic found only two who complained of nocturnal diarrhea, both of whom had autonomic neuropathy. The pathogenesis of diabetic enteropathy has not been fully elucidated but multiple factors are probably involved. The putative mechanisms may be divided into causes resulting from autonomic neuropathy, other diseases associated with diabetes, and incidental cases. Diabetic autonomic neuropathy may include vagal nerve dysfunction as well as sympathetic nerve damage. Because of the multifactorial pathophysiology of diabetic enteropathy, the diagnostic evaluation must systematically evaluate the underlying mechanisms. A combination of several factors (eg, disordered small bowel motility, bacterial overgrowth, and anorectal dysfunction) is present in many patients. The question is often which factor is more clinically relevant than the others. Initial therapy focuses on correction of water and electrolyte imbalances, tight control of blood glucose, and restoration of possible nutritional deficiencies. Intravenous hyperalimentation may be necessary in some patients because of frequent hypoglycemic episodes resulting from insulin administration to a patient with impaired enteral delivery or delayed absorption. Chronic treatment should be directed at the identified main cause of diabetic enteropathy rather than unspecific treatment on empirical grounds.

RINGKASAN
Kelainan fungsi gastrointestinal pada diabetes mellitus diduga berkaitan, paling tidak sebagian, dengan neuropati otonomik dari system syaraf usus (enteric nervous system = ENS). Namun, prevalensi sebenarnya dari neuropati ENS pada penderita diabetes tidak diketahui, ini terutama karena diagnosis in vivo sulit ditegakkan. Pada 1 penelitian yang menyangkut 136 penderita diabetes, ditemukan bahwa 76 percent penderita dilaporkan menunjukkan minimal 1 keluhan gastrointestinal Diare dan kadang-kadang steatorrhea dapat terjadi pada penderita diabetes, terutama pada mereka yang penyakitnya sudah lanjut. Diare biasanya sperti air dan tanpa rasa nyeri, terjadi pada malam hari, dan dapat disertai fecal incontinence. Serangan diare dapat bersifat episodik dengan diselingi kebiasaan defekasi (bab) yang normal (normal bowel habits) dan konstipasi. Prevalensi diabetic diarrhea diperkirakan antara 8 dan 22 persen. Namun tampaknya, incidensi yang sebenarnya lebih rendah. Sebagai contoh, dalam penelitian berdasarkan populasi umumnya (population-based trial), tidak ada perbedaan prevalensi diare yang ditemukan antara penderita dengan NIDDM, IDDM, dan kontrol orang sehat. Penelitian lain pada 200 penderita DM di poliklinik, ditemukan hanya 2 penderita yang mengeluh adanya diare malam hari, keduanya mempunyai neuropati otonomik. Patogenesis diabetic enteropathy belum seluruhnya diketahui, namun ada banyak factor yang mungkin terkait. Dugaan mekanismenya dapat dibagi sesuai dengan penyebab yang berkaitan dengan neuropati otonomik, penyakit lain yang berhubungan dengan DM, dan kasus-kasus tertentu. Neuropati otonomik diabetes dapat meliputi disfungsi syaraf vagus, maupun kerusakan syaraf simpatik. Karena patofisiologi enteropati diabetik yang multifaktorial, evaluasi diagnostik harus secara sistematik menilai mekanisme yang mendasari keluhan tersebut. Kombinasi beberapa factor dapat terjadi pada banyak penderita (misalnya : gangguan motilitas usus kecil, bacterial overgrowth, dan disfungsi anorektal ). Yang sering menjadi pertanyaan adalah factor mana yang secara klinik lebih sesuai dari pada factor yang lain. Pengobatan awal ditujukan terutama untuk memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, kontrol gula darah yang ketat, dan perbaikan nutrisi penderita bila ada. Hiperalimentasi intravena mungkin dibutuhkan pada beberapa penderita karena terjadinya hipoglikemi yang sering timbul akibat pemberian insulin pada penderita yang mengalami gangguan transport dalam usus maupun gangguan absorpsi. Pengobatan jangka panjang lebih diutamakan ditujukan pada penyebab dari enteropati diabetik, dari pada pengobatan nonspesifik berdasarkan empirik.

LOWER GI DISORDERS IN DIABETES MELLITUS


(PATHOGENESIS AND TREATMENT) HERNOMO KUSUMOBROTO
GASTRO-HEPATOLOGY CENTER AIRLANGGA UNIVERSITY SCHOOL OF MEDICINE SUTOMO HOSPITAL SURABAYA

PENDAHULUAN
Sekitar 6 % orang dewasa mempunya diabetes mellitus dan 5 % tambahannya dalam kondisi mirip dengan DM namun belum terdiagnosis dengan pasti (1, 2). Setelah menderita penyakit ini selama 10 20 tahun, sekitar 30 60 % penderita DM akan mengalami gejala klinik neuropati otonomik viseral (visceral autonomic neuropathy) (3). Neuropati otonomok diabetik ini dapat mengenai sistem kardiovaskuler, urogenital, pupil, dan neuroendokrin, juga saluran cerna atas dan bawah. Gangguan fungsi saluran cerna pada penderita DM ini diduga berkaitan, paling sedikit sebagian, dengan neuropati otonomik dari system syaraf enteric (enteric nervous system = ENS). Namun prevalensi yang pasti dari neuropati ENS pada DM tidak diketahui, teruma karena diagnosis invivo sulit ditegakkan. Pada 1 penelitian yang dilakukan terhadap 136 penderita DM, ditemukan bahwa 76 % dilaporkan menunjukkan minimal 1 keluhan gastrointestinal (4). Namun prevalensi yang tinggi ini belum dapat dipastikan oleh peneliti lain (tabel 1) (5, 6, 7). Sebagai contoh, dalam penelitian di Skandinavia (population-based Scandinavian study) yang meliputi 624 penderita DM, dan 648 kontrol, tidak didapatkan perbedaan dalam prevalensi keluhan gastrointestinal pada kedua kelompok (8). Beberapa kelainan saluran cerna akibat neuropati otonomik yang dapat timbul pada diabetes, antara lain adalah : gangguan esofagus, gastroparesis diabetik, dan enteropati diabetik. Gangguan esofagus (Esophageal Involvement) disfagi ringan tanpa penurunan BB, dapat timbul pada beberapa penderita DM. Dalam pengalaman di klinik, disfagi pernah dilaporkan hanya ditemukan pada 2 dari 215 penderita, yang terbukti mempunyai neuropati otonomik kardiak Pada kedua kasus ini, endoskopi menunjukkan adanya esofagitis refluks, dan menurunnya amplitudo kontraksi dari tubulus esophagus pada pemeriksaan manometri esophagus. Dalam penelitian lain juga ditemukan 4

penurunan amplitudo dan kecepatan gelombang dari kontraksi tubulus esophagus pada penderita DM dengan neuropati perifer. [36, 37]. Namun tekanan sfingter esophagus bawah (lower esophageal sphincter = LES) dan relaksasi LES pada penderita DM ternyata tidak berbeda bermakna dengan individu sehat [37]. Dengan demikian, gangguan esophagus pada penderita DM, jarang menimbulkan masalah klinik, meskipun penderita mempunyai neuropati otonomik.

Gastroparesis diabetik (Diabetic Gastroparesis) Gastroparesis diabetik (atau gastroparesis diabeticorum) (34, 38) sering ditemukan pada penderita DM yang mempunyai keluhan dispepsia, seperti nyeri epigastrium, mual, muntah, cepat kenyang, rasa penuh sehabis makan, dan atau anoreksia. Namun dengan evaluasi diagnostik yang teliti sering ditemukan penyakit lain, seperti tukak peptic atau penyakit refluks pada sebagian besar penderita. Hanya sebagian kecil penderita saja yang benar-benar menunjukkan kelainan pada pengosongan lambungnya. (39). Dengan demikian, diagnosis gastroparesis diabetik hanya berdasarkan keluhan saja, tidak dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu, gastroparesis diabetik yang asimtomatik dapat menjadi simtomatik, bila dihubungkan dengan pengontrolan gula darahnya serta gangguan absorpsi pada pengobatan oral. Sebagai contoh, penyerapan sulfonilurea dapat melambat pada penderita DM tipe 2 (NIDDM) dan gastroparesis. (40).

Enteropati Diabetik (Diabetic Enteropathy) - Diare dan kadang-kadang steatorrhea dapat terjadi pada penderita diabetes, terutama pada mereka yang penyakitnya sudah lanjut (9). Diare biasanya seperti air dan tanpa rasa nyeri, terjadi pada malam hari, dan dapat disertai fecal incontinence. Serangan diare dapat bersifat episodik dengan diselingi kebiasaan defekasi (bab) yang normal (normal bowel habits) dan konstipasi.

EPIDEMIOLOGI Prevalensi diabetic diarrhea diperkirakan antara 8 dan 22 persen (4, 10). Namun tampaknya, incidensi yang sebenarnya lebih rendah. Sebagai contoh, dalam penelitian berdasarkan populasi umumnya (population-based trial), tidak ada perbedaan prevalensi diare yang ditemukan antara penderita dengan NIDDM, IDDM, dan kontrol orang sehat (8). Penelitian lain pada 200 penderita DM di poliklinik, ditemukan hanya 2 penderita yang mengeluh adanya diare malam hari, keduanya mempunyai neuropati otonomik (11). Fecal incontinence akibat gangguan anorektal diduga juga relatif cukup sering dijumpai (tabel 1). Namun laporan lain menunjukkan bahwa kelainan ini hanya ditemukan pada 4 % dari 160 penderita DM yang di sigi pada poliklinik DM (12). 5

PATOFISIOLOGI Patogenesis diabetic enteropathy belum seluruhnya diketahui, namun ada banyak factor yang mungkin terkait. Dugaan mekanismenya dapat dibagi sesuai dengan penyebab yang berkaitan dengan neuropati otonomik, penyakit lain yang berhubungan dengan DM, dan kasus-kasus tertentu (tabel 2). Neuropati otonomik diabetes dapat meliputi disfungsi syaraf vagus, maupun kerusakan syaraf simpatik (13, 14).
Gangguan fungsi ENS dapat menimbulkan gangguan motilitas usus halus dan kolon.

Gangguan fungsi motor, baik pada saat puasa maupun sesudah makan dapat menimbulkan baik perlambatan maupun percepatan transit usus halus (9). Gangguan motilitas usus halus dapat disertai bacterial overgrowth dalam usus halus, yang mengakibatkan dekonjugasi asam empedu (bile acid) dan malapsorpsi lemak (15, 16). Kedua mekanisme ini dapat memacu diare dengan cara merangsang sekresi cairan dalam usus halus (sekresi pasif akibat osmotic gradient) dan dalam kolon (active transport mechanisms) . Fecal incontinence dapat terjadi akibat disfungsi anorektal (12). Pemeriksaan manometri anorektal sering menunjukkan penurunan sensasi anorektal selama distensi balon, dan penurunan sfingter anus pada waktu istirahat (resting anal sphincter pressures with normal squeeze pressures). Pemberian obat juga bisa menjadi salah satu factor penunjang. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa metformin, merupakan salah satu factor resiko independen yang diduga dapat menimbulkan diare dan fecal incontinence (17).
Neuropati otonomik dari ENS secara langsung dapat mempengaruhi transport air mukosa dan ion fluxes. Dalam salah satu penelitian pada tikus diabet, gangguan regulasi adrenergik dari transport ion mukosa, dapat menimbulkan penurunan absorpsi air ke dalam lumen ileum dan kolon (18). Kejadian ini menunjukkan disfungsi dari system syaraf otonom dan reseptor alfa-2 (9). Bukti yang mendukung peranan reseptor alfa berasal dari observasi bahwa agonis reseptor adrenergik alfa-2 clonidine, dapat meningkatkan kapasitas lambung total waktu transit usus kecil, karena itu dapat mengurangi volume rectal effluent dalam experimentally-induced diarrhea dan pada penderita diabet (19, 20).

Terjadinya insufisiensi pankreatik eksokrin (yang dapat menjadi penyebab lebih lanjut dari diare) tampaknya bukan mejadi masalah pada penderita DM (21). Namun terdapat hubungan antara celiac sprue dengan IDDM baik bentuk anak-anak maupun dewasa (9, 22). Diduga ada predisposisi genetic untuk kedua penyakit ini dengan tingginya prevalensi HLA-B8 dan -DR3 (22, 23). Dalam salah satu laporan didapatkan prevalensi

yang tinggi serologic markers dari celiac disease (antiendomysial and antigliadin antibodies) pada 3 - 4 % penderita DM pada anak dan remaja yang asimtomatik (24). Pemanis buatan (artificial sweeteners) seperti sorbitol atau polyols, dapat memegang peranan penting terjadinya diare pada penderita diabet. Pemberian 10 g sorbitol saja sudah dapat mengubah kebiasaan bab secara bermakna pada penderita diabetes (25). Sebagai tambahan, prevalensi yang lebih tinggi dari diare kronik telah ditemukan pada penderita DM yang menggunakan sorbitol, dibanding dengan mereka yang tidak menggunakan sorbitol (25).
. Serotonin (5-hydroxytryptamine = 5-HT) ditemukan dalam sistem syaraf saluran cerna

(ENS), dan telah diketahui mempunyai kemampuan mengontrol fungsi motor saluran cerna. Sampai saat ini diduga terdapat 4 reseptor utama serotonin, yaitu : 5-HT1, 5-HT2, 5-HT3 dan 5-HT4. Dari keempat reseptor ini, 2 reseptor yang paling banyak menarik perhatian para peneliti adalah reseptor 5-HT3 dan 5-HT4. Peran 5-HT3 sebenarnya belum seluruhnya diketahui, namun diduga mempengaruhi motilitas kolon dan nyeri viseral dalam usus. Sejumlah antagonis selektif dari 5-HT3 telah dikembangkan, termasuk antara lain : ondansetron, granisetron, tropisetron, renzapride dan zacopride, kemudian juga alosetron dan cilansetron. Sementara substitut benzamide prokinetik (mis. metoclopramide dan cisapride) juga dapat menghambat reseptor 5-HT3 dalam dosis yang tinggi. Efek prokinetik kelompok ini diduga berdasarkan efek agonis pada 5-HT4. Beberapa antagonis 5-HT3 mempunyai aktivitas agonis pada 5-HT4 (mis. renzapride dan zacopride), sedang yang lain tidak (ondansetron dan granisetron). Sebaliknya tropisetron, dalam konsentrasi tinggi mempunyai efek antagonis terhadap 5-HT4. Berdasarkan data farmakologi ini, maka beberapa obat yang mempunyai efek antagonis dan agonis spesifik terhadap reseptor 5-HT, mungkin berguna untuk pengobatan beberapa kelainan saluran cerna seperti : IBS, dispepsia fungsional, nyeri dada non-kardiak, refluks gastroesofagus, dan nausea yang refrakter. Salah satu obat baru Tegaserod yang mempunyai efek agonis parsial terhadap reseptor 5-HT4, ternyata dapat mempercepat transit orosekal (tanpa mempengaruhi pengosongan lambung) dan mempunyai tendensi untuk mempercepat transit kolon. Obat ini terbukti bermanfaat untuk penderita IBS tipe konstipasi karena dapat menghilangkan keluhan konstipasi serta rasa nyeri serta kembung penderita (32, 33).

DIAGNOSIS Karena patofisiologi enteropati diabetik yang multifaktorial, evaluasi diagnostik harus secara sistematik menilai mekanisme yang mendasari keluhan tersebut (tabel 2). Kombinasi beberapa factor dapat terjadi pada banyak penderita (misalnya : gangguan motilitas usus kecil, bacterial overgrowth, dan disfungsi anorektal ). Yang sering menjadi pertanyaan adalah factor mana yang secara klinik lebih sesuai dari pada factor yang lain. Dalam penelitian pada 33 penderita DM dengan diare pada Mayo Clinic, dengan melakukan pendekatan diagnostik secara sistematik, peneliti berhasil mendapatkan penyebab utama diare pada 91 % penderita (26). Penyebab utama ternyata

adalah bacterial overgrowth, disfungsi anorektal, ganggaun motor intestin dan fungsi sekresi, dan penyakit celiac. Pendekatan praktis untuk membuat diagnosis penderita DM dengan diare dapat dilihat dalam tabel 3.

PENGOBATAN
Pengobatan awal ditujukan terutama untuk memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, kontrol gula darah yang ketat, dan perbaikan nutrisi penderita bila ada. Hiperalimentasi intravena mungkin dibutuhkan pada beberapa penderita karena terjadinya hipoglikemi yang sering timbul akibat pemberian insulin pada penderita yang mengalami gangguan transport dalam usus maupun gangguan absorpsi. Pengobatan jangka panjang lebih diutamakan ditujukan pada penyebab dari enteropati diabetik, dari pada pengobatan nonspesifik berdasarkan empirik (9). Untuk bacterial overgrowth, pemberian antibiotika oral yang berspektrum lebar secara rotasi selama 1 mingguan secara bergantian (misalnya : doxycycline, 100 mg BID; metronidazole, 400 mg BID; and cefuroxime, 250 mg TID) dianjurkan utuk jangka waktu 6 12 bulan (26). Untuk mempengaruhi waktu transit intestinal, beberapa macam obat-obat antidiare seperti : loperamide (2 to 4 mg QID), codeine (30 mg QID), atau diphenoxylate (5 mg QID) telah dicoba (9). Namun penelitian klinik dengan kontrol pada penderita dengan diabetic diarrhea masih jarang dikerjakan. Clonidine mempunyai efek menguntungkan baik dalam mempercepat waktu transit intestinal maupun meningkatkan sekresi usus halus (19). Dalam salah satu penelitian, pemberian clonidine oral (0.6 mg TID) dapat menekan secara bermakna jumlah dan volume tinja pada penderita diabetik dengan diare kronik yang refrakter dengan pengobatan cara lain (20). Efek samping clonidine pada dosis ini sering terbatas. Termasuk dia antaranya : mulut kering, hipotensi ortostatik, dan perlambatan pengosongan lambung. Penggunaan long-acting somatostatin analogue octreotide telah dicoba pada penderita diabetic diarrhea berdasarkan dugaan kemanfaatnya pada penderita skleroderma yang mempunyai dismotilitas usus kecil dan bacterial overgrowth (27). Dalam salah satu laporan pada 5 penderita skleroderma, octreotide (50 to 100 g tiap malam) dapat meningkatkan frequensi rata-rata motor saluran cerna (mean gut motor migrating complex frequency) yang menunjukkan fungsi motor intestin pada saat puasa -, dan secara bermakan dapat menekan breath hydrogen excretion (yang menunjukkan penurunan bacterial overgrowth). Dalam laporan lain, 5 penderita dengan diabetes-associated diarrhea telah menunjukkan hasil yang cukup baik dengan pengobatan jangka panjang (sampai 1 tahun) dengan octreotide (50 - 75 g subkutan 2 3x/hari) (9, 28, 29, 30). Satu penderita, misalnya, menunjukkan 62 % penurunan berat tinja dan penurunan frequensi bab dari 6 menjadi 1 x/hari (29). Namun pengobatan octreotide dapat memberi komplikasi

hipoglikemi berulang akibat penurunan sekresi hormon glukagon (29). Selain itu, octreotide dapat menghambat sekresi hormon eksokrin pancreas, sehingga dapat memacu timbulnya steatorrhea. Karena itu pengobatan octreotide harus dimonitor dengan baik, dan dibatasi hanya pada kasus berat yang refrakter dengan pengobatan konvensional.
Pengobatan fecal incontinence pada diabetes dengan diare kronik meliputi 2

pendekatan utama yaitu : intervensi farmakologi dan biofeedback techniques. Intervensi farmakologik bertujuan untuk menurunkan volume tinja dan meningkatkan konsistensi tinja (loperamide dapat dianjurkan, karena obat ini juga meningkatkan tekanan sfingter anal dalam keadaan istirahat). Tujuan biofeedback training adalah untuk menurunkan ambang conscious rectal sensation sebaik mungkin (dengan latihan memakai suatu balon rectal dengan tehnik khusus) (12, 31). Pengobatan dengan biofeedback techniques ini merupakan pengobatan yang bebas dari resiko, karena itu dapat diberikan pada semua penderita DM dengan fecal incontinence yang menunjukkan fungsi sensoris dan motor yang abnormal dengan pemeriksaan manometri anorektal. Tindakan bedah (anal repair, permanent sigmoid stoma) hanya dilakukan pada kasus-kasus yang refrakter saja (31). Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa obstipasi merupakan keluhan yang cukup banyak ditemukan pada penderita DM. Selain pemberian diit yang mengandung kaya serat, obatobat yang bekerja pada reseptor serotonin (khususnya yang bersifat agonis terhadap 5 HT4 dan antagonis terhadap 5 HT3) dapat digunakan untuk memperbaiki motilitas saluran cerna. Beberapa diantaranya : . Prokinetik (mis. Cisapride, Domperidon, Clebopride, Metoclopramide). Obat prokinetik merupakan agonis 5HT4 dan antagonis 5HT3. Cisapride telah dilaporkan dapat memperbaiki keluhan penyakit refluks gastroesofagus dan dispepsia yang berhubungan dengan pengosongan lambung yang lambat (32, 33). . Prucalopride, merupakan agonis penuh 5-HT4, dapat mempercepat transit lambung, usus kecil, dan kolon pada penderita dengan konstipasi fungsional. Dalam uji klinik fase III prucalopride 2 4 mg/day, menghasilkan peningkatan kelompok penderita yang mencapai tujuan yaitu > 3 gerakan usus spontan dalam seminggu (32). . Tegaserod, merupakan agonis parsial 5-HT4, dapat mempercepat transit orosekal (tanpa mempengaruhi pengosongan lambung) dan mempunyai tendensi untuk mempercepat transit kolon. Dalam uji klinik fase III, tegaserod 12 mg/hari, menghasilkan peningkatan kelompok IBS tipe konstipasi yang mencapai tujuan utama hilangnya keluhan penderita. Efek sekunder yang ditemukan termasuk antara lain perbaikan dalam konstipasi, nyeri sepanjang hari, dan rasa kembung (32).

DAFTAR PUSTAKA 1. Phillips, SF, Whisnant, JP, O'Fallon, WM, et al. Prevalence of cardiovascular disease and diabetes mellitus in residents of Rochester, Minnesota. Mayo Clin Proc 1990; 65:344. 2. Harris, MI, Hadden, WC, Knowler, WC, et al. Prevalence of diabetes and impaired glucose tolerance and plasma glucose levels in US population aged 20 - 74 years. Diabetes 1987; 36:523. 3. Dyck, PJ, Kratz, KM, Karnes, JL, et al. The prevalence by staged severity of various types of diabetic neuropathy, retinopathy, and nephropathy in a population-based cohort: The Rochester Diabetic Neuropathy Study. Neurology 1993; 43:817. 4. Feldman, M, Schiller, LR. Disorders of gastrointestinal motility associated with diabetes mellitus. Ann Intern Med 1983; 98:378. 5. Clouse, RE, Lustman, PJ. Gastrointestinal symptoms in diabetic patients: Lack of association with neuropathy. Am J Gastroenterol 1989; 84:868. 6. Maser, RE, Pfeiffer, MA, Dorman, JS. Diabetic autonomic neuropathy and cardiovascular risk. Arch Intern Med 1990; 150:1218. 7. Maxton, DG, Whorwell, PJ. Functional bowel symptoms in diabetes the role of autonomic neuropathy. Postgrad Med J 1991; 67:991. 8. Janatuienen, E, Pikkarainen, P, Laasko, M, et al. Gastrointestinal symptoms in middle-aged diabetic patients. Scand J Gastroenterol 1993; 28:427.

9. von der Ohe, MR. Diarrhoea in patients with diabetes mellitus. Eur J Gastroenterol Hepatol 1995; 7:730. 10. Dandona, P, Fonseca, V, Mier, A, et al. Diarrhea and metformin in a diabetic clinic. Diabetes Care 1983; 6:472. 11. Maxton, DG, Whorwell, PJ. Functional bowel symptoms in diabetes the role of autonomic neuropathy. Postgrad Med J 1991; 67:991. 12. Wald, A. Incontinence and anorectal dysfunction in patients with diabetes mellitus. Eur J Gastroenterol Hepatol 1995; 7:737. 13. Duchen, LW, Anjorin, A, Watkins, PJ, et al. Pathology of autonomic neuropathy in diabetes mellitus. Ann Intern Med 1980; 93:301. 14. Low, PA, Walsh, JC, Huang, CY, et al. The sympathetic nervous system in diabetic neuropathy: A clinical and pathological study. Brain 1975; 98:341.

10

15. Scarpello, JH, Hague, RV, Cullen, DR, et al. The 14C-glycocholate test in diabetic diarrhea. Br Med J 1976; 2:673. 16. Green, PA, Berge, KG Sprague, RG. Control of diabetic diarrhea with antibiotic therapy. Diabetes 1968; 17:385. 17. Bytzer, P, Talley, NJ, Jones, MP, Horowitz, M. Oral hypoglycaemic drugs and gastrointestinal symptoms in diabetes mellitus. Aliment Pharmacol Ther 2001; 15:137. 18. Chang, EB, Bergenstral, RM, Field M. Diarrhea in streptozotocin-treated rats: Loss of adrenergic regulation of intestinal fluid and electrolyte transport. J Clin Invest 1985; 75:1666. 19. Schiller, LA, Santa Ana, CA, Morawski, SG, et al. Studies on the antidiarrheal action of clonidine: Effects on motility and intestinal absorption. Gastroenterology 1985; 89:982. 20. Fedorak, RN, Field, M, Chang, EB. Treatment of diabetic diarrhea with clonidine. Ann Intern Med 1985; 102:197. 21. El-Newihi, H, Dooley, CP, Saad, C, et al. Impaired exocrine pancreatic function in diabetics with diarrhea and peripheral neuropathy. Dig Dis Sci 1988; 33:705. 22. Shanahan, F, McKenna, R, McCarthy, CF, et al. Celiac disease and diabetes mellitus: A study of 24 patients with HLA typing. Q J Med 1982; 51:329. 23. Cudworth, AG, Woodrow, JC. Genetic susceptibility in diabetes mellitus: Analysis of the HLA association. Br Med J 1976; 2:846. 24. Rossi, TM, Albini, CH, Kumar, V. Incidence of celiac disease identified by the presence of serum endomysial antibodies in children with chronic diarrhea, short stature, or insulin-dependent diabetes mellitus. J Pediatr 1993; 123:262. 25. Badiga, MS, Jain, NK, Casanova, C, et al. Diarrhea in diabetics: The role of sorbitol. J Am Coll Nutr 1990; 9:578. 26. Valdovinos, MA, Camilleri, M, Zimmermann, BR. Chronic diarrhea in diabetes mellitus: Mechanisms and an approach to diagnosis and treatment. Mayo Clin Proc 1993; 68:691. 27. Soudah, HC, Hasler, WL, Owyang, C. Effect of octreotide on intestinal motility and bacterial overgrowth in scleroderma. N Engl J Med 1991; 325:1461. 28. Dudl, RJ, Anderson, DS, Forsythe, AB, et al. Treatment of diabetic diarrhea and orthostatic hypotension with somatostatin analogue SMS 201-995. Am J Med 1987; 83:584. 29. Mourad, FH, Gorard, G, Thillainayagam, AV, et al. Effective treatment of diabetic diarrhea with somatostatin analogue, octreotide. Gut 1992; 33:1578.

11

30. Walker, JJ, Kaplan, DS. Efficacy of the somatostatin analogue octreotide in the treatment of two patients with diabetic diarrhea. Am J Gastroenterol 1993; 88:765. 31. Wald, A, Tunuguntla, AK. Anorectal sensorimotor dysfunction in fecal incontinence and diabetes mellitus. N Engl J Med 1984; 310:1282. 32. Camilleri, M. Management of the irritable bowel syndrome. Gastroenterology 2001; 120 : 652 33. Talley, N.J. Review article : 5-hydroxytryptamine agonistand antagonists in the modulation of gastrointestinal motility and sensation : clinical iplications. Aliment. Pharmacol. Ther. 1992 ; 6 : 273 34. Hernomo, K. Gastropati Diabetik Diagnosis dan Penanganannya. Surabaya Diabetes Update, Surabaya 14-15 Juni 1997. 35. Hernomo, K. Irritable Bowel Syndrome. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Penyakit Dalam XVI, Surabaya, 18-19 Agustus 2001. 36. Stewart, EM, Hosking, DJ, Preston, BJ, et al. Oesophageal motor changes in diabetes mellitus. Thorax 1976; 31:278 37. Hollis, JB, Castell, DO, Braddom, RL. Esophageal function in diabetes mellitus and its relation to peripheral neuropathy. Gastroenterology 1977; 73:1098. 38. Kassander, P. Asymptomatic gastric retention in diabetics (gastroparesis diabeticorum). Ann Intern Med 1958; 48:797. 39. Horowitz, M, Edelbroek, M, Fraser, R. Disordered gastric motor function in diabetes mellitus. Scand J Gastroenterol 1991; 26:673. 40. Groop, LC, DeFronzo, RA, Luizi, L, et al. Hyperglycemia and absorption of sulphonylurea drugs. Lancet 1989; 2:129.

12

Tabel 1. Prevalensi Keluhan GI Pada DM Keluhan 1. Disfagi 2. Mual/muntah 3. Nyeri perut 4. Diare 5. Konstipasi 6. Fecal incontinence 1983 27 29 34 22 60 20 1989 28 32 20 12 1990 2 7 0 2 1 1991 8 12 22 5 20 -

Catatan : 1. 1983 Feldman M, Ann Int Med 98 : 378, 1983 2. 1989 Clouse RE, Am J Gastroenterol 84 : 868, 1989. 3. 1990 - Maser RE, Arch Int Med 150 : 1218, 1990 4. 1991 - Maxton DG, Postgrad Med 67 : 991, 1991

Tabel 2. Putative Mechanisms of Diabetic Small Bowel Dysmotility

Due to autonomic neuropathy Abnormal small intestinal motility Bacterial overgrowth Abnormal colonic motility Anorectal dysfunction lowered rectal sensory threshold, weak internal anal sphincter Increased intestinal secretion Exocrine pancreatic insufficiency (?).

Due to associated factors Dietetic foods sorbitol Concurrent celiac sprue Bile acid malabsorption (?)

13

Tabel 3. Sequential Evaluation of Chronic Diarrhea in Patients with Diabetes Mellitus.

First line History and physical examination Blood chemistry Stool analysis weight, fat, chymotrypsin, elastase, leucocytes, parasites. Barium studies looking for gastric retention, malabsorption pattern, small intestinal and colonic wall thickness.

Second laine Upper GI endoscopy with duodenal biopsy histology, bacteriology Colonoscopy with biopsy histology, bacteriology [13]C acetate or octanoid acid breath test Glucose hydrogen breath test consider bacterial overgrowth. Anorectal manometry and sensory testing if fecal incontinence is present.

Third line Ambulatory small intestinal manometry to rule out intestinal pseudo-obstruction [75]Se-HCAT test to rule out bile acid malabsorption. Enteroclysis and/or push-entroscopy with biopsy Secretin-pancreazyme test to exclude exocrine pancreatic insufficiency.

14

También podría gustarte