Está en la página 1de 4

MAHKUM ALAIHI Pengertian Mahkum Alaihi Mahkum alaihi ( ) = yang dikenai hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya orang-orang

orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.[13] Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga sembuh kembali.[14] Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan.[15]

) ( .

1. 2.

a. -

1)

2)

b.

Syarat-syarat Taklif Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian: Harus sanggup dan dapat memahami khitah atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya. Ahli dan patut ditaklifi. Yang dimaksud dengan ahli adalah pantas atau patut ditaklifi. Yang dimaksud mukallaf itu pantas atau patut dibebani dengan taklif. Ahli yang dimaksud terdiri dari dua bagian antara lain: adalah kepantasan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban. Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain. Kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain. Jadi ahliyatul-wujub itu adalah kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban dari orang lain. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu sesama manusia laki-laki, perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun waras/sehat otaknya, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wajib. Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyatul wujub mempunyai dua keadaan saja, yaitu: Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang kurang, yaitu apabila ia layak untuk memperoleh hak, akan tetapi tidak layak untuk dibebani kewajiban, ataupun sebaliknya. Mereka mencontohkan yang pertama dengan contoh janin didalam perut ibunya. Ia mempunyai berbagai hak, karena ia berhak menerima warisan dan berhak atas pemanfaatan waqaf, akan tetapi ia tidak terbebani kewajiban untuk orang lain. Dengan demikian, ahliyyatul wujubnya adalah kurang. Ada kalanya ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna, apabila ia layak untuk memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai kewajiban. Ahliyyatul wujub ini tetap pada setiap manusia semenjak ia lahir, ketika ia kanak-kanak, dalam usia menjelang balighnya (mumayyiz), dan setelah ia baligh. Dalam keadaan apapun ia berbeda pada periode dari perkembangan kehidupannya, ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna. Sebagaimana telah kami kemukakan tidak ada seorang manusiapun yang tidak mempunyai ahliyyatul wujub.[16] adalah kepantasan seseorang mukallaf untuk diperhitungkan oleh syara, ucapan dan perbuatannya dengan pengertian, apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur daripadanya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk

menentukan ahliyatul ada-a ialah tamyiz. Oleh karena itu manusia yang tergolong kepada ahliyatul ada-a hanyalah manusia yang mumayiz saja.[17] Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyah ada mempunyai tiga keadaan, yaitu: 1) Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai ahliyyah ada, atau sama sekali sepi daripadanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam usia berapapun. 2) Ada kalanya ia adalah kurang ahliyyah ada-nya. Yaitu orang yang telah pintar tapi belum baligh. Ini berkenaan dengan anak kecil pada periode tamyiz (pandai membedakan antara baik dan buruk) sebelum baligh, dan berkenaan pula pada orang yang kurang waras otaknya, karena sesungguhnya orang yang kurang waras otaknya adalah orang yang cacat akalnya, bukan tidakl berakal, Ia hanyalah lemah akal, kurang sempurna akalnya. Jadi hukumnya sama dengan anak kecil yang mumayyiz. 3) Ada kalanya ia mempunyai ahliyyah ada yang sempurna, yaitu orang yang telah mencapai akil baligh, ahliyyah ada yang sempurna terwujud dengan kebalighan manusia dalam keadaan berakal.[18]

Dasar Taklif Sebagai kebijaksanaan Allah SWT., perintah dan larangan (taklif = pertanggungan jawab, selanjutnya taklifi, selalu disesuaikan dengan kemampuan (ahliyyah) manusia. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan, karena itu, kemampuan ini menjadi dasar adanya taklif.[19] Halangan Ahliyyah Hal-hal yang menggugurkan taklif dalam Ilmu Ushul Fikih disebut : (hal-hal yang menghilangkan Keahlian), yang terbagi ke dalam dua macam, yaitu: 1. =hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia.[20] Seperti gila, agak kurang waras akalnya, dan lupa.[21] =hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia.[22] 2. Seperti mabuk, bodoh, dan hutang.[23] Kesimpulan Dari pemahaman penulis, mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum yang lima, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub, tahrim/haram, karahah/makruh, ibahah/mubah. Syarat-syarat mahkum fih antara lain: perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya, harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf mematuhi hukum-hukumnya dan bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan mukallaf. Mahkum fih terbagi menjadi 5 macam, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub, tahrim/haram, karahah/makruh, ibahah/mubah. Mahkum alaihi adalah subjek hukum atau yang dikenai hukum. Yaitu orang-orang mukallaf. Syarat-syarat taklifi antara lain: harus sanggup dan dapat memahami khitah atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya, dan ahli dan patut ditaklifi. Yang menjadi dasar taklif adalah kemampuan (ahliyyah) manusia. Kemampuan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah ada.

Halangan ahliyyah yaitu hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia, dan hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Zainal Abidin, Ushul Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Bakry, Nazar, Fiqh &Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003. Rifai, Moh., Ushul Fiqih, Bandung: PT Almaarif, tt. Hanafie, A., Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya Djakarta, 1965. Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994. Http://www.scribd.com/doc/21104309/Hakim-Mahkum-Fih-Dan-Mahkum-Alaih, diunduh pada 01-102011. Read more: http://www.abdulhelim.com/2012/04/mahkum-fih-dan-mahkumalaih.html#ixzz2Oo4nvMz9

También podría gustarte