Está en la página 1de 65

Infrastruktur dan Suprastruktur Politik di Indonesia

28JAN201213 Komentar
by amanahme in PKn

Pada setiap sistem politik Negara-negara dunia, akan selalu dijumpai adanya struktur politik. Struktur politik di dalam suatu negara adalah pelembagaan hubungan organisasi antara komponen-komponen yang membentuk bangunan politik. stuktur politik sebagai bagian dari struktur yang pada umumnya selalu berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoratif, yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Permasalahan politik menurut Alfian, dapat dikaji melalui berbagai pendekatan, yaitu didekati dari sudut kekuasaan, struktur politik, komunikasi politik, konstitusi, pendidikan dan sosialisasi politik, pemikiran dan kebudayaan politik. Sistem politik yang pada umumnya berlaku di setiap negara meliputi dua struktur kehidupan politik, yakni, infrastrukur politik dan suprastruktur politik. 1. Infrastrukur politik Didalam suatu kehidupan politik rakyat (the sosial political sphere), akan selalu ada keterkaitan atau keterhubungan dengan kelompok-kelompok lain ke dalam berbagai macam golongan yang biasanya disebut kekuatan sosial politik masyarakat. Kelompok masyarakat tersebut yang merupakan kekuatan politik riil didalam masyarakat, disebut infrastruktur politik. Berdasakan teori politik, infrastruktur politik mencakup 5 (lima) unsur atau komponen sebagai berikut : a. Partai politik (political party ), b. kelompok kepentingan (interst group), c. kelompok penekan (pressure group), d. media komunikasi politik (political communication media) dan e. tokoh politik (political figure). a. Partai politik ( political party ) di Indonesia

Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Hubungan ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat yang melahirkannya. Kalau kelahiran partai politik dilihat sebagai pengewajantahan dari kedaulatan rakyat dalam poltik formal, maka semangat kebebasan selalu dikaitkan orang ketika berbicara tentang partai politik sebagai pengendali kekuasaan. Perjalanan sejarah kehidupan partai poliik di Indonesia secara garis besarnya dapat dijelaskan sebagai berikut :

Masa pra kemerdekaan

Organisasi modern pertama di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah (tidak secara fisik) adalah Budi Utomo yang didirikan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908. Pada awalnya, organisasi ini berkembang di kalangan pelajar dalam bentuk studieclub dan organisasi pendidikan. Namun dalam perkembangan berikutnya, ia menjadi partai politik yang didukung kaum terpelajar dan massa buruh tani.

Masa pasca kemerdekaan (tahun 1945-1965)

Tumbuh suburnya partai-partai politik pasca kemerdekaan, didasarkan pada Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945 yang ditandantangani Wakil Presden Moh. Hatta yang antara lain memuat keinginan pemerintah akan kehadiran partai politik agar masyarakat dapat menyalurkan aspirasi (aliran pahamnya) secara teratur. Sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tersebut, dapat diklasifikasi sejumlah partai politik yang ada sebagai berikut : 1). Dasar Ketuhanan : a) Partai Masjumi, b) Partai Sjarikat Indonesia, c) Pergerakan Tarbiyan Islamiah (Perti), d) Partai Kristen Indonesia (Parkindo), e) Nahdlatul Ulama (NU), dan f) Partai Katolik. 2). Dasar Kebangsaan : Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia Raya (Parindra Persatuan Indonesia Raya (PIR), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Partai Demokrasi Rakyat (Banteng), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Wanita Rakyat (PWR), Partai Kebangsaan Indonesia (Parki), Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), Ikatan Nasional Indonesia (INI), Partai Rakyat Jelata (PRJ), Partai Tani Indonesia (PTI), Wanita Demokrasi Indonesia (PTI).

3). Dasar Marxisme : Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia, Partai Murba, Partai Buruh, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai). 4). Dasar Nasionalisme: Partai Demokrat Tionghoa (PTDI), Partai Indonesia Nasional(PIN), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Masa Orde baru (tahun 1966-1998). Awal kebangkitan orde baru (1966) dalam melakukan pembelahan institusi politik, tetap berpandang bahwa jumlah partai politik yang terlalu banyak tidak menjamin stabilitas politik. Usaha pertama disamping memulihkan partai-partai yang tidak secara resmi dilarang, adalah menyusun undang-undang tentang pemiluyang dianggap sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu. Dan pemilu yang direncanakan dilaksanakan dalam waktu dekat, ternyata baru terlaksana tahun 1971 dengan peserta sebanyak 10 partai politik. (Golkar, Parmusi, NU, PSII, Partai Islam, Parkindo, Partai Katolik, PNI, Murba, dan IPKI). Hasil Pemilu 1971 menunjukkan kemenangan Golkar yang diikuti oleh Parmusi, NU dan PNI. Selanjutnya dengan diberlakukannya UU RI no. 03 tahun 1957, Pemilu tahun 1977 dan 1982 hanya diikuti oleh 3 ( tiga) peserta : 1). PPP dengan ciri ke-islaman dan ideologi islam. 2). Golkar dengan ciri kekayaan dan keadilan sosial. 3). PDI dengan ciri demokrasi, kebangsaan (nasionalisme), dan kedilan Pada pemilu tahun 1987 dan 1992 dengan diberlakukannya UU NO. 3 tahun 1985, partai politik dan Golkar ditetapkan hanya mempergunakan satu-satunya asas, yaitu Pancasila dengan tujuan agar setiap kontestan pemilu lebih berorientasi pada program kerja masing-masing. penerapan atas tersebut langsung sampai dengan pelaksanaan pemilu 1997. fakta memperlihatkan bahwa selama pemilu orde baru, golkar selalu dominan. dalam pemilu 1971 golkar meraih (62,8%), tahun 1997 (62,1%), tahun 1982 (64,3%), tahun 1987 (73,2%) tahun 1992 (68,1%) dan pada tahun 1997 (70,2%).

Era orde baru mengalami antiklimaks kekuasaan setelah pada akhir tahun 1997 negara Indonesia mengalami krisis moneter yang selanjutnya berkembang menjadi krisis multidimensi karena terperangkap hutang luar negeri yang besar dan banyaknya praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang melibatkan pejabat birokrasi dan pengusaha.

Masa/Era Repormasi (tahun 1999 s.d.sekarang)

Era reformasi benar-benar merupakan arus angin perubahan menuju demokratisasi dan asas keadilan. Partai-partai politik diberikan kesempatan untuk hidup kembali dan mengikuti pemilu dengan multipartai yang terselenggarakan pada tahun 1999 berdasarkan undang-undang No. 3 tahun 1999. sangat mengejutkan bagi semua manusia elemen masyarakat Indonesia ternyata paska-orde baru pemilu diikuti sebanyak 48 partai politik. b. Kelompok kepentingan (interest group) Kelompok kepentingan (interest group), dalam gerak langkahnya akan sangat tergantung pada sistem kepartaian yang diterapkan dalam suatu negara. Aktivitas kelompok kepentingan umumnya menyangkut tujuan-tujuan yang lebih terbatas, dengan sasaran-sasaran yang monolitis dan intensitas usaha yang tidak berlebihan. Menurut Gabriel A. Almond, kelompok kepentingan dapat diidentifikasikan ke dalam jenis-jenis kelompok sebagai berikut :

Kelompok Anomik : kelompok yang terbentuk dari unsurunsur masyarakat secara spontan dan seketika akibat isu kebijakan pemerintah, agama, politik, dsb. Kelompok non-asosiasional: Kelompok yang berasal dari unsur keluarga dan keturunan atau etnik, regional, status dan kelas yang menyatakan kepentingannya berdasarkan situasi. Kelompok insitusional : kelompok yang bersifat formal dan memiliki fungsi fungsi politik atau sosial. Kelompok asosiasional: Kelompok yang menyatakan kepentinganya secara khusus, memakai tenaga professional dan memiliki prosedur yang teratur untuk merumuskan kepentingan dan tuntutan.

Kelompok kepentingan pada negara totaliter (partai tunggal) pada umumnya dianut oleh negara komunis (Rusia, RRC, Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan lain-lain). David Lane, (seorang analisis politik) mengidentifikasi 5 (lima) kategori kelompok kepentingan di Uni Soviet (Rusia), yaitu: a. Elite politik, seperti anggota-anggota politburo b. Kelompok-kelompok institusional, sepsrti serikat-serikat datang. c. Kelompok-kelompok pembangkang setia, seperti para dokter dan guru d. Pengelompokan-pengelompokan sosial yang tidak terorganisir dalam satu kesetian, seperti petani dan tukang. e. Kelompok-kelompok yang tidak terorganisir dalam satu kesatuan, yang bukan merupakan bagian dariaparat Soviet (Rusia), atau yang mempunyai jarak dengan rezim penguasa, seperti kelompok intelektual yang menentang rezim atau anggota sekte-sekte keagamaan tertentu. Pada negara yang menerapkan sistem dua partai, disiplin partai baik dalam parlemen maupun kabinetrelatif lebih ketat dan hal ini merupakan kendala tersendiri terutama untuk mendukung sepenuhnya program-program kelompokkelompok tertentu. Di negara berkembang pada umumnya. dan khususnya di Indonesia masyarakat yang tergabung dalam kelompok kepentingan biasanya sensitive terhadap isu politik dalam lingkup kelompok politik yang sempit. Masyarakat masih dibatasi realita politiknya (terutama masa orde baru) oleh para pemegang kekuasaan negara/pemerintah. Dengan asumsi demi stabilitas politik. Tampak bahwa pada masa itu pemegang kekuasaan negara/pemerintah cukup tangguh mengendalikan kehidupan politik supaya terdapat keleluasaanbagi proses pembangunan bidang kehidupan lainnya. Namun pasca Orde Baru (tahun 1998) yang disebut dengan era reformasi, masyarakat berperan aktif dalam menumbuhkan sangkar partisipasi politik demokratisasi setelah selama 32 tahun dikekang dengan berbagai instrument

politik dan peraturan perundangan. Berkembangnya sistem politik di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari peran kelompok kepentingan yang selama Orde Baru berkuasa berseberangan, terutama dari kalangan akademisi, politikus, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha, dan sebagainya. c. Kelompok Penekan (pressure group) Kelompok penekan merupakan salah satu institusi politik yang dapat dipergunakan oleh rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan kebutuhannya dengan sasaran akhir adalah untuk mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijakan pemerintah. Kelompok penekan dapat terhimpun dalambeberapa asosiasi yang mempunyai kepentingan sama, antara lain : a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) b. Organisasi-organisasi sosial keagamaan c. Organisasikepemudaan d. Organisasi Lingkungan Kehidupan e. Organisasi pembela Hukum dan HAM f. Yayasan atau Badan hukum lainnya, Mereka pada umumnya dapat menjadi kelompok penekan dengan cara mengatur orientasi tujuan-tujuannya yang secara operasional (melakukan negosiasi) sehingga dapat mempengaruhi kebijaksanaan umum. Dalam realitas kehidupan politik, kita mengenal berbagai kelompok penekan baik yang sifatnya sektoral maupun regional. Tujuan dan target mereka biasanya bagaimana agar keputusan politik berupa undang-undang atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih menguntungkan kelompoknya (sekurangkurangnya tidak merugikan). Kelompok penekan, kadang-kadang muncul lebih dominan dibanding dengan partai politik, manakala partai politik peranannya tidak bisa lagi diharapkan untuk

mengangkat isu sentral yang mereka perjuangkan. Kondisi inilah yang mendorong kelompok penekan tampil ke depan sebagai alternative terkemuka. d. Media komunikasi politik (political communication media) Media komunikasi politik merupakan salah satu instrument politik yang dapat berfungsi untuk menyampaikan informasi dan persuasi mengenai politik baik dari pemerintah kepada masyarakat maupun sebaliknya. Media komunikasi seperti surat kabar, telepon, fax, internet, televise, radio, film, dan sebagainya dapat memainkan peran penting terhadap penyampaian informasi serta pembentukan/mengubah pendapat umum dan sikap politik publik. e. Tokoh Politik (political/figure) Pengangkatan tokoh-tokoh merupakan proses transformasi seleksi terhadap anggota-anggota masyarakat dari berbagai sub-kluktur, keagamaan, status sosial, kelas, dan atas dasar isme-isme kesukuan dan kualifikasi tertentu, yang kemudian memperkenalkan mereka pada peran-peran khusus dalam sistem politik. Bagi actoraktor politik itu sendiri, pengangkatan diri mereka selalu melalui proses, yaitu :

Transformasi dari peranan-peranan non-politis kepada suatu situasi di mana mereka menjadi cukup berbobot memainkan peranan-peranan politik yang bersifat khusus. Pengangkatan dan penugasan untuk menjalankan tugas-tugas politik yang selama ini belum pernah mereka kerjakan, walaupun mereka telah cukup mampu untuk mengemban tugas seperti itu. Proses pengangkatan itu melibatkan baik persyaratan status maupun penyerahan posisi khusus pada mereka.

Di dalam benak masyarakat sering timbul pertanyaan apakah pengangkatan tokohtokoh politik akan pengaruh besar terhadap pembangunan dan perubahan? Pada umumnya pengangkatan tokoh-tokoh politik akan memberikan angin segar dalam memaparkan menifestasinya. Pengangkatan tokoh-tokoh politik akan berakibat terjadinya pergeseran di sector infrastruktur politik, organisasi, asosiasi-asosiasi, kelompok-kelompok kepentingan serta derajat politisasi dan partisipasi masyarakat. beberapa komponen perubahan dalam segala untuk dan

Menurut Lester G. Seligman , proses pengangkatan tokoh-tokoh politik akan berkaitan dengan beberapa aspek , yakni : a. Leditimasi elit politik b. Masalah kekuasaan c. Representativitasi elit politik d. Hubungan antara pengangkatan tokoh-tokoh politik dengan perubahan politik. Di negara-negara demokrasi pada umunya, pengangkatan tokoh-tokoh politik dilakukan melalui pemilihan umum. Hal ini akan berbeda jika dilaksanakan di negara-negara totaliter, diktator atau otoriter. 2. Suprastruktur Politik Suprastruktur politik (elit pemerintah) merupakan mesin politik resmi di suatu negara sebagai penggerak politik formal. Kehidupan politik pemerintah bersifat kompleks karena akan bersinggungan dengan lembaga-lembaga negara yang ada, fungsi, dan wewenang/kekuasaan antara lembaga yang satu dengan yang lainnya. Suasana ini pada umumnya dapat diketahui didalam konstitusi atau UndangUndang Dasar dan peraturan perundang-undangan suatu negara. Dalam perkembangan ketatanegaraan modern, pada umunya elit politik pemerintah dibagi pelanggaran dalam undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana dengan sistem pembagian undangkekuasaaan atau undang),legislative (pembuat undang-undang), dan yudikatif (yang mengadili pemisahan kekuasaan. Untuk terciptanya dan mantapnya kondisi politik negara, suprastruktur politik harus memperoleh dukungan dari infrastruktur politik yang mantap pula. Rakyat, baik secara berkelompok berupa partai politik atau organisasi kemasyarakatan, maupun secara individual dapat ikut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakil-wakilnya. Suprastruktur politik di negara Indonesia sejak bergulirnya gerakan reformasi tahun 1998 sampai dengan tahun 2006 telah membawa perubahan besar di dalam sistem

politik dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Era reformasi disebut juga sebagai Era kebangkitan Demokrasi. Reformasi di bidang politik dan hukum ketatanegaraan, yaitu dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 selama 4 (empat kali) dari tahun 19992002. Amandemen pertama disahkan (19 Oktober1999), kedua ( 18 Agustus 2000), ketiga (10 November 2001), dan keempat (10 Agustus 2002). Amandemen UUD 1945 tersebut telah mengubah struktur suprapolitik di Indonesia.

Memahami Sistem Politik Serta Infrastruktur dan Suprastruktur Politik di Indonesia (Bagian 2)
Oleh Wongbanyumas

Setelah di tulisan sebelumnya kita membahas mengenai sistim politik kali ini penulis akan mengulas tentang Infrastruktur politik di Indonesia.Infrastruktur Politik adalah unsur atau bisa disebut sebagai kekuatan politik eksternal. Infrastruktur politik menempatkan diri berada di luar kekuasaan. Kita dapat mendefinisikan infrastruktur politik sebagai suasana kehidupan politik rakyat yang berhubungan dengan kehidupan lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam kegiatannya dapat memengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan lembaga-lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-masing. Untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

Infrastruktur politik tidak menjalankan pemerintah secara praktikal. Hal ini dikarenakan posisinya yang berada di luar garis kekuasaan penyelenggara negara utama. Meskipun demikian kekuatan infrastruktur politik tidak dapat diremehkan. Sejarah mencatat gejolak politik di Indonesia yang terjadi akibat kekuatan infrastruktur politik yang bergerak menginginkan perubahan. Infrastruktur politik memiliki peran vital yang memberikan berbagai input kepada penguasa. Infrastruktur politik memiliki fungsi. Fungsi infrastruktur politik tersebut antara lain ialah : a. Pendidikan politik, memberikan pencerdasan pemahaman mengenai hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat sebagai warganegara. Masyarakat akan mampu memahami rules of the game dalam menjalankan roda pemerintaha. Sehingga masyarakat mampu menilai apakah kinerja pemerintahan sudah efektif dan mampu membawa negara kepada tujuan bersama yakni kesejahteraan umum; b. Mempertemukan kepentingan yang beraneka ragam dan kenyataan hidup dalam masyarakat. Infra struktur politik pada dasarnya tidak selalu bersifat homogen. Ada kalanya berbagai unsur dalam infrastruktur politik terdiri dari berbagai elemen masyarakat yang

memiliki kepentingan masing-masing. Melalui infrastruktur politik inilah dipertemukan kepentingan antar kelompok. Pertemuan kepentingan ini harus mencapai sebuah konsensus demi kepentingan bersama yang lebih besar, yakni kemakmuran dan kesejahteraan; c. Agregasi kepentingan, menjadi sebuah saluran untuk menyalurkan aspirasi, pendapat, dan keinginan rakyat selaku pemegang kedaulatan negara kepada pihak pemerintah sebagai pihak yang mendapatkan mandat menjalankan pemerintahan. Fungsi agregasi ini menjadi fasilitator bagi rakyat agar apa yang dikehendaki rakyat menjadi bagian dari otokritik yang mempengaruhi sebuah keputusan politik. d. Seleksi kepemimpinan, melalui infrastruktur politik inilah masyarakat yang merupakan pemegang kedaulatan bisa masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dan menjalankan kekuasaan. Tokoh terbaik akan dialirkan menuju pos penting dalam penyelenggaraan negara. Inilah yang menjadi jembatan bagi para pihak yang berada di luar kekuasaan untuk berperan serta masuk ke dalam tapal batas kekuasaan. Apa saja yang menjadi unsur dalam infrastruktur politik? Berikut ini terdapat enam unsur infrastruktur politik, antara lain: 1. Partai Politik Mengutip pandangan Miriam Budiarjo yang mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Kelompok ini bertujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan mereka. Carl Friedrich mendefinisikan partai politik merupakan kumpulan manusia yang terorganisir yang stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan pemerintahan bagi pimpinan partai dan berdasarkan peguasaan ini akan memberikan manfaat bagi anggota partai, baik idealisme maupun kekayaan material serta perkembangan lainnya. Fungsi Partai Politik 1) Fungsi Artikulasi Kepentingan Artikulasi kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai kebutuhan, tuntutan, dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga legislative, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam pembuatan kebijakan public. Bentuk artikulasi paling umum disemua system politik adalah pengajuan, permohonan, secara individual kepada anggota dewan (legislative),atau Kepala Daerah, Kepala Desa, dan seterusnya. 2) Fungsi Agregasi Kepentingan Merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-alternatif pembuatan kebijakan public. 3) Fungsi Sosialisasi Politik Sosialisasi Politik merupakan suatu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai politik, sikap-sikap dan etika politik yang berlaku atau dianut oleh suatu Negara. Pembentukan sikap-sikap politik atau untuk

membentuk suatu sikap keyakinan politik dibutuhkan waktu yang panjang melalui proses yang berlangsung tanpa henti. 4) Fungsi Rekrutmen Politik Rekrutmen Politik adalah suatu proses seleksi atau rekrutmen anggota-anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan administrative maupun politik. Setiap sistem politik memiliki sistem atau prosedur-prosedur rekrutmen yang berbeda. Pola rekrutmen anggota partai disesuaikan dengan sistem politik yang dianut. 5) Fungsi Komunikasi Politik Merupakan salah satu fungsi yang dijalankan oleh partai politik dengan segala struktur yang tersedia, mengadakan komunikasi informasi, isu dan gagasan politik. Media-media massa banyak berperan sebagai alat komunikasi politik dan membentuk kebudayaan politik. 2. Kelompok Kepentingan Kelompok kepentingan merupakan kelompok yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik, kelompok ini tidak berusaha menguasai pengelolaan pemerintahan secara langsung. Masyarakat bergabung untuk kepentingan dan keuntungan warganya. Kelompok ini tempat menampung saran, kritik, dan tuntutan kepentingan bagi anggota masyarakat, serta menyampaikannya kepada sistem politik yang ada. Kelompok ini penting bagi anggota masyarakat. Gabriel A. Almond mengidentifikasi kelompok kepentingan ke dalam jenis-jenis kelompok : 1) Interest Group Asosiasi Interest group khusus didirikan untuk memeperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu dari masyarakat atau golongan, namun masih mencakup beberapa yang luas. Yang termasuk kelompok ini adalah Ormas. misalnya NU, Muhamadiyah, Kadin, SPSI, dll 2) Interest Group Institusional Interest group pada umumnya terdiri atas berbagai kelompok manusia berasal dari lembaga yang ada, dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan orang-orang yang menjadi anggota lembaga yang dimaksudkan. Misalnya PGRI, IDI, dan organisasi seprofesinya. 3) Interest Group Nonasosiasi Interest group ini didirikan secara khusus dan kegiatannya juga tidak dijalankan secara teratur, tetapi aktivitasnya kelihatan dari luar apabila masyarakat memerlukan dan dalam keadaan mendesak. Yang dimaksud dengan masyarakat dalam hal ini, dapat berwujud masyarakat setempat tinggal, masyarakat seasal pendidikan, masyarakat seketurunan, dll. 3. Kelompok Penekan

Yang dimaksud golongan penekan adalah sekelompok manusia yang tergabung menjadi anggota suatu lembaga kemasyarakatan dengan aktivitas yang tampak dari luar sebagai golongan yang sering mempunyai kemauan untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak penguasa. Kelompok penekan dapat terhimpun dalam beberapa asosiasi yaitu : 1) 2) 3) 4) 5) 6) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); Organisasi-organisasi sosial keagamaan; Organisasi Kepemudaan; Organisasi Lingkungan Hidup; Organisasi Pembela Hukum dan HAM; serta Yayasan atau Badan Hukum lainnya. Kelompok penekan juga dapat memengaruhi atau bahkan membentuk kebijaksanaan pemerintah melalui cara-cara persuasi, propaganda, atau cara lain yang lebih efektif. Salah satu institusi politik yang dapat dipergunakan oleh rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan kebutuhannya dengan sasaran akhir adalah untuk mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijakan pemerintah. 4. Media Komunikasi Politik Media komunikasi politik adalah salah satu instrumen politik yang berfungsi menyampaikan informasi dan persuasi mengenai politik baik dari pemerintah kepada masyarakat maupun sebaliknya. Merupakan benda mati yang sebagai perantara penyebaran dan pemberitaan (singkat kata alat komunikasi) politik. Komunikasi politik yaitu menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat baik pikiran intragolongan, institusi, asosiasi ataupun sector kehidupan politik masyarakat dengan sektor pemerintah. 1) Fungsi Informasi Media dijadikan sarana diseminasi informasi yang terkait dengan politik dengan kekuasaan, serta sosialisasi politik. Fungsi Edukasi Media dijadikan sebagai sarana pendidikan politik melalui pesan-pesan politik yang disampaikan media. Fungsi Korelasi Media dijadikan penghubung antara aktor politik dan khalayak melalui isi media yang berkaitan dengan aktivitas aktor poltik. Fungsi Kontrol Sosial Media sebagai agen kritik atau koreksi terhadap aktor politik atau kegiatan politik. Fungsi Pembentukan Opini Publik berkaitan dengan Persoalan Politik

2) 3)

4) 5)

5. Organisasi Masyarakat Dalam Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga Negara republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Organisasi kemasyarakatan dibentuk dengan tujuan-tujuan dalam bidang sosial dan budaya. Organisasi ini tidak melibatkan diri untuk ikut serta dalam dalam peserta untuk memperoleh kekuasaan dalam Pemilu. Salah satu ciri penting dalam organisasi kemasyarakatan adalah kesuka-relaan dalam pembentukan dan keanggotaannya. Anggota masyarakat warga negara republik Indonesia bebas untuk membentuk, memilih, dan bergabung dalam organisasi kemasyarakatan yang dikehendaki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi kemasyarakatan dapat mempunyai satu atau lebih dari satu sifat kekhususan yaitu kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi atau perhimpunan yang dibentuk secara sukarela oleh anggota masyarakat warga Negara republik Indonesia yang keanggotaannya terdiri dari warga negara republik Indonesia dan warganegara asing, termasuk dalam pengertian organisasi kemasyarakatan. Dalam Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1985, Organisasi Kemasyarakatan berfungsi sebagai : 1. 2. 3. 4. wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggotanya; wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi; wadah peranserta dalam usaha menyukseskan pembangunan nasional; sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar Organisasi Kemasyarakatan, dan antara Organisasi Kemasyarakatan dengan organisasi kekuatan sosial politik, Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah.

6. Tokoh Politik Tokoh politik adalah orang-orang yang lalu lalang, atau yang bekerja di dunia politik, dan eksis di kalangan masyarakat, berperang penting dalam mengambil keputusan-keputusan yang berpengaruh dalam suatu wilayah. Pengangkatan tokoh politik merupakan proses transformasi seleksi terhadap anggota masyarakat dari berbagai sub-kultur dan kualifikasi tertentu yang kemudian memperkenalkan mereka pada peranan khusus dalam sistem politik. Pengangkatan tokoh politik akan berakibat terjadinya pergeseran sektor infrastruktur politik, organisasi, asosiasi, kelompok kepentingan serta derajat politisasi dan partisipasi masyarakat. Menurut Letser G. Seligman, proses pengangkatan tokoh politik akan berkaitan dengan beberapa aspek, yaitu : a. Legitimasi elit politik, b. Masalah kekuasaan, c. Representativitas elit politik, dan d. Hubungan antara pengangkatan tokoh-tokoh politik dengan perubahan politik. Jika pembaca mengingat peristiwa reformasi yang mengakhiri 3 dasawarsa rezim orde baru. Kita akan teringat sosok seorang tokoh politik senior Indonesia. Beliau mampu menggerakkan mahasiswa untuk menurunka pemerintahan yang sah saat itu. Dialah Amien Rais yang menjadi tokoh politik penggerak reformasi.

Tokoh politik khususnya yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mempunyai peranan bagi masyarakat. Peranan itu yaitu menyalurkan aspirasi atau suara rakyat. Anggota DPR harus mengetahui untuk apa mereka dipilih, yang tidak lain agar suara rakyat dapat tersalurkan dalam rangka penyelenggaraan negara.

Infrastruktur Politik Indonesia


Posted on May 13, 2011 by Saumi Amrani

S tandard

38 Votes

1. A.

Pengertian Infrastruktur Politik

Infrastruktur politik yaitu suasana kehidupan politik rakyat yang berhubungan dengan kehidupan lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam kegiatannya dapat memengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadapa kebijakan lembaga-lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-masing. Untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Infrastruktur politik sering disebut sebagai bangunan bawah, atau mesin politik informal atau mesin politik masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok yang dibentuk atas dasar kesamaan social, ekonomi, kesamaan tujuan, serta kesamaan lainnya. 1. B. Fungsi Infrastruktur Politik Infrastruktur politik adalah suatu set struktur yang menggabungkan antara satu dengan yang lain, lalu membentuk satu rangkaian yang membantu berdirinya keseluruhan struktur tertentu. Fungsi infrastruktur politik ialah : a. Pendidikan politik, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. Sesuai dengan paham demokrasi atau kedaulatan rakyat. Rakyat harus mampu menjalankan tugas partisipasi. b. Mempertemukan kepentingan yang beraneka ragam dan kenyataan hidup dalam masyarakat. c. Agregasi kepentingan, yaitu menyalurkan segala hasrat, aspirasi, dan pendapat masyarakat kepada pemegang kekuasaan atau pemegang kekuasaan yang berwenang agar tuntutan atau dukungan menjadi perhatian dan menjadi bagian dari keputusan politik.

d. Seleksi kepemimpinan, yaitu menyelenggarakan pemilihan pemimpin atau calon pemimpin bagi masyarakat. 1. C. Unsur Infrastruktur Politik Infrastruktur politik mempunyai 6 unsur diantaranya: 1. Partai Politik 2. Kelompok Kepentingan 3. Kelompok Penekan 4. Media Komunikasi Politik 5. Organisasi Masyarakat 6. Tokoh Politik Dalam infrasruktur politik dibentuk partai-partai politik. Selain partai politik, terdapat juga organisasi abstrak tidak resmi. Kelompok ini disebut kelompok penekan dan kelompok yang mempunyai kepentingan Antara bagian-bagian suprastruktur politik dengan unsur-unsur infrastruktur politik terdapat hubungan saling memengaruhi sehingga menumbuhkan suasana kehidupan politik yang serasi. Unsurunsur infrastruktur politik berfungsi memberikan masukan kepada suprastruktur politik. 1. D. 1. 1. 2. A. Pembahasan Peranan Masing-masing Unsur Infrastruktur Politik Partai Politik (Political Party) Pengertian

Pengertian partai politik secara mendasar adalah sebuah organisasi atau institusi yang mewakili beberapa golongan masyarakat yang memiliki tujuan sama, yang kemudian bersama-sama berusaha untuk mencapai tujuannya tersebut. Oleh karena itu dalam sebuah Negara yang berdemokrasi partai politik sebagai sebuah lembaga yang memiliki peranan yang penting dalam Negara demokrasi khususnya pada masa sekarang ini. 1. B. Fungsi Partai Politik

Prof. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa partai politik memiliki fungsi sebagai berikut: a. Tugas pokok partai politik adalah menjadi penghubung antara rakyat dan pemerintah b. Berfungsi mendidik warga negara menjadi manusia sebagai makhluk sosial c. Berfungsi mengajak warga negara berperan serta dalam melakukan kegiatan-kegiatan kenegaraan d. Berperan dalam mengatur pertikaian politik yang terjadi dalam masyarakat Negara 1. C. Peranan

(a) Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti mendudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah, sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan keputusan politik atau out out pada umumnya. (b) Berusaha melakukan pengawasan, bahkan bila perlu oposisi terhadap kelakuan, tindakan, kebijakan para pemegang otoritas (terutama dalam keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada di tangan partai politik yang bersangkutan)

(c) Berperan untuk menyerap tuntutan-tuntutan yang masih mentah, sehingga partai politik bertindak sebagai penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik yang dapat dicerna dan dapat diterima oleh masyarakat secara luas. 2. Kelompok Kepentingan (Interest Group) A. Pengertian Kelompok kepentingan merupakan kelompok yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik, kelompok ini tidak berusaha menguasai pengelolaan pemerintahan secara langsung. Masyarakat bergabung untuk kepentingan dan keuntungan warganya. Kelompok ini tempat menampung saran, kritik, dan tuntutan kepentingan bagi anggota masyarakat, serta menyampaikannya kepada sistem politik yang ada. Kelompok ini penting bagi anggota masyarakat. B. Pembagian Gabriel A. Almond mengidentifikasi kelompok kepentingan ke dalam jenis-jenis kelompok : (1) Interest Group Asosiasi Interest group khusus didirikan untuk memeperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu dari masyarakat atau golongan, namun masih mencakup beberapa yang luas. Yang termasuk kelompok ini adalah Ormas. misalnya NU, Muhamadiyah, Kadin, SPSI, dll (2) Interest Group Institusional Interest group pada umumnya terdiri atas berbagai kelompok manusia berasal dari lembaga yang ada, dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan orang-orang yang menjadi anggota lembaga yang dimaksudkan. Misalnya PGRI, IDI, dan organisasi seprofesinya. (3) Interest Group Nonasosiasi Interest group ini didirikan secara khusus dan kegiatannya juga tidak dijalankan secara teratur, tetapi aktivitasnya kelihatan dari luar apabila masyarakat memerlukan dan dalam keadaan mendesak. Yang dimaksud dengan masyarakat dalam hal ini, dapat berwujud masyarakat setempat tinggal, masyarakat seasal pendidikan, masyarakat seketurunan, dll. (4) Interest Group Anomik Interest group inidapat terjadi secara mendadak dan tidak bernama. Aktivitas pada umumnya berupa aksi-aksi demontrasi atau aksi-aksi bersama. Apabila kegiatannya tidak terkendalikan, dapat menimbulkan keresahan dan kerusuhan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat secara stabilitas nasional. Untuk mencegah dampak aktivitas buruk kelompok ini, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 tentang hak mengeluarkan pendapat dimuka umum. C. Peranan Kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah dapat menguntungkan maupun merugikan masyarakat. Kepentingan dan kebutuhan rakyat dapat dipenuhi namun dapat pula terabaikan dan tidak terpenuhi. Oleh karena itu rakyat berkepentingan dan perlu memperhatikan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemerintahnya. Oleh sebab di atas, mereka dapat mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan

mereka kepada pemerintah melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk bersama atas dasar kepentingan yang sama. Kelompok kepentingan ini berbeda dengan partai politik, karena tujuan partai politik adalah menduduki jabatan publik. Kelompok kepentingan memberikan input yang digunakan pemerintah untuk memutuskan kebijakan yang akan diambil terhadap rakyatnya. Input yang mereka berikan bertujuan agar pandangan-pandangan mereka dipahami oleh para pembuat keputusan dan agar mendapat output yang sesuai dengan tuntutan mereka. Dalam tulisannya Gabriel A. Almond, mengatakan untuk memberikan input pada pembuat kebijakan, salueran-saluran yang penting dan biasa digunakan adalah demonstrasi dan tindakan kekerasan; tindakan ini biasa digunakan untuk menyatukan tuntutan kepada pembuat kebijakan. Hubungan pribadi; hubungan langsung akan memudahkan dalam pencapaian tujuan, akan lebih mudah menerima saran teman, keluarga, atau orang lain yang dikenal daripada mendapat tuntutan dari orang yang tidak dikenal meskipun itu melalui sarana formal. Perwakilan langsung; perwakilan langsung dalam struktur pembuatan keputusan akan memungkinkan suatu kelompok kepentingan untuk mengkomunikasikan secara langsung dan kontinyu kepentingan-kepentingannya melalui seorang anggota aktif struktur tersebut. Saluran formal dan institusional lainnya; media massa merupakan alat yang cukup efektif untuk menyalurkan tuntutan politik, selain itu adalah partai politik, kemudian adalah badan legislatif, kabinet, dan birokrasi, dengan menjadi bagian di dalamnya, aktifitas melobi untuk mencapai tuntutan kelompok kepentingannya akan dapat dilakukan. Peran dan saluran-saluran yang digunakan kelompok kepentingan ini berbeda di setiap negara, mereka melakukan peranannya sesuai dengan tujuan yang mereka ingin capai, demikian pula dengan saluransaluran yang mereka gunakan. Satu saluran yang dianggap efektif bagi satu kelompok kepentingan belum tentu efektif bagi yang lain.

3. Kelompok Penekan (Pressure Group) 1. Pengertian Yang dimaksud golongan penekan adalah sekelompok manusia yang tergabung menjadi anggota suatu lembaga kemasyarakatan dengan aktivitas yang tampak dari luar sebagai golongan yang sering mempunyai kemauan untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak penguasa. 2. Peranan Kelompok ini melontarkan kritikan-kritikan untuk para pelaku politik lain. Dengan tujuan membuat perpolitikan maju. Kelompok penekan juga dapat memengaruhi atau bahkan membentuk kebijaksanaan pemerintah melalui cara-cara persuasi, propaganda, atau cara lain yang lebih efektif. Mereka antara lain : industriawan dan asosiasi-asosiasi lainnya.

Salah satu institusi politik yang dapat dipergunakan oleh rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan kebutuhannya dengan sasaran akhir adalah untuk mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijakan pemerintah. Kelompok penekan dapat terhimpun dalam beberapa asosiasi yaitu : a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), b. Organisasi-organisasi sosial keagamaan, c. Organisasi Kepemudaan, d. Organisasi Lingkungan Hidup, e. Organisasi Pembela Hukum dan HAM, serta f. Yayasan atau Badan Hukum lainnya. 4. Media Komunikasi Politik (Political Communication Media) A. Pengertian Media komunikasi politik adalah salah satu instrumen politik yang berfungsi menyampaikan informasi dan persuasi mengenai politik baik dari pemerintah kepada masyarakat maupun sebaliknya. Merupakan benda mati yang sebagai perantara penyebaran dan pemberitaan (singkat kata alat komunikasi) politik. Komunikasi politik yaitu menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat baik pikiran intragolongan, institusi, asosiasi ataupun sector kehidupan politik masyarakat dengan sektor pemerintah. Kelompok infrastruktur politik ini, secara nyata menggerakkan sistem, memberikan input, terlibat dalam proses politik, memberikan pendidikan politik, melekukan sosialisasi politik, menyeleksi kepemimpinan, menyelesaikan sengketa politik, yang terjadi diantara berbagai pihak baik di dalam maupun di luar. Serta mempunyai daya ikat baik secara ke dalam maupun keluar. Alat komunikasi dapat mendukung terciptanya suasana politik rakyat karena alat komunikasi tersebut merupakan sarana perhubungan dan pemersatu bagi masing-masing golongan, terutama golongan politik. Alat komunikasi tersebut berfungsi sebagai alat penyebarluasan konsep-konsep, ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, ideologi-ideologi politik tertentu, dasn program-program kerja golongan kepada seluruh anggota dan simpatisannya. B. Posisi MC Luhan Medium is the extension of man (media adalah sesungguhnya perpanjangan instrument indra manusia). Media ditempatkan sebagai alat untuk sarana akses informasi apapun dalam lingkunganmasyarakat, termasuk politik. Medium is the message (media adalah pesan itu sendiri). Dalam konteks politik yang dapat mempengaruhi khalayak, bukan hanya apa yang dikatakan media, tetapi media apa yang digunakan juga mempengaruhi keefektifan komunikasi politik. 1. D. Fungsi serta

Fungsi Informasi Media dijadikan sarana diseminasi informasi yang terkait dengan politik dengan kekuasaan, sosialisasi politik. Fungsi Edukasi

Media dijadikan sebagai sarana pendidikan politik melalui pesan-pesan politik yang disampaikan media. Fungsi Korelasi Media dijadikan penghubung antara aktor politik dan khalayak melalui isi media yang berkaitan dengan aktivitas aktor poltik. Fungsi Kontrol Sosial Media sebagai agen kritik atau koreksi terhadap aktor politik atau kegiatan politik. Fungsi Pembentukan Opini Publik berkaitan dengan Persoalan Politik F. Peranan Membantu pembentukan memori publik melalui penyampaian informasi yang menambah pengetahuan masyarakat. Membantu menyusun agenda kehidupan yang berhubungan dengan politik dan kepentingan umum. Membantu berhubungan dengan kelompok diluar dirinya (media menjadi mediasi antara aktor politik dengan aktor politik lainnya). Media dalam hal ini menjadi fasilitator. Membantu menyosialisasikan pribadi seseorang, termasuk nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tersebut. Membujuk khalayak untuk menemukan kelebihan dari pesan-pesan politik yang diterima. 5. Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) A. Pengertian Dalam Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga Negara republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Organisasi kemasyarakatan dibentuk dengan tujuan-tujuan dalam bidang sosial dan budaya. Organisasi ini tidak melibatkan diri untuk ikut serta dalam dalam peserta untuk memperoleh kekuasaan dalam Pemilu. B. Ciri Khusus Salah satu ciri penting dalam organisasi kemasyarakatan adalah kesuka-relaan dalam pembentukan dan keanggotaannya. Anggota masyarakat warga negara republik Indonesia bebas untuk membentuk, memilih, dan bergabung dalam organisasi kemasyarakatan yang dikehendaki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi kemasyarakatan dapat mempunyai satu atau lebih dari satu sifat kekhususan yaitu kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi atau perhimpunan yang dibentuk secara sukarela oleh

anggota masyarakat warga Negara republik Indonesia yang keanggotaannya terdiri dari warga negara republik Indonesia dan warganegara asing, termasuk dalam pengertian organisasi kemasyarakatan. C. Fungsi Dalam Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1985, Organisasi Kemasyarakatan berfungsi sebagai : a. wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggotanya; b. wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi; c. wadah peranserta dalam usaha menyukseskan pembangunan nasional; d. sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar Organisasi Kemasyarakatan, dan antara Organisasi Kemasyarakatan dengan organisasi kekuatan sosial politik, Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah. 1. E. Peranan

Organisasi Kemasyarakatan sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan pikiran bagi anggota masyarakat warga negara republik Indonesia, mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat dalam mewujudkan masyarakat Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka menjamin pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa, menjamin keberhasilan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan sekaligus menjamin tercapainya tujuan nasional. 6. Tokoh Politik (Political Figure) A. Pengertian Tokoh politik adalah rang-orang yang lalu lalang, atau yang bekerja di dunia politik, dan eksis di kalangan masyarakat, berperang penting dalam mengambil keputusan-keputusan yang berpengaruh dalam suatu wilayah. Pengangkatan tokoh politik merupakan proses transformasi seleksi terhadap anggota masyarakat dari berbagai sub-kultur dan kualifikasi tertentu yang kemudian memperkenalkan mereka pada peranan khusus dalam sistem politik. Pengangkatan tokoh politik akan berakibat terjadinya pergeseran sektor infrastruktur politik, organisasi, asosiasi, kelompok kepentingan serta derajat politisasi dan partisipasi masyarakat. Menurut Letser G. Seligman, proses pengangkatan tokoh politik akan berkaitan dengan beberapa aspek, yaitu : a. Legitimasi elit politik, b. Masalah kekuasaan, c. Representativitas elit politik, dan d. Hubungan antara pengangkatan tokoh-tokoh politik dengan perubahan politik.

B. Peranan Tokoh politik khususnya yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mempunyai peranan bagi masyarakat. Peranan itu yaitu menyaurkan aspirasi atau suara rakyat. Anggota DPR harus mengetahui untuk apa mereka dipilih, yang tidak lain agar suara rakyat dapat tersalurkan dalam rangka penyelenggaraan negara.

BIROKRASI DI INDONESIA : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK.


BIROKRASI DI INDONESIA : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK. PENDAHULUAN Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara.Sebagian besar wilayah indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute[1]. ANALISIS KRITIS BIROKRASI DI INDONESIA : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK. 1. Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Lama[2]. Pada masa awal kemerdekaan, negara ini mengalami perubahan bentuk negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur negara atau birokrasi. Perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi Pada saat itu, Pertama, masdalah yang di hadap pemerntah adalah bagaimana cara menempatkan pegawai republik indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.Kinerja birokrasi saat itu sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai, Bureaucratic Polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama, peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik dari tingkat daerah hingga pusat

terkendali di tangan seorang Presiden. Sistem ini dikenal sebagai sistem demokrasi terpimpin. Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan, merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya. Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang Presiden berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik terbesar ada pada presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak heran jika untuk memperkuat posisi kekuasaan presiden, Soekarno memelihara,PKI sebagai kekuatan pendukung. Untuk dapat mengontrol rakyat yang kritis dan dianggap membahayakan, dibentuklah serikat-serikat atau organisasi yang berbasiskan profesi, atau perkumpulan lainnya yang bertujuan sebagai penampung aspirasi mereka.Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii)[3], sejak indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay, antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU yang pada akhirnya orde lama membubarkan masyumi dan PSI sebagai partai penyaing PKI dan PNI. Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa orde lama, birokrasi cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai politik, seperti PNI, NU, PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi di tingkat bawah ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika sebuah kebijakan tidak dapat dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian cabinet rerus menerus. 2. Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Baru[4]. Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya, hegemonic party system diistilahkan oleh Afan Gaffar[5]. Sedangkan menurut William Liddle,

kekuasaan orde baru terdiri dari ;1). Kantor kepresidenan yang kuat, 2). Militer yang aktif berpolitik, dan 3). Birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan[6]. (dalam Maliki, 2000: xxiii) . Sistem birokrasi yang berlaku di indonesia pada masa orde baru tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan. Birokrasi di indonesia pada jaman orde baru sebagai birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.Birokrasi model Parkinson ini menjelaskan fenomena birokrasi dimana setiap organisasi birokrasi memerlukan dua sifat dasar, yaitu setiap pejabat negara berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya dan mereka saling memberi kerja yang tidak perlu. Akibatnya, birokrasi cenderung meningkatkan terus jumlah pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang harus mereka lakukan. Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisein dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi- meskipun tidak penuh- model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.Jadi Reformasi birokrasi yang dilakukan pada masa orde baru bersifat semu. Birokrasi diarahkan pada ;1).Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi, 2).Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat dan 3).Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah. Reformasi birokrasi hanya menjadi kekuatan elit dan partai politik yang berkuasa . 3. Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Reformasi.

Pada era reformasi usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan.BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Aturan lainpun di terbitkan seperti;Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. ANALISIS PENUTUP Birokrasi sebagai kekuatan politik di indonesia adalah merupakan bagian dari upaya untuk melangengkan hubungan antara pimpinan dengan birokrat itu sendiri .Paradigma ini yang sering di temukan dalam pemerintaha dalam negara.Kemudian budaya politik yang ada di indonesia adalah budaya paternalistik sehingga ketika pemimpin dari salah satu kelompok atau golongan maka sudah otomatis secara struktural dan secara kultural penempatan orang dalam birokrasi akan terlaksana seperti sistem kesukuan yang ada dalam pemimpin tersebut.Faktor lain yang mempengaruhi birokrasi sehingga tidak professional partai politik turun mempunyai peran yang sangat besar dalam menetukan orang dalam pemrintahan dan politik.Kondisi ini di hadapi dalam penyelengaraan pemrintahan yag ada di Indonesia dari era orde lama,era orde baru dan sekarang era reformasi ini.Ini artinya bahwa skil

kualitas dari pada pelayanan birokrat di tentukan oleh keputus-keputusan politk dari pemimpin yang berkuasa. Profesionalisme pelayanan kepada masyarakat hanyalah menjadi sebuah impian yang sampai hari ini terus di mimpikan, sementara perkembagan dunia semakin maju dan birokrasi indonesia masih tertidur lelap.Inilah kondisi riil dari birokrasi di indonesia yang hanya menjadi kekuatan politik untuk kepentingan elit politik dan kelompok atau golongan tertentu bukan menjadi pengabdian masyarakat yang benar-benar sesuai dengan pangilan hidup sebagai pelayan masyarakat dan hal ini penting menjadi cermi dalam pembinaan mental dan karakter birokrat dan politisi serta elit pemerintah dalam pembangunan politik yang baik dan bermanfaat.

[1]

Bisa di baca dalam bukunya Anderson, B.R.O.G. 1983, Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru, diterjemahkan dari Old State New Society:

Indonesias New Order in Comparative Historical Perspective, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3, May 1983, Hal. 477-496.
[2]

Ibid. Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta. Ibid.

[3]

[4]

[5]

Gaffar, Afar. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ismani. 2001, Etika Birokrasi, Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II, No. 1, September 2001 : 31 41.
[6]

Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta.

LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) SEBAGAI KEKUATAN POLITIK INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) mulai dikenal di Indonesia di awal 1970-an sejalan dengan perkembangan pembangunan yang dilaksanakan pemerintahan Soerharto. Meskipun pemerintah pada waktu itu mampu menjaga pertumbuhan ekonomi tinggi sebesar 8% per tahun, kemiskinan menyebar luas dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan telah menciptakan ruang bagi LSM untuk memainkan peranan didalam kegiatan ekonomi, sosial, dan politik.1 Memasuki masa reformasi pada saat ini sangat kita ketahui bahwa LSM mempunyai peranan yang sangat penting didalam sistem pemerintahan Republik Indonesia. Lembaga ini bukan hal baru yang ada ditengah masyarakat. Saat masa Presiden Soeharto memerintah yang dikenal dengan masa Orde Baru banyak muncul aktivis LSM yang berasal dari masyarakat kalangan menengah. Dan pada masa itu para LSM dibiayai dan difasilitasi oleh Pemerintah untuk mendukung segala rencana kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah yang berkuasa. Dan sebagai timbal baliknya Pemerintah memberikan bantuan dan rasa aman kepada lembaga tersebut. Hal ini disebabkan oleh Pemerintah tidak mampu untuk menggerakkan massa dengan segala keterbatasannya sehingga kelompok ini sangat dilibatkan sebagai alat dari Pemerintah untuk menjalankan seluruh agendanya. Perkembangan LSM pada masa Orde Baru tak berjalan sesuai dengan fungsi yang seharusnya dilakukannya ditengah masyarakat. Lembaga tersebut lebih dikekang oleh Pemerintah untuk kepentingan politik tersendiri. Seiring berjalannya waktu saat mulai pudarnya tatanan pemerintahan yang disusun oleh Presiden Soeharto fungsi dan peranan LSM yang belum terlihat pada masa itu sudah mulai mengarah kepada keadilan yang seharusnya diterima oleh masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pada masa akhir kepemimpinan Orde Baru

yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang seharusnya mengutamakan kebebasan dalam kehidupan bernegara. Setelah jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto oleh mahasiswa-mahasiwa Indonesia adalah awal dari masuknya reformasi atau yang lebih dikenalnya dengan sistem demokrasi yang menekankan bahwa setiap orang itu memiliki Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dihormati dan setiap orang memiliki kebebasan yang mutlak untuk melakukan hal apa saja yang diinginkannya asal tidak melanggar hukum. Pada masa ini LSM berkembang dengan sangat pesat mulai menunjukkan eksistensinya ditengah masyarakat. Masyarakat yang terlibat pada dalam lembaga ini tentunya merupakan sebuah langkah awal menunjukkan bahwa sistem demokrasi di Indonesia memang sudah berjalan. Era reformasi ini membawa perubahan yang sangat besar sekali bagi politik Indonesia. Terutama munculnya LSM menandai bahwa telah adanya mobilisasi dari masyarakat untuk ikut berpartisipasi, terlibat, dan ikut berperan serta didalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan fungsi permerintahan. Sehingga disini dapat terlihat bahwa LSM dapat menjadi sebuah lembaga yang dapat merubah kebijakan pemerintah. Hal ini kembali lagi kepada proses demokratisasi yang sangat diagung-agungkan dalam sistem Pemerintahan RI sehingga mendorong lembaga ini dapat berperan dan berfungsi sebagai kekuatan politik yang ada di Indonesia selain birokrasi, militer, partai politik, dan lainnya. Kejatuhan rezim Soeharto dan proses demokratisasi yang mengikutinya di Indonesia mengarah kepada mendesaknya wacana tata pemerintahan yang baik, akuntabilitas, dan transparansi dari institusi-institusi publik. LSM yang aktif dalam memantau kegiatan Negara dan institusi politik lain dan muncul sebagai organisasi pengawas.2 Dimulai dengan keterlibatan penuh LSM didalam pemilu 1999, sekarang hampir semua aspek lembaga Negara diawasi oleh LSM. Publik Indonesia mengenal berbagai macam organisasi, misalnya Indonesian Corruption Watch (ICW),Parliament/Legislative Watch (DRP-Watch), Government Watch (GOWA), Police Watch (PolWatch) dan Pemantauan Anggaran (FITRA).

Bukti LSM memiliki fungsi sebagai kekuatan politik sudah dapat kita liat dari masa Orde Baru. Namun dimasa itu peran dan fungsinya masih minim sehingga lembaga ini tidak bisa berjalan dengan baik. Namun di awal reformasi sampai sekarang lembaga ini seperti jamur ditengah masyarakat, artinya sudah sangat banyak sekali berada ditengah masyarakat. Ada yang bergerak dibidang politik dan juga sosial ataupun ekonomi.

BAB II KONSEP

1.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LSM adalah sebuah kekuatan tersendiri dalam model tiga sektor (three sector model), yang terdiri dari pemerintah sebagai Sektor Pertama, Dunia Usaha sebagai Sektor Kedua dan lembaga voluntir. Sebagai Sektor Ketiga, LSM berkedudukan sebagai lembaga penengah yang menengahi pemerintah dan warga negara. Kerap kali, LSM memang harus bersikap kritis terhadap pemerintah, tetapi adakalanya LSM bertindak pula sebagai penjelas kebijaksanaan pemerintah. Sikap kritis itu hendaknya dipahami, karena LSM itu memang tumbuh sebagai kekuatan pengimbang, baik terhadap pemerintah maupun swasta. Kekuatan pengimbang ini diperlukan agar mekanisme demokrasi dapat bekerja. Selain itu, LSM tidak mesti dapat dinilai sebagai kekuatan oposan, karena LSM adalah dua mitra pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan.3 Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna mengidentifikasi empat peranan yang dapat dimainkan oleh LSM dalam sebuah Negara yaitu:

1.

Katalisasi perubahan sistem. Hal ini dilakukan dengan mengangkat sejumlah masalah yang penting dalam masyarakat, membentuk sebuah kesadaran global, melakukan advokasi demi

perubahan kebijaksanaan negara, mengembangkan kemauan politik rakyat, dan mengadakan eksperimen yang mendorong inisiatif masyarakat. 2. Memonitor pelaksanaan sistem dan cara penyelenggaraan negara, bahkan bila perlu melakukan protes. Hal itu dilakukan karena bisa saja terjadi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hukum, terutama yang dilakukan pejabat negara dan kalangan business. 3. Memfasilitasi rekonsiliasi warga negara dengan lembaga peradilan. Hal ini dilakukan karena tidak jarang warga masyarakat menjadi korban kekerasan itu. Kalangan LSM muncul secara aktif untuk melakukan pembelaan bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan. 4. Implementasi program pelayanan. LSM dapat menempatkan diri sebagai lembaga yang mewujudkan sejumlah program dalam masyarakat.4 Jadi secara singkat dapat dikategorikan peran LSM menjadi dua kelompok.5Pertama, peranan dalam bidang non politik, yaitu berupa pemberdayaan masyarakat dalam bidang sosial ekonomi. Kedua, peranan dalam bidang politik, yaitu sebagai wahana untuk menjembatani warga masyarakat dengan negara atau pemerintah. BAB III ANALISIS

Didalam bab analisis ini kelompok kami akan membahas peran dan fungsi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kekuatan politik Indonesia melalui contoh kasus yang benar-benar real terjadi. Kasus yang kami angkat dalam pembahasan kali ini adalah mengenai pelaporan dari salah satu LSM yang ada di Pekanbaru mengenai bukti pembayaran iklan kampanye salah satu kandidat yang ikut dalam Pemilukada Walikota dan Wakil Walikota Pekanbaru tahun 2011 memakai dana APBD Provinsi Riau. Berikut adalah berita yang kami dapat dari Koran Harian Tribun Pekanbaru 29 Oktober 2011: LSM Koalisi Masyarakat Pekanbaru Anti Suap (Kompas), melaporkan pasangan calon Walikota Pekanbaru Septina-Erizal ke Panwaslu Pekanbaru, Jumat (28/10). LSM ini mengadukan

Pemprov Riau telah menggunakan APBD untuk membayar biaya iklan di media massa. Iklan tersebut adalah iklan pasangan Septina-Erizal, Berseri. Kompas mengadukan ke Panwaslu, tindakan Pemprov tersebut menguntungkan pasangan Septina-Erizal pada kontestasi Pemilukada Pekanbaru lalu. LSM Kompas melaporkan Pemprov Riau menggunakan duit sekitar Rp 400 juta untuk pemasangan iklan tersebut. Barang bukti berupa 26 lembar kwitansi pembayaran iklan ke media massa. Pemasangan iklan tersebut pada periode Mei 2011.

Pelapor atas nama Anis Murzil. Sedangkan saksi penyerahan laporan bernama Sri Mulyono. Laporan diterima Ketua Divisi Umum Panwaslu Pekanbaru, Dendy Gustiawan.Menyertai laporannya, Anis menyerahkan barang bukti kepada Dendy. Kwitansi iklan diterbitkan oleh perusahaan media massa.Pada kwitansi ini, nama media tertulis pada bagian kepala surat. Pada salah satu kwitansi, tertulis kalimat berbunyi 'menerima uang dari Pemprov Riau'. Kalimat lainnya, tertulis untuk pembayaran iklan dengan judul parade foto forum lintas etnis dukung Berseri. Bagian lainnya, menuliskan nominal Rp 4 juta. LSM juga menyerahkan barang bukti lain berupa daftar rekap piutang iklan Pemprov pemasangan iklan ke media massa.5

Dari berita yang tercetak dalam Koran harian Tribun Pekanbaru diatas dapat kita lihat bahwa adanya pelaporan mengenai pemakaian dana APBD Riau untuk pembayaran iklan kampanye pasangan kandidat Septina-Erizal di media massa oleh salah satu LSM yang ada di Pekanbaru yaitu Kompas (Koalisi Masyarakat Pekanbaru Anti Suap). Septina, kandidat yang merupakan istri dari Gubernur Riau Rusli Zainal disinyalir telah menggunakan uang Pemerintah Provinsi Riau untuk membiayai dana iklan kampanye dimedia massa sebesar Rp 400 juta pada Pemilukada kota Pekanbaru tahun 2011. Anis yang merupakan pelapor dari LSM Kompas memberikan sejumlah bukti kwitansi pembayaran yang dilakukan oleh Pemprov Riau kepada salah satu media massa cetak Pekanbaru. Didalam kasus ini dapat kita lihat bahwa LSM telah menjalankan peranannya didalam Negara sebagaimana yang telah dikatakan oleh Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna adalah LSM sebagai memonitor pelaksanaan sistem dan cara penyelenggaraan negara, bahkan bila perlu melakukan protes. Hal itu dilakukan karena bisa saja terjadi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hukum, terutama yang dilakukan pejabat negara dan kalangan business.

LSM sedang berada dalam proses belajar bagaimana fungsi pengawasan mereka merupakan bagian dari persamaan proses menciptakan check and balances, dan tidak lagi merupakan agenda politik yang berdiri sendiri dibawah pengawasan Pemerintah seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.6 Fungsi pengawasan terhadap segala kegiatan Negara memang bukan fungsi dari LSM itu sendiri, tapi juga telah dilakukan oleh para aktor lainnya seperti Partai Politik. Kalau kita perhatikan parpol lebih dipandang sebagai alat untuk menjadi pemimpin atau menjadi anggota legislative didalam sebuah Negara itu terlihat parpol menjalankan fungsi ketika pemilu tiba, sedangkan ia melalaikan fungsinya sebagai agregasi yaitu sebagai tempat penampung segala aspirasi rakyat untuk disampaikan kepada pemerintah. Kompas telah berhasil menjembatani masyarakat dan pemerintah dengan melaporkan kasus tersebut kepada Panwaslu yang sebelumnya telah beredarnya foto bukti kwitansi pembayaran dana iklan kampanye di media massa yang memakai dana APBD Riau pada sebuah akun facebook yang tidak diketahui siapa adminnya. Pembicaran mengenai kasus tersebut telah hangat diperbincangkan didunia maya. Keterlibatan istri Gubernur Riau didalamnya memberikan respon yang buruk dari masyarakat. Oleh sebab itu pihak Kompas melaporkan hal tersebut kepada Panwaslu pekanbaru, sehingga memainkan peranannya sebagai wahana untuk menjembatani warga masyarakat dengan negara atau pemerintah. Dengan pelaporan yang telah dilakukan oleh LSM Kompas tersebut hasil mengenai keputusan yang akan diambil belum juga ditentukan. Padahal ini sudah menyangkut sebuah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan oleh istri Gubernur Riau. LSM itu sendiri menilai bahwa adanya keberpihakan pihak Panwaslu terhadap salah satu kandidat dan sangat menguntungkan kandidat bila itu tidak terbukti dan akan tetap maju pada Pemilukada Ulang Walikota dan Wakil Walikota Pekanbaru tahun 2011. Jika memang Panwaslu tidak berpihak kepada salah satu kandidat maka keputusan tentunya akan berubah. Sehingga sanksi yang paling berat menurut analisis kelompok kami adalah dengan didiskualifikasikannya kandidat yang telah melakukan kecurangan dikarenakan hal tersebut telah melanggar hukum. Berangkat dari kasus tersebut LSM sendiri telah bisa melakukan fungsinya sebagai pengawasan ditengah masyarakat. LSM adalah sebuah lembaga yang terpisah dari Negara

atau bisa juga dikatakan bahwa LSM adalah lembaga non Pemerintah yang didalamnya berisikan masyarakat kalangan menengah dan atas yang satu mempunyai tujuan yang sama. Kompas adalah bukti bahwa LSM itu berfungsi sebagai kekuatan politik yang dapat merubah arah kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah. Jika kita telaah satu persatu mengenai kegiatan atau fungsi dan peranan apa saja yang dimainkan sendiri oleh LSM hanya bisa dihitung sedikit sekali LSM yang fokus terhadap perannya, mereka lebih condong kepada kemana masalah atau uang berada. Tidak dipungkiri kalau di LSM juga bermain kepentingan didalamnya tak ubahnya seperti Partai Politik. Namun tentunya Partai Politik mempunyai peranan yang sangat berbeda dengan LSM. BAB IV KESIMPULAN

Lembaga Swadaya Masyarat (LSM) adalah sebuah lembaga non Pemerintah yang mempunyai peranan sebagai jembatan dari masyarakat terhadap Pemerintah. Sehingga dari hal tersebut lembaga ini mempunyai peranan yang sangat kuat sebagai kekuatan politik di Indonesia yang dapat melakukan pengawasan sehingga menciptakan check and balances, dan juga memiliki peranan untuk memonitoring segala kegiatan Pemerintah dan berhak melakukan protes bila hal tersebut dinilai tidak baik dan tidak sejalan dengan tujuan masyarakat. LSM juga dapat mempengaruhi dan mengubah arah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Seperti pada kasus yang telah kelompok kami analisis pada bab sebelumnya. Sehingga peran dan fungsinya sebagai kekuatan politik ada dan sangat berpengaruh dalam kehidupan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU Gaffar, Affan. 2002. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jordan, Lisa dan Peter Van Tuijl, 2009 Akuntabilitas LSM Politik, Prinsip, dan Inovasi, Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia. KORAN Hengki Seprihadi, 2001. 29 Oktober. Panwaslu Selidiki Penggunaan APBD Oleh Istri Gubernur. Koran Harian Tribun Pekanbaru. Hlm 2. M. Dawan Rahardjo. 1994. 9 November. Tiga Dasar Teori tentang LSM. Harian Umum Republika, hlm 4.

1 Lisa Jordan dan Peter Van Tuijl, Akuntabilitas LSM Politik, Prinsip, dan Inovasi, Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2009, hlm. 226. 2 Ibid,. hlm. 230.
3 M. Dawan Rahardjo. 1994. 9 November. Tiga Dasar Teori tentang LSM. Harian Umum Republika, hlm 4.

4 Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm.204 5 Ibid,. 5 Hengki Seprihadi, 2001. 29 Oktober. Panwaslu Selidiki Penggunaan APBD Oleh Istri Gubernur. Koran Harian Tribun Pekanbaru. Hlm 2. 6 Lisa Jordan dan Peter Van Tuijl, Op. Cit,. Hlm 246-247.

MEDIA MASSA SEBAGAI KEKUATAN POLITIK


Dewasa ini media massa sangat berpengaruh dalam politik. Peran yang dimainkan pun juga sangatlah penting. Hal ini terbuktikan dengan frekuensi dan aktifitas media massa yang melaporkan peristiwa-peristiwa politik sering memberikan dampak yang sangat signifikan dalam dunia politik dunia, khususnya Indonesia. Media massa juga sebagi pemicu dan terkadang menjadi patron yang sangat berarti dalam kehidupan bermasyarakat, dan terkadang dapat menjadi salah satu indicator terjadinya perubahan politik. Sebagai dampak Empiris di Indonesia saja, telah di mulai dari tahun 1998. Media massa sangatlah memegang peranan yang sangat luas,; daya jangkau masyarakat terhadap media dan sebagai konsumsi sehari-hari membuat masyarakat dapat melakukan perubahan politik yang sangat fundamental. Hingga sekarang inipun secara implicit media massa dapat berlaku sebagai oposisi dan pengawasan dari pemerintah. Namun hal tersebut tidaklah sebagai indikator bahwa media massa selaku independen dan netral. Memang diakui, efektifitas media untuk perubahan politik memerlukan suatu situasi politik yang kondusif, yang popoler disebut dengan keterbukaan politik. Dengan adanya kebebasan pers, maka hal tersebut juga membuktikan bahwa adanya kebebasan dalam berpolitik. Nah, dari silogisme itu, maka kita dapat menggeneralisasikan bahwa media massa atau pers adalah suatu kekuatan dalam politik. Perubahan politik pun tidak hanya perihal tentang pergantian rezim, tapi juga perubahan politik yang dilakukan media juga perihal kebijakan-kebijakan apa yang diambil oleh pemerintah. Dari segala fakta-fakta yang dibawa oleh media, mayoritas segala kebijakan yang diambil pemerintah haruslah popular. Dan bila menjadi sebuah konsumsi publik, maka langkah-langkah dan kebijakan yang diambil pemerintah memiliki kadar urgensi yang besar pula. Dalam seluk-beluk Negara demokrasi, media massa yang memiliki kebebasan pers mulai menunjukan sebagai kekuatan politik pula. Hal tersebut dapat terjadi apabila media massa memiliki media tandingan dan berita yang berimbang, sehingga dapat melakukan propaganda yang tidak sepihak kepada masyarakat. Seperti kasus bank century, dimana Metro TV yang selalu meliput semua kegiatan panitia khusus (pansus). Ini tidak terjadi di media yang lain. Sebagai konsumsi pubik terkadang juga media massa tidak memakai redaksional yang bagus dan tidak memperdulikan pemakaian bahasa yang baik dan benar. Seperti contoh SBY didakwa oleh pengadilan belanda? dan juga Nurdin Chalid mundur dari PSSI? Hal tersebut semata-mata hanya untuk menjual berita lebih menarik dan menjadikan untung sebagai orientasi utama. Media massa juga memiliki kadar propaganda yang sangat kuat, dan bahkan juga dapat memproduksi kebohongan yang sifatnya dapat diterima oleh public dan dikarenakan banyaknya media massa yang meliput sehingga tidak ada berita pembanding. Hal ini terbukti dengan tidak ada ditemukan senjata pemusnah massal di Iraq, ataupun sosok osama bin laden yang sekian tahun juga belum pernah ditangkap pasukan tentara amerika. Layaknya anjing pengawas, media massa juga dapat menjadi musuh dari pemerintah dan bahkan bagi koorporasi besar sekaligus berpihak kepada masyarakat, khususnya bagi rakyat marjinal yang tidak megalomaniak dan bersifat lepas atau anomik. Para jurnalis pun dalam posisi ini memandang dirinya sebagai pembela kebenaran dan keadilan, yang dimana mereka

tidak sudi untuk memenangkan dan menyuarakan kepentingan politisi dan petinggi eksekutif (elite). Hal ini terbukti dengan Julian assange yang dimana dengan wikileaks-nya, dapat membuka pelanggaran HAM amerika dan rahasia-rahasia yang tidak merakyat. Terkadang jurnalistik juga mendukung lembaga-lembaga politik yang domain, kelompok ekonomi penting dan nilai yang universal. Namun mereka dapat juga melancarkan kritik terhadap lembaga tersebut, apabila para elit melanggar system yang berlaku. Dalam hal ini media massa lebih mengutamakan system yang telah ada sehingga dapat mempertahankan keeksistensian diri atau kemapanan dari media tersebut. Hal ini dianggap wajar saja agar orientasi laba tetap menjadi hal yang utama, dan untuk mengekat iklan-iklan yang akan masuk. Namun secara sistematika media massa memiliki status yang kuat pula. Media massa juga melayani berita-berita yang diuntukan untuk kepentingan elit dan kaum miskin pun terpingirkan. Hal ini adalah sesuatu yang umum terjadi saat ini dimana adanya kepentingan-kepentingan politik. Ekonomi dan sebagainya, yang menjadikan media massa tidak lagi berpihak pada khalayak ramai lagi. Seperti contoh adanya pemberitaan harga cabai yang melonjak, hal tersebut akan menjadi polemic massa dan alhasil secra produk kapitali pun tidak merelakan adanya harga cabai yang naik, dan hal ini dapat menjadi alat propaganda bagi yang berkepentingan untuk menggoyang pemerintahan yang ada. Di lain sisi media massa tidak pernah menayangkan harga cabai bila murah, padahal bila haragnya murah nasib petanipun juga akan merana, alhasil media pada situasi ini tidaklah berpihak kepada kaum miskin papa atau kaum marjinal. Bila media massa,redaksi dan wartawan tidak berani lagi untuk menyuarakan kebenaran dan hanya sekedar memikirkan untung dan menjadi orang yang baik baik-baik saja tanpa adanya perlawanan, demokrasi akan mengalami musibah besar.

Kelompok Kepentingan, Kelompok Penekan dan Partai Politik


Posted on November 30, 2010by geby_ELF

Pendahuluan Paper ini berisikan materi mengenai Kelompok Kepentingan, Kelompok Penekan dan Partai Politik yang disadur dari beberapa sumber seperti buku karangan Miriam Budiardjo Dasar-Dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi (2008), Eddi Wibowo dkk Ilmu Politik Kontemporer (2004) dan beberapa sumber lain yang relevan. Kelompok Kepentingan Kelompok kepentingan adalah sekelompok manusia yang mengadakan persekutuan yang didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan ini dapat berupa kepentingan umum atau masyarakat luas ataupun kepentingan untuk kelompok tertentu. Contoh persekutuan yang merupakan kelompok kepentingan, yaitu organisasi massa, paguyuban alumni suatu sekolah, kelompok daerah asal, dan paguyuban hobi tertentu.[1] Kelompok kepentingan bertujuan untuk memperjuangkan sesuatu kepentingan dengan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai didalamnya atau instansi yang berwenang maupun menteri yang berwenang.[2] Kelompok Penekan (Pressure Group) Kelompok penekan merupakan sekelompok manusia yang berbentuk lembaga kemasyarakatan dengan aktivitas atau kegiatannya memberikan tekanan kepada pihak penguasa agar keinginannya dapat diakomodasi oleh pemegang kekuasaan. Contohnya, Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Nasib Petani, dan Lembaga Swadaya Masyarakat Penolong Korban Gempa. Pada mulanya,

kegiatan kelompok-kelompok ini biasa-biasa saja, namun perkembangan situasi dan kondisi mengubahnya menjadi pressure group.[3] Partai Politik Partai politik merupakan sarana seseorang untuk melakukan partisipasi politik sebagai aktualisasi hak-haknya sebagai warga negara. Partai politik tidak bisa lepas dari peran warga negara sebagai pendukungnya. Melalui partai, seorang warga akan melakukan partisipasi politik, yang mana hal ini mencakup semua kegiatan sukarela seseorang dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik, pembentukan kebijakan publik, memilih dalam pemilihan umum, menjadi anggota partai, kelompok kepentingan, kelompok penekan, duduk dalam lembaga legislatif dan sebagainya.[4] A. Pengertian Partai Politik Secara umum partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggotaanggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Adapun tujuan dibentuknya sebuah partai adalah untuk memperoleh kekuasaan politik, dan merebut kedudukan politik dengan cara (yang biasanya) konstitusional yang mana kekuasaan itu partai politik dapat melaksanakan program-program serta kebijakan-kebijakan mereka. Berikut akan dipaparkan beberapa definisi partai politik oleh para ahli :

Menurut R.H Soltau, partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk mengendalikan dan menguasai pemerintahan serta melaksanakan kebijakan umum mereka.[5] Menurut Carl J. Frederich, partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.

Menurut Sigmund Neumann dalam bukunya Modern Political Parties, partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.[6]

Menurut Mark N. Hagopian, partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan.[7]

B. Sejarah Perkembangan Partai Politik Partai telah digunakan untuk mempertahankan pengelompokan yang sudah mapan seperti gereja atau untuk menghancurkan status quo seperti yang dilakukan Bolsheviks pada tahun 1917 pada saat menumbangkan kekaisaran Tsar. Pada awal abad ke-19 gereja katolik di Eropa menyatukan diri pada pemerintahan demokrasi, dan pemilihan sebagai sarana demokrasi dilaksanakan dengan jalan membentuk partai Kristen Demokrat yang secara bertahap melepaskan orientasi keagamaan mereka demi organisasi, program, dan panggilan partai. Langkah ini kemudian diikuti oleh pembentukan partai Sosialis yang meninggalkan cara revolusi untuk mengadakan perombakan. Setelah Perang Dunia Kedua, partai komunis mengalami hal yang sama. Sisi tajam revolusi sebagai ciri partai komunis menjadi tumpul. Di beberapa negara yang baru merdeka, partai politik muncul dengan misi menanamkan partisipasi dan kesadaran politik pada masyarakat yang merasa tidak puas dan terasingkan. Tahap kedua perkembangan partai politik muncul setelah pertengahan abad ke-19. Pertama, perluasan daerah lingkup pemilihan di Amerika sekitar pertengahan tahun 1830-an dan antara 1848-1870, dan pada waktu yang hampir bersamaan juga terjadi di Jerman dan di negara-negara Eropa Barat

lainnya. Abad ke-19 adalah abad politik, di mana masalah-masalah politik seperti pemilihan umum, kebebasan membentuk asosiasi, hubungan antara gereja dan negara, dab perkembangan instrumen demokrasi itu sendiri, telah menjadi isu utama dan perdebatan. Tahap ketiga perkembangan parta-partai terjadi pada sebelum dan sesudah akhir abad ke-19. Pada periode ini Maurice Duverger secara jitu mengkaitkan pertumbuhan dari apa yang disebut partai-partai diluar parlemen (extra parliamentary parties). Cikal bakal organisasi tersebut sumbernya bukan berasal dari parlemen melainkan dari orang-orang yang tidak senang terhadap parlemen. Keyakinan dan disiplin kaku menyertai munculnya partai-partai komunis Eropa Barat, yang didirikan setelah Perang Dunia I. Partai komunis pada dasarnya merupakan kombinasi antara seorang tentara dan sebuah gereja, keras pendirian, berdisiplin tinggi dan seringkali menentukan secara efektif komitmen dan loyalitas penuh para anggota secara individual. Setelah Perang Dunia II, semua partai politik Dunia Barat dan negeri industri maju (termasuk Uni Soviet dan Jepang) mulai menampakkan beberapa karakteristik baru. Semua partai menjadi semacam pedagang perantara (broker) dari suatu masyarakat yang terjadi karena kemajuan industri. Oleh karena itu partai menjadi lebih representatif dan lebih reformis. Partai tidak lagi berusaha menyelesaikan isu dengan penyelesaian total yang mencakup struktur sosial dan ekonomi masyarakat tetapi lebih dengan kompromi dan perubahan sedikit demi sedikit. Kondisi-kondisi di mana partai lahir dan berkembang di Barat jauh berbeda dengan kemunculan partai-partai di negara baru. Partai politik di negara bekas jajahan muncul untuk mengatasi masalah-masalah, yang pihak barat (pemerintah kolonial) tidak terlibat secara langsung. Serangkaian masalah tersebut adalah emansipasi dan identitas nasional, pembuatan nilai-nilai (aturan) tentang pelaksanaan partisipasi politik, penciptaan lembaga baru

yang legitimate (absah), pembentukan norma-norma baru yang mendukung dan pembentukan lembaga pemerintah yang membagi ganjaran sementara menarik dukungan. Perbedaan antara Barat dan negara-negara baru sangatlah mudah. Di negara baru, tidak adanya sistem yang mendukung terciptanya partai politik, tidak ada legitimasi prosedur pemerintahan yang memungkinkan partai dapat beroperasi dan yang dapat didukung oleh partai yang hanya sedikit berpengalaman dengan sistem pemerintahan perwakilan dan tidak adanya pengertian umum yang mendefinisikan hak-hak umum tertentu secara terbatas.[8] C. Tipe-Tipe Partai Politik Dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya, partai politik dapat dibagi menjadi : a. Partai Kader Disebut juga partai elite atau tradisional yang dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe Eropa dan Amerika. Tipe Eropa bertujuan untuk mendapatkan anggota sebanyak mungkin, tetapi lebih menekankan pada dukungan dari orang-orang terkemuka, lebih memperhatikan kualitas daripada kuantitas. Sedangkan tipe Amerika menekankan pada usaha menjaring tokoh partai yang loyal. b. Partai Massa Tekhnik mengorganisasi partai dilakukan oleh gerakan sosialis, yang kemudian diambil oleh partai komunis dan banyak digunakan di negaranegara berkembang. Dapat dibedakan menjadi tipe sosialis, yang berorientasi terhadap kaum buruh. Tipe partai komunis yang diorganisasi secara otoriter dan terpusat, lebih menggambarkan sentralisasi daripada demokrasi. Tipe

partai fasis, menggunakan tekhnik militer untuk mengorganisasi politik massa. c. Tipe Partai Tengah Yaitu partai yang menggunakan organisasi massa sebagai alat dukungan partai.[9] Dari segi sifat dan orientasi partai politik dibagi menjadi : a. Partai Perlindungan (Patronage Party) Partai perlindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang longgar, disiplin yang lemah dan biasanya tidak mementingkan pemungutan suara secara teratur. Tujuan pendiriannya adalah memenangkan pemilihan umum untuk anggota-anggota yang dicalonkannya, partai ini hanya giat menjelang pemilihan umum. b. Partai Ideologi Biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijakan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat.[10] D. Sistem Kepartaian 1. Sistem partai tunggal Merupakan sistem dimana hanya ada satu partai didalam satu negara. Partai tersebut memiliki kedudukan dominan dibandingkan dengan partai lain. 2. Sistem dwi-partai Pada sistem dwi-partai, partai-partai politik dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum). Partai yang kalah

berperan sebagai pengecam utama terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan. 3. Sistem Multi-Partai Sistem mult-partai memiliki banyak jenis partai politik didalamnya. Keanekaragaman ras, agama atau suku bangsa yang kuat membuat masyarakat cenderung untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas yang mereka miliki ke dalam satu wadah saja. Sistem multi-partai dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik daripada pola dwi-partai. E. Fungsi Partai Politik 1. Fungsi di Negara Demokrasi

Dalam negara demokrasi, partai politik mempunyai beberapa fungsi antara lain : Sebagai sarana komunikasi politik Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat bisa diminimalkan. Sebagai sarana sosialisasi politik Partai politik memainkan peran dalam membentuk pribadi anggotanya. Sosialisasi yang dimaksudkan adalah partai berusaha menanamkan solidaritas internal partai, mendidik anggotanya, pendukung dan simpatisannya serta bertanggung jawab sebagai warga negara dengan menempatkan kepentingan sendiri dibawah kepentingan bersama.

Sebagai sarana rekruitment politik. Partai politik mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Cara-cara yang dilakukan oleh partai politik sangat beragam, bisa melalui kontrak pribadi, persuasi atau menarik golongan muda untuk menjadi kader. Sebagai sarana pengatur konflik. Partai politik harus berusaha untuk mengatasi dan memikirkan solusi apabila terjadi persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat. Namun, hal ini lebih sering diabaikan dan fungsi-fungsi diatas tidak dilaksanakan seperti yang diharpakan. Sebagai sarana partisipasi politik Partai politik harus selalu aktif mempromosikan dirinya untuk menarik perhatian dan minat warga negara agar bersedia masuk dan aktif sebagai anggota partai tersebut. Partai politik juga melakukan penyaringanpenyaringan terhadap individu-individu baru yang akan masuk kedalamnya. Sebagai sarana pembuatan kebijakan Fungsi partai politik sebagai pembuat kebijakan hanya akan efektif jika sebuah partai memegang kekuasaan pemerintahan dan mendominasi lembaga perwakilan rakyat. Dengan memegang kekuasaan, partai politik akan lebih leluasa dalam menempatkan orang-orangnya sebagai eksekutif dalam jabatan yang bersifat politis dan berfungsi sebagai pembuat keputusan dalam tiap-tiap instansi pemerintahan.[11] 2. Fungsi di Negara Otoriter

Menurut faham komunis, sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah partai tersebut berkuasa di negara ia berada. Karena partai komunis bertujuan untuk mencapai kedudukan kekuasaan yang dapat dijadikan batu loncatan guna menguasai semua partai politik yang ada dan menghancurkan sistem politik yang demokratis. Partai komunis juga mempunyai beberapa fungsi, namun sangat berbeda dengan yang ada di negara demokrasi. Sebagai sarana komunikasi partai politik menyalurkan informasi dengan mengindokrinasi masyarakat dengan informasi yang menunjang partai. Fungsi sebagai sarana sosialisasi juga lebih ditekankan pada aspek pembinaan warga negara ke arah dan cara berfikir yang sesuai dengan pola yang ditentukan partai. Partai sebagai sarana reruitment politik lebih mengutamakan orang yang mempunyai kemampuan untuk mengabdi kepada partai. Jadi pada dasarnya partai komunis mengendalikan semua aspek kehidupan secara monolitik dan memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan suatu cara hidup yang sejalan dengan kepentingan partai.[12] 3. Fungsi di Negara Berkembang

Di negara-negara berkembang, partai politik diharapkan untuk memperkembangkan sarana integrasi nasional dan memupuk identitas nasional, karena negara-negara baru sering dihadapkan pada masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya menjadi satu bangsa.[13] Kesimpulan : Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kelompok kepentingan dan kelompok penekan memili orientasi yang lebih kecil daripada partai politik. Kelompok kepentingan dan kelompok masyarakat hanya mewakili golongangolongan masyarakat dan lebih banyak memperjuangan kepentingan umum suatu kelompok saja. Kelompok kepentingan dan kelompok penekan juga

tidak perlu menempatkan wakil-wakilnya di dewan perwakilan rakyat, mereka hanya perlu mempengaruhi satu partai saja. Berbeda dengan partai politik yang berusaha untuk menempatkan wakilwakilnya di dalam dewan perwakilan rakyat. Partai politik sebagai salah satu instrumen politik yang memiliki tujuan untuk meraih kekuasaan. Selain memiliki tujuan yang jelas adapula fungsi-fungsi yang harus dijalankan yaitu rekrutmen politik, komunikasi politik, pengendali konflik dan lain-lain. Disamping itu partai politik merupakan representasi dari beberapa kelompok yang ada di dalam masyarakat. Partai politik sangat diperlukan untuk menampung seluruh aspirasi rakyat namun pada saat sekarang ini, partai politik lebih banyak menjadi media atau alat agar penguasa dapat menjalankan tujuannya. Referensi Budiardjo, Miriam.2008.Dasar-Dasar Ilmu politik-Edisi Revisi.Jakarta:PT. Gramedia Pustaka utama. Eddi Wibowo dkk.2004.Ilmu Politik Kontemporer.Yogyakarta:YPAPI. Bambang S dan Sugianto.2007.Pendidikan Kewarganegaraan.Surakarta:Penerbit Grahadi. Ichlasul Amal.1996. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik.Yogyakarta:PT. Tiara Wacana Yogya. Syahrial Syarbani.2002.Sosiologi dan Politik.Jakarta:Ghalia Indonesia.

[1] Bambang S dan Sugianto.Pendidikan Kewarganegaraan.(Surakarta:Penerbit Grahadi,2007) hlm 176 [2] Eddi Wibowo dkk.Ilmu Politik Kontemporer.(Yogyakarta:YPAPI,2004) hlm 69 [3]Bambang S dan Sugianto, ibid., hlm 177 [4] Wibowo, ibid., hlm 67 [5] Ibid.,68

[6] Miriam Budiardjo.Dasar-Dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi.(Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama,2008) hlm 404 [7] Ichlasul Amal. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik.(Yogyakarta:PT. Tiara Wacana Yogya,1996) hlm XV [8] Ibid., hlm 17-24 [9] Syahrial Syarbani.Sosiologi dan Politik.(Jakarta:Ghalia Indonesia,2002) hlm 76-77 [10] Eddi Wibowo dkk.Ilmu Politik Kontemporer.(Yogyakarta:YPAPI,2004) hlm 77-78 [11] Ibid., 70-76 [12] Budiardjo, ibid., hlm 410-412 [13] Ibid., hlm 413

Kekuatan Politik di Indonesia


KEKUATAN POLITIK MILITER

Awal kehadiran militer dalam panggung politik di Indonesia erat kaitannya dengan sejarah kehadiran Negara Republik Indonesia yang diraih melalui revolusi fisik perang kemerdekaan, dimana pada periode ini dan bahkan pada periode setelah Indonesia merdeka peran dan kehadiran militer sangat diperhitungkan dalam ikut mengantarkan serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa aktor militer di Indonesia, hadir menjadi kekuatan politik yang sangat menentukan pentas politik nasional, khususnya pada mas Orde Baru: a. Militer di Indonesia merupakan kekuatan politik yang memiliki organisasi paling solid dibanding dengan kekuatan politik lainnya. Kelebihannya yaitu, memiliki ideologi yang paling jelas, memiliki garis komando dalam kepemimpinan, memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. b. Militer di Indonesia memiliki hak historis untuk ikut mengatur dan menentukan arah perjalanan Bangsa Indonesia. c. Kekuatan politik dari kalangan politisi sipil di Indonesia masih terfragmentasi sehingga dianggap menimbulkan keraguan di mata publik dalam memimpin Indonesia. d. Politisi sipil belum memiliki suatu model pengkaderan kepemimpinan yang berkualitas sebagaimana yang dimiliki oleh militer. e. Adanya produksi dan reproduksi wacana selama kurang lebih 30 tahun yang diproduksi oleh aparatus negara. Seiring dengan dinamika perkembangan politik di Indonesia yang sering disebut sedang dalam masa transisi demokrasi, semenjak reformasi bergulir peran militer dalam ranah politik secara bertahap kewenangannya. Kewenangan militer dikurangi dan pada akhirnya militer dikembalikan peranannya menuju pada militer profesional, yakni menjadi militer yang mremiliki kompetensi di bidang pertahanan. Sejarah politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah kehadiran kekuatan politik militer, oleh karenanya untuk dapat memahami dinamika politik Indonesia secara baik, tidak bisa mengabaikan pembahasan pada peran militer dalam sejarah politik Indonesia. Kajian pada politik Indonesia menjadi tidak akan komprehensif jika tidak membahas posisi militer dalam pentas politik nasional Indonesia.

KEKUATAN POLITIK PARTAI POLITIK

Tapak-tapak penting partai politik dalam sejarah perpolitikan Indonesia antara lain sejarah telah menulis dengan tinta emas, melalui rahim partai politiklah gagasan tentang Indonesia merdeka lahir dan bersemi pada era masa pergerakan nasional. Bahkan jauh hari sebelum Negara Indonesia yang merdeka lahir. Pada era yang sering disebut dengan Demokrasi Parlementer atau ada juga yang menyebutnya denganDemokrasi Liberal (1945-1959), partai politik di Indonesia mendapatkan ruang gerak yang sangat luas. Partai politik dengan terbuka dapat mengekspresikan pilihan ideologinya melalui berbagai forum, media massa yang tersedia pada era tersebut. Garis ideologi yang ada di partai memiliki pengaruh yang kuat pada arah kebijakan pemerintahan. Maka pada era ini dalam sejarah politik Indonesia dikenal juga dengan lahirnya aliran politik. Aliran-aliran pemikiran politik yang hadir dalam kehidupan politik Indonesia pada Era Demokrasi Liberal, yang mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia dapat dikelompokkan kedalam lima aliran pemikiran politik, yakni. 1. 2. 3. 4. 5. Sosialisme Radikal (PSI). Nasionalis Radikal (PNI & PKI). Politik Islam Tradisional (Partai NU). Islam Modernis (Partai Masyumi). Tradisionalis (partai-partai politik lokal). Fungsi partai politik untuk melakukan pendidikan politik (political education) kepada masyarakat Indonesia untuk mendorong rakyat agar mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik, menunaikan hak-hak politiknya pada satu sisi serta kewajiban politik pada sisi yang lain dapat berjalan dengan baik. Partai politik pada Era Demokrasi Parlementer juga dapat menjalankan fungsi-fungsi komunikasi politik,interest articulation, interest agrigation, political recruitment, dan manajemen politik dengan cukup memadai. Demikian juga pada Era Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) 1959-1965 walaupun peran partai tidak sebesar pada Era Demokrasi Parlementer, partai politik tetap memiliki peran penting dalam kehidupan politik di Indonesia.

Kondisi yang kurang lebih sama diterima oleh partai politik pada Era Rezim Orde Baru, partai politik pada era ini mengalami kebijakan yang sering disebut sebagai kebijakan restruktrisasi politik dan deideologisasi partai politik. Dengan kebijakan tersebut partai politik di Indonesia jumlahnya dibatasi hanya tinggal tiga partai yakni PPP, PDI, ditambah Golkar dengan ideologi yang sama,yaitu asas tunggal Pancasila. Pada Era Orde Baru posisi partai politik lebih tidak berdaya berhadapan dengan pemerintah. Kondisi kehidupan partai politik yang memprihatinkan baru mulai memiliki peluang ada perbaikan ketikakran demokrasi terbuka yang dimulai dengan peristiwa jatuhnya rezim Soeharto pada 1998. Semenjak bergulirnya Era reformasi sejak 1998, kehidupan politik di Indonesia memiliki peluang, untuk kembali melakukan penataan dan konsolidasi menuju ke suatu tatanan kehidupan politik yang demokratis. Konsolidasi kehidupan politik menuju suatu tatanan yang demokratis antara lain ditandai dengan diselenggarakannya suatu pemilu yang demokratis, secara periodik, mulai dari 1999, 2004, dan 2009. Partai politik di Indonesia yang dilahirkan melalui proses pemilu 2009. Dari waktu ke waktu mengalami proses deligitimasi dari rakyat pemilih Indonesia. Faktornya antara lain. 1. 2. 3. 4. 5. Hampir sema partai politik mengalami konflik internal. Hampir semua partai politik kadernya ada yang terjerat kasus korupsi. Gaya hidup mewah yang dipertontonkan oleh para politisi yang mewakili partai politik. Terjadinya berbagai skandal moral-seksual politisi. Munculnya fenomena politik kartel di lingkungan partai politik.

KEKUATAN POLITIK MILITER INDONESIA PRA-PASCA REFORMASI


22.53 MOHAMMAD ALI ANDRIAS.,S.IP.,M.SI NO COMMENTS

REVIEW Politik Militer Transisi Pasca Reformasi


Kekuatan Politik yang Menghiasi Perpolitikan Indonesia

Oleh : Mohammad Ali Andrias, S.IP., M.Si

Dalam suatu perjuangan menuju demokrasi, hubungan kekuasaan dalam suatu rezim otoriter di satu pihak tergantung pada kemampuan rezim untuk memimpin para sekutu politiknya, dan untuk mempertahankan persatuan koersinya, dan, di pihak lain, tergantung pada kemampuan kelompok oposan yang demokratis untuk memperkuat dirinya serta untuk menciptakan dukungan bagi sebuah alternatif pemegang kekuasaan[1].

Pasca reformasi Indonesia situasi perpolitikan Indonesia sejatinya masih belum dianggap mengalami stabilisasi politik. Konflik politik dan kepentingan yang hanya mementingkan

kelompok atau golongan elit politik sipil, setelah mengambil alih kekuasaan otoriter Orde Baru, belum bisa memanfaatkan dengan baik situasi kondisi demokrasi seperti ini. Jangan sampai situasi ini dimanfaatkan oleh beberapa negara Asia lain atau Amerika Latin, dimana peran militer mengambil alih perpolitikan negara yang dianggap tidak kondusif. Dengan memanfaatkan situasi demikian tidak menutup kemungkinan, militer berupaya kembali masuk politik yang dianggap haram atau tabu selama ini. Ditengah-tengah situasi yang rumit itu, tampaknya masyarakat menghendaki segera adanya situasi yang aman agar mereka dapat menjalani kehidupan bersama. Dalam rangka itu, masyarakat luas tampaknya mulai tidak percaya kepada elit politik sipil yang hanya pandai berpolitik praktis yang menyebabkan situasi damai tak juga terwujud. Untuk melahirkan harapan masyarakat itu, mereka pada akhirnya melirik kekuatan yang selama ini dicurigai, bahkan dihujat karena dukungannya terhadap Jenderal Soerharto Orde Baru yang otoriter dan korup. Kecenderungan kembali diharapkannya TNI untuk ikut mengambil peranan dalam pemerintahan bangsa-negara , tampak di dalam hasil polling di Metro TV beberapa waktu lalu. Hasilnya sekitar 76% peserta memberi suara terhadap (kemungkinan) kembalinya TNI ke jajaran pemerintahan. Tentu saja hasil pollingitu dapar diperdebatkan, apalagi peneleponnya berasal dari Jakarta, namun paling tidak hasil polling dapat dibaca gejala berubahnya pandangan masyarakat dewasa ini. Penentangan militer pada era Orde Lama bisa dilihat secara historis misalnya munculnya DI/TII, Permesta, TKR di Sulawesi untuk menentang pemerintahan Republik Indonesia. pasukanpasukan bersenjata organik milik pemerintah tampak saling bersaing dengan wilayah kekuasaannya masing-masing. Bahkan diantara batalyon-batalyon itu pernah berkelahi sendiri dalam bentuk kontak senjata di antara mereka, demikian pula halnya dengan pasukan-pasukan bersenjata DI/TII dengan TKR saling bersaing dan bertempur. Dengan demikian ada persaingan internal dan eksternal diantara pasukan-pasukan itu. Sejalan dengan itu, tampak bahwa posisi militer, TNI sebagai sebuah kekuatan terorganisasi dan alat negara setiap periode yang ditandai oleh terjadinya perubahan militer, memang menjadi pembicaraan untuk meletakkan posisi militer itu dalam kerangka pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam rangka itu, yang sering tampil sebagai topik pembicaraan dalam setiap periode perubahan itu ialah hubungan sipil-militer. Selanjutnya bagaimana dan di mana posisi militer dalam percaturan politik negara. Dengan demikian, yang akan menjadi topik pembicaraan itu berfokus pada peranan sosial politik militer.

Berbicara permasalahan tentang hubungan sipil militer, Dr Salim Said sebagai pengamat militer Indonesia cukup menarik jawaban, menurutnya :

Kalau berbicara hubungan sipil-militer di Indonesia kita bicara dalam dua tataran. Pada tataran legal konstitusional dan civilian supremacy. Artinya, orang yang dipilih rakyat itulah yang berkuasa, termasuk berkuasa atas TNI sesuai Pasal 10 UUD 45. Sedangkan dalam tataran politik, adalah suatu kenyataan bahwa sejak awal kemerdekaan TNI memainkan peranan politik. Tanpa doktrin Dwifungsi dari jalan tengah mereka telah mempunyai peranan politik. Peranan ini membesar atau mengecil tidak tergantung dialektik antara kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat dengan militer.

Persoalan hubungan sipil-militer ini memang merupakan hal yang sekarang menemukan bentuknya yang tepat, bahkan sampai sekarang. Dan hal ini pula yang menyebabkan persoalan posisi militer selalu dalam situasi yang rumit. Sejak awal terbentuknya, yang dilakukan oleh dirinya sendiri, sebagaimana secara factual historis, dan ini juga dikatakan oleh Dr. Salim Said, militer memang selalu berada di dalam posisi perebutan. Atau bisa dikatakan sebagai Pergulatan Kekuatan-Kekuatan untuk Menguasai Militer. Adanya situasi rumit untuk melakukan pergantian komandan di lingkungan militer, dan terjadinya friksi-friksi di lingkungan Markas Besar dan Kementrian Pertahanan pada tahun 1950an, tidak hanya disebabkan oleh karena kebermacaman warna dari pasukan-pasukan militer sebagai akibat proses pembentukan dirinya sendiri, melainkan karena kekuatan-kekuatan politik memang melakukan strategi untuk merebut pengaruh di lingkungan militer. Setiap menteri pertahanan yang diangkat di dalam kabinet yang dibentuk, akan berusaha untuk menempatkan orang-orang kita, baik di Kementerian Pertahanan, tetapi juga di Markas Besar TNI. Puncak dari situasi buruk hubungan sipil-militer ketika terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Dampak dari peristiwa ini memang membekas amat dalam yang bahkan mengorbankan sejumlah perwira terbaik dan pembentuk TNI yang awal, seperti Mayjen Simatupang dan Kolonel Nasution. Setelah melewati situasi rumit dengan bentuk penyelesaian yang tidak selesai, maka setelah Pemilu 1955, posisi Nasution dikembalikan untuk menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Tetapi sayangnya (hasil)Pemilu tahun 1955, tidak dengan segera menyelesaikan persoalan, bahkan yang terjadi ialah persoalan-persoalan baru, tidak hanya yang berkaitan dengan persoalan hubungan sipil-militer, melainkan makin lebar ke kawasan lain, yakni hubungan Pusat (JakartaJawa) dengan Daerah (luar Jawa). Ternyata hubungan Pusat-Daerah ini tidak dapat pula dilepaskan dari persoalan di mana posisi militer dalam rangka pengaturan hidup bersama dan pemerintahan negara. Apa yang terjadi setelah Nasution memegang pimpinan TNI-AD menunjukkan bahwa dalam perjalannya, ia berusaha mencari suatu rumusan yang pasti di mana tempat TNI dalam rangka peranannya sebagai kekuatan alat negara. Dalam rangka itulah Nasution merumuskan Jalan Tengah yang dikenal lebih lanjut dengan dwifungsi ABRI. Ketika Demokrasi Terpimpin, maka diwfungsi ABRI secara embriotik mulai tampak lebih jelas. Tetapi pelaksanaannya dapat dikontrol karena yang melaksanakan adalah penciptaan sendiri, yakni Jenderal Nasution. Lain halnya ketika dwifungsi ini diwujudkan dengan sebuah pelaksanaan yang sistematis dan menjadi bagian dari sistem politik yang dikembangkan selama periode kekuasaan Jenderal Soeharto (Orde Baru). Selama itu, dengan berpegang pada formula dwifungsi yang dikembangkan Jenderal Soeharto, ketika menyaksikan penetrasi anggota TNIABRI ke struktur pemerintahan di luar struktur TNI-ABRI, mulai dari camat, bupati, direktur, dirjen-sekjen-irjen di semua departemen. Kita juga menyaksikan Golkar sudah menjadi organisasi politik yang dikuasai TNI-ABRI dari tingkat pusat sampai tingkat kabupaten. Dalam rangka pelaksanaan strategi politik bagi kemenangan Golkar maka dilaksanakanlah, pertama,massa mengambang, kedua, monoloyalitas bagi PNS (Sipil). Perjalananan TNI-ABRI dengan dwifungsi berlangsung bersama dengan sistem kekuasaan Presiden Jenderal Soeharto dan ketika kekuasaan rezim ini jatuh, maka posisi militer pun kembali digugat. Dwifungsi pun diteriakkan sebagai barang haram dan harus dihapuskan. Teriakan tersebut mendapat sambutan dari lingkungan TNI sendiri. Banyak hal yang dilakukan dalam rangkareposisi TNI itu, yang pertama, istilah ABRI tidak digunakan lagi dan sepenuhnya hanya digunakan TNI. Yang kedua, Polri dipisahkan kembali dari TNI dan Polri berada di bawah langsung Presiden. Yang ketiga, TNI aktif yang memegang jabatan struktural non-TNI di departemen-departemen tidak lagi diperbolehkan untuk tetap menggunakan atribut TNI. Artinya kalau tetap pada jabatan non TNI, harus pensiun.

Ketika situasi berubah di dalam rangka isu reformasi, maka kembali posisi TNI dipertanyakan dan dwifungsi pun digugat. Pengamat militer Salim Said memberikan pandangannya : Secara legal, penghapusan dwifungsi haruslah merupakan keputusan politik dari wakil-wakil rakyat atau elected politicians. Selama para politisi yang mewakili rakyat itu bisa secara bersama mengelola negara ini tanpa menjegal satu dengan lainnya, maka selama itu pula TNI tidak akan punya alasan untuk mengatakan bahwa mereka harus masuk politik untuk jadi juru selamat.

Selanjutnya Salim Said menyatakan bahwa :

Keputusan pimpinan TNI untuk menghapuskan dwifungsi, bahkan sebelum MPR dan DPR mengambil keputusan final mengenai hal tersebut, bisa dilihat sebagai bukti kepekaan TNI terhadap aspirasi masyarakat. Tetapi ini juga bisa hanya sekedar usaha sementara untuk meredakan kemarahan masyarakat. Buktinya masih banyak jabatan birokrasi yang masih diduduki oleh militer di berbagai departemen.

Melihat pandangan ini jelas bahwa penentuan posisi TNI haruslah ditentukan oleh (sebuah) keputusan politik dari wakil-wakil rakyat, atau politisi-politisi (sipil) yang terpilih melalui Pemilu. Tetapi penentuan itu hanya dapat dilakukan kalau para politisi (sipil) yang mewakili rakyat itu dapat mengelola negara tanpa konflik, istilah yang digunakannya, tanpa menjegal satu dengan yang lainnya diantara mereka. Yang dimaksud oleh Salim Said ialah selama para politisi sipil dapat dipecah, maka peluang bagi campur tangan TNI yang dilakukan dengan melampui batas kewenangannya, setiap kali dapat dilakukan. Dengan keterangan itu, ia mempersyaratkan keutuhan politik diantara para politisi sipil, wakil rakyat, untuk mengakhiri campur tangan TNI di bidang non TNI. Kemudian ada hal yang menarik dari pandangannya, tentang penghapusan dwifungsi itu. Dari sudut pandang TNI, dapat dilihat dari sudut yang berbeda. Yang pertama, adanya kepekaan TNI terhadap aspirasi rakyat, yang kedua, untuk meredakan rakyat. Hal pertama, tentu mempunyai makna yang positif. Artinya secara politik, TNI memiliki kemampuan untuk

menangkap aspirasi rakyat terhadap TNI. Dengan itu, TNI dapat mempertahankan komitmennya untuk bersama-sama dengan rakyat. Sebaliknya dengan hal yang kedua, yang bersifat taktik untuk mempertahankan diri. Jelas hal kedua ini lebih bersifat negatif. Artinya langkah untuk menghapuskan dwifungsi itu dilakukan tetap dalam rangka mempertahankan posisi TNI di tempat-tempat strategis di non-TNI. Ketika SU MPR yang angota-anggotanya dipilih melalui pemilu 1999, maka ada hal yang menarik. Yakni dipertahankannya keanggotaan TNI-Polri sampai 2009. Keputusan ini memang melahirkan wacana, karena dianggap sebagai keputusan yang kontroversial. Bahkan tokoh yang waktu itu berkedudukan sebagai Menteri Pertahankan, seperti Prof.Dr. Juwono Soedarsono memberikan reaksi yang agak emosional, terhadap keputusan itu. Tampak tokoh yang sering digambarkan dekat TNI itu, amat tidak setuju dengan keputusan yang memperpanjang posisi TNI di dalam lembaga legislatif. Sehubungan dengan itu, ketika keputusan politik yang berkaitan dengan waktu pengakhiran keberadaan TNI di MPR itu, ditanyakan Salim Said :

Barangkali mungkin saya salah, tetapi saya melihat ini sebagai indikator dari belum tumbuhnya rasa percaya diri para politisi sipil kepada diri mereka serta proses politik demokratis. Mereka tampaknya masih dihantui oleh pengalaman Orde Baru yang menunjukkan bahwa suatu pemerintahan hanya bisa stabil dan bertahan lama jika ia menguasai dan didukung tentara.

Dari analisis tersebut sebenarnya dapat ditafsirkan bahwa ia memberikan kritik yang tajam terhadap politisi sipil termasuk Alm. Gus Dur, karena belum mampu mengembangkan kekuatannya untuk tidak terlepas dari bayang-bayang kekuatan politik TNI-Polri, sebagaimana yang terjadi di dalam periode Orde Baru[2].

Upaya bangsa Indonesia membangun demokrasi, telah membawa sejarah politik militer di Indonesia pasca Soeharto ke dalam situasi yang sangat krusial. Situasi yang tidak pernah

dibayangkan sebelumnya oleh masyarakat maupun militer sendiri. Kekecewaan massa terhadap peran militer yang dinilai koersif mendukung rezim otoritarian, terakumulasi sekian lama, lalu meledak setelah menemukan momentumnya. Kekuatan massa itu kemudian berhasil memaksa militer dalam banyak hal untuk tunduk kepada sipil. Militer dipaksa untuk tidak lagi menyentuh ranah politik, dan diminta kembali ke barak. Sebaliknya militer diminta mengembangkan profesionalisme, sehingga tanggungjawab kepada masyarakat dan negara bukan kepada kepentingan rezim penguasa. Menghadapi tekanan yang besar, mau tidak mau, secara internal militer kemudian melakukan reformasi, dengan mencoba mereposisi dan meredefinisi peran sosial politiknya. Sementara itu, politisi sipil memperoleh jalan lebar untuk mencoba mengisi dan mengendalikan berbagai posisi strategis yang di masa lalu di pegang militer, sehingga menimbulkan gelombang perubahan di kalangan sipil maupun di tubuh militer. Perubahan peran militer dapat dilihat diparlemen, TNI seolah hanya mengikuti irama politisi sipil. Dalam beberapa kasus pemungutan suara di DPR, fraksi TNI memilih netral. Hanya ketika DPR mengambil suara dalam kasus Buloggate dan Brunaigate, fraksi TNI mendukung temuan Pansus DPR yang cenderung menyudutkan posisi Gus Dur. Namun ketika melihat sikap TNI dalam penanganan konflik kekerasan yang cenderung meluas di berbagai daerah di Indonesia. TNI terkesan lamban, dengan alasan takut salah mengambil langkah. TNI trauma karena nanti dianggap tuduhan pelanggaran HAM. TNI kemudian merasa membutuhkan payung politik, antara lain instruksi dari penguasa yang ada di tangan sipil. Ironisnya, penguasa sipil itu tidak segera menurukan instruksi yang jelas dalam mengatasi konflik komunal[3]. Apa yang diperoleh militer pada era reformasi tersebut, sangat jauh berbeda dengan apa yang diperankan militer pada masa-masa sebelumnya. Rezim Soeharto militer memiliki peran yang sangat dominan. Peran militer merambah hampir seluruh aspek kehidupan sosial, sehingga Wiliam Liddle sempat menyebut sebagai primus inter pares. Begitu besarnya peran mereka sehingga berimplikasi kepada melemahnya berbagai kekuatan sosial politik masyarakat dan menguatnya korporatisme negara. Dengan demikian sejumlah pertanyaan masih sangat terbuka, apakah militer benar-benar akan kembali ke barak dan menjadi militer profesional seperti yang ada pada militer Amerika Serikat, sehingga dengan demikian membuka kemungkinan bagi tumbuhnya apa yang disebut

dengan supremasi sipil. Ataukah militer mencoba mendefinisikan citra dirinya dalam format yang lain, misalnya sebagai tentara revolusi? Atau justru berkemungkinan menjadi tentara praetorian sehingga tentara tetap saja mengalami politisasi, yang hanya berarti akan memperlebar kemungkinan kembalinya militer menjadi alat Presiden dan bukan lagi alat masyarakat dan negara. Kesimpang siuran peran militer dalam politik itu bukan semata-mata disebabkan adanya konflik kepentingan di tubuh internal militer seiring dengan munculnya persaingan antar friksi. Di kalangan masyarakat Nampak belum ada kata sepakat, suara masyarakat yang menghendaki supremasi sipil dengan cara mengurangi peran militer dalam politik semaksimal mungkin, ternyata tidak bulat. Sebuah jajak pendapat menghendaki peran militer lepas dari politik praktis 30,2% lebih rendah, dari mereka yang tidak menghendaki lepas dari politik praktis (31,6%), sedangkan sisanya 38% lainnya menyatakan bergantung situasi. Kalau situasi menghendaki, kenapa tidak[4]. Penelitian peran militer dalam politik di dunia oleh Perlmutter bisa dijadikan pelajaran berharga. Sejarah militer di manapun tidak berkembang secara linier seperti yang sesederhana dibayangkan orang. Ideologi militer di sebuah negara bisa saja berubah-ubah. Perkembangan sejarah militer di sejumlah negara diketahui mengalami pergeseran. Militer di sejumlah negara bergeser dari semula berorientasi profesional namun dalam perkembangannya kemudian menjadi praetorian atau sebaliknya, dari tentara tentara revolusi berubah ke tentara praetorian dan begitupula sebaliknya. Perlmutter mengatakan bahwa kemungkinan tentara revolusi berubah menjadi prajurit praetorian jauh lebih besar, dibanding menjadi tentara profesional. Tentara profesional akan mengubah diri menjadi praetorian pada saat-saat krisis, misalnya ketika pemerintah sipil gagal menjalankan tugas melindungi keamanan warga dan masa depan bangsanya. Sementara itu, hampir setiap saat tentara revolusi bisa saja mengubah dirinya menjadi prajurit praetorian. Hanya saja sejauh ideologi revolusi itu masih dapat dipertahankan dominasinya, kemungkinan tentara revolusi berubah menjadi prajurit praetorian menjadi lebih kecil. Dengan kata lain, munculnya prajurit praetorian dari tentara revolusi, lebih disebabkan karena tidak lagi dapat dipertahankannya dominasi partai atau kekuatan revolusi atas kebijakan nasional.

Penutup

Dalam era reformasi ini, dalam rangka membangun TNI ke depan dengan upaya melakukan demokratisasi, militer masih memiliki pilihan-pilihan untuk melakukan proses trasnformasi. Hanya saja untuk kondisi saat ini, TNI tidak memiliki syarat sosial politik yang kondusif untuk mengubah dirinya menjadi praetorian. Sebaliknya,dalam rangka demokratisasi, TNI tengah didorong oleh masyarakat untuk menterjemah visinya mengikuti aturan-aturan profesionalisme militer. Masyarakat juga menghendaki agar TNI tidak tercerabut dari akar sejarahnya, sehingga terbuka bagi TNI untuk menggabungkan profesionalisme militer dengan visi tentara revolusi, dengan catatan TNI tidak kembali menjalankan peran praetorian. Dari berbagai bukti empirik, dapatlah dipersepsikan langkah-langkah TNI masih menggambarkan keinginan untuk tetap dapat mempertahankan kekuasaan, meski syarat sosial politik tidak banyak mendukung. Sebetulnya, keinginan itu dapat ditoleransi, dengan catatan, tidak akan menyumbat mengalirnya kekuatan partisipasi politik masyarakat yang otonom. Jika TNI dapat meyakinkan publik dalam turut membangun saluran-saluran partisipasi politik yang lebih berkembang luas, kritis, dan otonom, maka dapat diyakini upaya TNI mempertahankan kekuasaannya masih akan memperoleh justifikasi. Meskipun, TNI tetap bakal menghadapi resistensi kalau dalam menjalankan kekuasaan yang dimilikinya itu lalu mengharap berbagai privelese-privelese berlebihan. Dalam banyak negara demokrasi, privelese bukan dihapuskan sama sekali, akan tetapi pada umumnya secara de facto militer tidak mampu menggunakan hak-hak istimewa tersebut secara efektif, sehingga privelese itu tidak bisa dimaksimalkan. Hak-hak istimewa tersebut hanya dapat dijalankan dalam derajat atau gradasi yang rendah, atau dilakukan secara moderat, misalnya komandan dinas aktif pada setiap angkatan masih diberi kesempatan untuk berperan dalam kabinet, militer rela melakukanpower sharring, sehingga misalnya badan pertahanan dan keamanan nasional beserta kebijakannya tidak dikendalikan sepenuhnya oleh militer, melainkan bisa berbagi dengan tenaga-tenaga profesional di luar militer, dalam hal ini dari kalangan sipil. Milihat perkembangan politik di Tanah Air, terutama dengan maraknya konflik komunal yang terus meluas, TNI memiliki alasan untuk kembali meminta privelese-privelese tertentu. Namun, yang jelas tidak ada alasan bagi TNI saat ini untuk menghambat tumbuhnya kekuatan otonom dan pemberdayaan berbagai lembaga publik yang diperlukan sebagai syarat partisipasi politik yang demokratis. Pada posisi seperti ini, sesungguhnya terbuka peluang membangun

saluran partisipasi politik yang luas, dan peluang yang besar bagi pembentukan kekuatan politik masyarakat yang otonom. Hanya nampaknya muncul political constraint baru. Kali ini tidak datang dari kalangan militer, tetapi justru muncul dari perilaku militerisme di kalangan sipil dalam bentuk para militer maupun milisi, yang kadang-kadang lebih militer daripada militer itu sendiri, sehingga berpotensi besar untuk dapat mematikan terbentuknya kekuatan otonom, kekuatan kritis pada masyarakat dan pemberdayaan demokrasi secara kultural maupun struktural. Oleh karena itu, konsolidasi menuju demokrasi pada era reformasi ini belum juga kunjung selesai, meski militer telah didesakralisasi, sementara kekuasaan setidak-tidaknya secara formal sudah berada pada tangan sipil.

[1] Lihat

Alfred Stepan, Militer dan Demokratisasi : Pengalaman Brazil dan Beberapa Negara

Lain. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti


[2] Militer

masih memperoleh jatah dalam kabinet dengan posisi yang strategis. Gus Dur

masih mempercayakan Menko Polkam kepada Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, Letjen (pun) Surjadi Soedirja sebagai Mendagri, Menhub/Komunikasi kepada Letjen Agum Gumelar, dan Mendag kepada Letjen Luhut Panjaitan.
[3] Kekerasan

yang muncul melalui jalur etnis, agama, dan juga berbagai kepentingan

komunal di negeri ini secara tak terelakkan yang kemudian menelan korban harta dan nyawa yang tidak sedikit. Dalam tragedi kemanusiaan di Sampity, Palangkaraya dan Pontianak. Dalam relatif singkat telah memusnahkan ribuan rumah penduduk, lebih 400 orang tewas, puluhan ribu etnis Madura harus mengungsi ke tanah aslinya. Belum terhitung dengan konflik antara etnis di Ambon, Maluku, dan Aceh.
[4] Maksum dalam temuan pada

Jajak Pendapat Jawa Post, 14 Maret 2001.

Birokrasi
Kamis, 1 Juli 2010 10:07:01 - oleh : yosa

Birokrasi adalah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para pejabatnya secara bersama-sama berkepentingan dalam kontinuitasnya. Ditinjau dari sudut etimologi, maka perkataan birokrasi berasal dari kata bureau dan kratia (Yunani), bureau artinya meja atau kantor dan kratia artinya pemerintahan. Jadi birokrasi berarti pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dari meja ke meja. Max Weber memandang Birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri atas pejabat-pejabat atau sekelompok yang pasti dan jelas pekerjaannya serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi. Secara teoritis birokrasi adalah alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-keputusan politik, namun dalam prakteknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Birokrasi juga merupakan alat politik untuk mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik, sifat kekuasaan aparat birokrasi sebenarnya bukan tanpa kendali tetapi tetap dibatasi oleh perangkat kendali dari luar dan dari dalam. Birokrasi juga dapat dibedakan dengan dua tipe, yaitu tipe birokrasi klasik dan birokrasi perilaku. Dalam pemerintahan, kekuasaan publik dijalankan oleh pejabat pemerintah atau para birokrat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranan dan fungsinya dalam sistem birokrasi negara dan harus mampu mengendalikan orang-orang yang dipimpinnya. Birokrasi dalam hal ini mempunyai tiga arti, yaitu : 1. Sebagai tipe organisasi yang khas; 2. Sebagai suatu sistem; 3. Sebagai suatu tatanan jiwa tertentu dan alat kerja pada organ negara untuk mencapai tujuannya. Fritz Morstein Marx mengatakan (terjemahan) : bahwa tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah yang modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat spesialis, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.

Birokrasi juga dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang dilakukan banyak orang, birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi untuk mencapai tugas-tugas administrasi besar dengan cara mengkoordinasi secara sistematis atau teratur pekerjaan dari banyak orang. Birokrasi sebagai suatu sistem kerja dimaksudkan sebagai sistem kerja yang berdasarkan atas tata hubungan kerja sama antara jabatan-jabatan secara langsung mengenai persoalan yang formil menurut prosedur yang berlaku dan tidak adanya rasa sentimen tanpa emosi atau pilih kasih, tanpa pamrih dan prasangka.

Apa yang ingin ditonjolkan disini adalah suatu tata hubungan antara jabatan-jabatan, pejabatpejabat, unit instansi dan departemen pemerintahan. Dalam tata hubungan ini, bagaimana suatu penyampaian gagasan, rencana, perintah, nilai-nilai, perasaan dan tujuan dapat diterima dengan baik oleh pihak lain sebagai penerima dengan cara penyampaiannya harus mudah dan tepat serta berdasarkan hukum. Birokrat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus dilandasi persepsi dan kesadaran hukum yang tinggi, adapun ciri-ciri birokrasi, yaitu :
1. Adanya pelaksanaan prinsip-prinsip organisasi dengan sepenuhnya; 2. Adanya peraturan yang benar-benar ditaati; 3. Para pejabat bekerja dengan penuh perhatian menurut kemampuan masing-masing (sense of belonging); 4. Para pejabat terikat oleh disiplin; 5. Para pejabat diangkat berdasarkan syarat-syarat teknis berdasarkan peraturan (meryt

system);
6. Adanya pemisahan yang tegas antara urusan dinas dan urusan pribadi.

Dalam melaksanakan birokrasi negara, setiap pejabat dalam melaksanakan tugasnya dilengkapi dengan dua asas, yaitu: 1. Asas Legalitas Asas ini berarti tidak ada satu pun perbuatan atau keputusan dari pejabat atau para birokrat yang bersangkutan, boleh dilakukan tanpa dasar suatu ketentuan undang-undang, untuk itu para pejabat atau para birokrat harus memperhatikan delapan unsur legalitas, yaitu peraturan tertulis, penyebaran atau penggunaan peraturan, tidak berlaku surut, peraturan bisa dimengerti, tidak bertentangan satu sama lain, tidak menuntut diluar kemampuan orang, tidak sering berubah-ubah dan sesuai antara peraturan dan pelaksanaannya. 2. Asas Freies Ermessen atau Diskresi Artinya pejabat atau para birokrat tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturan, oleh karena itu diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas legalitas. Dalam setiap hal yang dikerjakan oleh aparatur administrasi negara, dapat dilihat apa yang menjadi hak, kewajiban, tanggung jawab serta peranan aparatur administrasi negara. Adapun hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang aparatur administrasi negara (birokrat) adalah :
1. Wajib atau taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Wajib membuat suatu kebijaksanaan terhadap suatu hal walaupun tidak ada peraturan yang mengaturnya, hal ini sesuai dengan freies ermessen; 3. Harus sesuai dengan susunan pembagian tugas; 4. Wajib melaksanakan prinsip-prinsip organisasi;

5. Wajib melaksanakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).

Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Masyarakat selama ini masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi negara) sama dengan pemerintah, padahal keduanya berbeda dan tidak dapat disamakan. Birokrasi merupakan alat negara yang perlu memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh perundang-undangan tersendiri, oleh karena itu korelasi antara birokrasi dan eksekutif harus diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi menjadi sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan. Administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan tugas-tugas negara, diantaranya menjalankan tugas pemerintahan. Pemikiran ini mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara dan karenanya aparat negara bukanlah selalu aparat pemerintah. Birokrasi juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan berbagai kebijakan publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif. Untuk mendorong terbentuknya suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa maka segenap aparatur pemerintah (birokrat) wajib melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kekuatan birokrasi Indonesia sebenarnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat.

También podría gustarte