Está en la página 1de 6

AGRIBISNIS DAN PARADIGMA PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA

I Komang Suarsana

Pendahuluan Dalam tinjauan aspek sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam, terdapat pandangan yang berbeda atau mungkin berseberangan dengan kerangka pikir yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Menurut Mubyarto dan Awan Santosa (2003) istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Padahal jumlah mereka masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untungruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan. Perbedaan pandangan terhadap paradigma pembangunan pertanian Indonesia adalah hal yang wajar. Pada tulisan ini penulis mencoba melakukan kajian terhadap pandangan tersebut dan pendapat lain yang terkait sebagai bagian dari pembelajaran yang bermanfaat dalam peningkatan wawasan dan pengetahuan khususnya bagi penulis dan masyarakat luas pada umumnya.

Kondisi Sektor Pertanian Selama ini sektor pertanian dianggap sebagai sebuah sektor yang sedang terpinggirkan. Hal ini didukung dengan realitas bahwa harga input dirasakan tinggi, pajak

(PBB) dirasakan tinggi, dan hal ini mungkin disebabkan karena harga output dirasakan sangat rendah (khususnya pada saat panen raya), serta adanya resiko dan ketidak-pastian yang tinggi kalau bergerak di sektor pertanian. Bahasan di atas tampaknya mengandung makna bahwa harga output pertanian dianggap tidak sebanding dengan harga-harga produk lainnya. Dengan demikian, pekerjaan di sektor pertanian dianggap pekerjaan yang tidak menjanjikan, generasi muda enggan bertani, dan alih fungsi lahan semakin merajalela. Sementara itu pengembangan sektor pertanian selama ini dilakukan melalui pengembangan parsial (sendiri sendiri) per komoditas pertanian dengan sasaran difokuskan pada peningkatan produksi pertanian. Padahal di luar sektor produksi pertanian lapangan usaha industri pengolahan memiliki potensi pertumbuhan yang cukup besar. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pengolahan hasil (khususnya hasil sektor pertanian) memiliki peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui bahwa sektor pertanian memiliki kaitan yang kuat ke hilir (industri hilir) yang dikenal dengan kaitan ke hilir (forward linkage), dan juga memiliki kaitan yang kuat ke hulu (industri hulu) yang dikenal dengan kaitan ke hulu (backward linkage). Sementara itu dikatakan pula bahwa kaitan ke hilir (industri hilir) memiliki kemampuan tiga kali lipat lebih besar untuk mengembangkan sektor pertanian bila dibandingkan dengan kaitan ke hulu (industri hulu). Oleh karenanya, pembangunan industri pengolahan (industri hilir) perlu dibangun dengan sungguh-sungguh untuk dapat mendorong pembangunan di sektor pertanian dengan lebih cepat. Usaha revitalisasi di sektor pertanian, perlu diusahakan juga pada pembangunan di bagian hilir. Sukses pembangunan pertanian di bagian hilir akan menyebabkan terdorongnya sukses dalam kegiatan pengembangan produksi pertanian/usahatani (on fram). Adanya UU tentang budidaya pertanian akan menjadi landasan yang kuat bagi petani untuk mengembangkan produksi pertanian apa saja, sesuai dengan keuntungan yang diharapkan oleh petani yang bersangkutan (sesuai dengan kebutuhan industri hilir).

Agribisnis sebagai Paradigma Paradigma adalah pola pikir/konsep yang berkembang/dikembangkan dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Dalam kaitan ini, agribisnis yang dikembangkan sebagai paradigma

baru dalam pembangunan pertanian dimaksudkan bahwa dalam pembangunan pertanian saat ini, konsep/pola pikir yang dikembangkan adalah konsep agribisnis. Agribisnis adalah suatu kegiatan usaha (kegiatan usaha yang menghasilkan input, produksi, pengolahan hasil, pemasaran) yang menunjang sektor pertanian. Agribisnis merupakan sebuah bentuk pengaitan pertanian (on-farm) dengan industri hulu (upstream) dan industri hilir (down-stream) pertanian. Selain itu, pembangunan pertanian yang dilakukan diiringi pula dengan membangun subsektor pertanian berupa pembangunan industri dan jasa terkait yang dikembangkan secara simultan dan harmonis. Secara garis besar, sistem dari agribisnis tersebut memiliki lima subsistem. Sub sistem pertama adalah subsitem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian, seperti industri pembibitan/pembenihan hewan dan tumbuhan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat/vaksin ternak), dan industri agrootomotif (mesin dan peralatan pertanian), serta industri pendukungnya. Kedua, subsistem usahatani atau pertanian primer (on-farm agribusiness), yaitu kegiatan yang menggunakan sarana produksi pertanian untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Termasuk dalam hal ini adalah usaha tani tanaman pangan dan hortikultura, usahatani perkebunan, dan usaha tani peternakan, usaha perikanan dan usaha kehutanan. Ketiga, subsistem agribisnis hilir atau pengolahan (downstream agribusiness), yakni kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer (agroindustri) menjadi produk olahan baik produk antara (intermediate product) maupun produk akhir (finish product). Termasuk di dalamnya industri makanan, industri minuman, industri barang-barang serat alam (barang-barang karet, plywood, pul, kertas dan bahan-bahan bangunan terbuat dari kayu, rayon, benang dari kapas atau sutera, barang-barang kulit, tali dan karung goni), industri biofarmaka, dan industri agrowisata dan estetika, termasuk kegiatan perdagangannya .

Keempat, subsitem pemasaran, yakni kegiatan-kegiatan untuk memperlancar pemasaran komoditas pertanian baik segar maupun olahan, di dalam dan luar negeri. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan distribusi untuk memperlancar arus komoditas

dari sentra produksi ke sentra konsumsi, promosi, informasi pasar, serta market intelligence. Kelima, subsistem jasa yang menyediakan jasa bagi subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, dan subsistem agribisnis hilir. Termasuk ke dalam subsistem ini adalah penelitian dan pengembangan, perkreditan dan asuransi, sistem informasi dan dukungan kebijakan pemerintah (mikroekonomi, tata ruang, makroekonomi). Disamping pendekatan agribisnis pembangunan sektor pertanian harus diimbangi pula dengan reformasi agraria secara menyeluruh. Reformasi agraria harus berarti pembaruan agraria yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di pedesaan. Namun, bukan berarti bahwa paradigma agribisnis tidak konsisten dengan arah reformasi agraria yang berkerakyatan tersebut. Paradigma agribisnis dapat diadaptasikan dengan kondisi kontekstual Indonesia termasuk dalam perumusan reformasi agraria. Penataan agraria harus tetap didasarkan pada pertimbangan bahwa pertanian adalah kehidupan bagi sejumlah besar penduduk pedesaan. Sistem sakap menyakap lahan, misalnya, harus ditata ulang sehingga memberi akses yang lebih mudah dan pembagian hak maupun kewajiban yang lebih adil bagi penggarap. Sementara itu, pembaruan agraria juga harus pula dirancang sehingga mampu mendorong tumbuhkembangnya agribisnis dan industri kecil di pedessaan agar tekanan penduduk terhadap lahan berkurang. Dengan begitu, jumlah penduduk yang menggantungkan hidupnya pada pertanian dapat berkurang. Kita tidak mendasarkan pertanian hanya sebagai kebutuhan hidup sehari-hari (Farming is a way of daily life, farming is livelihood atau farming is part of culture). Dewasa ini, farming is business adalah realita yang harus kita terima. Farming is business tidak meniscayakan argumen farming is livelihood dan farming is part of culture. Farming is not business hanya ada pada masa silam tatkala penduduk kita hidup subsisten, semua kebutuhan hidup dihasilkan dari pekerjaan sendiri. Farming is not business tinggal hanya dalam kenangan sejarah peradaban manusia.

Bukti yang paling gamblang bahwa pertanian gurem is business ialah penggunaan buruh tani sewaan dan traktor sewaan oleh petani kecil, petani penyakap dan petani penggarap. Kenapa mereka tidak melulu mengandalkan tenaga kerja keluarga yang mestinya tersedia

cukup memenuhi kebutuhan usahatani yang sangat kecil. Jawabannya ialah pertimbangan bisnis. Usahatani gurem, sakap dan garap adalah juga usaha bisnis sehingga tidak dapat dijadikan argumen untuk menolak strategi agribisnis yang dicanangkan Depertemen Pertanian. Masalahnya barangkali bukanlah pada strategi itu sendiri. Kuncinya ialah bagaimana program dan kebijakan operasional pengembangan sistem dan usaha agribisnis tersebut lebih difokuskan bagi pemberdayaan dan pengembangan petani gurem, penyakap dan penggarap tersebut. Selain pandangan terhadap sifat farming is a business, dimensi kedua dari paradigma agribisnis ialah pemikiran bahwa bertani atau agriculture tidak bersifat terisolir, bebas dari pengaruh kontekstual off-farm. Paradigma agribisnis berpandangan bahwa usahatani sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis off-farm seperti sistem pemasaran input dan output, pasar input dan output internasional, nilai tukar rupiah, kebijakan perbankan, dan sebagainya. Menurut Windia, (2007) subsistem industri hilir memegang peranan penting dan sangat dominan dalam proses pembangunan pertanian. Oleh karenanya, peran penyuluh (PPL) saat ini sangat penting dalam membangkitkan industri hilir. Sebab hanya dengan pembangunan dan perkembangan industri hilir, pembangunan pertanian akan bangkit semakin cepat. Agribisnis sebagai paradigma baru pembangunan pertanian seharusnya dimulai dari hilir. Hal ini disebabkan karena aktivitas di kawasan hulu dan usahatani tampaknya sudah cukup lama dikembangkan, dan tampaknya belum memberikan hasil yang maksimal. Data empirik menunjukkan bahwa hanya petani yang memiliki keahlian berdagang yang mampu eksis dengan baik dalam kehidupannya. Oleh karenanya petani harus dididik untuk berdagang, antara lain dengan mengembangkan usaha kegiatan (industri) di hilir. Dalam tanggapannya terhadap pendapat Profesor Mubyarto, Pantjar Simatupang, (2007) mengatakan bahwa agenda pokok bukanlah meninjau ulang konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis yang telah dicanangkan Departemen Pertanian sebagai strategi pembangunan pertanian saat ini. Yang ditunggu-tunggu ialah program dan kebijakan komprehensif ebagai operasionalisasi dari konsep dan strategi tersebut. Termasuk dalam hal ini format reformasi agraria yang bagaimanakah yang dapat

mewujudkan operasionalisasi konsep tersebut. Namun dalam hal prinsip dasar reformasi agraria sangat harus menyumbang pada upaya mengatasi Profesor

bahwa Ia

kemiskinan

sependapat

dengan

Mubyarto.

Kesimpulan Pendekatan agribisnis sebagai paradigma pembangunan pertanian Indonesia bukanlah pendekatan yang mengabaikan peningkatan kesejahteraan bagi petani petani kecil. Perlu ditekankan juga bahwa agribisnis bukan hanya menyangkut perusahaan berskala besar.Strategi yang lebih tepat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di pedesaan ialah dengan mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan atau mengurangi jumlah petani melalui penyediaan lapangan kerja alternatif di sektor non-pertanian. Untuk itu pengembangan agribisnis dalam arti luas di pedesaan merupakan langkah yang tepat. Reformasi agraria mutlak perlu untuk memfasilitasi pertanian berkelanjutan sebagai basis dari agribisnis di pedesaan. Pembangunan pertanian haruslah dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh (holistik) dari sisi perundangan, pendidikan masyarakat, usaha tani dan agribisnis dalam arti luas dengan tetap mengedepankan kepedulian terhadap petani kecil.

Referensi: Mubyarto dan Awan santosa. 2003. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan (Kritik Terhadap Paradigma Agribisnis). www.ekonomirakyat.org, (Artikel - Th. II - No. 3 - Mei 2003) Simatupang, Pantjar. 2007. Reformasi agraria menuju pertanian berkelanjutan: komentar terhadap makalah profesor mubyarto. http://www.jakerpo.org. 27 Februari 2007. Windia, Wayan. 2007. Agribisnis sebagai Paradigma Baru Pembangunan PertanianBagian (1). http://www.bisnisbali.com/2007/04/07/news/opini/d4.html

También podría gustarte