Está en la página 1de 14

ASW AJA DALAM RUANG LINGKUP DAN TRADISI NU SETTING SOSIAL, POLITIK, EKONOMI YANG MELANDASI LAHIRNYA NU

Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) adalah hasil dari proses sejarah yang sangat panjang, yang sebelumnya sudah ada berbagai embrio menjelang kelahirannya. Embrio-embrio tersebut adalah: 1. Pada bidang ekonomi, kalangan ulama-ulama NU sudah memikirkan jauh sebelum lahirnya bayi Nahdlatul Ulama dengan membentuk mata rantai, jaringan saudagar santri yang disebut dengan Nahdlatut Tujjar pada tahun 1918. Kelahirannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda dan para pengusaha Cina. 2. Pada bidang politik adalah dengan menggalang tokoh-tokoh nasional dan lokal pada waktu itu untuk turut serta membangun kesadaran kebangsaan melalui pendidikan, maka muncullah Nahdlatul W athan pada tahun 1916 yang dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang sangat pesat. 3. Pada bidang intelektual dan diskusi pemikiran telah lahir Taswirul Afkar pada tahun 1922, meskipun Taswirul Afkar ini pada pase selanjutnya melebur menjadi lembaga pendidikan bergabung bersama Nahdlatul Wathan, tetapi dari hasil diskusi gagasan dan pemikirannya cukup mempengaruhi dalam membangkitkan kesadaran nasionalisme rakyat. 4. Lahirnya Nahdlatul Ulama adalah mata rantai dari perjuangan panjang W ali Songo, dimana W ali Songo menyebarkan Islam melalui cara-cara persuasif melalui pendekatan kebudayaan ( asimilasi budayabukan dengan kekerasan ) seperti penyebaran Islam di berbagai belahan dunia lainnya. Nahdlatul Ulama menjadi besar karena kemampuannya dalam mengakomodir dan mengapresiasi kebudayaan lokal dan menjadikannya sebagai basis kekuatan kebudayaan dan tradisi bangsa. 5. Lahirnya Nahdlatul Ulama adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap ideologi trans-nasional W ahabi yang hendak menyeragamkan ideologi tersebut ke seluruh penjuru dunia dan menjadikan Saudi Arabia sebagai satusatunya pusat kekhalifahan Islam. Secara bahasa, ada tiga kata yang membentuk istilah Ahlussunnah wal Jamaah; 1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut. 2. Al-Sunnah,yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW . Maksudnya, semua yang datang dari Nabi, berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi Muhammad SAW ( al-Bari juz XII, hal. 245) Fath , 3. Al-Jamaah, yakni apa yang disepakati oleh oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakr, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Kata al-Jamaah ini diambil dari sabda Rasulullah SAW Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jamaah (kelompok yang menjaga kebersamaan). (HR. Al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/7778) yang nilainya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi). Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (471-561 H /1077-1166 M) juga menjelaskan: AlSunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jamaah adalah sesuatu yang

14

telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua). (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 800). Lebih jelas lagi, Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asyari (1287-1336 H/ 1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadah at-Taliqat (hal. 23-24) sebagai berikut: Adapun Ahlussunnah wal Jamaah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi Muhamad SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafii, Maliki dan Hambali. Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejaklangkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental ( ushul ) maupun divisional ( ) . Sebagai bandingan Syiah. Di antara mereka ada yang furu disebutSalaf,yakni generasi awal mulai dari para Sahabat, Tabiin dan Tabiut Tabiin, dan ada juga yang disebut Kholaf yaitu generasi yang datang , kemudian. Di antaranya ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Di antara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujaddidun) dan di antaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun)Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam. . ASW AJA dan Tradisi Berfikih Kalau pada masa Asyariyyah dan Maturidiyyah perdebatan ASW AJA lebih banyak pada persoalan teologi, maka pada fase munculnya jamiyyah Nahdlatul Ulama perdebatan ASW AJA lebih pada persoalan fiqih (persoalan furu) termasuk bagian di dalamnya adalah persoalan khilafiyah (variable-variable furu). Secara definisi ilmu fiqih adalah: Ilmun bi al-ahkam al-syariyyah al-amaliyyah al-muktasabu min adillatiha al-tafsiliyyah , (fiqih adalah ilmu hukum-hukum syara yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci). Definisi ini mengandung tiga substansi dasar yang sangat krusial, ilmu pertama, fiqih adalah ilmu yang paling dinamis karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosialafalul mukallafinyang selalu berubah dan kompetitif. ( ) Kedua, ilmu fiqih sangat rasional, mengingat ia adalah iktisabi(ilmu hasil kajian, ilmu analisis, penelitian, generalisasi, konklusiasi). Di sini terjadi kontak sinergis antara sumber transendental ( ) dan rasionalitasmujtahid Ketiga, fiqih adillah ( ). adalah ilmu yang menekankan pada aktualisasi, action atau bisa dikatakan real , amaliyah, bersifat praktis sehari-hari. Fiqih juga harus berhubungan erat dan sinergis dengan problematika manusia, karena fungsi fiqih adalah mengarahkan, mendorong, dan meningkatkan perilaku manusia agar sesuai dengan tuntutan agama. Perilaku manusia tentu tidak terbatas pada wilayah mahdhah ibadah yang sangat terbatas, namun juga mencakup aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, kependudukan dan sosial tersebut. Fiqih harus tampil menjadi solusi atas berbagai problem sosial tersebut. Tradisi berfikih NU mengukuti empat madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal

14

ASW AJA dan Tradisi Tasawwuf Kemunculan tasawuf bukan baru terjadi pada generasi mutaakhirin, tetapi sudah ada pada zaman Rasulullah SAW . Bedanya, istilah ke-tasawuf-an baru dikenal pada generasi mutaakhirin, sementara pada masa Rasulullah istilah ketasawuf-an belumlah dikenal, melainkan yang disebut ke-zuhud-an. Dalam tradisi NU, ada empat puluh lima (45) Thariqat Mutabarah (Tarekat yang diakui dan dianggap pegangan), dan dianggap sanadnya muttashil (bersambung) ke rasulullah SAW , yaitu; 1) Rumiyyah, 2) Rifaiyyah, 3) Sadiyah, 4) Bakriyah, 5) Justiyah, 6) Umariyah, 7) Alawiyah, 8) Abbasiyah, 9) Zainiyah, 10) Dasuqiyah, 11) Akbariyah, 12) Bayumiyah, 13) Malamiyah, 14) Ghaibiyah, 15) Tijaniyah, 16) Uwaisiyah, 17) Idrisiyah, 18) Samaniyah, 19) Buhuriyah, 20) Usyaqiyah, 21) Kubrawiyah, 22) Maulawiyah, 23) Jalwatiyah, 24) Baerumiyah, 25) Ghazaliyah, 26) Hamzawiyah, 27) Haddadiyah, 28) Matbuliyah, 29) Sunbuliyah, 30) Idrusiyah, 31) Utsmaniyah, 32) Syadziliyah, 33) Syabaniyah, 34) Kalsyaniyah, 35) Khadhiriyah, 36) Syathariyah, 37) Khalwatiyah, 38) Bakdasyiyah, 39) Syahrawardiyah, 40) Ahmadiyah (Thariqah), 41) Isawiyah Gharbiyah, 42) Thuruqi Akabiril Auliya, 43) Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, 44) Khalidiyah wa Naqsyabandiyah, 45) Ahli Mulazamat al-Quran was Sunnah wa Dalailil Khairati wa Talimi Fathil Qaribi aw Kifayat al-Awami. Thariqat-thariqat tersebut dijadikan pegangan dan rujukan oleh organisasi Jamiyyah Ahli Thariqah al-Mutabarah an-Nahdliyah, Organisasi Tarekat seIndonesia, yang berada di bawah payung organisasi Nahdlatul Ulama. NU dan W awasan Strategis Konsepsi Ahlussunnah wal Jamaah (ASW AJA) yang telah diintegrasikan ke dalam tubuh Nahdlatul Ulama dan dijadikannya sebagai pedoman, dalam perkembangannya bukan hanya melandasi sebatas persoalan-persoalan keagamaan (baik itu menyangkut aqidah maupun masalah-masalah fiqihiyyat) tetapi lebih dari itu menjadi landasan dalam bersikap, bertindak, berpikir dan beragama. Dalam beberapa kali Muktamar NU, ASW AJA selalu menjadi pembahasan yang sangat hangat dan menarik, bahkan forum-forum kaum muda NU non-struktural (mereka adalah anak-anak muda NU yang berada di jalur kultural) selalu menyita perhatian dan menjadikannya topik-topik diskusi yang menarik. Pembahasan yang cukup menghangat adalah apakah ASW AJA ini sebagai teologi-dogmatik ataukah sebagai , Manhajul Fikr Manhajun Nahdlah atau , , mungkin sebagai Harakah Cukup menarik mencermati berbagai pertanyaan KH. ? A. Mustofa Bisri (Gus Mus), bagaimana sikap ASW AJA dalam kehidupan seharihari? Bagaimana ASW AJA dalam berpolitik, dalam berekonomi dan berbudaya? Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ASWAJA diartikan sangat sederhana sekali, baik itu oleh kalangan para dai-dai NU; orang NU yang berhaluan ASW AJA adalah yang mengikuti salah satu dari empat madzhab, yang bertasawuf mengikuti Thariqat Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali, yang suka tahlilan, barjanzian, ziarah kubur, manakiban, qunutan, tarawih 20 rakaat. Kekhawatiran ini bisa dipahami, karena memang Nahdlatul Ulama dari awal pendiriannya, termasuk dalam Qanun Asasi-nya KH. Hasyim Asyari tidak

14

menyebutkan secara jelas mengenai konsepsi ASW AJA, yang dijelaskan hanya Madzhab al-Arbaah (madzhab yang empat), selebihnya, tidak ada rumusan baik dalam pergaulan sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Tafsiran-tafsiran ASW AJA berikutnya dilandaskan pada nilai-nilai, manhajul fikr, sehingga menjadi rumusan yang hadir seperti sekarang ini. Pelembagaan ASW AJA sehingga menjadi seperti sekarang ini, disusun setelah Mbah Hasyim wafat, pada eranya KH. Bisyri Samsuri yang kemudian disistematisir lagi pada eranya KH. Achmad Siddiq. Karena dari awalnya ASWAJA bukan sebagai lembaga, hanya sebagai landasan berfikir dan landasan bergerak, maka lebih tepat lagi kalau disusun ASW AJA sebagai manhajul harakah yang akan berfungsi untuk menggerakkan roda jamiyyah dan jamaah NU. Harus dipahami, bahwa ASW AJA dalam tubuh NU selama ini masih menjadikan NU stagnan dengan segala potensinya yang ada, baik itu potensi ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dari banyak potensi ini semuanya belum menggerakkan NU menjadi sebuah organisasi yang solid, rapih dan sejahtera. Selama ini yang menjadikan NU mengakar adalah karena adanya ikatan-ikatan tradisional yang semuanya tidak terlepas dari hubungan guru-murid maupun ulama-rakyat. Sistem patronase kepemimpinan ulama inilah yang menguatkan kelembagaan ASWAJA dalam masyarakat NU. PBNU pernah melakukan rumusan-rumusan ASW AJA dalam empat wawasan strategis dalam Muktamar NU ke-27 No. 002/MNU/1984, yaitu: wawasan tentang ke-NU-an sendiri, wawasan tentang ke-Islam-an, wawasan tentang ke-Indonesiaan. Dan wawasan tentang ke-Semesta-an (universalitas = internasionalitas = seluruh kemanusiaan). Empat wawasan strategis inilah yang coba menghadirkan NU pada setiap masa dan dengan wawasan inilah NU masih dianggap sebagai organisasi massa Islam yang moderat, meskipun anggapan ini terkadang ada untungnya tetapi juga ada ruginya. Untungnya adalah dengan dianggapnya NU sebagai organisasi yang moderat maka percaturan politik ekonomi dan sosial nasional tetap harus melibatkan NU, tetapi nilai ruginya adalah dengan anggapan ini menjadikan NU selalu berada pada pihak yang dikorbankan, baik oleh negara, pemilik modal maupun kekuatan jaringan internasional.

14

Aswaja dari Madzhabi ke Manhaji Ada beberapa konsep - konsep yang beberapa di antaranya pernah menjadi keputusan dalam Muktamar dan Munas NU, seperti Khittah Nahdliyah, Mabadi Khaira Ummah, Fikrah Nahdliyah dan Maslahah Ummah. Tiga konsep dari keempat konsep tersebut menjadi keputusan Nahdlatul Ulama (Khittah Nahdliyah merupakan keputusan Muktamar NU ke 26, Mabadi Khaira Ummah merupakan keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1992, Fikrah Nahdliyah merupakan keputusan Msyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 2006), sementara Maslahah Ummah belum menjadi keputusan Muktamar NU, hanya saja persoalan kemaslahatan ummah sudah ada rumusan dari beberapa tokoh-tokoh NU. Adanya konsep-konsep ini menurut penulis adalah sebagai wujud dari transformasi dan internalisasi nilai-nilai ASW AJA agar lebih dapat dipahami, dan bagi warga Nahdlatul Ulama dapat menjadi panduan dalam berfikir dan bertindak. Pada kenyataannya konsep-konsep ini bukan hanya sebatas menjelaskan pada aturan-aturan keagamaan, tetapi juga menyentuh pada persoalan kebudayaan, kebangsaan, politik, dan ekonomi. Hanya saja rumusanrumusan ini terkadang tidak disertai dengan turunan konsep yang utuh sehingga menjadi program NU yang aplikatif. Sebagai sebuah organisasi massa yang besar, NU dalam pengambilan segala keputusannya memang cenderung sangat hati-hati, selalu dipikirkan akibat, resiko dan maslahatnya. Keputusannya selalu mendasarkan pada teks-teks keagamaan, baik itu dari al-Quran, al-Hadits, al-Qiyas, al-Ijma, Qawaid Ushul Fiqh, Istihsan, dan metodologi-metodologi lainnya. Maka konsep-konsep strategis yang diputuskan NU seyogyanya menjadi panduan dan pegangan kita untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan alur dari madzhabi ke manhaji adalah sebuah landasan konsepsional dan teoritis, dimana madzhab adalah aliran yang di dalamnya memuat seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai, norma-norma, metodologi, dan dalam prakteknya sudah diamalkan oleh seluruh warga NU dengan mengikuti madzhab teologi, madzhab fiqih, dan madzhab tasawuf. Sementara manhaji adalah sebuah konsep metodologis yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan tuntutan zaman, dalam hal ini perubahan-perubahan ini tidak sebatas pada persoalan Fiqih-Ushul Fiqihnya saja, tetapi juga harus mampu mengembangkan fiqih-fiqih sektoral, detail seperti fiqih perburuhan, pertambangan, perempuan, fiqih trafficking fiqih nelayan, fiqih agraris, dan lain, lain. Tetapi fiqih-fiqih sektoral ini sekali lagi, tidak terlepas dari konteks memperkuat Jamiyyah Nahdlatul Ulama, dan bukan sebaliknya memperkeruh dan memporak-porandakan konsep-konsep fiqhiyyatyang sudah baku, terutam a yang sudah diamalkan oleh kalangan pesantren dan kalangan-kalangan ulama NU. Apa yang telah tersusun dalam madzhab teologi, fiqih dan madzhab tasawuf sudah memuat aturan yang sudah baku, maka yang kita kembangkan dalam hal ini hanya menyangkut persoalan-persoalan fiqih baik itu pada persoalan kaidah ushul fiqih maupun substansi fiqih dengan tetap melandaskan pandangan intinya pada ketentuan yang sudah baku.

14

Banyak persoalan-persoalan yang dihadapi umat saat ini membutuhkan penyelesaian dengan cepat dan tepat yang bukan hanya berkutat pada persoalan ubudiyah saja, melainkan pada aspek penataan keadilan ekonomi dan kesejahteraan. Bagaimana menyelesaikan sengketa buruh-majikan dalam sebuah kasus perusahaan dalam perspektif fiqih, bagaimana fiqih menyusun konsep-konsep keadilan ekonomi masyarakat kecil yang saat ini dilanda berbagai kesulitan ekonomi karena dihadapkan pada krisis yang berkepanjangan dan pasar yang tidak berpihak, bagaimana penyelesaian para TKW /TKI yang tidak bisa diselesaikan oleh negara, sementara negara dan kalangan pengusaha PJTKI swasta hanya memeras keringat para TKW/TKI tersebut, bagaimana menyelesaikan persoalan traffickingperempuan, anak, dan apa konsep-konsep konkrit menurut fiqih, termasuk bagaimana menyelesaikan kemelut politik dalam tubuh partai politik seperti PKB dan jamiyyah Nahdlatul Ulama. Ahlussunnah wal Jamaah (ASWAJA) ditantang untuk bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Khittah NU adalah landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU, secara individual maupun secara organisatoris. Landasan itu adalah paham Ahlussunnah wal Jamaah yang diterapkan menurut kondsi kemasyarakatan Indonesia. Khittah ini juga digali dari sejarah perjuangan NU. Muatan isi Khittah adalah ; Dasar-dasar paham keagamaan NU, Sikap Kemasyarakatan NU, Perilaku keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, Ikhtiar-ikhtiar yang sudah dilakukan NU, Fungsi organisasi dan pelayanan kepemimpinan ulama, Hubungan NU dan Kehidupan bernegara. Nilai-nilai Khittah sendiri sebenarnya menem ukan momentumnya saat ini, pertama adanya kampanye perlawanan terhadap ideologi , transnasionalyang saat ini sudah merasuk ke dalam sendi-sendi bangsa Indonesia,, adanya kedua krisis kebangsaan yang cukup akut, dimana kesadaran kebangsaannya mulai luntur, Pancasila tidak lagi dijadikan landasan atau falsafah hidup dan bernegara, pelaksanaan otonomi yang berlebihan sehingga hampir-hampir kita tidak hafal lagi berapa jumlah propinsi di Indonesia, berapa jumlah kabupaten atau kota di seluruh Indonesia, dan berapa jumlah lembaga-lembaga ataupun komisi tinggi negara. Kaitannya dengan pengamalan Khittah saat ini adalah sudah saatnya Nahdlatul Ulama dan organisasi underbow -nya merum uskan dan menentukan langkahlangkah strategis dalam menjaga keutuhan NKRI dan juga mempertahankan kenusantara-an kita yang saat ini sudah terkoyak-koyak dengan adanya berbagai proyek internasionalisasi kasus-kasus yang terjadi di dalam negeri. Sekali lagi, bahwa Khittah adalah pedoman yang merupakan induk dari konsep-konsep turunannya; Mabadi Khaira Ummah, Fikrah Nahdliyah dan berbagai konsep Maslahah ummah yang harus diimplementasikan dan dijadikan rujukan dengan tetap menggunakan asas-asas kepeloporan, kemandirian dan kesinambungan. Artinya, bagaimana dengan Khittah NU mampu menjadi garda depan dalam merespon setiap perkembangan zaman, bukan sebagai kuda tunggangan kekuasaan atau kepentingan kelompokkelompok lain. Meminjam istilah Ahmad Baso, NU harus menjadi bukan Fail Mafulmenjadi subyek bukan obyek.

14

Sementara Konsepsi Dasar Mabadi Khaira ummah adalah sebuah konsep yang berangkat dari kegagalan membangun perekonomian NU, penataan organisasi dan memperkuat pola silaturahmi antara warga NU dan para pimpinan NU. Pada mulanya, prinsip dasar Mabadi Khaira Ummah hanya mengenal tiga prinsip dasar, yaitu; as-Sidq(kejujuran), al-Amanah wal W afa bil Ahdi (dapat dipercaya dan teguh memegang janji) dan at-Taawun (gotong royong), tetapi dalam perjalanannya, penjabaran atas konsep ini semakin sistematis dan terumuskan, sehingga terjadi penambahan prinsip menjadi lima prinsip, yaitu: ,A als-Sidq Amanah wal W afa bil Ahdi, al-Adalah, at-Taawun, dan Istiqomah. Lima nilai di atas tersebut jika dilaksanakan, maka akan menjadi seorang muslim yang sempurna, dimana seorang muslim yang sempurna adalah yang terdapat kesesuaian antara ucapan, pikiran dan tindakan. Segala perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berkesinambungan, jangan setengahsetengah, diperlukan adanya totalitas dan kesungguhan, karena itulah kunci dari keberhasilan. Diperlukan sebuah nilai ketulusan, keikhlasan, dan keberanian untuk memulai sesuatu yang diyakini benar dan akan bermanfaat buat diri sendiri dan masyarakat. Keberadaan Fikrah Nahdliyyah sendiri dilandaskan pada beberapa hal, pertama, adanya landasan historis mengenai berdirinya Nahdlatul Ulama, bahwa berdirinya NU adalah respon terhadap adanya pertarungan ideologi, antara ideologi Islam tradisional dan Islam modernis, kedua, banyaknya kejadiankejadian yang berkembang, dimana banyak kelompok-kelompok atau individuindividu yang mengatasnamakan NU tetapi sikap, pikiran dan tindakannya sudah tidak lagi mencerminkan kepentingan jamiyyah NU. Oleh karena itu Fikrah Nahdliyyah ini adalah semacam panduan yang dinetralisasi dari nilai-nilai ASW AJA NU. Yang dimaksud dengan Fikrah Nahdliyyah adalah kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang dijadikan landasan berfikir Nahdlatul Ulama (Khittah Nahdliyyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlah-ummah (perbaikan umat). Khashaish (ciri-ciri) Fikrah Nahdliyyah adalah: 1. Fikrah Tawassuthiyah(pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap Tawazun (seimbang) dan Itidal (adil) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak atau ifrath. tafrith 2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara berfikir, dan budayanya berbeda. 3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih al-ishlah ila ma baik ( huwa al-ashlah ). 4. Fikrah Tathowwuriyah(pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. 5. Fikrah Manhajiyyah(pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berfikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.

14

Selain Fikrah Nahdliyah yang sudah menjadi ketetapan Nahdlatul Ulama, barangkali penulis juga perlu mengemukakan beberapa pokok-pokok fikiran KH. Achmad Siddiq yang berkaitan dengan Fikrah NahdliyyahAchmad . KH. Siddiq merumuskanLim a Dalil Perjuangan Lim a Dalil Hukum hasil dan , rumusan ini ditujukan untuk; 1) Mempersamakan alam pikiran di dalam NU dan menciptakan norma di dalam menilai dan menanggapi segala persoalan kehidupan, 2) Menjaga alam pikiran NU dari penetrasi modernisme, westernism , dan aliran-aliran lain yang merusak kemurnian Islam dan e kepribadian NU, 3) Memelihara dan mengembangkan watak, kepribadian NU dan Khittah NU. Pokok-pokok pikiran KH. Achmad Siddiq ini muncul pada masa itu, dimana westernisasi kolonialisasi dan komunism e masih menggejala di berbagai , belahan negara muslim di dunia termasuk Indonesia dan khususnya kepentingannya dalam memperkuat jamiyyah Nahdlatul Ulama. Meskipun Fikrah Nahdliyah versi KH. Achmad Siddiq ini belum resmi menjadi keputusan NU, tetapi sebagian rumusannya dipakai oleh kalangan NU bahkan termasuk dalam Fikrah Nahdliyah hasil keputusan Munas NU Surabaya yang menambahkan amar maruf nahi munkar dalam klausulnya. KH. Achmad Siddiq menyusun Fikrah Nahdliyah berangkat dari sejarah modernisme barat, mencakup watak, arah dan hakikatnya, dengan cara: 1. Menelaah latar belakang perkembangannya. 2. Kesejajarannya dengan kepentingan penyebaran agama Kristen. 3. W atak imperialismenya. 4. Strategi dan skenario imperialisme barat dalam menghancurkan Islam. 5. Proyek-proyek imperialism e yang bersifat internasional yang dapat menghancurkan umat Islam dengan cara mendirikan suatu perguruan tinggi dengan namaal-Kulliyyah al-Injliziyyah al-Syarqiyyah al-Muhammadiyah dan membina seorang yang bernama Mirza Ghulam Ahmad, yang kemudian mendirikan gerakan AHMADIYAH QADIAN. 6. Imperialism e barat melakukan pembinaan terhadap Orang-orang Islam, salah satunya adalah MUSTHAFA KAMAL AT-TATURK yang berhasil menguasai Turki pada tahun 1924 dan mensekulerkan Turki. Bahwa modernisme barat selalu berusaha untuk melemahkan jiwa Islam, fanatisme Islam, nilai-nilai ajaran Islam, semangat jihad Islam, harga diri umat Islam, menimbulkan dan mengembangkan mental pemujaan terhadap barat dan segala yang datang dari barat, dengan perkataan lain, gejala-gejala yang lebih berbahaya sekarang ini bagi kita umat Islam Indonesia dan umat Nahdliyyin khususnya ialah W esternisasi-modernisme terutama di bidangculture , (kebudayaan, peny civilitation (peradaban, peny dan pemikiran, dan ), ) Materialism e-Marxisme-Komunisme bidang filsafat, politik dan ekonomi. , di Pembentengan terhadap umat Islam dan Front Ahlussunnah wal Jamaah khususnya dari bahaya-bahaya ini, haruslah dilakukan dengan pemberian pengertian dan kesadaran seluas-luasnya kepada arah, watak dan hakikat modernismewesternism e yang jelas ingin melemahkan Islam dan umatnya. Dan pemberian Pedoman Berfikir Positif ala Islam, ala Ahlussunnah wal Jamaah, ala Nahdlatul Ulama ( Fikrah Islamiyah, Fikrah Sunniyah, Fikrah Nahdliyah ). Sikap yang harus diambil oleh kalangan generasi ASW AJA adalah:

14

1. MENILAI MASA LALU, berarti: a) Mempertahankan nilai-nilai positif, hasil pemikiran atau ijtihad generasi yang lalu (sahabat dan ulama mujtahidin), b) Memurnikannya dari pengaruh atau percampuran unsur-unsur khurafat, israiliyyat dan nashraniyat,adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam. 2. MENGEMBANGKAN MASA KINI , berarti: a) Menerima hal-hal baru yang bermanfaat yang tidak bertentangan dengan Islam, serta mengembangkannya ke arah yang bermanfaat dan sesuai dengan ajaran Islam, b) Menolak dan mencegah hal-hal baru yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam. 3. MERINTIS MASA DEPAN, berarti: a) Menciptakan konsepsi dan inisiatif baru di bidang teknik perjuangan yang tidak bertentangan dengan azas dan haluan perjuangan ISLAM ALA MADZHABI AHLUSSUNNAH W AL JAMAAH, b) Mendorong untuk berinisiatif dan berikhtiar untuk mengembangkan dan memenangkan azas dan haluan perjuangan tersebut, c) Mengadakan usaha atau langkah preventif untuk menutup atau mempersempit jalan berkembangnya hal-hal yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam. Lima dalil perjuangan adalah patokan-patokan pikiran di dalam menanggapi soal perjuangan di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan lain-lain, penyusunan program perjuangan, pelaksanaan program perjuangan. Tanggapan, sikap dan program Nahdlatul Ulama tentang masalah-masalah perjuangan didasarkan atas prinsip-prinsip, patokan atau kaidah yang disebut Lima Dalil Perjuangan, yaitu: Jihad fi Sabilillah, Izzul Islam wal Muslimin, At-Tawassuth atau al-Itidal atau at-Tawazun, Saddudz Dzariah, Amar Maruf-Nahi Munkar. Lima dalil hukum adalah patokan-patokan fikiran yang dipergunakan imamimam Mujtahid di dalam berijtihad atau beristinbath tentang masalahmasalah hukum agama Islam, terutama oleh Imam-imam madzhab Syafii, antara lain ; Segala sesuatu dinilai menurut niatnya, Bahaya harus disingkirkan, Adat kebiasaan dikukuhkan, Sesuatu yang sudah yakin tidak boleh dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, Kesukaran (kemasyakkat -an) membuka kelonggaran. Fikrah Nahdliyah yang disusun oleh KH. Achmad Siddiq menjadi lebih detail dan sistematis, lebih jelas dimana posisi NU harus berada, meskipun akan banyak bersinggungan dengan kelompok-kelompok lain bahkan kalangan orang-orang NU sendiri yang selama ini sudah banyak keluar dari rel NU. Seperti diketahui, bahwa fakta kita hari ini adalah terjadinya arus perang pemikiran dan paradigma besar-besaran di kalangan kaum muda NU, sebagian dari mereka ada yang mengusung mati-matian isu-isu demokrasi, pluralism e, gender. Sebagian di antara mereka melakukan perlawananperlawanan naratif atau membuat pemikiran-pemikiran tandingan. Bisa jadi arus perang pemikiran ini memang sengaja diciptakan atau menjadi skenario besar dalam mencairkan dan meruntuhkan narasi-narasi yang dimiliki oleh NU. Bangunan dari narasi ini semuanya terpusat kitab kuning sebuah dari , kitab yang menjadi panduan kalangan ulama NU baik dalam pengajaran,

14

talim-talim di pesantren-pesantren, masjid-masjid, madrasah-madrasah maupun majelis talim, bahkan kitab kuningini juga menjadi rujukan dalam pengambilan hukum keagamaan di lingkungan Jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka dengan melakukan reform asikitab kuning apalagi kitab-kitab yang isi , sangat private menyangkut hubungan suami-istri dan guru-murid, yaitu kitab Uqud al-Lujain dan kitab Talim Mutaallim yang keduanya merupakan kitab rujukan di kalangan pesantren telah menimbulkan reaksi berbagai ulama NU. Jika sudah demikian, apakah NU diuntungkan dengan cara seperti ini? Ataukah kehancuran sistematis sedang melanda NU? Kiranya Fikrah Nahdliyah ini layak untuk direnungkan. Sementara untuk Persoalan Masalahah Ummah sudah menjadi perhatian kalangan ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah dari sebelum NU didirikan, hal ini sesuai dengan peran dan fungsi keberadaan ulama yang memang menjadi tempat mengadu rakyat, mengayomi dan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat sehari-hari, dari mulai persoalan tata cara beribadah, menikah, mendoakan banyak rizki, menangani kelahiran, sunatan, aqeqahan qurban, menshalati, mengkafankan dan menguburkan orang , meninggal sampai mentahlilkan orang yang sudah meninggal. Konsepsi dasar Maslahah Ummah ini berangkat dari konsep penguatan, pengembangan, fasilitasi dan memperjuangkan kepentingan umat baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan, keadilan dan kesejahteraan. Jamiyyah Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh kalangan ulama tentunya tidak bisa melepaskan diri dari fungsi ini, karena Maslahah Ummah ini juga menjadi tujuan ditegakkannya syariah Maqashid as-Syariah . Kemaslahatan sendiri adalah sebuah perintah yang mendorong kepada ajakan kebaikanamar maruf kebajikan, dan menghindari dampak buruk, ( ), dan negatif nahi munkar Salah satu ciri pemenuhan terhadap kemasalahan ( ). rakyat adalah adanya pemenuhan tiga kebutuhan pokok; pemenuhan, sandang, pangan dan papan. Ketiga kebutuhan ini adalah kebutuhan dasar setiap orang yang harus diperjuangkan, bahkan dalam perintah-perintah alQuran maupun kisah-kisah nabi dan para sahabat bahwa pemenuhan hakhak dasar ini menjadi lebih utama didahulukan ketimbang berdakwah, sebagaimana sabda Nabi Kada al-fakru an yakuna kufran, (Kefakiran : mendekatkan diri pada kekufuran). (HR. Abu Naim dari Anas). Selain tercukupinya tiga hal di atas tadi, indikator lain keberhasilan maslahah adalah apabila mampu memenuhi lima hak dasar manusia, yaitu menjadi kebebasan beragama (hifzhu al-din), melindungi keselamatan jiwa (hifzhu alnafs), menjaga keamanan harta (hifzhu al-mal), menjaga kebebasan berfikir (hifzhu al-aqli),menjaga kelangsungan keturunan dan prestise (hifzhu alnasli wa al-ird)Untuk menjaga realisasi lima hak dasar ini, Islam mempunyai . banyak instrumen. Qishas disyariatkan untuk menjaga keselamatan jiwa, orang murtad dibunuh untuk menjaga agama, zina dihukum untuk menjaga nasab, orang yang menuduh zina dihukum untuk menjaga sirik, pencuri dihukum untuk menjaga harta, dan minum-minuman dihukum untuk menjaga akal. Dasar kaidah ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW : yang Apa

14

dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka dalam pandangan Allah, hal itu juga baik. (HR. Ahmad bin Hambal) Aswaja dari Manhajul Fikr ke Manhajul Harakah Untuk mensistem atisir dan menyusun secara konsepsional dari fikroh ke harakah maka basis argumentasinya harus melandaskan pada akar-akar historis Nahdlatul Ulama dengan menyusun secara lebih sistem atis dan konsepsional gagasan-gagasan baru yang bersifat kritis, dan kontektual, diantaranya adalah; bagaimana upaya menggerakkan Trilogi NU yang pernal muncul dalam sejarah ke-NU-an; Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul W athon dan Taswirul afkar, menggerakkan wawasan strategis ke-Aswaja-an; tradisi nusantara, Menggerakkan kaum mustadhafin, Menggerakkan pribumisasi Islam dan Menggerakkan semangat kebangsaan Pertama, bahwa secara historis ASWAJA adalah sebuah proses yang lahir bukan terus menjadi tetapi terus berkembang mengikuti dinamika zaman yang selalu berubah. ASWAJA secara historis kelahirannya terbagi dalam dua fase; sebagai sebuah ajaran dan pemikiran yang sudah lahir dari masa Rasulullah SAW , hal ini dibuktikan dengan adanya hadits nabi yang menyebut kata Ahlussunnah wal Jamaah sebagai golongan umat yang akan selamat dari 72 golongan yang akan masuk neraka. Tetapi secara pelembagaan, ASW AJA mulai hadir pada masa muculnya perpecahan aliran-aliran ilmu kalam yang berujung pada munculnya perumusan ilmu-ilmu fiqih. Kedua, ASW AJA dalam lingkup dan tradisi NU menjadi sebuah konsep pelembagaan ASW AJA yang di dalamnya menyangkut rumusan fiqih, akidah, dan rumusan tasawuf. Rumusan-rumusan ini membentuk rumusan pemikiran dan gerakan. Disebut pemikiran, karena NU dengan konsep ASW AJAnya mampu mengembangkan berbagai metodologi hukum-hukum syariah yang sebelumnya tidak ada. Sementara disebut sebagai gerakan, karena ASW AJA selalu menjadi ruh pergerakan para ulama, dari mulai membuat gerakan ekonomi, gerakan politik, gerakan kebudayaan, gerakan keagamaan, gerakan pendidikan dan gerakan kebangsaan. Ketiga, dalam perjalanannya, ASW AJA Nahdlatul Ulama menjadi ruh dalam menuangkan gagasan-gagasan strategis, yang kemudian gagasan-gagasan ini juga diakui diakomodir sebagai agenda pembangunan nasional, seperti; a) dengan adanya gagasan kembali ke Khittah Nahdliyah 1926, NU berhasil membangun kemandirian organisasi, NU berhasil menjaga stabilitas pembangunan, dan NU berhasil menjadi garda terdepan dalam menyebarkan Islam rahmatan lil alamin melalui gerakan Islam damai, dan Islam kebangsaan. Dengan konsep pribumisasi Islam, NU telah menghadirkan dirinya menjadi kekuatan tradisional yang progressif, transformatif, kritis dan konstruktif. Dan pada akhirnya NU menjadi pelopor bagi terbentuknya Islam Indonesia dan menjadikannya sebagai model bagi pengembangan Islam di negara-negara muslim lainnya di dunia, dengan adanya gagasan strategis Mabadi Khaira b) Ummah, telah berimplikasi pada adanya penataan kembali struktur organsiasi NU dari mulai tingkat ranting sampai pengurus besar, membagun kembali pola komunikiasi antara NU dengan warganya dan membangun gerakan ekonomi kerakyatan, dengan adanya gagasan Fikroh Nahdliyah, NU mensistematisir c) dirinya menjadi sebuah sistem yang meberikan kerangka metodologis dan

14

solusi-solusi yang konkrit dalam memecahkan kebekuan dan kejumudan umat, d) dan dengan adanya gagasan Maslahah Ummah, NU berupaya menegaskan dirinya sebagai organisasi pemberdayaan umat dan perjuangan umat menuju umat yang sejahtera dan pelopor bagi pembangunan manusia Indonesia yang cerdas, beriman dan bertaqwa. Keem pat, dalam perkembanganya, ASW AJA harus mampu menjadi garda terdepan dalam menggerakkan sendi-sendi kebangsaan. Semuanya demi kemaslahatan, kemajuan bangsa dan kejayaan Islam. Dalam tataran ini ASW AJA harus memiliki kemampuan untuk menyusun wawasan strategis ke-ASW AJA-an yang meliputi; bagaimana tradisi ke-nusantara-an, bagaimana menggerakkan kaum mustadzafin, bagaimana menggerakkan pribumisasi Islam, dan bagaimana menggerakkan solidaritas kebangsaan. Kelim a, ASW AJA dituntut kemampuannya untuk merumuskan strategi-strategi konkrit, realistis dan visioner, dimana dalam hal ini ASW AJA dapat menjadi panduan, pedoman dan pandangan masyarakat umum, seperti halnya Madilognya Tan Malaka yang mampu menyusun gerakan nasionalisme-kiri atau Das Kapitalnya Karl Marx yang mampu menyusun pedoman gerakan komunis. Aswaja dalam Praksis Gerakan Bagaimanakah membumikan ASW AJA dalam praksis gerakan?. Pertanyaan ini menjadi penting untuk di jawab, agar ASW AJA selalu menjadi landasan dan pedoman dalam praksis kehidupan sehari-hari. Ahlussunnah wal Jamaah (ASW AJA) sebagaimana telah disebutkan dalam bab-bab awal, bukan hanya sebagai konsep teologi, melainkan juga sebagai konsep berpikir dan bergerak. Oleh karena itu, harus ada hubungan sinergis antara ajaran, landasan, sikap, pola pikiran dan tindakan sehingga manjadi satu kesatuan yang integral sebagai wujud dari pembuman ASWAJA. Dalam membumikan ASW AJA, terdapat enam (6) pola pengembangan; landasan keagamaan, konsepsi dasar, orientasi, pola ukhuwah, penduan berpikir, dan panduan bergerak :

14

I. Landasan keagam aan Berpedoman pada al-Quran, al-Hadits, Ijma dan Qiyas Memantapkan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Mengembangkan kontektualisasi dan aktualisasi fiqh Menggerakkan fungsi-fungsi ushul fiqh II. Konsepsi dasar Apresiasi terhadap tradisi-tradisi lokal Menggelorakan semangat kebangsaan III.Orientasi Melakukan penilaian-penilaian masa lalu Mempertahankan nilai-nilai positif masa lalu dan memurnikannya dari pengaruh dan pencampuran unsur-unsur khurafat, israiliyyat,dan nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam Mengembangkan masa kini Menerima hal-hal baru yang bermanfaat dan sesuai dengan islam dan mengembangkannya sesuai dengan Islam dan menolak hal-hal baru yang tidak sesuai dengan islam atau membahayakan Islam Merintis masa depan Menciptakan konsepsi-konsepsi baru yang sesuai Islam, mendorong inisiatif-inisiatif dan ikhtiar dan mengembangkan azas dan haluan perjuangan tersebut, mengadakan usaha dan langkah preventif terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Islam IV.Pola Ukhuwah Mengembangkan Mengembangkan Mengembangkan Mengembangkan pola pola pola pola ukhuwah ukhuwah ukhuwah ukhuwah Islamiyah (ke-Islama-an) Basyariyah (ke-manusia-an) wathoniyah (ke-bangsa-an) nahdliyah (ke-NU-an)

V. Panduan Berpikir Mengembangkan pola pikir Tawassuthiyah (pola pikir moderat dengan tetap mengedepankan keseimbangan dan keadilan) Mengembangkan pola pikir Tasamuhiyah (pola pikir toleran) Mengembangkan pola pikir Ishlahiyah (pola pikir reform atif) Mengembangkan pola pikir Tathowwuriyah (pola pikir dinamis) Mengembangkan pola pikir manhajiyyah (pola pikir metodologis ) VI.Panduan bergerak Mengembangkan aspek-aspek Maslahah Melakukan advokasi kebijakan, meminimalisir bahaya, menghindari kerusakan, melakukan gerakan preventif, menjadi kader pelopor, mewujudkan multi effect maslahat Melakukan pembelaan terhadap kaum Mustadhafin Melakukan pembelaan terhadap kelompok/ perorangan yang dilemahkan dan ditindas secara struktur sosial-budaya, ekonomi dan politik serta memberdayakan, memperkuat dan mengembangkan sepuluh kelompok;

14

faqir, miskin, amil, muallaf qulubuhum, riqab, gharim, fi sabilillah, ibnu sabil, sail dan mahrum , dan yatim

14

También podría gustarte