Está en la página 1de 14

Laporan Tutorial Blok 15 Ruminansia I Unit Pembelajaran 5 DISTOKIA PADA SAPI

Disusun oleh: Nama NIM Kelompok : Nilam Kusumastuti : 2010/300669/KH/6681 : 12

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

Tujuan pembelajaran: 1. Mengetahui tentang.istokia meliputi penyebab, macam-macam, dan diagnosa. 2. Mengetahui penanganan distokia meliputi manipulasi, sectio caesaria, dan fetotomi.

Distokia
A. Etiologi Sebab-sebab distokia dibagi menjadi dua, yaitu sebab dasar dan sebab langsung. Sebab dasar distokia antara lain herediter, gizi, tatalaksana, infeksi, traumatik dan berbagai sebab lain. Sedangkan sebab langsung distokia dapat dibedakan dalam distokia tipe maternal dan tipe fetal. 1. Sebab-Sebab Dasar a. Herediter Sebab-sebab herediter distokia dapat dibagi atas faktor-faktor yang terdapat pada induk yang berpredisposisi terhadap distokia, atau faktor-faktor tersembunyi atau gengen resesif pada induk dan pejantan yang dapat menghasilkan fetus yang defektif. Gengen tersembunyi atau resesif pada pejantan atau betina dapat menimbulkan kondisi patologik yang mempengaruhi fetus atau selaputnya, yang pada gilirannya menyebabkan distokia (Toelihere, 1981). b. Nutrisional dan manajemen Kondisi makanan ternak yang sedang bunting dan manajemen pada waktu partus sangat erat berhubungan dan merupakan merupakan sebab-sebab dasar dari banyak distokia. Distokia karena ukuran induk yang kecil sering ditemukan pada sapi dara yang baru pertama kali beranak. Pemberian makanan yang tidak sempurna pada sapi dara yang sedang tumbuh merupakan faktor paling utama dalam menghambat pertumbuhan tubuh dan pelvis (Toelihere, 1981) . c. Sebab-sebab infeksius Setiap infeksi atau penyakit yang mempengaruhi uterus bunting dan isinya dapat menyebabkan abortus, uterus tak bertonus, kematian fetus dan metritis septic pada kebuntingan (Toelihere, 1981).

d. Sebab-sebab traumatik Sebab-sebab traumatik terhadap distokia jarang ditemukan. Hernia ventralis dan ruptur tendon prepubis menyebabkan distokia karena ketidaksanggupan kontraksi abdominal yang ditimbulkannya, sehingga induk tidak dapat mendorong fetus keluar. Torsio uteri dapat disebabkan oleh selip, jatuh atau terguling secara tiba-tiba pada kebuntingan tua (Toelihere, 1981). e. Sebab-sebab lain Penyebab kelainan-kelainan kecil dalam posture, seperti kaki yang melipat atau leher dan kepala yang membengkok ke sisi, sehingga menyebabkan distokia pada fetus hidup dan uterus normal, sulit diterangkan (Toelihere, 1981). 2. Sebab-Sebab Langsung a. Penyabab maternal Disebabkan karena kegagalan tenaga mendorong keluar dan obstruksi saluran peranakan. Kegagalan untuk mendorong keluar Uterus Inersi uterine primer Gangguan myometrium, pemekaran yang berlebihan, degenerasi (ketuaan, toksik, dll), infeksi uterus, penyakit sistemik, jumlah anak sekelahiran yang sedikit, heriditer Defisiensi biokimiawi: rasio estrogen/progesterone, oksitosin, prostalglandin F2, relaksin, kalsium, glukosa. Histeris gangguan lingkungan Oligoamnion (defisiensi cairan amnion) Kelahiran premature Inersia uterine sekunder Kerusakan uterus Torsi uterus Sebagai konsekuensi dari penyebab distokia yang lain Termasuk rupture Dapat juga menyebabkan obstruksi saluran peranakan Abdominal Ketidakmampuan untuk mengejan Karena umur, kesakitan, kelemahan, rupture diafragma, kerusakan trachea/laringeal (Jackson, 2007)
2

Obstruksi saluran Peranakan Tulang pelvis Jaringan lunak Vagina Cacat congenital, fibrosis, prolaps, neoplasia, abses, perivagina, hymen. Servik Uterus Cacat congenital, fibrosis, kegagalan untuk dilatasi. Torsi, deviasi, herniasi, adhesi, stenosis. (Jackson, 2007) Vulva Cacat congenital, fibrosis, belum dewasa. Fraktur, ras, diet, belum dewasa, neoplasia, penyakit

b. Penyebab fetal No. 1 2 3 Defisiensi hormon Disproporsi fetopelvis Maldisposisi fetal Penyebab fetal ACTH/cortisol: inisisi kelahiran Fetus yang terlalu besar, Cacat pelvis, Monster fetus Malpresentasi Tranversal, lateral, vertical, simultaneous. Malposisi Malpostur 4 Kematian fetus (Jackson, 2007) Ventral, lateral, miring. Deviasi dari kepala dan kaki.

B. Macam-macam Distokia

1. Presentasi : Longitudinal anterior Posisi Posture : Dorso pubis : Head neck flexion posture sinister

2. Presentasi : Longitudinal anterior Posisi Posture : Dorso sacral : Dog sitting

3. Presentasi : Longitudinal anterior Posisi Posture : Dorso sacral : Unilateral shoulder flexion posture dexter

4. Presentasi : Longitudinal posterior Posisi Posture : Dorso sacral : Bilateral hip flexion posture

5. Presentasi : Longitudinal anterior Posisi Posture : Dorso sacral : Unilateral carpal flexion posture

6. Presentasi : Longitudinal anterior Posisi Posture : Dorso sacral : Bilateral carpal flexion posture (Toelihere, 1981)

C. Diagnosa Diagnosa distokia dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis atau tanda-tanda antara lain : 1. Stadium kelahiran pertama lama dan tidak progresif. 2. Sapi berdiri dengan postur tubuh abnormal selama tahap kelahiran, misal punggung menurun pada kasus torsi uteri. 3. Pengejanan kuat selama 30 menit tanpa munculnya anak sapi 4. Kegagalan anak sapi untuk dikeluarkan dalam 2 jam setelah amnion tampak pada vulva 5. Maldisposisis ketika dilakukan eksplorasi rektal 6. Korioalantois terpisah, atau cairan alantois tercemar darah pada vulva.

Penanganan Distokia

A. Manipulatif 1. Prinsip penanganan: a. Repulsi b. Extensi c. Rotasi d. Versio e. Retraksi 2. : mendorong fetus sepanjang saluran peranakan kearah uterus : pembetulan letak bagian-bagian fetus yang mengalami fleksi : memutar tubuh fetus sepanjang sumbu longitudinal : memutar fetus kedepan/ kebelakang : penarikan fetus keluar dari tubuh induk

Prosedur penanganan: a. Anamnesa. Berguna untuk mengetahui riwayat induk dan riwayat kejadian seperti lama kebuntingan, sejarah perkawinan, apakah distokia pernah terjadi sebelumnya, apakah hewan memperlihatkan atau menderita penyakit selama 2 bualn terakhir sampai menjelang partus (Toelihere, 1981). b. Pemeriksaan umum. Mencakup hal-hal: sikap berdiri sapi, suhu tubuh, pulsus, warna selaput lendir, kondisi vulva (Toelihere, 1981). c. Pemeriksaan khusus. seperti: pemeriksaan saluran kelahiran apakah dilatasi, berputar, lembab dan licin, berdarah, bengkak, nekrotik, ukuran inlet pelvis, vagina dan vulva, pemeriksaan fetus hidup atau telah mati, dan pemeriksaan presentasi, posisi dan postur fetus (Toelihere, 1981).

d. Diberi cairan janin buatan jika saluran peranakan sudah mengering. e. Tindakan, berdasarkan hasil diagnosa. 3. Contoh tindakan manipulasi berdasarkan permasalahannya: a. Unilateral carpal flexion posture 1) Definisi: Hanya ada 1 kaki yang terlipat, kaki yang normal dan kepala ditemukan di dalam atau menonjol di vagina. Flexi karpal dari kaki depan yang lain ditemukan pada inlt atau terjepit dalam vagina. 2) Presentasi: longitudinal anterior, posisi : dorsosacrum, posture: carpal flexion (unilateral). 3) Penanganan: Pada flexi carpal unilateral, satu kaki akan terjulur keluar ke vulva, kemudian diikat dengan tali dan membiarkannya terjulur keluar. Dengan porok kebinadanan, direpulsikan, kaki yang mengalami flexi di ekstensikan, lalu ujungnya diikat dengan tali. Fetus ditarik keluar. b. Bilateral carpal flexion posture 1) Definisi: Ada 2 kaki yang mengalami flexi carpal, ditemukan pada inlet pelvis atau terjepit dalam vagina. 2) Presentasi : longitudinal, posisi : dorsosacrum, postur : bilateral carpal flexion. 3) Penanganan: Mencari 1 kaki yang mengalami flexi dengan cara merepulsikan kemudian diekstensikan, menarik keluar 1 kaki dan diikat dengan tali. Untuk kaki yang sama, diperlakukan dengan cara yang sama seperti sebelumnya, dan fetus ditarik keluar. c. Shoulder flexion posture 1) Definisi: Jika kedua kaki terlipat, dan hanya kepala fetus yang menonjol keluar vagina atau vulva. Kaki tersebut mungkin benkak. Jika hanya ada 1 kaki yang terkena, kaki yang lain menonjol dari vulva dengan kepala. 2) Presentasi: longitudinal anterior, posisi: dorsosacrum, postur: shoulder flexion. 3) Penanganan: Satu kaki yang normal akan menjulur keluar, diikat dengan tali dan dibiarkan menjulur keluar. Kemudian direpulsikan, bahu yang mengalammi flexi diekstensikan, ujung diikat dengan tali, fetus ditarik keluar. d. Head neck flexion posture (lateral) 1) Definisi: Kaki depan fetus biasanya ditemukan dalam vagina dan kaki-kakinya dapat menonjol melewati vulva. Kadang-kadang leher fetus berotasi ke arah lateral (kanan/kiri).

2) Presentasi: longitudinal anterior, posisi: dorsosacrum, postur: head neck flexion (lateral). 3) Penanganan: Kaki fetus yang keluar diikat dengan tali, fetus direpulsi, kepala dan leher yang mengalami flexi diekstensikan yaitu dengan mengaitkan tali pada rahang bawah fetus, tarik pelan-pelan. Dengan bantuan kedua tali pada ujung kaki, fetus ditarik keluar. e. Head neck flexion posture (ke ventral)/vertex 1) Definisi: Kepala dapat disimpangkan ke bawah anatar kaki depan yang berbatasan dengan sternum dalam postur dada kepala. 2) Presentasi: longitudinal anterior, posisi: dorsosacrum, postur: head neck flexion (ventral). 3) Penanganan: Kaki fetus yang keluar diikat dengan tali, repulsikan fetus dan angkat moncong ke atas menuju pelvis. Jika kepala tidak dipindahkan di bawah kaki depan, tidak cukup ruang untuk menuju pelvis, kecuali salah satu kaki depan digerakkan ke belakang ke dalam uterus. Jika kepala sudah didapat, kaki deoan ditempatkan kembali, kemuadian tarik fetus keluar. f. Hock flexion posture 1) Definisi: Ujung ekor fetus dapat menonjol dari vulva dan pergelangan kaki yang mengalami flexi teraba pada inlet pelvis tau terkunci dalam pelvis. Jika hanya 1 kaki saja yang mengalami flexi pada hock, yang lainnya dapat enjulur ke vulva. 2) Presentasi : longitudinal posterior, posisi : dorsosacrum, postur : heck flexion. 3) Penanganan: Fetus direpulsikan, ikat ujung kaki belakang dengan tali, kemudian tali tersebut dilewatkan pertengahan teracak ditarik keluar. Ujung teracak dilindungi agar tidak melukai saluran peranakan induk. Dengan bantuan tali tersebut, fetus ditarik keluar. g. Unilateral hip flexion posture 1) Definisi: Salah satu panggunl tertekuk ke dalam, sedangkan tali belakang yang lain terjulur keluar. 2) Presentasi: longitudinal posterior, posisi: dorsosacrum, postur: unilateral hip flexion. 3) Penanganan: Kaki yang keluar diikat dengan tali, fetus direpulsikan, kaki belakang/pinggul yang mengalami flexi diekstensikan dengan hati-hati. Lindungi teracak agar tidak melukai uterus.

h. Unilateral tarsal flexion posture 1) Definisi: Jika salah satu kaki belakang terjulur keluar sedangkan flexi tarsal dari kaki belakang yang lain ditemukan pada inlet pelvis atau terjepit dalam vagina. 2) Presentasi: longitudinal posterior, posisi: dorsosacrum, postur: unilateral sacral flexion. 3) Penanganan: Ikat kaki yang keluar dengan tali, fetus direpulsikan kemudian kaki yang mengalami flexi distensi, kemudian ujungnya diikat dengan tali. Dan fetus ditarik keluar. i. Posterior presentation, ventral position (bilateral hock flexion) 1) Definisi: Jika kedua kaki belakang terjulur keluar, sedang kan posisi tubuh adalah ventral. 2) Presentasi : longitudinal posterior, posisi : dorso pubis, postur : bilateral hock flexion. 3) Penanganan: Kedua ujung kaki masing-masing diikat dengan tali, pegang salah satu pangkal kaki sambil mendorong ke dalam, kemudian dilakukan rotasi ke arahh dorsal position. Dengan bantuan tali tersebut, fetus ditarik keluar. j. Transversal presentation, cephaloillial dextra position 1) Definisi: Punggung dari fetus menghadap ke arah vulva. 2) Presentasi : transverso-dorsal, posisi: chepalo-illial dextro, postur : unilateral hip flexion. 3) Penanganan: Pegang kaki yang mudah didapat, kemudian fetus direpulsikan. Putar fetus ke arah ventral position, presentasi bisa anterior/posterior. Rotasikan fetus ke arah dorsal position, dengan tali yang diikatkan pada badan/ujung kaki fetus, tarik keluar (Cady, 2009).

B. Sectio caesaria Sectio Caesaria atau pembedahan caesar adalah pengeluaran fetus, umumnya pada waktu partus, melalui laparohisterektomi atau pembedahan pada perut dan uterus, Bedah ini dilakukan apabila mutasi, tarik paksa dan foetotomi tidak dapat atau sangat sulit dilakukan untuk mengeluarkan foetus atau peternak menginginkan supaya foetus dikeluarkan dalam kedaan hidup. Indikasi untuk melakukan operasi sesar bermacam-macam, begitu pula dengan teknik yang akan dilakukan. Hal ini sangat tergantung pada kondisi dan spesies hewan tersebut (Erwin, 2009).

1. Premedikasi dan Anastesi 10 ml Clenbuterol (Planipart ) diberikan intra vena sebagai uterine relaxant. 4 ml Lidokain diberikan secara epidural antara vertebrae sacral terakhir dengan vertebrae coccigeae 1. Ada beberapa cara melakukan anastesi pada daerah flank ini. Ada yang diberikan infiltrasi disepanjang daerah yang akan diinsisi, bisa juga dengan anasteri regional. Anastesi regional dilakukan untuk memblok syaraf yang menginervasi daerah flank dan sekitarnya (cabang ventral dari syaraf T13, L1 dan L2). Bisa dilakukan dengan inverted L, proximal paravertebral atau bisa juga distal paravertebral. Cara yang paling mudah adalah dengan anastesi infiltrasi di sepanjang daerah yang akan diinsisi. Untuk satu operasi caesar membutuhkan 150-200 ml Lidokain. Anastesi regional membutuhkan relatif sedikit Lidokain, hanya saja harus mengenali struktur dan benar-benar memahami anatomi tulang belakang khususnya daerah thorac dan lumbal serta persyarafannya (Prabowo, 2007). 2. Tehnik Operasi Sectio caesaria dilakukan pada hewan berdiri. Sebelum dioperasi, daerah flank kiri dicuci bersih dan dicukur dengan lebar 5 cm dengan panjang 30-40 cm dan luas 20-45 cm, kemudian didesinfeksi dengan Iodium tincture. Tempat incisi ditentukan pada jarak 1 telapak tangan dibawah vertebrae lumbalis dan 1 telapak tangan dibelakang costae terakhir, incisi dilakukan pada kulit secara tegak lurus kebawah sepanjang 30-40 cm. Pada saat pelebaran luka bedah, incisi m. transversus externus dan internus, m. obliquus abdominis externus dan internus juga peritoneum, dengan panduan jari tengan dan jari telunjuk sayatan diperluas seperti sayatan pada kulit, begitu flank kiri terbuka, terlihat rumen yang menutupi hampir semua lubang incisi (Prabowo, 2007).. Rumen di dorong ke arah cranial kedalam rongga perut, kemudian palpasi dinding uterus, bila ada torsio uteri kembalikan dahulu ke posisi semula. Pembedahan dilakukan terhadap dinding uterus, sayatan pada dinding uterus harus cukup besar supaya pengeluaran foetus tidak terhalangi. Hindari teririsnya kotiledon saat mengiris dinding uterus karena akan menyebabkan pendarahan pasca operasi. Dinding uterus yang sudah terbuka dapat dijepit dengan tang uterus. Robeklah selaput amnion sehingga cairannya keluar dan kedua kaki foetus terpegang dan ditarik keluar, kemudian dibebaskan dari selaput foetus. Arah penarikan dengan posisi anterior yaitu semula ke atas kemudian membengkok ke bawah dan foetus akan meluncur ke luar dengan beratnya sendiri. Proses pengeluaran foetus harus berlangsung cepat, jika tidak foetus akan mengalami pneumonia aspirasi, bahkan bisa mati. Hal ini terjadi karena bila kaki belakang foetus ditarik keluar lebih dahulu, maka saluran pusar akan
9

terputus, padahal kepala foetus masih didalam selaput amnion yang berisi cairan. Bila proses berlangsung lama, maka foetus akan bernafas di dalam cairan amnion. Pada letak sungsang, selain kedua kaki depan, kepala juga ditarik keluar. Chorda umbilicalis akan putus dengan sendirinya sewaktu pengeluaran foetus (Prabowo, 2007). Bagian-bagian selaput foetus yang longgar dilepas memakai gunting. Kemudian dibilas dengan Ringer lactate dan dimasukkan antibiotika kedalam rongga uterus sebelum dinding uterus dijahit (Toelihere, 1979). Efek Clenbuterol, uterus akan terus berelaksasi setelah foetus keluar. Bila tidak menggunakan Clenbuterol, uterus akan mengkerut dengan cepat, sehingga penjahitan dinding uterus akan sulit dilakukan. Penjahitan dimulai dari dinding uterus dengan pola jahitan Lambert dengan menggunakan chromic cat gut sampai dinding uterus tertutup dan rapat, sebaiknya semua jahitan dilakukan dari bawah ke atas pada luka sayatan. Sesudah penjahitan, uterus dimasukkan kembali ke dalam rongga perut, lalu bersihkan rongga perut dari darah yang membeku dan runtuhan jaringan yang berasal dari rongga uterus dengan Ringer Lactate yang dicampur dengan Penstrep. Pembersihan ini penting untuk menghindari terjadinya adhesi antar organ viscera pasca operasi (Prabowo, 2007). Bila ronga perut sudah bersih, penutupan daerah sayatan di mulai dengan peritoneum dengan pola jahitan simple interrupted memakai benang chromic cat gut, musculus dan fascia di jahit dengan pola simple continous memakai benang chromic cat gut. Kemudian kulit di tutup dengan jahitan simple interrupted menggunakan benang nilon. Ke dalam daerah sayatan di semprotkan penicillin oil dan di bersihkan dengan menggunakan Iodium tincture 3 %. Hewan disuntik penicillin kristal dengan dosis 3-6 juta unit atau tetracyclin dengan dosis 1-2 gr secara intra muscular. Juga disuntikkan Oksitosin 5 ml pasca operasi. Oksitosin merupakan antidota dari Clenbuterol. Oksitosin akan membuat uterus berkontraksi dan proses involusi segera dimulai, plasenta akan terbantu keluar dengan adanya kontraksi uterus. Jahitan kulit pada lapisan terluar bisa dilepas setelah 3 minggu operasi (Anonymous, 2006). 3. Perawatan pasca Operasi Hewan diamati secara dekat selama 24 jam pertama, pemberian Penstrep selama 5 hari intra muscular, anti inflamasi 3 hari pertama. Oksitosin diberikan setiap 3 jam sekali atau sampai 12 jam pasca operasi sampai plasenta keluar. Suhu tubuh selalu dipantau. Bila terjadi infeksi, kenaikan suhu tubuh biasanya terjadi antara hari ke 3-5 pasca operasi. Masa kritis 24 jam pertama, bila terlewati akan terlihat bahwa sapi sehat, mau makan, produksi susu terus meningkat dan plasenta keluar 12 jam pertama pasca operasi. Bila lewat 7 hari pasca operasi
10

sapi terlihat sehat, produksi susu meningkat, tidak terjadi kenaikan suhu,nafsu makan baik, bisa dianggap operasi berhasil (Prabowo, 2007). C. Fetotomi Fetotomi adalah tindakan operasi pada fetus, berupa pemotongan bagian tubuh fetus untuk mengurangi ukurannya dengan menyisihkan bagian tertentu fetus baik secara parsial maupun total. Tujuan fetotomi adalah mengurangi ukuran fetus dengan cara memotong sebagian atau keseluruhan dari fetus. Fetotomi dapat dilakukan bila fetus yang dipotong sudah mati, dilatasi lintasan peranakan tidak sempurna dan juga bila pemilik menyetujui untuk dilakukan fetotomi. Bila terpaksa harus dilakukan fetotomi dan fetus belum mati, maka seharusnya fetus dimatikan lebih dahulu (mercy killing) dengan cara memotong tali pusatnya dengan gunting atau scalpel (Azmi, 2010).

11

Referensi
Anonymous 2006. What is a Caesarean, http://www.petplace.com (15 Januari 2013) Azmi, Z. 2010.Gangguan Reproduksi Pada Ternak. http://theveterinarian23azmi.blogspot.com /2010/12/gangguan-reproduksi-padaternak.html (15 Januari 2013) Cady, R.A.2009. DystociaDifficult Calving, What It Costs and How to Avoid It. www.wvu.edu/~agexten/forglvst/Dairy/dirm20.pdf (15 Januari 2013) Erwin. 2009.Sectio Caesar pada Sapi.http://erwinklinik.blogspot.com/2009/07/sectio-caesarpada-sapi.html (15 Januari 2013) Jackson, P, G.2007.Handbook Obstetrik Veteriner Edisi ke-2. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press Prabowo, Heru S.2007. http://koranpdhi.com/buletin-edisi6/edisi6-caesarsapi.htm (15 Januari 2013) Toelihere, Mozes R.1981.Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kebau. Jakarta:UI Press Toelihere, Mozes. 1979. Ilmu Kebidanan dan Kemajiran. Penerbit Angkasa, Bandung.

12

Indikasi Caesar 1. Distokia, karena hewan betina yang belum dewasa tubuh. Hal ini sering ditemukan pada sapi potong. Dilatasi dan relaksasi cervix yang tidak sempurna disebabkan karena kelemahan uterus dengan involusi cervix dan uterus yang lanjut sebagai akibat torsio uteri, atau distokia dan emfisema foetalis di mana permulaan partus tidak diperhatikan atau induk hewan tersebut ditelantarkan selama 36-48 jam (Tillman, 1963). Tillman, H. 1968. Dystocya in Reciprocally Crossing Angus, Charolais and Hereford 2. Fetus yang terlalu besar secara abnormal. 3. Indikasi lain yang meliputi torsio uteri yang sulit ditanggulangi dengan cara lain, hidrops amnii dan allantois, stenosa vagina karena distokia yang berkelanjutan pada hewan dara karena pendarahan perivaginal yang mempersempit saluran kelamin, mumifikasi foetus, tumor, atau bekas luka pada saluran kelamin di daerah pelvis (Mozes, 1979). 4. Prognosa 5. Bila operasi dilakukan 6-18 jam sesudah permulaan perejanan dan belum banyak manipulasi, perlukaaan dan infeksi, angka mortalitas kurang dari 10%, pada kondisi lapangan angka mortalitas dapat mencapai 15%. Apabila operasi dilakukan 18-36 jam sesudah pemulaan stadium kedua partus, angka mortalitas mencapai 10-30%. Angka mortalitas meningkat menjadi 30-50% atau lebih jika distokia telah berlangsung lebih dari 36 jam. Pada umumnya 60-80% sapi yang pernah mengalami caesar tetap fertile dan dapat bunting lagi. Kegagalan untuk bunting pada 20-40% disebabkan karena adhesi peritoneal atau kerusakan endometrium karena metritis septic (Mozes, 1979). Lokasi Operasi Pembedahan Caesar pada hewan besar terbaik dilakukan pada hewan berdiri pada daerah flank (legok lapar) sebelah kiri karena gangguan organ viscera saat mengeksteriosasi uterus bisa minimal karena hanya berbatasan dengan rumen, sedangkan flank sebelah kanan ada omentum, juga dikhawatirkan intestinae keluar (Anonymous, 2007). Pada hewan yang berbaring juga dapat dilakukan dimana lokasi operasinya adalah ventrolateral, paramedian, median dekat linea alba dan median pada linea alba, operasi caesar pada hewan yang berbaring terlihat lebih mudah bila dilihat dari gerakan hewan pada waktu operasi yang sangat terbatas. Akan tetapi usaha membaringkan hewan dan kekurang tepatan tempat penyayatan dan lokasi uterus bunting di dalam abdomen cukup menyulitkan prosedur operasi (Mozes 1979).

13

También podría gustarte

  • Laporan UP1
    Laporan UP1
    Documento11 páginas
    Laporan UP1
    Nilam Kusumastuti
    Aún no hay calificaciones
  • Sianida 1
    Sianida 1
    Documento6 páginas
    Sianida 1
    Hani Collect
    Aún no hay calificaciones
  • UP5BLK16
    UP5BLK16
    Documento9 páginas
    UP5BLK16
    Hani Collect
    Aún no hay calificaciones
  • PP 1
    PP 1
    Documento2 páginas
    PP 1
    Deden van D'gazzpooll
    Aún no hay calificaciones
  • PP 2
    PP 2
    Documento2 páginas
    PP 2
    Yudha Yoga
    Aún no hay calificaciones
  • Laporan UP1
    Laporan UP1
    Documento11 páginas
    Laporan UP1
    Nilam Kusumastuti
    Aún no hay calificaciones
  • Blok15 - Up6
    Blok15 - Up6
    Documento8 páginas
    Blok15 - Up6
    Hani Collect
    Aún no hay calificaciones
  • 2 Enterobakteria
    2 Enterobakteria
    Documento43 páginas
    2 Enterobakteria
    Hani Collect
    Aún no hay calificaciones