Está en la página 1de 21

Ancaman terbesar terhadap demokrasi Indonesia January 13, 2004

Email |

Print

Putus Asa, Ancaman Terbesar Demokrasi Indonesia Jakarta, Selasa Ancaman terbesar yang dihadapi keberadaan demokrasi di Indonesia saat ini adalah keputusaan terhadap demokrasi itu sendiri serta lemahnya kekuatan gerakan demokrasi dalam menghadapi kekuatan-kekuatan yang anti-demokrasi. Demikian pendapat yang dilontarkan oleh peneliti dari International Crisis Group, Sidney Jones, dan pengamat politik dari CSIS, J. Kristiadi, di Jakarta, Selasa (13/1), dalam peluncuran dan bedah buku Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto. "Ancaman terbesar mungkin perasaan putus asa terhadap demokrasi di Indonesia," kata Jones. Ia melihat kehidupan demokrasi saat ini masih hidup, walaupun tidak sehat. Dicontohkannya, ada orang yang ditangkap karena menyobek poster Megawati, juga kemunduran kebebasan pers. Juga, banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan berbagai kelompok sipil lainnya masih terjebak pada pola pikir lama, yaitu membangun perlawanan terhadap pihak antidemokrasi dari luar. Pola pikir lama itu, terjadi pada era kekuasaan mantan presiden Soeharto di bawah rejim Orde Baru yang dipimpinnya selama 32 tahun. "Tantangan yang dihadapi sekarang adalah bagaimana bisa masuk ke dalam dan mencoba mengubah dari dalam sistem-sistem yang masih buruk," katanya. Yang selama ini terjadi, menurutnya, justru kebalikannya. Sosok-sosok yang kritis dan vokal masuk ke suatu partai tertentu, namun setelah masuk kelantangan menyuarakan aspirasi demokratis justru makin menghilang. Namun demikian, ia menyatakan tidak setuju jika reformasi dianggap gagal. "Terlalu dini untuk mengatakan reformasi gagal karena kurun waktu lima tahun tidak cukup untuk memperbaiki segala kesalahan yangterjadi pada masa Soeharto," ujarnya. Senada dengan Jones, Kristiadi melihat bahwa gerakan-gerakan demokrasi yang ada saat ini belum mampu melakukan konsolidasi untuk melawan kekuatan yang disebutnya sebagai "sangat kontra demokrasi". Karena itu, seluruh gerakan demokrasi harus kembali menyusun agenda demokrasi mereka, baik dalam memperkuat konsep maupun jaringan.

"Yang diperlukan sekarang adalah strategi untuk membangun kekuatan bersama-sama untuk melawan konspirasi yang melibatkan politisi-politisi busuk yang sudah menjalin kekuatan dengan menggunakan institusi-institusi penegak demokrasi," tambahnya. Ia menganggap, ancaman terbesar terhadap demokrasi di Indonesia adalah kegagalan orang-orang yang dipercaya rakyat menjadi anggota parlemen dan pejabat publik. "Mereka gagal untuk membuktikan bahwa reformasi itu lebih bermanfaat dibandingkan masa lalu," katanya. (Ant/dna)

Artikel Cakrawala TNI AL


Current Articles | Categories | Search | Syndication

SENGKETA PERBATASAN ANTAR NEGARA DI KAWASAN ASIA PASIFIC

TAK dapat disangkal, salah satu persoalan yang dapat memicu persengketaan antar negara adalah masalah perbatasan. Indonesia juga menghadapi masalah ini, terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut dengan negara-negara tetangga.
Bila dicermati, banyak negara-negara di Asia Pasific juga menghadapi masalah yang sama. Anggapan bahwa situasi regional sekitar Indonesia dalam tiga dekade ke depan tetap aman dan damai, mungkin ada benarnya, namun di balik itu sebenarnya bertaburan benih konflik, yang dapat berkembang menjadi persengketaan terbuka. Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar negara dimaksud antara lain: a. Ketidaksepahaman mengenai garis perbatas-an antar negara yang banyak yang belum tersele-saikan melalui mekanisme perundingan (bilateral dan ). b. Peningkatan persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negaranegara yang ada di kawa-san ini, maupun dari luar kawasan. c. Eskalasi aksi terorisme lintas negara, dan gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman antar negara bertetangga. Dengan melihat berbagai faktor di atas, beberapa pengamat politik menyimpulkan bahwa, selain kawa-san Asia Tengah, Asia Timur dan Asia

Tenggara, memiliki potensi konflik yang cukup tinggi, dan hal itu tentu berdampak bagi Indonesia. Potensi konflik antar negara di sekitar Indonesia (kawasan Asia Pasific) sesungguhnya sangat bervariasi. baik sifat, karakter maupun intensitasnya. Namun memperhatikan beberapa konflik terbatas dan berinsentitas rendah yang terjadi selama ini, terdapat beberapa hal yang dapat memicu terjadi-nya konflik terbuka berintensitas tinggi yang dapat berkembang menjadi konflik regional bahkan inter-nasional. Faktor potensial yang dapat menyulut per-sengketaan terbuka itu antara lain: a. Implikasi dari internasionalisasi konflik internal di satu negara yang dapat menyeret negara lain ikut dalam persengketaan. b. Pertarungan antar elite di suatu negara yang karena berbagai faktor merambat ke luar negeri. c. Meningkatnya persaingan antara negara-negara maju dalam membangun pengaruh di kawa-san ini. Konfliknya bisa berwujud persengketaan antar sesama negara maju, atau salah negara maju dengan salah satu negara yang ada di kawasan ini. Meski masih bersifat samar-samar, namun indikasinya dapat dilihat pada ketidaksukaan Jepang terhadap RRC dalam soal penggelaran militer di perairan Laut Cina Selatan yang dianggap menggangu kepentingan nasional Jepang. Sedangkan dalam konteks Indonesia, ASEAN, dan negaranegara maju, gejala serupa yang dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan (conflict of interesf) juga tercermin pada penolakan Amerika Serikat terhadap usul Indonesia dan Malaysia mengenai pembentukan "Kawasan Bebas Nuklir Asia Tenggara" (South East Asia Nuclear Free Zone) beberapa tahun lampau. d. Eskalasi konflik laten atau konflik intensitas rendah (low intensity) antar negara yang berkem-bang melampaui ambang batas toleransi keamanan regional sehingga menyeret pihak ketiga terlibat didalamnya. Ini biasanya, bermula dan "dispute territorial" antar negara terutama mengenai garis batas perbatasan antar negara.

Sengketa Perbatasan
Hingga saat ini banyak negara menghadap persoalan perbatasan dengan tetangganya yang belum terselesaikan lewat perundingan. Bahkan kebiasaan menunda penyelesaian masalah justru menambah rumit persoalan. Beberapa persoalan perbatasan dan "dispute territorial" yang cukup mengusik harmonisasi antar negara maupun ke-amanan kawasan, antara lain; a. Sengketa Indonesia dan Malaysia mengenai garis perbatasan di perairan laut Sulawesi menyusul perubahan status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan,

dan garis perbatasan di pulau Kalimantan (salah satunya mengenai blok Ambalat); b. Perbedaan pendapat dan kepentingan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste di perairan Celah Timor; c. Konflik historis antara Malaysia dan Filipina mengenai klaim Filipina atas wilayah Kesultanan Sabah Malaysia Timur; d. Konflik antara Malaysia dan Singapura tentang pemilikan Pulau Batu Putih (Pedra Branca) di Selat Johor; e. Ketegangan sosial politik laten Malaysia dan Thailand di wilayah perbatasan; f. Perbedaan pendapat antara Malaysia dan Brunei mengenai batas wilayah tak bertanda di daratan Sarawak Malaysia Timur serta batas wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif; g. Perbedaan pendapat antara Malaysia dan Vietnam mengenai batas wilayah di perairan lepas pantai dari masing-masing negara; h. Konflik berlarut antara Myanmar dan Bangladesh di wilayah perbatasan; Ketegangan antara Myanmar dan Cina mengenai batas wilayah kedua negara; j. Sengketa Myanmar dan Thailand, mengenai perbatasan ke dua negara; k. Sengketa berlaRut antara Cina dengan India mengenai perbatasan kedua negara; l. Konflik antara Vietnam dan Kamboja di wilayah perbatasan kedua negara; m. Sengketa antara Cina dan Vietnam tentang pemilikan wilayah perairan di sekitar Kepulauan Paracel; n. Konflik laten antara Cina di satu pihak dengan Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam di lain pihak sehubungan klaim cina atas seluruh perairan Laut Cina Selatan; o. Konflik intensitas rendah (Low intensity) antara Cina dengan Filipina, Vietnam dan Taiwan mengenai status pemilikan wilayah perairan Kepulauan Spratly; p. Konflik antara Cina dengan Jepang mengenai pemilikan Kepulauan Senaku (Diaoyutai);

q. Sengketa antara Cina dengan Korea Selatan mengenai pemilikan Liancourt Rocks (Take-shima atau Tak do) dibagian selatan laut Jepang; r. Konflik antara Cina dengan Korea Selatan mengenai batas wilayah perairan teritorial; s. Sengketa berlarut antara Rusia dengan Jepang mengenai status pemilikan Kepulauan Kuril Selatan; t. Sengketa antara Cina dengan Taiwan sehubungan rencana reunifikasi seluruh wilayah Cina oleh RRC; u. Sengketa India dan Pakistan mengenai status wilayah Kashmir. Memperhatikan anatomi persengketaan di atas, maka tampak sebagian besar terjadi pada garis per-batasan di perairan laut.

Indonesia dan Kepentingan Internasional


Indonesia tentu patut mewaspadai perkembangan yang terjadi di sekitarnya terutama di ka-wasan Asia Pasific. Sebab konsekuensi letak geo-grafis Indonesia dipersilangan jalur lalulintas internasional, maka setiap pergolakan berapa pun kadar intensitas pasti berpengaruh terhadap Indonesia. Apalagi jalur suplai kebutuhan dasar terutama minyak beberapa negara melewati perairan Indonesia. Jalur pasokan minyak dari Timur Tengah dan Teluk Persia ke Jepang dan Amerika Serikat, misalnya, sekitar 70% pelayarannya melewati perairan Indonesia. Karenanya sangat wajar bila berbagai negara berkepentingan mengamankan jalur pasokan minyak ini, termasuk di perairan nusantara, seperti, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar, Selat Ombai Wetar, dan lain-lain. Pasukan Beladiri Jepang secara berkala dan teratur mengadakan latihan operasi jarak jauh untuk mengamankan area yang mereka sebut sebagai "life line," yakni, radius sejauh 1000 mil laut hingga menjangkau perairan Asia Tenggara. Hal yang sama juga dilakukan Cina, Australia, India, termasuk mengantisipasi kemungkinan terjadi penutupan jalur-jalur vital tersebut oleh negara-negara di sekitarnya (termasuk Indonesia.) Keberadaan Indonesia dipersilangan jalur pelayaran strategis, memang selain membawa keberuntungan juga mengandung ancaman. Sebab pasti dilirik banyak negara. Karena itu sangat beralasan bila beberapa negara memperhatikan dengan cermat setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia. Australia misalnya, sangat kuatir bila Indonesia mengembangkan kekuatan angkatan laut, yang pada gilirannya dapat memperketat pengendalian efektif semua jalur pelayaran di perairan nusantara.

Patut diingat, penetapan sepihak selat Sunda dan selat Lombok sebagai perairan internasional oleh Indonesia secara bersama-sama ditolak oleh Amerika Serikat, Australia, Canada, Jerman, Jepang, Ing-gris dan Selandia Baru. Tentu apabila dua selat ini menjadi perairan teritorial Indonesia, maka semua negara yang melintas di wilayah perairan ini harus tunduk kepada hukum nasional Indonesia, tanpa mengabaikan kepentingan internasional. Hal yang patut dicermati adalah kenyataan bahwa wilayah Indonesia yang saat ini terbelit konflik sosial berkepanjangan (manifes maupun latent) umumnya adalah daerah yang berada dijalur pelayaran internasional, seperti, Bali, Lombok, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Riau, Aceh, Papua dan lain-lain. Kenyataan ini patut diwaspadai karena tak tertutup kemungkinan adanya pihak luar yang bermain di dalam konflik yang terjadi di beberapa daerah ini. Selain itu sebab jika Indonesia gagal mengatasinya, dan konflik yang terjadi berkembang menjadi ancaman bagi keselamatan pelayaran internasional, maka berdasarkan keten-tuan internasional, negara asing diperbolehkan menu-runkan satuan militernya di wilayah itu demi menjaga kepentingan dunia. Dalam rangka pengamanan jalur-jalur strategis tersebut, sejumlah negara maju secara bersama-sama telah membentuk satuan reaksi cepat yang disebut "Stand By High Readness Brigade" (SHIRBRIG) berkekuatan 4000 personil yang selalu siap digerakkan ke suatu target sebagai "muscular peace keeping force."

Indonesia dan Asean


Selain terkait dengan kepentingan internasional (baca: negara-negara maju), Indonesia sebenarnya menghadapi beberapa persoalan latent dengan sesama negara anggota Asean. Penyebabnya selain karena perbedaan kepentingan masing negara yang tak dapat dipertemukan, juga karena berbagai sebab lain yang muncul sebagai akibat dinamika sosial politik dimasing-masing negara. Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, mungkin saja bisa bekerjasama dalam mengatasi persoalan aksi terorisme di kawa-san ini. Namun, sikap masing-masing negara tentu akan berbeda dalam soal tenaga kerja illegal, illegal loging, pelanggaran batas wilayah dalam penangkapan ikan, dan sebagainya. Hal yang sama juga bisa terjadi dengan Singa-pura dalam soal pemberantasan korupsi, penyelundupan dan pencucian uang. Sedangkan dengan Ti-mor Leste masalah pelanggaran hak asasi manusia dimasa lampau dan lalulintas perbatasan kerap masih jadi ganjalan bagi harmonisasi hubungan kedua negara. Mengenai pengendalian pelayaran di kawasan Asia Tenggara, hingga kini Singapura tetap keras menolak usulan Indonesia untuk mengalihkan seba-gian lalu lintas pelayaran kapal berukuran besar dari Selat Malaka ke Selat Lombok/Selat Makasar. Padahal jalur pelayaran di selat ini tidak hanya diper-

gunakan untuk armada niaga tetapi juga bagi kapal perang. Dan Indonesia tentu ikut terganggu bila ka-pal-kapal perang dari dua negara yang sedang bertikai berpapasan di perairan Indonesia. Dalam satu dekade terakhir tampak adanya upaya beberapa negara Asean telah melipatgandakan kekuatan militernya. Terutama Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dari beberapa data tampak bahwa dalam aspek persenjataan, Thailand menunjukkan peningkatan yang signifikan diantara negara-negara di Asia Tenggara. Untuk memperkuat angkatan laut, misalnya negara gajah putih ini telah memiliki kapal perang canggih, dan siap beroperasi hingga sejauh di atas 200300 mil demi mengamankan kepentingan negaranya. Tentu, termasuk menjaga keselamatan nelayan Thailand yang banyak beroperasi di perairan teritorial Indonesia. Malaysia juga tak ketinggalan menambah armada perangnya. Angkatan Tentara Laut Diraja Malaysia, setidaknya dengan memiliki beberapa freegat dan korvet baru. Dengan penambahan kekuatan, kedua negara tersebut sangat berpeluang jadi mitra negara-negara maju demi mengimbangi Indonesia dalam soal pengamanan kawasan Asia Tenggara. Dengan berbagai perkembangan itu, maka tantangan Indonesia dalam aspek pertahanan dan keamanan negara jadi berat. Indonesia selain dituntut mampu mempertahankan keamanan dalam negerinya, juga mesti dapat memainkan peran yang berarti demi terpeliharanya keamanan regional di Kawasan Asia Pasific. Padahal disisi lain, kekuatan elemen pertahanan dan keamanan Indonesia tidak dalam kondisi prima. Baik dari aspek kemampuan sumber daya manusianya maupun dari segi kesiapan materil dan dukungan finansial. Inilah kondisi dilematis yang dihadapi Indonesia dewasa ini yang patut segera dicari jalan keluarnya. Paulus Londo (Pengamat Sosial Politik)

Ujian Solidaritas ASEAN Oleh: Eddy Maszudi


BAGI Indonesia, sengketa blok Ambalat dengan Malaysia adalah masalah mati dan hidupnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab RI sudah cukup kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan (2002).

Padahal kita tahu, Malaysia adalah bangsa serumpun dengan bangsa kita, dan negeri Jiran tersebut mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Indonesia. Sedangkan bagi ASEAN, memanasnya hubungan Jakarta-Kuala Lumpur merupakan ujian yang sangat berat. Sebab ASEAN sudah memiliki komitmen bersama untuk menyelesaikan masalah regional dengan cara-cara ASEAN. Menurut Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia 1976 -yang sudah diratifikasi seluruh negara ASEAN- melarang saling menyerang dengan kekuatan militer. Jadi, gun boat diplomacy di blok Ambalat akan menjadi counter productive dalam rangka menarik simpati sesama anggota ASEAN dalam rangka penyelesaian Ambalat dan konfik internal ASAN dengan cara-cara ASEAN. Sebab, bagi negara ASEAN lainnya, pengerahan militer besar-besaran Indonesia dan Malaysia di Ambalat adalah warning atau lampu kuning akan adanya sumber ancaman baru bagi solidaritas ASEAN. Lantas, mengapa Indonesia mempertahankan blok Ambalat yang kaya dengan sumber minyak dan gas itu dalam wilayah NKRI? Mengapa Malaysia berani menantang Indonesia dalam memperebutkan blok Ambalat yang berada di wilayah NKRI? Bagaimana peran ASEAN dalam rangka menyelesaikan masalah sengketa perbatasan Indonesia-Malaysia? Hidup dan Mati Blok Ambalat yang terletak di Laut Sulawesi secara geografis sangat jauh dengan daratan Malaysia. Klaim Malaysia atas wilayah karang Unarang dan Ambalat sangat tidak masuk akal. Sebab, mengutip pakar ahli hukum laut internasional Hasyim Jalal (2005), Unarang letaknya jauh dari Sabah, jauh dari Sipadan dan masih dalam batas 12 mil laut Indonesia serta dalam batas kurang dari 12 mil laut Kalimantan Timur". Bila Petronas, perusahaan minyak Malaysia sudah memberikan kontrak Blok ND6 dan ND7 di Ambalat kepada perusahaan minyak Shell/Royal Dutch milik Belanda, maka konflik Ambalat selain beraroma politik juga mengandung unsur ekonomi. Sebab Ambalat dan wilayah sekitarnya adalah wilayah yang kaya dengan sumber mineral dan gas alam. Oleh karena itu, Indonesia harus berani bersikap tegas terhadap Malaysia yang mulai nakal terhadap Jakarta. Setelah dinyatakan menang dalam sidang Makamah Internasional dalam sengketa Sipadan dan Ligitan (2002), maka Malaysia mulai melirik wilayah Indonesia yang memang kurang dirawat dengan baik. Indonesia kalah dengan Malaysia dalam perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan karena ada tiga alasan. Pertama, Malaysia terus menerus berada di pulau tersebut. Kedua, pulau kecil tersebut akan lebih efektif bila dikuasai oleh Malaysia. Ketiga, Malaysia sudah lama menjadikan pulau tersebut sebagai tempat perlindungan ekologis.

Coba bandingkan dengan Indonesia yang suka menjual pasir laut, sehingga banyak pulau kecil yang hilang, merusak lingkungan dan "membiarkan" perusakan hutan di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Papua. Oleh karena itu, keputusan Mahkamah Internasional cukup rasional. Apalagi Indonesia yang nomer satu tingkat korupsinya di Asia membuat cukong-cukong kayu asal Malaysia menyogok pejabat. Akibatnya, Indonesia tetap menjadi negara yang miskin. Sedangkan Malaysia dan Singapura yang menampung barang jarahan dari wilayah Indonesia sekarang ini adalah negara yang maju dan makmur. Bangkitnya nasionalisme rakyat Indonesia untuk mendukung TNI/Polri mempertahankan Blok Ambalat sebagai wilayah NKRI adalah suatu wujud bahwa rakyat Indonesia masih mempunyai harga diri. Setelah ratusan ribu TKI asal Indonesia di kejar-kejar di berbagai kota di Malaysia, maka kebencian terhadap bangsa Malaysia sekarang kembali terjadi. Sikap Malaysia yang berani masuk wilayah NKRI sudah diperhitungkan secara masak. Sebab di belakang Malaysia ada Inggris, dan Sheell adalah milik Belanda. Oleh karena itu, sengketa Ambalat akan mengundang kekuatan internasional untuk masuk lebih banyak di wilayah NKRI yang sangat rawan dengan penyusupan asing, baik itu lewat darat, laut dan udara. Oleh karena itu, pengiriman kapal perang di Ambalat dan Laut Sulawesi harus disertai dengan diplomasi yang andal. Arogansi Malaysia Pasca 1990-an, kondisi Indonesia yang telah mengalami krisis ekonomi dan terjangkit virus KKN yang ganas dan embargo senjata dari AS dan negara-negara Eropa, membuat kekuatan militer Indonesia rapuh. Akibat kena embargo, maka mesin perang canggih yang kita impor dari AS dan Inggris tidak mampu beroperasi secara maksimal. Belum lagi ditambah mental aparat, pejabat Indonesia yang korup, membuat Indonesia menjadi ajang negara-negara asing melakukan manuver dan mencabik-cabik Indonesia. Pada sisi lain, Malaysia dengan leluasa mencari mesin perang modern dari mana saja, dan tidak mengalami kesulitan dengan suku cadangnya. Bahkan negeri Jiran tersebut mampu alih teknologi, sehingga masalah suku cadang tidak menjadi masalah bahkan mampu membuat beberapa mesin perang yang canggih. Pada bagian lain, Malaysia termasuk negara yang sensitif. Sebab negara ini berada di wilayah perairan yang strategis dan menjadi perebutan pengaruh negara-negara besar, yakni Selat Malaka, Samudera Hindia di barat dan di utara dekat Laut China Selatan. Dengan latarbelakang tersebut, Malaysia ingin memainkan geo strategi yang paling aman. Bahkan bisa dikatakan paling ambisi menjadi negara terkuat militernya di Asia Tenggara. Sebab negara Melayu tersebut mempunyai anggaran 972 juta dolar untuk pembelian mesin perang dan senjata, serta membuat pabrik senjata. Dengan demikian, klaim terhadap Ambalat sudah direncanakan lama oleh Kuala Lumpur.

Jadi tidak mengherankan bila Malaysia memperkuat armada maritimnya dengan peralatan yang sangat memadai di segala medan. Sekarang ini, Malaysia sudah memperkuat armada lautnya dengan jet tempur canggih yang biasa dipakai angkatan laut AS, yakni FA-18 Hornet dan memesan tiga kapal selam modern Agosta 70 dari Prancis dan kapal selam serbu SSK Scorpene dari Spanyol. Sekarang ini negeri Jiran tersebut sudah mempunyai pangkalan angkatan laut yang modern di Teluk Sepanggar, Sabah, Kalimantan Utara. Ada 27 kapal patroli laut generasi baru mangkal di tempat tersebut dan akan segera disusul oleh kapal-kapal selam. Semenjak Mei 1999, Malaysia telah berswasembada kapal perang dan telah berhasil membuat enam kapal perang, antara lain kapal fregat kelas Lekiu, Kapal corvette 'Kasturi' yang canggih. Pembuatan ditangani Penang Shipbuilding Corporation, yaitu perusahaan yang khusus membuat mesin perang dan amunisi milik Tentara Diraja Malaysia. Sedangkan kekuatan udara, selain mempunyai jet tempur supersonic FA-18, F-5E dan F5F, Malaysia juga punyai Hawk MK-108, MK 208. Sudah lama Malaysia juga mempunyai skuadron jet tempur supersonic buatan Rusia, yakni MiG-29, Sukhoi tipe SU-27 dan dalam waktu dekat ini akan memiliki 18 peswat SU-30. Pada Air Show di Jakarta, MiG-29 dan SU-27 Malaysia ikut in action untuk mengimbangi F-15 dan F-16 AS yang tampil pada acara tersebut. Dengan demikian, arogansi Malaysia selain didukung oleh teknologi militer juga sudah dipersiapkan skenario terburuk bila terjadi perang dengan Indonesia sehubungan sengketa Blok Ambalat. Peran ASEAN Menurut Jurbir Deplu RI Marti Natalegawa," Kita sejak lama mengajak Malaysia menyelesaikan masalah perbatasan laut di Selat Malaka, Laut China Selatan (LCS) dan Laut Sulawesi. Akan tetapi, Malaysia mengatakan, bicarakan dulu malasah Laut Sulawesi. Padahal, soal perbatasan di ketiga tempat itu sama pentingnya." Sejak awal, Indonesia sudah melihat masalah perbatasan ketika Malaysia membuat sekaligus mendeklarasikan peta wilayah Malaysia 1979. Peta tersebut penuh kontroversial, karena tidak mengindahkan negara-negara lain di sekitarnya, yakni Indonesia, Singapura, Brunei, Thailand, Flipina, China, dan Vietnam. Indonesia terusmenerus menyampaikan protes atas peta 1979 tersebut. Dari pihak Malaysia sampai sekarang ini belum memberikan tanggapan. Dengan keluarnya Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), peta 1979 tersebut tidak bisa diberlakukan karena tidak sesuai dengan ketentuan konvensi tersebut. Bila Malaysia menarik garis batas di Laut Sulawesi, negeri Jiran tersebut akan mencaplok 8.000 kilometer persegi wilayah NKRI dan 17.000 km persegi wilayah Filipina.

Satu-satunya harapan agar sengketa perbatasan antara Jakara-Kuala Lumpur tidak menjadi perang terbuka, maka pemimpin kedua negara tersebut bisa menggunakan caracara ASEAN. Sebab bila RI-Malaysia terjadi perang terbuka, maka dengan sendirinya eksistensi ASEAN akan dipertanyakan oleh sepuluh negara anggotanya dan dunia internasional. (29) -Eddy Maszudi, pengamat masalah politik internasional, dan Ketua Umum Centre Strategic for Development and International Ralations (CSDIR) HexWeb XT DEMO from HexMac International

GENCAR dan garang, begitu gemuruh opini yang tersiar baik dalam mediamedia cetak maupun elektronik perihal kasus Blok Ambalat yang diperebutkan oleh Indonesia dan Malaysia. Kapal perang disiagakan di perbatasan RIMalaysia, khususnya mengawasi perairan wilayah Indonesia yang telah diklaim secara sepihak oleh Malaysia sebagai wilayahnya (Kompas, 4/3). TANDA tangan darah dan pendaftaran sukarelawan perang untuk melawan Malaysia berlangsung di mana-mana. Ambalat jelas di bagian selatan Laut Sulawesi dan masuk wilayah Indonesia (Medal Kamil Ariadno, Kompas, 8 Maret 2005). Malaysia terlalu jauh mengklaim kepemilikan Blok Ambalat dan Ambalat Timurkedua blok tersebut merupakan kelanjutan alamiah dari daratan Kalimantan Timur (Hasyim Djalal, Kompas, 12 Maret 2005). Indonesia sudah lebih dulu mengeksploitasi wilayah itu dan menurut UNCLOS 1982, maka Blok Ambalat berada di wilayah silent accupation atas wilayah laut Indonesia (Steven Y Pailah, Kompas, 12 Maret 2005). Terlepas dari semua argumen (yang dapat mengakibatkan misleading bagi masyarakat) itu, kita harus hati-hati serta coba melihat dari sudut pandang lain karena dalam khazanah PBB tidak dikenal adanya pulau yang bernama Kalimantan. Berdasarkan ketentuan standardisasi nama-nama geografis yang dikembangkan oleh UN-Group of Experts on Geographical Names (UNGEGNECOSOC), nama yang resmi tercatat di PBB adalah Pulau Borneo. Di Pulau Borneo ada tiga negara berdaulat, yaitu Malaysia, Brunei Darussalam,

dan Indonesia. Sejauh ini PBB belum pernah menerima usulan dari ketiga negara yang menghuni pulau ini untuk menggantikannya dengan nama Pulau Kalimantan. Kita ingin menyelesaikan konflik antara Indonesia dan Malaysia di Blok Ambalat, namun jangan sampai kita dituduh sedang mengklaim Pulau Borneo menjadi Pulau Kalimantan, karena secara toponimi Kalimantan adalah bagian Indonesia di Pulau Borneo. Kita senantiasa menyesali "lepasnya" Pulau Sipadan dan Ligitan, tetapi banyak masyarakat tidak tahu bahwa nama kedua pulau ini tidak pernah tercatat dalam Deklarasi Juanda 1857 dan juga tidak ada di dalam arsip Belanda. Perihal sengketa perbatasan di wilayah laut, Pemerintah RI juga tidak pernah menyosialisasikan batas-batas laut Indonesia kepada masyarakat sehingga banyak yang tidak tahu di mana batas laut teritorial (batas kedaulatan negara) dan batas laut ZEE atau batas landas kontinen. Bahkan banyak anggota DPR hanya tahu perairan maritim saja, tetapi tidak tahu membedakan mana wilayah kedaulatan dan mana yang kita mempunyai hak kuasa (sovereign right) atas sumber daya alamnya, tetapi tidak berdaulat atas teritorinya, yaitu ZEE dan landas kontinen. ZEE adalah wilayah lautan yang "dititipkan" kepada semua negara pulau dan kepulauan, di mana negara yang dititipkan ini mempunyai hak-hak kuasa (sovereign rights), dan bukan kedaulatan (sovereignty), untuk memanfaatkan dan mela ksanakan eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi sumber daya hayati dan nirhayati serta beberapa yurisdiksi lainnya seperti riset lautan, membangun pulau-pulau buatan, dan sebagainya. Sementara itu, wilayah landas kontinen adalah wilayah di dasar laut di mana negara pulau dan kepulauan mempunyai hak kuasa atas sumber daya migas dan mineral dan bukan kedaulatan teritorinya. Bolehkah kita mengatakan wilayah itu milik Indonesia? Bagaimana suatu negara mengatur pemanfaatan sumber daya hayati dan nirhayati di ZEE dan minyak, gas bumi, dan mineral di landas kontinen di luar laut teritorial? Semuanya telah diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Namun, isu-isu ini tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat, sedangkan

masyarakat hanya diberi tahu bahwa kedaulatannya dilanggar. Berdasarkan penempatan titik-titik koordinat pada peta batas wilayah Indonesia di laut sebelah timur Kalimantan Timur, maka Blok Ambalat dan Ambalat Barat berada di luar laut teritorial Indonesia. Masih dalam kemungkinan bahwa wilayah tersebut berada dalam wilayah landas kontinen yang akan diklaim oleh Indonesia, namun hingga kini belum ada peta landas kontinen Indonesia yang diserahkan oleh Pemerintah RI kepada PBB (lihat gambar). Di sinilah letak peranan marine cadastre. Dalam bahasa sederhananya, marine cadastre adalah pengadministrasian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, termasuk semua kepentingan, hak, batasan, dan kewajiban yang ada di wilayah itu. Pengadministrasian wilayah di sini tentu saja diawali dengan penamaan, pengukuran, dan pemetaan wilayah termasuk penetapan batas-batasnya serta mencatat dan membukukannya dalam daftar-daftar dan buku-buku resmi kemudian memublikasikan hasil-hasilnya. Meskipun marine cadastre bukan peranti penetapan batas atau yurisdiksi internasional suatu negara, namun melalui publikasi marine cadastre setiap klaim atau persengketaan batas dapat segera diketahui. Bahkan telah diatur tentang kewajiban masing-masing negara pulau dan kepulauan adalah menyerahkan peta-peta batas wilayah teritorial, ZEE, dan landas kontinen kepada Sekretaris Jenderal PBB dengan koordinat-koordinatnya. Apabila terjadi tumpang tindih, maka diselesaikan secara bersama berdasarkan ketentuan Pasal 67 Settlements of Disputes and Advisory Opinions, khususnya di landas kontinen. Apabila kita telah melaksanakan marine cadastre, tentu banyak konflik dan sengketa, khususnya sengketa batas, dapat dihindari. Marine cadastre adalah penerapan prinsip-prinsip kadaster di wilayah laut, yaitu mencatat batas-batas dan penggunaan (hak dan kepentingan atas) ruang laut oleh masyarakat dan pemerintah, perlindungan ruang laut, konservasi, taman nasional, taman suaka margasatwa, termasuk ulayat laut komunitas masyarakat

hukum adat. Marine cadastre secara khusus merupakan sistem bagaimana suatu negara mengadministrasikan sumber-sumber daya kelautan dalam konteks UNCLOS. Kacaunya administrasi wilayah pesisir dan lautan Indonesia tercermin dalam banyak hal: (1) kita mengklaim seluruh pulau besar dan kecil Indonesia berjumlah 17.504 pulau, namun sampai saat ini kita hanya mampu memberi nama berikut posisi geografisnya sebanyak 7.870 pulau yang memenuhi definisi pulau menurut Pasal 121 UNCLOS 1982; (2) ada sebuah lembaga di Indonesia menggunakan citra satelit untuk menghitung jumlah pulau sehingga dengan bangga menyatakan telah memperoleh jumlah pulau lebih banyak lagi, yaitu 20.000 pulau (bahkan Presiden RI sebelumnya selalu mengacu pada angka ini) Padahal yang dilihat di citra satelit belum tentu pulau berdasarkan definisi UNCLOS 1982, karena mungkin hanya berupa vegetasi mangrove di atas permukaan laut. Masalah nama-nama geografis seharusnya menjadi bagian dari administrasi pemerintahan yang tertib dan tidak setiap lembaga terkait mengeluarkan angka jumlah banyaknya pulau secara sendiri-sendiri. Departemen atau badan/lembaga manakah di Indonesia yang berwenang mengatur pengelolaan ZEE dan landas kontinen? Lebar landas kontinen dapat diklaim minimal 200 mil laut diukur dari titik dasar yang sama sewaktu menentukan batas laut teritorial. Penentuan batas ini adalah unilateral, kecuali kalau terjadi tumpang tindih dengan negara kontinen sampai 350 mil laut dengan memenuhi beberapa ketentuan yang disebut dalam Pasal 76 UNCLOS 1982. Namun, Komisi UNCLOS di Markas PBB mengatakan ekstensi sampai 350 mil ini bukan suatu hak, tetapi suatu kewajiban yang harus kita berikan kepada Sea-Bed Authority. Ada satu pasal dalam UNCLOS 1982, Pasal 137 yang menyatakan, "No State shall claim or exercise sovereignty or sovereign rights over part of the Area or its resources, nor shall any State or natural or juridical person appropriate any part thereof. No such claim or exercise of sovereignty or sovereign rights nor such appropriation shall be

recognized". Pernyataan ini terkait dengan pasal sebelumnya yang mengatakan, "The Area and its resources are the common heritage of mankind". Yang dimaksud dengan "the Area" adalah the Seabed Area memperoleh kewenangan memanfaatkan/menguasai sumber daya di bawah dasar laut (seabed area) ti dak berarti negara tersebut mempunyai status letal terhadap kolom air dan ruang udara di atasnya. Pengadministrasian wilayah dan sumber daya pesisir dan lautan dalam marine cadastre tidak sebatas untuk present dan future reconds, namun juga data historical records. Dalam kasus Sipadan dan Ligitan banyak orang tidak mengetahui bahwa pulau-pulau tersebut milik Inggris sejak tahun 1880 melalui pengambilalihan British North Borneo Company atau BNBC (VOC-nya Belanda) yang bangkrut. Pada tahun 1930 Inggris melakukan kegiatan konservasi atas Pulau Sipadan karena habitat penyu hijaunya yang khas. Akhirnya Inggris memberikan kemerdekaan kepada Malaysia yang bergabung dengan Sabah dan Sarawak. Kalau kita lihat, Sipadan dan Ligitan adalah suatu gugus kepulauan yang menyambung dengan Kepulauan Sulu yang dalam peta Belanda tahun 1942 disebut Sulu Archipelago (terdiri dari gugusan Tawi-Tawi dan gugusan Ligitan, termasuk Sipadan). Apabila kita konsisten dengan sistem pengadministrasian wilayah, maka tidak ada lagi pulau-pulau terluar yang dapat menjadi sengketa. Demikian pula tidak Pulau Miangas (dalam bahasa Spanyol Pulau Las Palmas), karena sejak Komisi Senat Amerika datang ke Pulau Las Palmas pada tahun 1927 (setelah Amerika menang perang dengan Spanyol dan memperoleh tanah jajahan baru Filipina mengira bahwa Pulau Miangas adalah milik Spanyol), namun ternyata setelah mereka mendarat di pulau tersebut mereka melihat sudah terdapat administrasi pemerintahan Belanda yang efektif. Amerika kemudian melepaskan klaimnya atas pulau yang dikira milik Spanyol ini. Pemerintah Filipina pun menghapus nama pulau ini dalam UU Dasarnya. Kita tidak perlu mengkhawatirkan "hilangnya" pulau-pulau terluar lainnya, namun memang kita harus membangun pulau-pulau terluar yang ada penduduknya agar penduduknya merasa sebagai bagian dari NKRI dan sebagai tanggung jawab Pemerintah RI atas klaimnya. Demikian pula klaim kita atas Pulau Pasir

(Ashmore) akan sama halnya seperti kita mengklaim Sipadan dan Ligitan. Pulau Ashmore tidak pernah dijajah oleh Belanda walaupun nenek moyang orang Timor aktif di pulau tersebut, tetapi pemerintahan di sana adalah pemerintahan jajahan Inggris. Kita tidak dapat mengklaim suatu wilayah atas dasar aktivitas nenek moyang kita, apalagi nenek moyang kita itu tidak memerintah di pulau itu, tetapi mencari nafkah di sana dan banyak yang meninggal di pulau itu. Proklamasi kemerdekaan kita atas semua tanah jajahan Belanda karena kita semua mempunyai nasib yang sama sebagai anak jajahan yang ingin melepaskan diri dari cengkeraman penjajah Belanda. Kita juga tidak mungkin mengklaim daerah bekas Kera jaan Sriwijaya yang konon sampai ke Malaysia dan Thailand menjadi milik negara Indonesia. Lebih dari semua itu, justru yang menjadi kekhawatiran kita saat ini adalah sengketa batas antara provinsi atau antara kabupaten dengan adanya batas kewenangan provinsi dan kabupaten di wilayah laut yang disebut dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Batas-batas ini belum pernah disosialisasikan kepada masyarakat. Bayangkan saja, undang-undang tentang pembentukan provinsi dengan lampiran peta batas provinsi hanya deskriptif (!) dan tidak menggunakan koordinat (!). Cara seperti ini adalah sumber konflik di masa depan, demikian juga tidak ada ketentuan yang mengharuskan provinsi menetapkan batasnya secara nyata di lapangan, semacam ajudikasi dalam pertanahan. Hal ini akan lebih berbahaya jika terjadi sengketa antar-etnis, karena batas administrasi di Indonesia ditetapkan berdasarkan etnis sebagai warisan pemerintah kolonial Belanda untuk memecah dan mengadu domba, seperti Provinsi Aceh untuk orang Aceh, Sumatera Barat untuk orang Minang. Bahkan dalam era otonomi daerah ini lebih marak lagi dengan pemekaran wilayah berdasarkan etnis sehingga orang Banten dan orang Sunda beda sehingga perlu punya provinsi sendiri-sendiri, Provinsi Gorontalo pisah dari Sulawesi Utara karena orang Gorontalo beda dengan orang Minahasa.

Lihat pulau pemekaran kabupaten di Sulawesi Selatan, adanya eksodus suatu suku bangsa yang tidak cocok dengan mayoritas suku di kabupaten baru itu. Mengapa kita teruskan cara pemerintah kolonial membagi wilayah administratif berdasarkan suku bangsa? Dan mengapa tidak berdasarkan bio-fisik wilayah berdasarkan konsep bio-region, seperti berdasarkan suatu daerah aliran sungai? Semua penduduk satu DAS harusnya mempunyai kepentingan yang sama dan sangat bergantung dari air yang mengalir dari hulu sampai lautan. Kesimpulan tulisan ini adalah kita perlu secepatnya mengadministrasikan wilayah pesisir dan lautan kita, memberi nama semua pulau-pulau, mencatat semua kepentingan, hak, kewajiban, dan batasan yang ada. Ironisnya, kita tidak memiliki anggaran yang cukup untuk memberi nama pulau-pulaunya, belum lagi nama-nama laut, selat, teluk dan sebagainya yang begitu banyak dan luas serta luput dari peranggaran pembangunan. Padahal, apa yang dikerjakan ini adalah aset nasional dan merupakan data dasar utama bagi pembangunan. Make marine cadastre not war! Bangun infrastruktur untuk menjaga kedaulatan dan kemakmuran rakyat, bukan perang yang akan menyengsarakan rakyat dan meludeskan anggaran negara. Sampai saat ini Indonesia adalah satu-satunya negara lama (sejak 1945) yang belum memiliki suatu institusi yang berdasarkan Resolusi PBB No 4 Tahun 1967 yang disebut National Geographical Names Authority. Kita negara dengan topografi dan lautan yang luas unsur-unsur geografinya di mana penduduk dari lebih 200 kelompok etnis mendiami bumi Indonesia ini dan nama-nama geografi yang diucapkan dari berbagai bahasa etnis perlu adanya standardisasi nama-nama geografisnya. Kita ingin pertahankan kebhinekaan kita dengan tetap mengakui nama-nama generik unsur-unsur geografi dalam bahasa lokal. Pemerintah harus segera membentuk National Geographical Names and Boundary Authority di bawah Departemen Dalam Negeri sebagai bagian dari good governance dengan nomenklatur maupun bentuk kelembagaan yang sesuai dengannya. Perihal yang menyangkut administrasi pemerintahan agar didokumentasikan dalam

satu badan, tidak seperti saat ini banyak institusi terlibat dan dokumentasi perbatasan ada di berbagai institusi. Sebaiknya institusi perbatasan berada di tangan institusi sipil yang kompeten dengan kelompok-kelompok peneliti dalam UNCLOS 1982 dan GALOS (Geodetic Aspects of the Law of the Sea) agar tidak bias dalam masalah pengkajiannya. PROF DR IR JACuB RAIS MSc Mantan Ketua Bakosurtanal, dan Kelompok Pakar Toponimi (Penamaan Unsur-unsur Geografi) Perserikatan Bangsa-Bangsa DRS JP TAMTOMO MENG Mahasiswa Program S3 Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan, IPB, Bogor

Sejak Januari, Armada Militer Malaysia 13 Kali Masuki Wilayah Ambalat Wednesday, 03 June 2009 Kapal Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia makin nekat beroperasi. Operasi Polri untuk memerangi pencurian ikan (illegal fishing) tak membuat jera kapal asing, termasuk asal Malaysia. Demikian dilaporkan Kompas.com, hari ini (Rabu, 3/6) Dalam sebulan terakhir, Mabes Polri menangkap 11 kapal nelayan Malaysia asal Tawau yang tengah mencuri di perairan Kalimantan Timur. Selama Januari-Mei 2009 polisi sudah menangkap sebanyak 48 kapal nelayan Malaysia. Kerugian Indonesia dari penangkapan ikan secara ilegal diperkirakan Rp 230 miliar per tahun, belum termasuk kerugian akibat kerusakan ekosistem laut. Sebanyak 11 kapal Malaysia itu kini ditahan kepolisian di Pangkalan Kepolisian Air Polri di Tarakan, Kaltim. Saat ditangkap, kapal-kapal itu baru menangkap hampir 4 ton ikan. Setiap kapal rata-rata berkapasitas 10 ton ikan. Polisi menangkap 11 tersangka yang semuanya WNI. Sembilan di antaranya adalah nakhoda kapal berkewarganegaraan Indonesia yang dipekerjakan oleh sindikat Malaysia. Sementara itu, dua tersangka lain adalah AK, pejabat syahbandar dari Kantor Pelabuhan Sungai Nyamuk di Kabupaten Nunukan, Kaltim, dan ACH, mantan pegawai harian lepas di kantor yang sama. Peran kedua oknum aparat perhubungan laut itu mengeluarkan surat izin berlayar (SIB) untuk kapal-kapal Malaysia. Semua kapal Malaysia itu tidak dilengkapi dengan surat izin penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Dari 11 kapal itu, tujuh kapal membawa SIB bodong, sementara empat kapal tidak memiliki dokumen apa pun sekalipun SIB bodong. SIB bodong itu dibuat di Kantor Pelabuhan Sungai Nyamuk, lalu diantar ACH ke Tawau. Tidak adanya dokumen apa pun pada empat kapal asing itu, menurut polisi, mengindikasikan kapal Malaysia makin nekat

mencuri di wilayah perairan Indonesia. Direktur V Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Salamuddin, Selasa (2/6) mengatakan, "Saat ini kami masih berupaya bekerja sama dengan kepolisian Malaysia supaya pemilik kapalnya (warga negara Malaysia) bisa ditangkap juga. Kami berharap kerja sama yang dijalin antara Polri dan Kepolisian Malaysia selama ini benar-benar bisa diimplementasikan." Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan sudah bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak dan mendesak agar perundingan soal Ambalat dilanjutkan. Kepada pers, Presiden mengatakan, kedaulatan Indonesia atas Ambalat itu harga mati. Presiden bertemu dengan PM Malaysia itu di sela-sela forum ASEAN-Republic of Korea Commemorative Summit di Pulau Jeju, Korea Selatan, Senin (1/6). Presiden Yudhoyono menyatakan untuk kesekian kali, belum lama ini terjadi lagi pelanggaran batas wilayah yang dilakukan oleh Malaysia di kawasan Ambalat, Kalimantan Timur. Kepada pers, Presiden Yudhoyono yang didampingi sejumlah menteri mengatakan, sejak dulu, apa yang diklaim oleh Malaysia betul-betul tidak bisa diterima. Dikatakannya, "Sebab, Indonesia yakin Ambalat adalah wilayah Indonesia. Saya pernah dengan kapal perang ke kawasan itu. Posisi saya hanya 1 meter dari perbatasan Malaysia. Saya katakan, sejengkal tanah pun atau laut, kalau itu kedaulatan kita, itu harus kita pertahankan. Tidak ada kompromi dan toleransi. Itu harga mati." Namun, cara penyelesaiannya tidak harus mengobarkan peperangan. Dikatakannya, "Kita sama-sama negara ASEAN. Ada Piagam ASEAN, ada diplomasi, dan ada penyelesaian secara damai. Jadi, jangan beretorika agar dinilai sebagai pemimpin yang berani dan gagah, terus mengobarkan perang di mana-mana. Ingat, perang itu jalan terakhir. Kita utamakan jalan lain yang lebih bermartabat dan tidak mendatangkan masalah bagi negara yang sedang membangun." Sejak kejadian (pelanggaran) dua tahun lalu, Presiden sudah menginstruksikan agar TNI terus melakukan operasi pengamanan dan pengawasan wilayah. Presiden mengatakan, "Indonesia dan Malaysia sering bersilang pendapat, mulai dari lagu 'Rasa Sayange', soal batik, hingga reog. Itu bisa kita selesaikan dengan pendekatan yang tepat, seperti familier. Akan tetapi, kalau kedaulatan, tidak bisa. Itu urusan negara yang harus diselesaikan dengan tegas dan sesuai ketentuan." Terkait hal ini, calon wakil presiden Prabowo Subianto menilai sengketa kawasan perbatasan di Ambalat dengan Malaysia salah satunya terjadi lantaran kekuatan armada perang TNI tidak lagi ditakuti lantaran minimnya alokasi anggaran pertahanan yang mampu diberikan pemerintah. Minimnya alokasi anggaran berdampak kemudian pada kemampuan TNI menyediakan dan memelihara peralatan utama sistem persenjataan (alutsista) mereka. Padahal, upaya menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Pernyataan itu disampaikan Prabowo, Senin (1/6), seusai hadir dalam acara peringatan delapan windu hari lahir Pancasila di Hing Puri Fatmawati , yang juga kediaman putra

bungsu Proklamator RI Ir Sukarno, Guruh Sukarno Putra. Dikatakannya, "Saya minta kearifan dari para pemimpin kedua belah pihak, terutama Malaysia. Namun tetap persoalan kedaulatan dan keutuhan NKRI seharusnya menjadi harga mati. Saya berharap untuk masalah ini akan ada penyelesaian yang sebaik mungkin." Lebih lanjut Prabowo mengingatkan, Indonesia memang sering dilecehkan oleh negaranegara lain, terutama sejumlah negara tetangga, lantaran posisi Indonesia yang secara ekonomi masuk dalam kategori lemah. Hal itu berdampak kemudian pada kemampuan pertahanannya. Dalam kesempatan yang berbeda, Kepala Dinas Penerangan Komando Armada RI Kawasan Timur Letnan Kolonel Laut(KH) Tony Saiful dari Surabaya, Selasa, menyatakan, sudah 13 kali kapal- kapal dan pesawat-pesawat milik Angkatan Tentara Malaysia memasuki wilayah kedaulatan Indonesia di kawasan Ambalat sejak Januari 2009. Empat pelanggaran di antaranya terjadi dalam dua pekan ini. Meski di Pulau Sebatik, Kaltim, yang menghadap kawasan Ambalat keadaan tetap aman, personel TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Darat melakukan penjagaan ketat di pos masing- masing di daerah itu. Pasukan Marinir di Sebatik menambah kegiatan dengan melatih para pejabat musyawarah pimpinan kecamatan setempat menembak. Kapten (Mar) Budi Santosa, Komandan Kompi Marinir di Sebatik mengatakan, "Kegiatan ini tidak terkait dengan memanasnya kasus Ambalat. Ini latihan rutin Marinir." Hubungan antara Indonesia dan Malaysia beberapa kali mengalami pasang surut. Pada tahun 1963, terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Hubungan antara Indonesia dan Malaysia juga sempat memburuk pada tahun 2002 ketika kepulauan Sipadan dan Ligitan di klaim oleh Malaysia sebagai wilayah mereka, dan berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional (MI) di Den Haag, Belanda bahwa Sipadan dan Ligitan merupakan wilayah Malaysia. Sipadan dan Ligitan merupakan pulau kecil di perairan dekat kawasan pantai negara bagian Sabah dan Provinsi Kalimantan Timur, yang diklaim dua negara sehingga menimbulkan persengkataan yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Sipadan dan Ligitan menjadi ganjalan kecil dalam hubungan sejak tahun 1969 ketika kedua negara mengajukan klaim atas kedua pulau itu. Kedua negara tahun 1997 sepakat untuk menyelesaikan sengketa wilayah itu di MI setelah gagal melakukan negosiasi bilateral. Kedua belah pihak menandatangani kesepakatan pada Mei 1997 untuk menyerahkan persengkataan itu kepada MI. Kedua belah pihak juga sepakat untuk menerima keputusan pengadilan sebagai penyelesaian akhir sengketa tersebut. Selain itu, pada 2005 terjadi sengketa mengenai batas wilayah dan kepemilikan Ambalat.Selain itu pula. Pada Oktober 2007 terjadi konflik akan lagu Rasa Sayang-

Sayange dikarenakan lagu ini digunakan oleh departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan kepariwisataan Malaysia, yang dirilis sekitar Oktober 2007. Sementara Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor mengatakan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu Kepulauan Nusantara (Malay archipelago), Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu bersikeras lagu "Rasa Sayange" adalah milik Indonesia, karena merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi ini sejak leluhur, sehingga klaim Malaysia itu hanya mengada-ada. Gubernur berusaha untuk mengumpulkan bukti otentik bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu rakyat Maluku, dan setelah bukti tersebut terkumpul, akan diberikan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor menyatakan bahwa rakyat Indonesia tidak bisa membuktikan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu rakyat Indonesia. < Prev Next >

También podría gustarte