Está en la página 1de 5

HUGO GROTIUS

Oleh: Ezka Amalia (09/283366/SP/23675)

Hugo Grotius merupakan salah satu pemikir yang menggunakan justifikasi moral dalam melihat hubungan internasional. Akar pemikiran Grotius sendiri berasal dari tradisi pemikiran abad pertengahan. Tradisi pemikiran abad pertengahan berangkat dari kepercayaan Kristen yang dipengaruhi oleh mitologi Yunani yang menyatakan bahwa dalam alam semesta yang memiliki tatanan, semua memiliki tempatnya masing-masing di dunia dengan Tuhan berada di tingkat paling atas dalam sebuah hierarki dan diikuti oleh makhluk atau obyek yang semakin ke bawah semakin rendah eksistensinya. Semua eksistensi makhluk tersebut kemudian dihubungkan oleh sesuatu yang disebut The Great Chain of Being. Great Chain of Being terdiri dari plenitude dimana Tuhan menciptakan segala sesuatu termasuk yang baik dan yang jahat, continuity dimana ada kontinuitas antara satu spesies dengan yang lainnya, dan gradation dimana segala sesuatu dalam rangkaian yang tidak terputus itu lebih rendah kedudukannya dari segala sesuatu yang ada setelahnya atau dapat dimisalkan manusia lebih superior dibandingkan hewan dan inferior dibandingkan makhluk-makhluk yang ada di planet lain. Menurut saya, hal ini yang kemudian mempengaruhi pemikiran Kristiani di abad pertengahan bahwa semua yang ada di dunia diatur oleh hukum, dengan human law maupun hukum yang ada di negara harus mencerminkan hukum yang memerintah alam semesta. Pemikiran Hugo Grotius yang hidup di abad pertengahan juga menggambarkan tradisi dari pemikiran tersebut. Pemikiran pertama Grotius adalah pemikiran terkait natural law. Banyak yang menilai bahwa pemikiran Grotius terkait natural law merupakan pemikiran yang beralih dari pemikiran yang agamis ke arah pemikiran yang sekuler dimana natural law atau Law of Nature berasal dari natural rights atau yang juga dikenal sebagai hak asasi yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran tentang natural rights sendiri awalnya dikemukakan oleh Huguenots terkait hak untuk melawan tiran yang awalnya merupakan kewajiban agama. Hak tersebut yang kemudian menjadi hak moral dibentuk oleh kontrak yang diciptakan dan disetujui oleh masyarakat sipil. Di sinilah Grotius mengeluarkan pemikiran sekulernya tanpa membuang pengaruh Kristen. Natural

law memang diciptakan oleh Tuhan, namun sumbernya bukan lagi kewajiban agama melainkan natural rights. Kemudian, jika kita kaitkan dengan hubungan internasional, hukum perdata (civil law) dan hukum negara (law of nations) diciptakan oleh manusia untuk menjamin kebebasan pelaksanaan hak tersebut dengan pembentukan keduanya harus didasarkan pada natural law serta seluruh pelaksanaan hubungan internasional termasuk perang harus tunduk kepada hukum baik natural law ataupun law of nations. Grotius sendiri jika dibandingkan dengan pemikir-pemikir sebelumnya seperti Thomas Aquinas telah mampu membedakan antara natural law dengan law of nations. Menurut Grotius, natural law merupakan hukum yang menentukan tindakan manusia yang benar dan yang salah menurut moral. Natural law dibuat oleh Tuhan dan didasarkan pada sifat dasar manusia yang diberikan oleh Tuhan. Hukum yang dapat dikatakan hukum paling tinggi ini menurut Grotius diterapkan bukan untuk semua makhluk, melainkan diterapkan secara umum kepada seluruh umat manusia. Hak yang dimiliki oleh manusia merupakan sesuatu yang sesuai dengan hukum dan juga merupakan suatu sifat moral yang membuat manusia memiliki kewenangan untuk melakukan sesuatu. Hak ini ditopang oleh hukum yang ada, sehingga dengan kata lain hukum memungkinkan moral itu ada di dunia, bukan menciptakan moral itu sendiri. Empat hak dasar yang dimiliki oleh manusia menurut Grotius adalah hak kepemilikan atau properti tanpa diganggu oleh orang lain, hak untuk mendapatkan keuntungan dari properti yang dimiliki, hak untuk menghormati perjanjian dan terakhir hak untuk menghukum suatu perbuatan yang salah secara moral. Dengan keempat dasar yang dijamin dalam natural law yang menjadikan masyarakat itu ada, maka natural law dijadikan sebagai pondasi dari segala hukum yang ada di dunia. Sedangkan law of nations berasal dari kehendak yang dimiliki oleh manusia dan disetujui secara bersama-sama untuk kemaslahatan semua umat manusia. Law of nations sendiri bukan hanya berarti hukum di satu negara, namun dapat juga diartikan sebagai hukum antar negara yang mengatur hubungan antar negara tersebut. Seperti telah disebutkan sebelumnya, law of nations dibuat dengan menggambarkan isi dari natural law dan selain itu sebagai pelengkap dari hukum yang dibuat oleh Tuhan. Dengan demikian, ketika kita mengambil pemahaman bahwa hukum ada untuk memastikan hakhak yang dimiliki terpenuhi, maka law of nations ada untuk memastikan tidak hanya hak

manusia secara individu namun juga hak yang dimiliki oleh negara terpenuhi sehingga keduanya wajib mematuhi apa yang telah ditentukan oleh hukum. Jika kita hubungkan dengan hubungan internasional, maka masyarakat internasional baik negara maupun individu tindakannya dibatasi oleh nature law dan diatur oleh law of nations, termasuk dalam pelaksanaan perang. Terkait perang baik alasan maupun bagaimana perang itu dilaksanakan, Grotius memperkenalkan kita kepada jus ad bellum dan jus in bello. Keduanya akan menjustifikasikan apakah perang dilaksanakan secara adil atau jus war. Tujuan utama Grotius menganalis bagaimana perang dapat dilegitimasi sebagai sesuatu yang benar dan adil adalah untuk mencegah terjadinya perang, atau paling tidak membatasi pelaksanaan perang dalam batasan-batasan yang dapat diterima. Jus ad bellum merupakan bagaimana tanggung jawab secara politik terhadap terjadinya perang, dan jus in bello adalah bagaimana perang itu dilaksanakan yang menjadi tanggung jawab pihak militer. Grotius memang menerima pengertian perang sebagai penggunaan kekuatan militer dan oleh karena itu dengan banyaknya kerugian yang diderita oleh masyarakat karena terjadinya perang, muncullah ide tau pemikiran Grotius tentang jus war. Melalui pemikirannya tentang jus war, Grotius menolak pemikiran Realisme yang menyatakan bahwa alasan terjadinya perang adalah karena adanya ketakutan. Menurut Grotius, ketakutan tidak bisa dijadikan alasan untuk mendeklarasikan perang. Perang akan dinilai memiliki legitimasi ketika tujuan perang adalah untuk mencapai perdamaian dan dengan alasan-alasan yang adil. Penggunaan kekuatan dalam perang ditujukan untuk melindungi masyarakat ketika hak-hak yang dimiliki oleh mereka dilanggar. Selain itu, kriteria jus war lainnya adalah intervensi dapat dilakukan oleh negara dengan alasan adanya pihak yang tidak bersalah yang menjadi korban, negara mempunyai hak untuk menghukum pihak-pihak yang melanggar natural law secara berlebihan, dan kesuksesan dari perang tersebut. Grotius juga menyatakan bahwa dalam pelaksanaan perang, setiap pihak harus memberikan penilaian yang masuk akal ketika menyatakan siapa dan apa yang akan menjadi target, metode apa yang akan digunakan dan bagaimana mereka memperlakukan tawanan perang. Perang pun harus dideklarasikan di depan umum oleh otoritas yang sah. Selain itu, ada beberapa pihak yang hak-haknya tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan

perang seperti wanita yang bukan anggota militer, anak-anak, pedagang, petani, pemuka agama, dan tawanan perang. Pembunuhan terhadap pihak-pihak tersebut hanya diperbolehkan sebagai konsekuensi dari tindakan militer sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam perang haruslah sebisa mungkin melindungi pihak-pihak tidak bersalah tersebut. Pemikiran selanjutnya yang dikemukakan oleh Grotius adalah kebebasan laut. Laut menurut Grotius tidak bisa diokupasi atau dimiliki oleh siapapun secara eksklusif. Bahkan Grotius tidak memperbolehkah usaha suatu aktor atau pihak untuk menguasai laut. Menurut Grotius hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan tidak bisa dijustifikasi sebagai usaha untuk mempertahankan perdamaian. Laut sama halnya dengan udara dimiliki secara bersama oleh manusia dan setiap individu bisa berbagi keuntungan dari keduanya. Pemikiran terakkhir yang berhubungan dengan pemikirannya tentang kebebasan laut adalah teori tentang kepemilikan atau properti. Dengan semakin kompleksnya masyarakat, kepemilikan individu muncul sebagai upaya untuk menghindari konflik. Kepemilikan individu muncul dari adanya perjanjian antar berbagai pihak yang dikemudian hari harus dipatuhi dan dilaksanakan. Dari apa yang telah disampaikan oleh Grotius terkait pemikirannya, dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya Grotius memang tidak menolak adanya perang, namun Grotius berusaha untuk mencegah terjadinya perang atau setidaknya mengatur bagaimana perang itu dapat dijustifikasi. Selain itu, dengan adanya pemikiran tentang hukum yang mengatur dunia, Grotius menolak pemikiran realisme terkait tidak adanya aturan atau tatanan dalam hubungan internasional pada khususnya, dan dunia pada umumnya. Grotius memberikan kita satu alternatif lain dalam melihat hubungan internasional melalui justifikasi moral sehingga hubungan internasional tersebut dapat lebih manusiawi. Hal ini ditunjukkan pula dengan adanya pemikiran tentang hak-hak yang dimiliki oleh manusia yang tidak boleh dilanggar pelaksanaannya. Meskipun demikian, kita tidak dapat pula mengelak dari pemikiran bahwa justifikasi moral kemudian selalu dijadikan alasan negara menyerang negara lain namun dalam pelaksanaannya tidak ada satupun tindakan yang memperlihatkan pihak yang berperang menggunakan moral mereka.

Daftar Pustaka: Boucher, D., Political Theories of International Relations: From Thucydides to the Present, Oxford University Press, Oxford, 1998. Libertarianism, Hugo Grotius, Libertarianism.org,

<http://www.libertarianism.org/people/hugo-grotius>, diakses 17 September 2012. Miller, J., Hugo Grotius, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2011 Edition), 28 Juli 2011, <http://plato.stanford.edu/entries/grotius/>, diakses 1 November 2012.

También podría gustarte