Está en la página 1de 21

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tuli kongenital adalah salah satu masalah pada anak-anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah akan makin bertambah apabila tidak dilakukan deteksi dan intervensi dini. Tuli kogenital adalah tuli yang terjadi pada seorang bayi yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian ini dapat berupa ketulian sebahagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli kogenital dibagi menjadi genetic herediter dan non genetic. Untuk mencegah terjadinya tuli kogenital maka dihindari kawin sedarah. Pada kelahiran terjadi ketulian pada anak karena kegagalann dari perkembangan sistem pendengaran akibat faktor genetik, kerusakan dari mekanisme pendengaran dari masa embrional, kehidupan janin di dalam kandungan atau selama proses kehamilan. Faktor-faktor diatas akan menyebabkan anak tuli sebelum lahir atau tuli pada saat lahir sehingga anak tersebut tidak akan pernah mendengar suara maka dia akan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya. Anak yang lahir tuli meskipun tidak pernah mendengar tetapi dapat juga tersenyum bahkan berteriak-teriak hanya saja suara yang dihasilkan tidak berguna untuk komunikasi. Gangguan pendengar pada bayi dan anak kadang-kadang disertai

keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Umumnya sebahagian bayi atau anak yang mengalami gangguan pendengaran lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara. Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi haras diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian yang sedang dialami seorang bayi bersifat ringan namun dalam keadaan normal seorang bayi memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan dimana pada saat itu merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. 1.2 Tujuan Adapun tujuan dan manfaat dalam pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dalam kepaniteraan klinik senior ilmu penyakit Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala Leher (THT-KL) di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Telinga Sistem auditorius terdiri dari tiga komponen yaitu telinga luar, tengah dan dalam. Telinga taar terdiri dari daun telinga, liang telinga dan membran timpani. Daun telinga terdiri dari tnlang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S dengan rangka tulang rawan sepertiga luar sedangkan dua pertiga bagian dalamnya terdiri dari tulang. Panjang dari lian telina ini berkisar 2,5-3 cm. Pada sepertiga bagian luar liang telinga banyak terdapat kelenjar serumen dan rambut kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam liang telinga sedikit dijumpai kelenjar serumen. Telinga tengah berbentuk kubus yang dibatasi oleh bagian-bagian seperti berikut: 1. Batas luar 2. Batas depan 3. Batas bawah : : : membran timpani tuba eustachius venajugularis (bulbus jugularis) aditus adantrum, kanalis fasialis pars vertikalis tegmen timpani berturut rurut dari atas kebawah kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung apabila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah disebut pars tensa. Pars flaksida hanya berlapis dua yaitu bagian luar yaitu lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam adalah epitel saluran nafas. Pars tensa memiliki satu lapisan lagi di tengah yaitu lapisan yang terdiri serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan sebagai radier dibagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari bagian umbo bermula suatu reflek cahaya yaitu pada pukul 7 pada telinga kiri dan pukul 5 pada telinga kanan. Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran dengan menarik garis tengah pada longus maleus dan garis tegak

4. Batas belakang : 5. Batas atas 6. Batas dalam : :

lurus pada garis itu di umbo sehingga didapati bagian atas-depan,

atas-belakang,

bawah-depan dan bawah-belakang. Tulang pendengaran pada telinga teagah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus nekkat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes berhubungan dengan tingkap bnpong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang pendengaran ini adalah posendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat andftus ad antrum yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan nasofaring dan telinga tengah Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler fang terdiri 3 buah kanalis semisirkularis ujung atau puncak dari koklea disebut helikotrema yang menghubungkan perilimfa skala timfani dengan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea, pada sebelah atas terlihat skala vestibuli, bawah tampak skala timpani dan dukrus koklearis pada skala media atau diantaranya. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli sedangkan dasar skala media disebut membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam dan luar dan kanalis corti yang membentuk organ korti.

2.2

Fisiologi Pendengaran Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya gelombang bunyi dari daun

telinga yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut memggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamflikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi energi getar yang telah diamfilikasi ini akan diteruskan ke tulang stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan defleksi stereosillia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbukadan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik ke badan sel. Keadaan ini menyebabkan depolarisasi sel rambur sehingga menyebabkan pelepasan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis. Persarafan pada pendengaran dan keseimbangan berasal dari Nervus Akustikus dan Nervus Fasialis yang masuk ke porus dari meatus acusticus internus dan bercabang dua membentuk Nervus vestibularis dan Nervus Koklearis. Sedangkan perdarahan dari telinga diperdarahi oleh Arteri Labirinti yang berasal dari Arteri Serebelli inferior dan langsung dari Arteri Basilaris dan masuk ke meatus internus yang kemudian bercabang menjadi: 1. Ramus Vestibularis : "bagian atas vestibulum kanalis semisirkularis dan koklea bagian basal. 2. Ramus Vestibulocochlearis : bawah vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea bagian basal. 3. Ramus Koklearis : bagian koklea lainnya

2.3

Perkembangan Auditorik Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan

perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan penepitian bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa pada usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan sudah dapat memberikan respon pada suara yang ada disekitarnya namun reaksi janin masih reaksi seperti refleks moro, terhentinya aktivitas, dan refleks auropalpebral. Kuccwara membuktikan respon terhadap suara berupa refleks aurpalpebral yang konsisten pada janin usia 24-25 minggu.

2.4

Defmisi Tuli kongenital ialah ketulian yang terjadi pada seorang bayi yang disebabkan

faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir.

2.5

Insidensi Di negara maju angka tuli kogenital berkisar antara 0,1-0,3% kelahiran hidup,

sedangkan di Indonesia berdasarkan survey yang dilakukan Depkes di 7 propinsi pada tahun 1994-1996 yaitu sebesar 0,1% . di Indonesia diperkirakan 214.000 orang bila jumlah penduduk sebesar 214.100.000 juta. Jumlah ini akan bertambah setiap tahunnya seiring dengan pertambahan jumlah penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%. Hal ini akan berdampak pada penyediaan sarana pendidikan dan lapangan pekerjaan di masa mendatang. Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 memutuskan bahwa tuli kogenital sebagai salah satu penyebab ketulian yang angka prevalensinya harus diturunkan. Ini tentu saja memerlukan kerja sama dengan bidang lainnya dan masyarakat selain tenaga kesehatan.

2.6

Etiologi Gangguan pendengaran pada anak dapat berkembang dari penyebab yaitu

prenatal, perinatal dan post natal. Prenatal Selama kehamilan periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga setiap gangguan yang terjadi pada masa itu akan menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada masa tersebut dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan. Beberapa jenis obat yang ototoksik dan teratogenik yang dapat mengganggu organogenesis dan merusak sel silia seperti salisilat, kina, neomisin, barbiturat, gentamisin dan lain-lain. Adapun yang mempengaruhi masa prenatal ini adalah I. Infant faktor

Janin dapat lahir dengan kelainan pada telinga dalam yang dapat disebabkan genetik maupun faktor nongenetik. Kelainan yang muncul dapat sendiri maupun dapat merupakan bagian dari suatu syndrome. Kelainan pada telinga dalam dapat berupa kelainan membranous labyrinth atau kombinasi dari kelainan membranous labyrinth dan tulang labyrinth. Yang termasuk dari gangguan ini adalah Sheibe's dysplasia Alexander's dysplasia Bing-Siebeman dysplasia Michel dysplasia Mondini's dysplasia Enlarge vestibular aqueduct Semicircular canal malformation

II.

Maternal faktor Infeksi Penggunaan obat-obatan semasa kehamilan Terpapar radiasi pada trimester pertama

Adapun yang termasuk dari maternal faktor adalah

Perinatal Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor resiko terjadinay gangguan pendengaran. Umumnya ketulian yang terjadi akibat factor pranatal dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat atau sangat berat. Faktor-faktor yang mempengaruhi tuli kongenital saat kelahiran adalah : Anoxia Prematuritas dan berat badan lahir yang rendah Trauma lahir Jaundice neonatus Meningitis neonates Penggunaan obat-obat ototoksik sewaktu terapi meningitis Postnatal Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi selaput otak, perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal juga menyebabkan tuli saraf dan konduktif.

Adapun faktor yang mempengaruhi tuli kogenital setelah kelahiran adalah I. Genetik Pada keadaan ini tuli yang dialami akan muncul pada masa kanak-kanak dan dewasa dimana didapati anggota keluarga yang mengalami tuli sensorineural yang progresif atau adanya sindrome yang berhubungan. II. Nongenetik Bagian ini juga terjadi pada saat dewasa yang dapat disebabkan oleh : Infeksi virus Sekret otitis media Obat yang bersifat ototoksik Trauma Noise-induced deafness

2.7

Patoflsiologi

Tuli kongenital paling sering mempengaruhi sel-sel rambut koklea dan menyebabkan kehilangan pendengaran. Kehilangan pendengaran umumnya bilateral dan frekuensi tinggi lebih sering daripada frekuensi rendah meskipun audiogram menunjukkan hasil yang berbeda. Kebanyakan penyebab tuli kogenital tidak diketahui , tetapi kondisi lain dapat terjadi selama kehanilan karena infeksi Rubella atau CMV yang menyebabkan terjadinya tuli kogenital. Tuli kogenital dapat memburuk setelah kelahiran dantingkat keparahan bervariasi. Kehilangan pendengaran juga dapat gangguan genetic. Faktor genetik berperan setidaknya 50% dari semua tuli kogenital. Jarang terjadi malformasi kogenital termasuk atresia meatus auditory internal. Sangat penting untuk mendiagnosa ini karena anak-anak dengan kehilangan pendengaran tidak menerima implant koklea. Mereka seharusnya memiliki auditory brainstem implant dimana saraf-saraf pendengaran di bypass perangsangan langsung nucleus koklear. Sejak kebanyakan masalah tuli kogenital mempengaruhi sel-sel rambut bagian luar, bayi yang baru lahir sekarang perlu diskrinig dengan menggunakan rekaman otoucustic emission. Infeksi sering mengenai telinga bagian tengah dan koklea. bakterial menginitis salah satu penyebab gangguan pendengaran pada anak-anak sebelum imunisasi. Bakteri menyebabkan meningitis dan kehilangan pendengaran akibat inflamasi pada labirin yang mengganggu sel rambut dan mengganti labirin membrane dan jaringan ikat yamg biasanya bilateral dan permanen.

2. 8

Gejala klinis Gejala awal yang dijumpai pada bayi atau anak didapat alloanamnesa dari

orangtuanya, biasanaya apabila orang tua bersuara maka tidak ada reaksi dari anaknya dan apabila dipanggil tidak ada reaksi. Lambat laun jika bayi bertambah besar maka perkembangannya menjadi aneh dimana ada variasi dalam pengucapan kata-kata, tidak dapat berbicara yang keras yang dihasilkan dari perbendaharaan kata dimana pada usia 9 bulan bayi sudah dapat mengucapkan 4 perbendaharaan kata. Pada anak yang muda tidak dapat perhatian penuh, bingung terus meneras, tidak adanya perhatian seolah-olah tidak mendengar dan tidak mau mendengarkan. Terkadang anak dituduh nakal, malas dan lambat perkembangannya. Banyak gejala dari ketulian

ini seperti adanya kemunduran mental, gangguan emosi, psikotik, kesalahan orientasi sekeliling kelainan saraf, cerebral palsy, gangguan fisik dan belajar berbicara yang sulit. Gamgguan diketahui rata-rata 18-24 bulan 50% tanpa faktor resiko terhadap ketulian. Anak yang lahir tuli atau tuli sebelum dapat berbicara dapat dicurigai apabila anak tersebut: Tidak ada tanggapan suara terutama suara ibunya Tidak terkejut ataupun tidak menoleh apabila ada suara keras disampingnya. Tidak menunjuknya ada ekspresi pada wajahnya. Adanya gangguan perkembangan dari bahasa dan bicara yaitu pada usia 12 bulan anak belum bisa berbicara dan usia 18 bulan tidak bisa menyahut satu kata

2.9

Diagnosis Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran maka diagnosis dini perlu

dilakukan pada bayi baru lahir sebelum keluar dari rumah sakit dengan tujuan untuk mengetahui sedini mungkin kejadian gangguan pendengaran pada bayi karena tuli berat sejak lahir memiliki dampak luas pada perkembangan berbicara berbahasa, gangguan kognitif perilaku sosial emosi dan kesempatan bekerja. Dengan demikian tuli sejak dini dapat diintervensi dapat dilakukan sedini mungkin dan bukti memberikan peluang perkembangan yang lebih baik daripada ketulian yang ditemukan pada anak yang lebih lanjut. Skrining sebaiknya pada semua bayi yang baru lahir normal maupun bayi normal tanpa resiko. Negara bagian Montana di AS merekomendasikan program 3-6 bulan untuk deteksi dan intervensi dini yaitu skrining yang dilakukan sampai umur 1 bulan, diagnosis dilakukan sebelum 3 bulan dan intervensi dilakukan pada umur 6 bulan dan program ini disebut juga Joint Committe on Infant Hearing (2000) menetapkan pedoman penegakan diagnosa terhadap ketulian sebagai berikutu Untuk bayi 0-28 hari : 1. Riwayat keluarga dengan tuli sensori neural sejak lahir 2. Infeksi masa hamil (TORCHS) 3. Kelainan kraniofasialis termasuk kelainan pada pinna dan Hang telinga 4. Berat badan lahir < ISOOgr 5. Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar

6. Obat ototoksik 7. Meningitis bakterial 8. Nilai apgar 0-4 pada menit pertama; 0-6 pada menit kelima 9. Ventilasi mekanik 5 hari lebih di NICU 10. Sindroma yang berhubungan sengan riwayat keluarga dengan tuli sensorineural sejak lahir

Untuk bayi 29 hari - 2 tahun 1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran, keterlambatan bicara, berbahasa tau keterlambatan perkembangan. 2. 3. Riwayat keluarga dgn gangguan pendengaran yang menetap sejak anak-anak. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai hubungan yang erat dengan tuli sensorineural, konduktif dan gangguan tuba eustachius. 4. Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural termasuk meningitis bakterial. 5. 6. Infeksi intrauterin seperti toksoplasmosis, rubella, cytomegallo, herpes dan sifillis Adanya faktor resiko tertentu pada masa neonatus terutama hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) 7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang progresif usher syndrome neurofibromatosis dan osteoporosis 8. Adanya kelainan neurogeneratif seperti Hnter syndrome dan kelainan neuropathy sensomotorik misalnay Freiderick ataxia, Charrot Marie Tooth Syndrome. 9. Trauma kapitis

10. Otitis media yang berulang dan menetap disertai effusi telinga tengah minimal 3 bulan.

Bayi yang mempunyai salaha satu faktor resiko tersebut mempunyai kemungkinan mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang tidak memiliki faktor resiko. Bila terdapat 3 faktor resiko kecendrungan menderita

10

ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor resiko. Pada bayi baru lahir yang dirawat di ruang intensif resiko mengalami ketulian 10 kali dibandingkan bayi normal. Namun indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya mendeteksi sekitar 50% gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan pendengaran tanpa memiliki faktor resiko dimaksud. Berdasarkan pertimbangan tersebut makas saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi ditetapkan melalui program Newborn Hearing Screening (NHS). Saat ini baku emas pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi adalah pemeriksaan otoacoustic emission dan automated ABR.

2.10

Pemeriksaan pendengaran pada bayi Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini

mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami anak atau bayi masih ringan namun dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan berbahasa. Dibandinkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada anak dan bayi jauh lebih sulit dan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Selain itu pemeriksa harus mengetahui usia anak atau bayi dengan taraf perkembangan motorik dan audotorik. Untuk itu oerlu dilakukan pemeriksaan ulangan atau pemeriksaan tambahan untuk melaksanakan konfirmasi hasil pemeriksaan sebelumnya. Beberapa pemeriksaan yang dapat di;ajukan pada bayi dan anak adalah :

1.

Behavioral Observation Audiometry (BOA) Tes ini berdasarkan respon aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan

respon yang disadari. Metoda ini dapat mengetahui sistem auditorik termasuk kognitif yang lebih tinggi. Pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang cukup tenang idealnya dilakukan pada ruangan kedap suara. Sumber bunyi sederhana dapat dilakukan dengan tepukan tamngan tembur, bola plastik berisik pasir, remasan kertas minyak, bel, terompet karet dan mainan dengan bunyi yang berfrekuensi tinggi. Lalu dinilai kemampuan anak dalam memberikan respon terhadap sumber bunyi tersebut.

11

2.

Timpanometri Pemeriksaan ini diperlukan unrtuk menilai kondisi dari telinga tengah.

Gambaran timpanometri yang abnormal merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran yang konduktif. Melalui probe tone yang dipasang di Hang telinga maka dapat diketahui besarnya tekanan di Hang telinga berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali oleh gendang telinga. Pada bayi diatas usia 7 bulan maka digunakan probe tone dengan frekuensi suara 226 Hz. Khusus bayi di bawah 6 bulan tidak digunakan frekuensi diatas karena akan menimbulkan resonansi di telinga sehingga yang digunakan dengan frekuensi 668, 678 dan lOOOHz. Terdapat 4 jenis timpanogram yaitu : Tipe A (normal) Tipe AD (diskontinuitas tulang pendengaran) Tipe AS (kekakuan rangkaian tulang pendengaran) Tipe B (cairan di telinga tengah) Tipe C ( gangguan tuba eustachius) Pada bayi usia kurang dari 6 bulan ketentuan jenis timpaninogram tidak mengikuti ketentuan diatas. Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum OAE dan apabila ada gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda samapai telinga tengah tidak bermasalah. Refleks akustikus pada bayi juga berbeda dengan dengan orang dewasa. Dengan menggunakan probe tone frekuensi tinggi, reflek akustik bayi usia 4 bulan atau lebih sudah mirip dengan dewasa. 3. Audiometri Nada Murni Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer, dan hasil

pencatatannya disebut audiogram. Dapat dilakukan pada anak yang usianya diatas 4 tahun yang koperatif. Sebagai sumber suara digunakan suara yang murni yang hanya terdiri dari satu frekuensi. Pemeriksaan dilakukan di ruangan kedap suara dengan menilai hantaran suara oleh udara melalui headphone dengan frekuensi 5000, 1000, 2000, 4000 dan SOOOHz.hantaran suara melalui tulang diperiksa dengan menggunakan bone vibrator pada prosesus mastoid yang dilakukan pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Intensitas yang biasa digunakan biasanya antara 10-100dB secara bergantian

12

pada kedua telinga. Suara dengan intensitas rendah yang dapat didengar dicatat di audiogram untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian. 4. Oto Acoustic Emission (OAE) Suara yang berasal dari dunia luar akan diproses koklea menjadi stimulus listrik, selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran sebahagian energi bunyik tidak diteruskan ke saraf pendengaran melainkan kembali ke Hang telinga. Produk sampingan ini disebut emisi otoaukustik. Koklea tidak hanya menerima dan memproses bunyi tetapi juga memproses bunyi menjadi energi dengan intensitas rendah yang berasal dari sel rambut luar koklea. Terdapat 2 jenis OAE yaitu spontaneus OAE, evoked OAE . pada yang spontan, mekanisme koklea untuk menghasilkan OAE tanpa harus diberikan stimulus namun tidak semua orang nonnal memilikinya. Seedangkan pada Evoked maka harus diberikan stimulus terlebih dahulu. Pemeriksaan OAE merapakan pemeriksaan yang elektofisiologik untuk menilai fungsi koklea yang onjektif, otomatis, tidak invasi, murah tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga efisien untuk program skrining pendengaran pada bayi. 5. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) BERA merupakan cara pengukuran evoked potensial sebagai respon terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang dugunakan berupa bunyi clik atau toneburst yang diberikan melalui headphone pada pemeriksaan ini perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan anak yang usianya kurang dari 12-18 bulan karena tersapat perbedaan masa laten, amplitude, dan morfologi gelombang dibandingkan anak yang lebih besar maupun dewasa.

2.11

Penatalaksanaan Ada atau tidaknya ketulian sebenarnya bisa dideteksi sejak bayi berusia 3 bulan.

Pada pendengaran normal suara masuk akan diproses masuk dalam kokhlea, sebuah saluran atau tuba yang berputar spiral mirip rumah siput dan berisi organ-organ pendengaran. Getaran gelombang suara digetarkan ke kokhlea sehingga terjadi gerakan pada cairan sel-sel rambut dam membrane-membrane di dalamnya. Sel-sel rambut inilah yang mengirim sinyal saraf ke otak. Jika terjadi kerusakan dan gangguan otomatis suara tidak dapat ditangkap dan diterjemahkan otak.

13

Perlu untuk mengetahui derajat dan jenis dari tuli yang diperoleh dan kelainan yang mengikuti seperti retardasi mental atau kebutaan serta kehilangan pendengaran yang bersifat prelingual atau post lingual. Tujuan dari habilitasi pada anak-anak dengan gangguan pendengaran adalah perkembangan bahasa dan berbicara, bersosialisasi dan dapat mengeluarkan suara. Adapun penatalaksanaan tuli kogenital adalah 1. Pengawasan orang tua Orang tua yang mempunyai anak yang tuli haruslah secara emosional menerima kekurangan yang dihadapi anak mereka. Mereka haruslah diberitahu tentang kekurangan yang dihadapi anak mereka dan bagaimana cara menanganinya. Peran orang tua dalam habilitasi sangat penting dimana untuk penjagaan dan pemakaian dari alat bantu dengar, pemasangan telinga palsu selama pertumbuhan menjadi dewasa, sering melakukan pemeriksaan, memberikan pendidikan di rumah dan pemilihan dalam besuara. 2. Habilitasi Orang yang terdeteksi gangguan pendengaran biasanya diberikan terapi alat bantu dengar atau hearing aids sekitar enam bulan. Selama ini pula dilakukan serangkaian tes untuk mengetahui respon pendengaran dan kemampuan berkomunikasi. Jika tidak berpengaruh signifikan implantasi kokhlea menjadi solusi berikutnya tuli akibat infeksi dan tuli konduktif atau gangguan luar dan tengah umumnya bisa diobati atau dibantu dengan alat bantu dengar begitupun tuli kogenital. 3. Pengembangan berbicara dan berbahasa Komunikasi adalah merupakan proses dua arah, tergantung dari kemampuan menerima dan mengekspresi. Penerimaan informasi melalui visual, pendengaran atau perabaan sementara ekspresi secara oral atau bahasa sinyal. Pada penderita gangguan pendengaran, fungsi auditorik jelek atau tidak ada sama sekali. Oleh sebab itu untuk mendapatkan informasi yang baik, mereka perlu untuk meningkatkan kualitas pendengaran dengan amplifikasi pendengaran atau implan koklea. Komunikasi oral auditorik Metode ini digunakan orang yang normal dan cara komunikasi yang paling baik. Metode ini dapat digunakan pada gangguan pendengaran sedang hingga berat atau penderita dengan tuli post lingual. Alat bantu dengar digunakan untuk menambahkan penerimaan auditori. Pada masa yang sama, latihan untuk

14

komunikasi melalui pembacaan bicara diterapakan seperti membaca gerakan bibir, muka dan gerakan alami dari tangan dan tubuh. Kemampuan ekspresi dirangsang dengan pembicaraan oral.

Komunikasi manual Komunikasi ini dengan bahasa isyarat atau metode penulisan jari tetapi mempunyai kekurangan dimana ide yang sangat abstrak untuk diekspresikan dan masyarakat umum tidak mengerti.

Komunikasi total Komunikasi ini memerlukan semua kemampuan input sensorium. Dimana anak diajarkan untuk mengembangkan fungsi berbicara, membaca bahasa bibir dan bahasa isyarat. Semua anak dengan tuli prelingual harus menjalani ini. Alat bantu dengar berguna untuk penderita yang tuli total dan buta.

4.

Pendidikan untuk orang yang tuli ? Anak dengan penderita tuli sedang atau total dapat dimasukkan ke sekolah anak dimana mereka diberikan tempat khusus di dalam kelas. Denagan menggunakan alat batu dengar guru memakai mikrofon dan transmitter dan anak yang tuli dapat mendengarkan suara guru mereka dengan lebih baik tanpa gangguan kebisingan lingkungan

5.

Pembedahan Tergantung pada tuli kogenital yang tipe dan beratnya ketulian dan adanya gangguan lain seperti cogenital stapes fixation, choloesteatoma dan lain-lain. Atau dengan tindakan implan kokhlea untuk gangguan pendengaran karena kerusakan dan efek dari fungsi kokhlea. Cranya dengan menanamkan sejenis peranti digital di dalam telinga untuk menggantikan fungsi kokhlea yang rusak. Lalu disambungkan dengan perangkat pengatur digital dan mikrofon di bagian luar. Alat bekerja dengan menghindari bagian-bagian yang rusak di telinga bagian dalam untuk menstimulasi serta pendengaran yang masih tersisa kemudian mengirim sinyal ke otak sehingga pendengar tidak hanya mampu mendengar kembali namun dapat juga mendengarkan musik. Teknologi implan kookhlea juga sebenarnya sudah

15

dilakukan 40 tahun yang lalu. Orang dengan implan kokhlea biasanya dapat mendengarkan percakapan dengan baik tetapi musik pendengaran masih buruk.

16

BAB III KESIMPULAN

Tuli kogenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi yang disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian ini dapat berupa tuli sebahagian dan tuli total. Tuli kogenital dibagi menjadi genetic herediter dan non genetic Etiologi gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan terjadinya gangguan pendengaran yaitu masa prenatal, perinatal dan postnatal. Adapun gejala klinik tuli kogenital antara lain tidak ada tanggapan suara terutama suara ibunya, tidak terkejut ataupun menoleh bila ada suara keras disampingnya, tidak menunjukkan adanya ekspresi wajah, adanya gangguan perkembangan dari berbahasa dan berbicara. Untuk melakukan pemeriksaan pendengaran yaitu behavioral observation audiometry (BOA), timpanometri, audimetri nada murni, oto acoustic emission (OAE), brainstem evoked respones audiometry (BERA). Penatalaksanaan dengan edukasi, alat bantu dengar dengan atau tanpa implan kok.

17

DAFTAR PUSTAKA

1.

Wibisono S. Tuli Congenital. 2008. Available from URL : http://www.viblitze.com

2.

Soepardjo H. Soetomo, sebab-sebab ketulian. 2008. Available from URL : http://www.kalbe.co.id

3.

Suwento R. Rizlavsky S. Hendarmin H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan. In: Soeparti EA, IskandarN. Edisi 6. Jakarta : 2001, hal 31-41

4.

Willems P.J. Genetic Causes of Hearing Loss, New England Journal of Medicine, Updated on April 13 2000. Available from URL

: http://www.neim.org.ogl.content/short/354/20/2151 5. 6. 7. Wikipedia, Telinga. 2000. Available from URL : http://www.wikipedia.com Adams GL, Boeis, LR. Higler A. Boeis Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Jakarta Maran AGO, Diseases of The Nose, Throat and Ear, Edisi 10 New Delhu, PG. 1990, P.410-416 8. Maqbool M Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. Edisi 6. New Delhi: JBMP; 1993, P. 167-171 9. Marton C.C et. Al, Newborn Hearing Screening ; New England Journal of Medicine, Updated on May 18 2006, Available from URL : http://content.neim.org/ogt.content/short/354/20/21/2151 10. Moller AR. Hearing Anatomy, Physiology and of The Auditory System. Edisi 2 UK : Elsevier; 2006, P.233-234 11. Katz. J. Handbook of Clinical Audiology, Edisi 5, USA : Lippinecott William & Wilkins, 2002, P.762 12. Dhingra P. L. The Deaf Child in Diseases of Ear, Nose and Throat. 4 Edition. Elsevier, New Delhi, 2006. Page 113-124 13. Atlas Ketulian dengan Implantasi Kokhlea, 2008 Available from ; http://www.lifestyle.okezone.com

18

Makalah Ilmiah TULI KONGENITAL DWI FENNY AMIR 060100035

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER (THT LEHER) FK USU Saya yang bertanda tangah di bawah ini telah mneyerahkan hard copy dan soft copy makalah ilmiah kepada dr. Debi Nama Dwi Fenny Amir Tudul Tuli Kongenital Full Teks Power Point Soft Copy Tanda Tangan

Yang Menerima : Tanggal :

Telah Disetujui : Tanggal :

PPDS Pembiming Dr. Debi

19

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmatNya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Harapan saya agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi staf di rumah sakit, masyarakat umumnya, dan diri saya sendiri. Tujuan saya adalah untuk memberikan yang terbaik bagi semua orang,tetapi saya menyadari makalah ini memiliki banyak kekurangan yang harus disempurnakan karena itu saya amat menghargai segala kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih bagi semua pihak yang turut serta dalam menyelesaikan makalah ini dan semoga semua yang kita lakukan menjadi ibadah.

Penulis

20

DAFTAR ISI

Judul

Halaman i ii 1 1 1 2 2 4 5 5 5 5 7 8 9 11 13 16 17

KATA PENGANTAR .......................................................................................... DAFTAR ISI BAB I ..................................................................................................

PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2Tujuan ..............................................................................................

BAB II ISI ......................................................................................................... 2.1 Anatomi Telinga.............................................................................. 2.2 Fisiologi Pendengaran ..................................................................... 2.3 Perkembangan Auditorik ................................................................ 2.4Definisi ............................................................................................. 2.5 Insidensi .......................................................................................... 2.6EtioIogi ............................................................................................. 2.7 Patofisiologi .................................................................................... 2.8 Gejala Klinis.................................................................................... 2.9 Diagnosis ......................................................................................... 2.10 Pemeriksaan pendengaran pada bayi ............................................ 2.11 Penatalaksanaan ............................................................................ BAB III PENUTUP ............................................................................................ Daftar Pustaka ......................................................................................................

ii

21

También podría gustarte