Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Arwin Zoelfatas
A. Tujuan :
Setelah mempelajari Bab ini, diharapkan Anda dapat :
1. Mendefinisikan psikologi dan psikologi pendidikan
2. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan individu, indikator-indikator motivasi, bentuk-
bentuk konflik, bentuk-bentuk perilaku salah-suai dan taksonomi perilaku individu.
3. Menjelaskan psikologi pendidikan sebagai ilmu, arti penting psikologi pendidikan bagi
guru, peranan dan pengaruh pendidikan terhadap perubahan dan perkembangan perilaku
individu.
4. Menguraikan mekanisme pembentukan perilaku menurut pandangan behaviorisme dan
holistik.
B. Pokok Bahasan
1. Pengertian Psikologi Pendidikan.
2. Perilaku Individu.
3. Taksonomi Perilaku Individu.
4. Pengaruh Pendidikan terhadap Perubahan Perilaku dan Pribadi Individu.
C. Intisari Bacaan
1. Pengertian Psikologi Pendidikan
Secara etimologis, psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas
hidup, dan “logos” atau ilmu. Dilihat dari arti kata tersebut seolah-olah psikologi
merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu pada
salah satu syarat ilmu yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah tepat jika kita
mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa, karena
jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak bisa diamati secara langsung.
Berkenaan dengan obyek psikologi ini, maka yang paling mungkin untuk diamati dan
dikaji adalah manifestasi dari jiwa itu sendiri yakni dalam bentuk perilaku individu
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, psikologi kiranya dapat
diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Psikologi terbagi ke dalam dua bagian yaitu psikologi umum (general phsychology)
yang mengkaji perilaku pada umumnya dan psikologi khusus yang mengkaji perilaku
individu dalam situasi khusus, diantaranya :
Psikologi Perkembangan; mengkaji perilaku individu yang berada dalam proses
perkembangan mulai dari masa konsepsi sampai dengan akhir hayat.
Psikologi Kepribadian; mengkaji perilaku individu khusus dilihat dari aspek – aspek
kepribadiannya.
Psikologi Klinis; mengkaji perilaku individu untuk keperluan penyembuhan (klinis)
Psikologi Abnormal; mengkaji perilaku individu yang tergolong abnormal.
Psikologi Industri; mengkaji perilaku individu dalam kaitannya dengan dunia
industri.
Psikologi Pendidikan; mengkaji perilaku individu dalam situasi pendidikan
Disamping jenis – jenis psikologi yang disebutkan di atas, masih terdapat berbagai jenis
psikologi lainnya, bahkan sangat mungkin ke depannya akan semakin terus berkembang,
sejalan dengan perkembangan kehidupan yang semakin dinamis dan kompleks.
Psikologi pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu ilmu karena didalamnya telah
memiliki kriteria persyaratan suatu ilmu, yakni :
S R atau S O R
W S O R W
Yang dimaksud dengan lingkungan (W = world) di sini dapat dibagi ke dalam dua
jenis yaitu :
(1) Lingkungan objektif (umgebung=segala sesuatu yang ada di sekitar individu dan
secara potensial dapat melahirkan S).
(2) Lingkungan efektif (umwelt=segala sesuatu yang aktual merangsang organisme
karena sesuai dengan pribadinya sehingga menimbulkan kesadaran tertentu pada
diri organisme dan ia meresponsnya)
Perilaku yang berlangsung seperti dilukiskan dalam bagan di atas biasa disebut
dengan perilaku spontan.
Contoh : seorang mahasiswa sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di
ruangan kelas yang terasa panas, secara spontan mahasiswa tersebut mengipas-
ngipaskan buku untuk meredam kegerahannya.
Ruangan kelas yang panas merupakan lingkungan (W) dan menjadi stimulus (S)
bagi mahasiswa tersebut (O), secara spontan mengipaskan-ngipaskan buku
merupakan respons (R) yang dilakukan mahasiswa. Merasakan ruangan tidak terasa
gerah (W) setelah mengipas-ngipaskan buku.
Sedangkan perilaku sadar dapat digambarkan sebagai berikut:
W S Ow R W
Ow
W S r e R W
Dengan mengambil contoh perilaku sadar tadi, bagan di atas dapat dijelaskan bahwa
mahasiswa yang sadar (Ow) mungkin merasakan penglihatannya (receptor) menjadi
tidak jelas, sehingga tulisan dosen di papan tulis tidak terbaca dengan baik.
Menggerakkan kaki menuju ke depan, mengucapkan minta izin kepada dosen, tangan
menekan saklar lampu merupakan effector.
b. Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Holistik (Humanisme)
Holistik atau humanisme memandang bahwa perilaku itu bertujuan, yang berarti
aspek-aspek intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor
penentu untuk melahirkan suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus yang datang
dari lingkungan. Holistik atau humanisme menjelaskan mekanisme perilaku individu
dalam konteks what (apa), how (bagaimana), dan why (mengapa). What (apa)
menunjukkan kepada tujuan (goals/incentives/ purpose) apa yang hendak dicapai
dengan perilaku itu. How (bagaimana) menunjukkan kepada jenis dan bentuk cara
mencapai tujuan (goals/incentives/pupose), yakni perilakunya itu sendiri. Sedangkan
why (mengapa) menunjukkan kepada motivasi yang menggerakan terjadinya dan
berlangsungnya perilaku (how), baik bersumber dari diri individu itu sendiri
(motivasi instrinsk) maupun yang bersumber dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Secara skematik rangkaian, proses dan mekanisme terjadinya perilaku menurut
pandangan Holistik, dapat dijelaskan dalam bagan berikut :
SELF ACTUALIZATION
ESTEEM NEEDS
LOVE NEEDS
SAFETY NEEDS
PHYSIOLOGICAL NEEDS
Tujuan
Berkaitan dengan motif individu, untuk keperluan studi psikologis, motif individu
dapat dikelompokkan ke dalam 2 golongan, yaitu :
1. Motif primer (basic motive dan emergency motive); menunjukkan kepada motif
yang tidak pelajari, dikenal dengan istilah drive, seperti : dorongan untuk makan,
minum, melarikan diri, menyerang, menyelamatkan diri dan sejenisnya.
2. Motif sekunder; menunjukkan kepada motif yang berkembang dalam individu
karena pengalaman dan dipelajari, seperti : takut yang dipelajari, motif-motif
sosial (ingin diterima, konformitas dan sebagainya), motif-motif obyektif dan
interest (eksplorasi, manipulasi. minat), maksud dan aspirasi serta motif
berprestasi.
Untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari indikator-indikatornya, yaitu :
(1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4)
ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5)
devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak
dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk
(out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran
kegiatan.
Dalam diri individu akan didapati sekian banyak motif yang mengarah kepada tujuan
tertentu. Dengan beragamnya motif yang terdapat dalam individu, adakalanya
individu harus berhadapan dengan motif yang saling bertentangan atau biasa disebut
konflik.
Bentuk-bentuk konflik tersebut diantaranya adalah :
1. Approach-approach conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih
dan semua alternatif motif sama-sama kuat, dikehendaki serta bersifat positif.
2. Avoidance-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau
lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat namun tidak dikehendaki dan
bersifat negatif.
3. Approach-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau
lebih, yang satu positif dan dikehendaki dan yang lainnya motif negatif serta
tidak dikehendaki namun sama kuatnya.
Jika seorang individu dihadapkan pada bentuk-bentuk motif seperti dikemukakan di
atas tentunya dia akan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dan sangat
mungkin menjadi perang batin yang berkepanjangan.
Dalam pandangan holistik, disebutkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan
dalam dirinya, setiap aktivitas yang dilakukan individu akan mengarah pada tujuan
tertentu. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan, tercapai atau tidak tercapai tujuan
tersebut. Jika tercapai tentunya individu merasa puas dan memperoleh keseimbangan
diri (homeostatis). Namun sebaliknya, jika tujuan tersebut tidak tercapai dan
kebutuhannya tidak terpenuhi maka dia akan kecewa atau dalam psikologi disebut
frustrasi. Reaksi individu terhadap frustrasi akan beragam bentuk perilakunya,
bergantung kepada akal sehatnya (reasoning, inteligensi). Jika akal sehatnya berani
mengahadapi kenyataan maka dia akan lebih dapat menyesuaikan diri secara sehat
dan rasional (well adjustment). Namun, jika akal sehatnya tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, perilakunya lebih dikendalikan oleh sifat emosinalnya, maka
dia akan mengalami penyesuaian diri yang keliru (maladjusment).
Bentuk perilaku salah suai (maldjustment), diantaranya : (1) agresi marah; (2)
kecemasan tak berdaya; (3) regresi (kemunduran perilaku); (4) fiksasi; (5) represi
(menekan perasaan); (6) rasionalisasi (mencari alasan); (7) proyeksi (melemparkan
kesalahan kepada lingkungan); (8) sublimasi (menyalurkan hasrat dorongan pada
obyek yang sejenis); (9) kompensasi (menutupi kegagalan atau kelemahan dengan
sukses di bidang lain); (10) berfantasi (dalam angan-angannya, seakan-akan ia dapat
mencapai tujuan yang didambakannya).
Di sinilah peran guru untuk sedapat mungkin membantu para peserta didiknya agar
terhindar dari konflik yang berkepanjangan dan rasa frustasi yang dapat
menimbulkan perilaku salah-suai. Sekaligus juga dapat memberikan bimbingan untuk
mengatasinya apabila peserta didik mengalami konflik yang berkepanjangan dan
frustrasi.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan contoh terbentuknya perilaku
berdasarkan pendekatan holistik.
Contoh 1 :
Karena gagal mengikuti mengikuti testing pada salah satu Fakultas di Perguruan
Tinggi ternama melalui jalur UMPTN (frustration), dan setelah mempertimbangkan
segala sesuatunya (moralitas), secara sukarela Arjuna memutuskan untuk
melanjutkan pada salah program studi yang ada di FKIP UNIKU (sublimasi).
Ketika mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan yang merupakan salah satu mata
kuliah yang wajib diikuti para mahasiswa, sejak awal dia sudah menyadari bahwa dia
kekurangan pengetahuan, sikap dan keterampilannya dalam bidang Psikologi
Pendidikan sehingga dia menyadari Psikologi Pendidikan merupakan kebutuhan bagi
dirinya (need felt) dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya (goals/incentives).
Untuk tujuan jangka pendeknya, dengan berbekal kesadaran diri bahwa dia memiliki
potensi dalam bidang psikologi pendidikan, dia berharap dapat memperoleh
kemampuan baru berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan
dengan psikologi pendidikan, yang diperolehnya dari setiap pertemuan tatap muka
dengan dosen.
Tujuan jangka menengah, pada akhir semester dia berharap lulus mata kuliah
Psikologi Pendidikan dengan mendapatkan nilai A (kebutuhan harga diri). Selain itu,
nanti pada saat mengikuti Program Praktek Lapangan (PPL), dia berharap dapat
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai untuk
jangka panjang, dia benar-benar berharap dapat menjadi guru yang efektif dan
kompeten.
Keinginan dan tujuan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam
bidang psikologi pendidikan, memperoleh kesuksesan belajar dengan mendapatkan
nilai A, memperoleh kesuksesan dalam mengikuti Program Praktek Lapangan (PPL),
keinginan menjadi guru yang efektif dan kompeten kemudian berkembang menjadi
dorongan yang kuat dalam dirinya (motivasi intrinsik)
Pada saat mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan dia senantiasa aktif bertanya
dan mengemukakan pendapatnya tentang materi yang disampaikan, membaca dan
mengkaji buku-buku psikologi pendidikan yang diwajibkan dan dianjurkan oleh
dosen. Setiap tugas yang diberikan diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan tepat
waktu. Dia juga sangat menyukai diskusi tentang psikologi pendidikan dengan
teman-temannya di luar kelas (perilaku instrumental).
Berkat aktivitas dan kesungguhannya dalam mengikuti perkuliahan Psikologi
Pendidikan, dia memperoleh pengetahuan yang luas, sikap yang positif dan memiliki
keterampilan yang bisa dibanggakan dalam menerapkan prinsip-prinsip psikologi.
Pada akhir semester, dia memperoleh nilai terbaik di kelasnya, pada saat PPL dia
termasuk mahasiswa praktikan yang disukai oleh peserta didiknya, bahkan kepala
sekolahnya meminta dia untuk menjadi guru di sekolah menjadi tempat prakteknya.
Setelah dia selesai kuliah dia menjadi guru di sebuah sekolah, para peserta didik
sangat menyenangi dia karena dia sangat dekat dan akrab dengan peserta didiknya.
Begitu juga, rekan-rekan seprofesinya sangat hormat dan kagum atas kinerjanya
sebagai guru. Pada saat mengikuti lomba pemilihan guru berprestasi tingkat
kabupaten, dia berhasil meraih sebagai juara pertama.
Dia sangat mensyukuri atas segala keberhasilannya, baik ketika selama menjadi
mahasiswa maupun setelah menjadi guru (homeostatis). Bagi dirinya, Perkuliahan
Psikologi Pendidikan telah mendasari dia menjadi seorang yang sukses.
Contoh 2 :
Astrajingga rekan seangkatan Arjuna. Dia bercita-cita menjadi seorang ekonom,
karena gagal mengikuti mengikuti testing pada Fakultas Ekonomi di Perguruan
Tinggi ternama melalui jalur UMPTN (frustration), kemudian dia dipaksa orang
tuanya untuk melanjutkan pada salah satu program studi di FKIP UNIKU (motivasi
ekstrinsik/substitusi), sehingga selama kuliah, dia belum menemukan apa tujuan
kuliahnya.
Dia tidak begitu berminat mengikuti perkuliahan mata kuliah kependidikan,
termasuk mata kuliah Psikologi Pendidikan (kurang merasakan adanya kebutuhan
dan kekurangan motivasi). Pikirannya selalu terganggu bahwa seolah-olah dia
sedang kuliah pada Fakutas Ekonomi di Perguruan Tinggi yang diidam-idamkannya
dan dia merasa seolah-olah bakal menjadi Ekonom (fantasi). Dia sering tidak masuk
kuliah, sekalipun dia masuk kuliah hanya sebatas takut dimarahi oleh dosen yang
bersangkutan dan takut dinyatakan tidak lulus (kebutuhan rasa aman). Tugas-tugas
yang diberikan dosen pun jarang dikerjakan, kalaupun dikerjakan hanya alakadarnya
dan selalu telat disetorkan. Dia dihadapkan pada perang batin antara terus
melanjutkan studi yang tidak sesuai dengan cita-citanya atau keluar dari kuliah
dengan resiko orang tua akan marah besar terhadap dirinya (conflict).
Selama satu semester mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan, dia hanya
memperoleh sebagian kecil saja pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang
psikologi pendidikan dan pada akhirnya dia dinyatakan tidak lulus dan terpaksa
harus mengikuti remedial. Sambil menangis (regresi), dia menyalahkan dosen bahwa
dosennya tidak becus mengajar (proyeksi).
3. Taksonomi Perilaku Individu
Kalau perilaku individu mencakup segala pernyataan hidup, betapa banyak kata yang
harus dipergunakan untuk mendeskripsikannya. Untuk keperluan studi tentang perilaku
kiranya perlu ada sistematika pengelompokan berdasarkan kerangka berfikir tertentu
(taksonomi).Dalam konteks pendidikan, Bloom mengungkapkan tiga kawasan (domain)
perilaku individu beserta sub kawasan dari masing-masing kawasan, yakni :
a. Kawasan Kognitif; yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau
berfikir/nalar.
1) Pengetahuan (knowledge);
Pengetahuan merupakan aspek kognitif yang paling rendah tetapi paling
mendasar. Dengan pengetahuan individu dapat mengenal dan mengingat kembali
suatu objek, ide prosedur, konsep, definisi, nama, peristiwa, tahun, daftar, rumus,
teori, atau kesimpulan. Dilihat dari objek yang diketahui (isi) pengetahuan dapat
digolongkan sebagai berikut :
a) Mengetahui sesuatu secara khusus; terdiri dari :
Mengetahui terminologi yaitu berhubungan dengan mengenal atau
mengingat kembali istilah atau konsep tertentu yang dinyatakan dalam
bentuk simbol, baik berbentuk verbal maupun non verbal.
Mengetahui fakta tertentu yaitu mengenal atau mengingat kembali
tanggal, peristiwa, orang tempat, sumber informasi, kejadian masa lalu,
kebudayaan masyarakat tertentu, dan ciri-ciri yang tampak dari keadaan
alam tertentu.
b) Mengetahui tentang cara untuk memproses atau melakukan sesuatu.
Mengetahui kebiasaan atau cara mengetengahkan ide atau pengalaman
Mengetahui urutan dan kecenderungan yaitu proses, arah dan gerakan
suatu gejala atau fenomena pada waktu yang berkaitan.
Mengetahui penggolongan atau pengkategorisasian. Mengetahui kelas,
kelompok, perangkat atau susunan yang digunakan di dalam bidang
tertentu, atau memproses sesuatu.
Mengetahui kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi fakta,
prinsip, pendapat atau perlakuan.
Mengetahui metodologi, yaitu perangkat cara yang digunakan untuk
mencari, menemukan atau menyelesaikan masalah.
Mengetahui hal-hal yang universal dan abstrak dalam bidang tertentu,
yaitu ide, bagan dan pola yang digunakan untuk mengorganisasi suatu
fenomena atau pikiran.
Mengetahui prinsip dan generalisasi
Mengetahui teori dan struktur.
2) Pemahaman (comprehension)
Pemahaman atau dapat dijuga disebut dengan istilah mengerti merupakan
kegiatan mental intelektual yang mengorganisasikan materi yang telah diketahui.
Temuan-temuan yang didapat dari mengetahui seperti definisi, informasi,
peristiwa, fakta disusun kembali dalam struktur kognitif yang ada. Temuan-
temuan ini diakomodasikan dan kemudian berasimilasi dengan struktur kognitif
yang ada, sehingga membentuk struktur kognitif baru. Tingkatan dalam
pemahaman ini meliputi :
4) Penguraian (analysis);
Menentukan bagian-bagian dari suatu masalah dan menunjukkan hubungan
antar-bagian tersebut, melihat penyebab-penyebab dari suatu peristiwa atau
memberi argumen-argumen yang menyokong suatu pernyataan.
Secara rinci Bloom mengemukakan tiga jenis kemampuan analisis, yaitu :
a) Menganalisis unsur :
Kemampuan melihat asumsi-asumsi yang tidak dinyatakan secara
eksplisit pada suatu pernyataan
Kemampuan untuk membedakan fakta dengan hipotesa.
Kemampuan untuk membedakan pernyataan faktual dengan pernyataan
normatif.
Kemampuan untuk mengidentifikasi motif-motif dan membedakan
mekanisme perilaku antara individu dan kelompok.
Kemampuan untuk memisahkan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan
yang mendukungnya.
b) Menganalisis hubungan
5) Memadukan (synthesis)
Menggabungkan, meramu, atau merangkai berbagai informasi menjadi satu
kesimpulan atau menjadi suatu hal yang baru. Kemampuan berfikir induktif dan
konvergen merupakan ciri kemampuan ini. Contoh: memilih nada dan irama dan
kemudian manggabungkannya sehingga menjadi gubahan musik yang baru,
memberi nama yang sesuai bagi suatu temuan baru, menciptakan logo organisasi.
6) Penilaian (evaluation)
Mempertimbangkan, menilai dan mengambil keputusan benar-salah, baik-buruk,
atau bermanfaat – tak bermanfaat berdasarkan kriteria-kriteria tertentu baik
kualitatif maupun kuantitatif. Terdapat dua kriteria pembenaran yang digunakan,
yaitu :
a) Pembenaran berdasarkan kriteria internal; yang dilakukan dengan
memperhatikan konsistensi atau kecermatan susunan secara logis unsur-
unsur yang ada di dalam objek yang diamati.
b) Pembenaran berdasarkan kriteria eksternal; yang dilakukan berdasarkan
kriteria-kriteria yang bersumber di luar objek yang diamati., misalnya
kesesuaiannya dengan aspirasi umum atau kecocokannya dengan kebutuhan
pemakai.
b. Kawasan Afektif; yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti
perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya.
1) Penerimaan (receiving/attending)
Kawasan penerimaan diperinci ke dalam tiga tahap, yaitu :
a) Kesiapan untuk menerima (awareness), yaitu adanya kesiapan untuk
berinteraksi dengan stimulus (fenomena atau objek yang akan dipelajari),
yang ditandai dengan kehadiran dan usaha untuk memberi perhatian pada
stimulus yang bersangkutan.
b) Kemauan untuk menerima (willingness to receive), yaitu usaha untuk
mengalokasikan perhatian pada stimulus yang bersangkutan.
c) Mengkhususkan perhatian (controlled or selected attention). Mungkin
perhatian itu hanya tertuju pada warna, suara atau kata-kata tertentu saja.
2) Sambutan (responding)
Mengadakan aksi terhadap stimulus, yang meliputi proses sebagai berikut :
a) Kesiapan menanggapi (acquiescene of responding). Contoh : mengajukan
pertanyaan, menempelkan gambar dari tokoh yang disenangi pada tembok
kamar yang bersangkutan, atau mentaati peraturan lalu lintas.
b) Kemauan menanggapi (willingness to respond), yaitu usaha untuk melihat
hal-hal khusus di dalam bagian yang diperhatikan. Misalnya pada desain atau
warna saja.
c) Kepuasan menanggapi (satisfaction in response), yaitu adanya aksi atau
kegiatan yang berhubungan dengan usaha untuk memuaskan keinginan
mengetahui. Contoh kegiatan yang tampak dari kepuasan menanggapi ini
adalah bertanya, membuat coretan atau gambar, memotret dari objek yang
menjadi pusat perhatiannya, dan sebagainya.
3) Penghargaan (valuing)
Pada tahap ini sudah mulai timbul proses internalisasi untuk memiliki dan
menghayati nilai dari stimulus yang dihadapi. Penilaian terbagi atas empat tahap
sebagai berikut :
a) Menerima nilai (acceptance of value), yaitu kelanjutan dari usaha
memuaskan diri untuk menanggapi secara lebih intensif.
b) Menyeleksi nilai yang lebih disenangi (preference for a value) yang
dinyatakan dalam usaha untuk mencari contoh yang dapat memuaskan
perilaku menikmati, misalnya lukisan yang memiliki yang memuaskan.
c) Komitmen yaitu kesetujuan terhadap suatu nilai dengan alasan-alasan
tertentu yang muncul dari rangkaian pengalaman. Komitmen ini dinyatakan
dengan rasa senang, kagum, terpesona. Kagum atas keberanian seseorang,
menunjukkan komitmen terhadap nilai keberanian yang dihargainya.
4) Pengorganisasian (organization)
Pada tahap ini yang bersangkutan tidak hanya menginternalisasi satu nilai
tertentu seperti pada tahap komitmen, tetapi mulai melihat beberapa nilai yang
relevan untuk disusun menjadi satu sistem nilai. Proses ini terjadi dalam dua
tahapan, yakni :
a) Konseptualisasi nilai, yaitu keinginan untuk menilai hasil karya orang lain,
atau menemukan asumsi-asumsi yang mendasari suatu moral atau kebiasaan.
b) Pengorganisasian sistem nilai, yaitu menyusun perangkat nilai dalam suatu
sistem berdasarkan tingkat preferensinya. Dalam sistem nilai ini yang
bersangkutan menempatkan nilai yang paling disukai pada tingkat yang amat
penting, menyusul kemudian nilai yang dirasakan agak penting, dan
seterusnya menurut urutan kepentingan.atau kesenangan dari diri yang
bersangkutan.
5) Karakterisasi (characterization).
Karakterisasi yaitu kemampuan untuk menghayati atau mempribadikan sistem
nilai Kalau pada tahap pengorganisasian di atas sistem nilai sudah dapat disusun,
maka susunan itu belum konsisten di dalam diri yang bersangkutan. Artinya
mudah berubah-ubah sesuai situasi yang dihadapi. Pada tahap karakterisasi,
sistem itu selalu konsisten. Proses ini terdiri atas dua tahap, yaitu :
a) Generalisasi, yaitu kemampuan untuk melihat suatu masalah dari suatu sudut
pandang tertentu.
b) Karakterisasi, yaitu mengembangkan pandangan hidup tertentu yang
memberi corak tersendiri pada kepribadian diri yang bersangkutan.
1) Gerakan refleks (reflex movements). Basis semua perilaku bergerak atau respons
terhadap stimulus tanpa sadar, misalnya : melompat, menunduk, berjalan, dan
sebagainya.
2) Gerakan dasar biasa (Basic fundamental movements) yaitu gerakan yang muncul
tanpa latihan tapi dapat diperhalus melalui praktik, yang terpola dan dapat
ditebak.
3) Gerakan Persepsi (Perceptual abilities) yaitu gerakan sudah lebih meningkat
karena dibantu kemampuan perseptual.
4) Gerakan fisik (Physical Abilities) yaitu gerakan yang menunjukkan daya tahan
(endurance), kekuatan (strength), kelenturan (flexibility) dan kegesitan.
5) Gerakan terampil (skilled movements) yaitu dapat mengontrol berbagai
tingkatan gerak secara terampil, tangkas, dan cekatan dalam melakukan gerakan
yang sulit dan rumit (kompleks).
6) Gerakan indah dan kreatif (Non-discursive communication) yaitu
mengkomunikasikan perasan melalui gerakan, baik dalam bentuk gerak estetik:
gerakan-gerakan terampil yang efisien dan indah maupun gerak kreatif: gerakan-
gerakan pada tingkat tertinggi untuk mengkomunikasikan peran.
P = f (S,O)
D. Latihan
Soal :
Pilihan Ganda :
Pilihlah salah satu jawaban yang menurut Anda paling tepat, dengan cara memberikan tanda
silang (X) !
2. Psikologi pendidikan dapat diartikan sebagai :
1) Ilmu Jiwa
2) Ilmu yang mempelajari tentang perilaku peserta didik .
3) Ilmu yang mempelajari perilaku individu dalam situasi pendidikan.
4) a, b, dan c benar
3. Beberapa persyaratan ilmu yang sudah dipenuhi oleh Psikologi Pendidikan, kecuali :
a. Memiliki obyek yang jelas yaitu perilaku individu yang terlibat dalam pendidikan.
b. Konsep dan teori Psikologi Pendidikan diperoleh berdasarkan upaya yang sistematis,
baik melalui pendekatan kuantitatif maupun kualitatif.
c. Menjadi pedoman bagi para pendidik dalam mengembangkan proses pendidikan.
d. Memberikan manfaat untuk kepentingan efektivitas dan efisiensi pendidikan.
4. Arti penting Psikologi Pendidikan bagi guru adalah :
a. Guru dapat menjalankan peran tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien
b. Guru dapat merencanakan pembelajaran dengan sebaik-baiknya
c. Guru dapat melaksanakan pembelajaran secara efektif.
d. Guru dapat menilai peserta didiknya secara efisien.
5. Mekanisme terbentuknya perilaku sadar menurut pandangan Behaviorisme
a. W S Ow R W
b. S R
c. S O R
d. WS O R W
6. Di bawah ini merupakan jenis-jenis kebutuhan individu yang dikemukakan oleh Maslow,
kecuali :
a. Kebutuhan akan prestasi.
b. Kebutuhan akan harga diri.
c. Kebutuhan akan rasa aman.
d. Kebutuhan akan aktualisasi diri.
7. Konflik yang dialami jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua
alternatif motif sama-sama kuat namun tidak dikehendaki dan bersifat negatif.
a. Approach- avoidance conflict
b. Approach-approach conflict
c. Avoidance-avoidance conflict
d. a, b , dan c benar
B. Pokok Bahasan
1. Keragaman Individu dalam Kecakapan dan Kepribadian.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Keragaman dalam Kecakapan dan
Kepribadian.
C. Intisari Bacaan
1. Keragaman Individu dalam Kecakapan dan Kepribadian
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru mungkin akan dihadapkan dengan puluhan
atau bahkan ratusan peserta didiknya, dengan masing-masing karakateristik yang
dimilikinya.
Di antara sekian banyak karakteristik yang dimiliki peserta didik, yang penting dan perlu
diketahui guru adalah berkenaan dengan kecakapan dan kepribadian peserta
didiknya.Dari segi kecepatan belajar, ada peserta didik yang menunjukkan cepat dalam
menangkap pelajaran, namun sebaliknya ada juga yang sangat lambat. Dari segi
kepribadian, guru akan berhadapan dengan ciri-ciri kepribadian para peserta didiknyanya
yang khas atau unik.
Berhadapan dengan peserta didik yang memiliki kecepatan belajar dan memiliki ciri-ciri
kepribadian yang positif, guru mungkin akan menganggap seolah-olah tidak ada
hambatan. Namun ketika berhadapan dengan peserta didik yang lambat dalam belajar
atau ciri-ciri kepribadian yang negatif, adakalanya guru dibuat frustrasi. Ujung-ujungnya
dia langsung saja akan menyimpulkan bahwa peserta didiklah yang salah. Peserta didik
dianggap kurang rajin, bodoh, malas, kurang sungguh-sungguh dan sebagainya.
Jika saja guru tersebut dapat memahami tentang keragaman individu, belum tentu dia
akan langsung menarik kesimpulan bahwa peserta didiklah yang salah. Terlebih dahulu
mungkin dia akan mempelajari latar belakang sosio-psikologis peserta didiknya, sehingga
akan diketahui secara akurat kenapa peserta didik itu lambat dalam belajar, selanjutnya
dia berusaha untuk menemukan solusinya dan menetukan tindakan apa yang paling
mungkin bisa dilakukan agar peserta didik tersebut dapat mengembangkan perilaku dan
pribadinya secara optimal.
Membicarakan tentang keragaman individu secara luas dan mendalam sebetulnya sudah
merupakan kajian tersendiri yaitu dalam bidang Psikologi Diferensial. Untuk kepentingan
pengetahuan guru dalam memahami peserta didiknya, di bawah ini akan diuraikan dua
jenis keragaman individu yaitu keragaman dalam kecakapan dan kepribadian.
a. Keragaman Individu dalam Kecakapan
Kecakapan individu dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu kecakapan nyata (actual
ability) dan kecakapan potensial (potential ability).
Kecakapan nyata (actual ability) yaitu kecakapan yang diperoleh melalui belajar
(achivement atau prestasi), yang dapat segera didemonstrasikan dan diuji sekarang.
Misalkan, setelah selesai mengikuti proses perkuliahan (kegiatan tatap muka di
kelas), pada akhir perkuliahan mahasiswa diuji oleh dosen tentang materi yang
disampaikannya (tes formatif). Ketika mahasiswa mampu menjawab dengan baik
tentang pertanyaan dosen, maka kemampuan tersebut merupakan atau kecakapan
nyata (achievement).
Sedangkan kecakapan potensial merupakan aspek kecakapan yang masih terkandung
dalam diri individu dan diperoleh dari faktor keturunan (herediter). Kecakapan
potensial dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu kecakapan dasar umum (inteligensi
atau kecerdasan) dan kecakapan dasar khusus (bakat atau aptitudes).
C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian inteligensi sebagai kemampuan
menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif.
Pada awalnya teori inteligensi masih bersifat unidimensional (kecerdasan tunggal),
yakni hanya berhubungan dengan aspek intelektual saja, seperti teori inteligensi
yang dikemukakan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factors”-nya.
Menurut pendapatnya bahwa inteligensi terdiri dari kemampuan umum yang diberi
kode “g” (genaral factor) dan kemampuan khusus yang diberi kode “s” (specific
factor).
Selanjutnya, Thurstone (1938) mengemukakan teori “Primary Mental Abilities”,
bahwa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan primer, yaitu : (1)
kemampuan berbahasa (verbal comprehension); (2) kemampuan mengingat
(memory); (3) kemampuan nalar atau berfikir (reasoning); (4) kemampuan tilikan
ruangan (spatial factor); (5) kemampuan bilangan (numerical ability); (6)
kemampuan menggunakan kata-kata (word fluency); dan (7) kemampuan mengamati
dengan cepat dan cermat (perceptual speed).
Sementara itu, J.P. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga
kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu :
1. Operasi Mental (Proses Befikir)
a. Cognition (menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi yang
baru).
b. Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari).
c. Memory Recording (ingatan yang segera).
d. Divergent Production (berfikir melebar=banyak kemungkinan jawaban/
alternatif).
e. Convergent Production (berfikir memusat= hanya satu kemungkinan
jawaban/alternatif).
f. Evaluation (mengambil keputusan tentang apakah suatu itu baik, akurat, atau
memadai).
2. Content (Isi yang Dipikirkan)
a. Visual (bentuk konkret atau gambaran).
b. Auditory.
c. Word Meaning (semantic).
d. Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi
musik).
e. Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan,
ekspresi muka atau suara).
3. Product (Hasil Berfikir)
a. Unit (item tunggal informasi).
b. Kelas (kelompok item yang memiliki sifat-sifat yang sama).
c. Relasi (keterkaitan antar informasi).
d. Sistem (kompleksitas bagian saling berhubungan).
e. Transformasi (perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi).
f. Implikasi (informasi yang merupakan saran dari informasi item lain).
Belakangan ini banyak orang menggugat tentang kecerdasan intelektual
(unidimensional), yang konon dianggap sebagai anugerah yang dapat mengantarkan
kesuksesan hidup seseorang. Pertanyaan muncul, bagaimana dengan tokoh-tokoh
dunia, seperti Mozart dan Bethoven dengan karya-karya musiknya yang
mengagumkan, atau Maradona dan Pele sang legenda sepakbola dunia,. Apakah
mereka termasuk juga orang-orang yang genius atau cerdas ? Dalam teori kecerdasan
tunggal (uni-dimensional), kemampuan mereka yang demikian hebat ternyata tidak
terakomodasikan. Maka muncullah, teori inteligensi yang berusaha mengakomodir
kemampuan-kemampuan individu yang tidak hanya berkenaan dengan aspek
intelektual saja. Dalam hal ini, Howard Gardner (1993), mengemukakan teori
Multiple Inteligence, dengan aspek-aspeknya sebagai tampak dalam tabel di bawah
ini:
MA (Mental Age)
IQ= 100 x
CA (Chronological Age)
Di bawah ini disajikan norma ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
IQ KATEGORI PERSENTASE
> 140 Jenius (Genius) 0.25 %
130-139 Sangat Unggul (Very Superior) 0.75 %
120-129 Unggul (Superior) 6%
110-119 Diatas rata-rata (High Average) 13 %
90-109 Rata-rata (Average) 60 %
80 - 89 Dibawah Rata-Rata (Low Average) 13 %
70 - 79 Bodoh (Dull) 6%
50 - 69 Debil (Moron) 0.75 %
25 - 49 Imbecil 0.20 %
< 25 Idiot 0.05 %
Selain menggunakan instrumen standar, seorang guru pada dasarnya dapat pula
mendeteksi dan memperkirakan inteligensi peserta didiknya, melalui pengamatan
yang sistematis tentang indikator – indikator kecerdasan yang dimiliki para peserta
didiknya, yaitu dengan cara memperhatikan kecenderungan kecepatan ketepatan,
dan kemudahan peserta didik dalam dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan
dan mengerjakan soal-soal pada saat ulangan atau ujian, sehingga pada akhirnya akan
diketahui kelompok peserta didik yang tergolong cepat (upper group), rata-rata
(midle group) dan lambat (lower group) dalam belajarnya.
Untuk mengukur bakat seseorang, dapat menggunakan beberapa instrumen standar,
diantaranya : DAT (Differential Aptitude Test), SRA-PMA (Science Research Action
– Primary Mental Ability), FACT (Flanagan Aptitude Calassification Test).
Alat tes ini dapat mengungkap tentang : (1) pemahaman kata; (2) kefasihan
mengungkapkan kata; (3) pemahaman bilangan; (4) tilikan ruangan; (5) daya ingat;
(6) kecepatan pengamatan; (7) berfikir logis; dan (8) kecakapan gerak.
Perlu dicatat bahwa pengukuran tersebut, baik menggunakan instrumen standar atau
hanya berdasarkan pengamatan sistematis guru bukanlah bersifat memastikan tingkat
kecerdasan atau bakat seseorang namun hanya sekedar memperkirakan (prediksi)
saja, untuk kepentingan pengembangan diri. Begitu juga kecerdasan atau bakat
seseorang bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tingkat keberhasilan atau
kesuksesan hidup seseorang.
Dalam rangka Program Percepatan Belajar (Accelerated Learning), Balitbang
Depdiknas (1986) telah mengidentifikasi ciri-ciri keberbakatan peserta didik dilihat
dari aspek kecerdasan, kreativitas dan komitmen terhadap tugas, yaitu:
P= f (H.E.M)
D. Latihan
Soal :
Pilihan Ganda
Pilihlah salah satu jawaban yang menurut Anda paling tepat, dengan cara memberikan tanda
silang (X) !
1. Kecakapan khusus individu yang merupakan hasil pembawaan.
a. Achievement
b. Aptitude
c. Inteligensi
d. Kepribadian
2. Untuk mengenali tingkat kecerdasan peserta didiknya, seorang guru dapat melakukan
pengamatan dengan melihat indikator sebagai berikut :
a. hasil belajar yang diperoleh peserta didik, terutama dalam mata pelajaran Matematika
dan bahasa Inggris
b. kecepatan ketepatan, dan kemudahan peserta didiknya dalam menyelesaikan tugas-
tugas yang diberikan dan mengerjakan soal-soal pada saat ulangan atau ujian.
c. cara berbicara dan bertindak peserta didik sehari-hari.
d. a, b dan c benar.
3. Inteligensi merupakan penjelmaan dari : (1) kemampuan berbahasa (verbal
comprehension); (2) kemampuan mengingat (memory); (3) kemampuan nalar atau
berfikir (reasoning); (4) kemampuan tilikan ruangan (spatial factor); (5) kemampuan
bilangan (numerical ability); (6) kemampuan menggunakan kata-kata (word fluency); dan
(7) kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat (perceptual speed). Merupakan teori
inteligensi :
a. Two Factors
b. Primary Mental Abilities
c. Multiple Intlelligence
d. a, b, dan c benar
4. Intelligence Quotient (IQ) merupakan ukuran tingkat kecerdasan seseorang dibandingkan
dengan :
a. kemampuan
b. usia
c. prestasi belajar
d. a, b, dan c benar
5. Berdasarkan hasil test kecerdasan, siswa X memperoleh ukuran kecerdasan (IQ) sebesar
135. Hasil ini menunjukkan bahwa siswa X memiliki kecerdasan tergolong :
a. Very Superior
b. Superior
c. Genius
d. Di atas rata-rata
6. Di bawah ini merupakan ciri-ciri keberbakatan dalam rangka percepatan belajar
(accelerated learning), kecuali :
a. tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar.
b. selalu memperoleh peringkat pertama di kelas
c. memiliki kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah.
d. mampu belajar/bekerja secara mandiri.
7. Di bawah ini merupakan aspek-aspek kepribadian menurut Abin Syamsuddin Makmun :
a. karakter dan temperamen stabilitas emosi
b. sikap dan stabilitas emosi
c. responsibilitas dan sosiabilitas
d. a, b, dan c benar
8. Disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-
rangsangan yang datang dari lingkungan.
a. karakter
b. temperamen
c. stabilitas emosi
d. sikap dan stabilitas emosi
9. Terjadi pensurutan sifat atau ciri perilaku dari kedua orangtua pada anaknya yang
disebabkan oleh gaya tarik-menarik dalam perpaduan pembawaan ayah dan ibunya.
a. Asas Reproduksi
b. Asas Variasi
c. Asas konformitas
d. Asas Jenis Menyilang
10. Penyesuaian diri yang dilakukan individu dengan berusaha merubah lingkungannya.
a. alloplastis
b. autoplastis
c. mal-adjusment
d. well-adjusment
Uraian
1. Jelaskan tentang teori Multiple Inteligensi menurut Howard Gardner !
2. Jelaskan bagaimana cara mengukur kecerdasan seseorang ?
3. Jelaskan bahwa faktor herediter, lingkungan dan kematangan dapat mempengaruhi
terhadap timbulnya keragaman dalam kecakapan dan kepribadian !
BAB III PERKEMBANGAN INDIVIDU
A. Tujuan :
Setelah mempelajari Bab ini, diharapkan Anda dapat :
1. Mendefinisikan perkembangan, tugas perkembangan individu dan masa remaja.
2. Mengidentifikasi ciri-ciri umum perkembangan, prinsip-prinsip perkembangan, dan
model pentahapan perkembangan individu.
3. Menjelaskan tahapan perkembangan individu berdasarkan pendekatan didaktis.
4. Menjelaskan tentang aspek-aspek perkembangan individu, aspek-aspek perkembangan
perilaku dan pribadi pada masa remaja, serta problema yang dihadapi pada masa remaja.
5. Menguraikan tugas-tugas perkembangan individu pada masa bayi kanak-kanak, dan
remaja.
B. Pokok Bahasan
1. Pengertian Perkembangan.
2. Ciri-Ciri Umum Perkembangan Individu
3. Model Pentahapan Perkembangan.
4. Aspek – Aspek Perkembangan Individu.
5. Tugas – Tugas Perkembangan Individu
6. Perkembangan Pada Masa Remaja
C. Intisari Bacaan
1. Pengertian Perkembangan
Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang sistematis, progresif dan
berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya atau dapat
diartikan pula sebagai perubahan – perubahan yang dialami individu menuju tingkat
kedewasaan atau kematangannya.
Yang dimaksud dengan sistematis adalah bahwa perubahan dalam perkembangan itu
bersifat saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara satu bagian dengan
bagian lainnya, baik fisik maupun psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis.
Contoh : kemampuan berbicara seseorang akan sejalan dengan kematangan dalam
perkembangan intelektual atau kognitifnya. Kemampuan berjalan seseorang akan seiring
dengan kesiapan otot-otot kaki. Begitu juga ketertarikan seorang remaja terhadap jenis
kelamin lain akan seiring dengan kematangan organ-organ seksualnya.
Progresif berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik
secara kuantitatif (fisik) mapun kualitatif (psikis). Contoh : perubahan proporsi dan
ukuran fisik (dari pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar); perubahan
pengetahuan dan keterampilan dari sederhana sampai kepada yang kompleks (mulai dari
mengenal huruf sampai dengan kemampuan membaca buku).
Berkesinambungan artinya bahwa perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu
berlangsung secara beraturan atau berurutan. Contoh : untuk dapat berdiri, seorang anak
terlebih dahulu harus menguasai tahapan perkembangan sebelumnya yaitu kemampuan
duduk dan merangkak.
Lebih jauh lagi, Syamsu Yusuf (2003) memerinci, beberapa prinsip perkembangan
individu, yaitu :
a. Perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti.
b. Semua aspek perkembangan saling berhubungan.
c. Perkembangan terjadi pada tempo yang berlainan.
d. Setiap fase perkembangan mempunyai ciri khas.
e. Setiap individu normal akan mengalami tahapan/fase perkembangan.
f. Perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu.
Yelon dan Winstein (Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan tentang arah atau pola
perkembangan sebagai berikut :
1. Cephalocaudal & proximal-distal (perkembangan manusia itu mulai dari kepala
ke kaki dan dari tengah (jantung, paru dan sebagainya) ke samping (tangan).
2. Struktur mendahului fungsi.
3. Diferensiasi ke integrasi.
4. Dari konkret ke abstrak.
5. Dari egosentris ke perspektivisme.
6. Dari outer control ke inner control.
2. Ciri-Ciri Umum Perkembangan Individu
Perkembangan individu mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :
a. Terjadinya perubahan dalam aspek :
1. Fisik; seperti : berat dan tinggi badan.
2. Psikis; seperti : berbicara dan berfikir.
b. Terjadinya perubahan dalam proporsi.
1. Fisik; seperti : proporsi tubuh anak berubah sesuai dengan fase
perkembangannya.
2. Psikis; seperti : perubahan imajinasi dari fantasi ke realistis.
c. Lenyapnya tanda-tanda yang lama.
1. Fisik; seperti: rambut-rambut halus dan gigi susu, kelenjar thymus dan kelenjar
pineal.
2. Psikis; seperti : lenyapnya masa mengoceh, perilaku impulsif.
d. Diperolehnya tanda-tanda baru.
1. Fisik; seperti : pergantian gigi dan karakteristik sex pada usia remaja, seperti
kumis dan jakun pada laki dan tumbuh payudara dan menstruasi pada wanita,
tumbuh uban pada masa tua.
2. Psikis; seperti berkembangnya rasa ingin tahu, terutama yang berkaitan dengan
sex, ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral dan keyakinan beragama.
3. Model Pentahapan Perkembangan Individu
Memperhatikan kompleksitas dari sifat perkembangan individu, maka untuk kepentingan
studi para ahli telah mencoba mengembangkan model pentahapan (stages) mengenai
proses perkembangan. Para ahli mengemukakan pendapat tentang model – model
petahapan yang beragam, yang secara garis besarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga
pendekatan yaitu pendekatan biologis, didaktis, dan psikologis. Di bawah ini disajikan
tabel tentang model tahapan perkembangan yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Dengan memperhatikan fase dan ciri-ciri perkembangan di atas, Sunaryo, dkk. telah
mengembangkan suatu instrumen untuk melacak tugas-tugas perkembangan individu.
Yang dikenal dengan sebutan Inventori Tugas Perkembangan (ITP).
Selanjutnya, dengan merujuk pada pemikiran Syamsu Yusuf (2003), di bawah ini
dikemukakan tahapan perkembangan individu dengan menggunakan pendekatan didaktis:
a. Masa Usia Pra Sekolah
Masa Usia Pra Sekolah terbagi dua yaitu (1) Masa Vital dan (2) Masa Estetik
1. Masa Vital; pada masa ini individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk
menemukan berbagai hal dalam dunianya. Untuk masa belajar pada tahun
pertama dalam kehidupan individu , Freud menyebutnya sebagai masa oral
(mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber kenikmatan dan merupakan alat
untuk melakukan eksplorasi dan belajar.Pada tahun kedua anak belajar berjalan
sehingga anak belajar menguasai ruang, mulai dari yang paling dekat sampai
dengan ruang yang jauh. Pada tahun kedua umunya terjadi pembiasaan terhadap
kebersihan. Melalui latihan kebersihan, anak belajar mengendalikan impuls-
impuls atau dorongan-dorongan yang datang dari dalam dirinya.
2. Masa Estetik; dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan. Anak
bereksplorasi dan belajar melalui panca inderanya. Pada masa ini panca indera
masih sangat peka.
b. Masa Usia Sekolah Dasar
Masa Usia Sekolah Dasar disebut juga masa intelektual, atau masa keserasian
bersekolah pada umur 6-7 tahun anak dianggap sudah matang untuk memasuki
sekolah. Masa Usia Sekolah Dasar terbagi dua, yaitu : (a) masa kelas-kelas rendah
dan (b) masa kelas tinggi.
Ciri-ciri pada masa kelas-kelas rendah(6/7 – 9/10 tahun) :
1. Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi
2. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional.
3. Adanya kecenderungan memuji diri sendiri
4. Membandingkan dirinya dengan anak yang lain
5. Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak
penting.
6. Pada masa ini (terutama usia 6 – 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor
yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik
atau tidak.
Ciri-ciri pada masa kelas-kelas tinggi (9/10-12/13 tahun) :
1. Minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret
2. Amat realistik, rasa ingin tahu dan ingin belajar
3. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal atau mata pelajaran
khusus sebagai mulai menonjolnya bakat-bakat khusus
4. Sampai usia 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk
menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas usia ini pada
umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk
menyelesaikannya
5. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran tepat
mengenai prestasi sekolahnya.
6. Gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama. Dalam permainan
itu mereka tidak terikat lagi dengan aturan permainan tradisional (yang sudah
ada), mereka membuat peraturan sendiri.
c. Masa Usia Sekolah Menegah
Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja, yang terbagai ke
dalam 3 bagian yaitu :
1. masa remaja awal; biasanya ditandai dengan sifat-sifat negatif, dalam jasmani dan
mental, prestasi, serta sikap sosial,
2. masa remaja; pada masa ini mulai tumbuh dorongan untuk hidup, kebutuhan akan
adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya. Pada masa ini sebagai
masa mencari sesuatu yang dipandang bernilai, pantas dijunjung dan dipuja.
3. masa remaja akhir; setelah remaja dapat menentukan pendirian hidupnya, pada
dasarnya telah tercapai masa remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas
perkembangan pada masa remaja, yang akan memberikan dasar bagi memasuki
masa berikutnya yaitu masa dewasa.
d. Masa Usia Kemahasiswaan (18,00-25,00 tahun)
Masa ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal atau
dewasa madya, yang intinya pada masa ini merupakan pemantapan pendirian hidup.
4. Aspek- Aspek Perkembangan Individu
a. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik individu mencakup aspek-aspek :
1. Perkembangan anatomis; adanya perubahan kuantitatif pada struktur tulang,
indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis
keajegan badan secara secara keseluruhan.
2. Perkembangan fisiologis; ditandai dengan adanya perubahan secara kualitatif,
kuantitaif dan fungsional dari sistem kerja biologis, seperti konstraksi otot-otot,
peredaran darah dan pernafasan, persyarafan, sekresi kelenjar dan pencernaan.
Laju perkembangan berjalan secara berirama, pada masa bayi dan kanak-kanak
perubahan fisik sangat pesat, pada usia sekolah menjadi lambat, mulai masa remaja
terjadi amat mencolok. Kemudian, pada permulaan masa remaja akhir bagi wanita
dan penghujung masa remaja akhir bagi pria, laju per- kembangan menurun sangat
lambat bahkan menjadi mapan.
b. Perkembangan Perilaku Psikomotorik
Perkembangan psikomotorik memerlukan adanya koordinasi fungsional antara
neuronmuscular system (sistem syaraf dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif,
konatif).
Dua prinsip utama dalam perkembangan psikomotorik, yaitu : (1) bahwa
perkembangan itu berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks, dan (2)
dari yang kasar dan global (gross bodily movements) kepada yang halus dan spesifik
dan terkoordinasikan (finely coordinated movements).
Loree dalam Abin Syamsuddin (2003) mengatakan bahwa ada dua macam perilaku
psikomotorik utama yang bersifat universal harus dikuasai oleh setiap individu pada
masa bayi atau masa kanak-kanak yaitu berjalan (walking) dan memegang benda
(prehension). Kedua jenis keterampilan ini menjadi dasar bagi perkembangan
keterampilan yang lebih kompleks untuk bermain (playing) dan bekerja (working).
c. Perkembangan Bahasa
Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan yang membedakan antara manusia
dengan hewan. Melalui bahasa, manusia, mengkodifikasikan, mencatat, menyimpan,
mengekspresikan dan mengkomunikasikan berbagai informasi, baik dalam bentuk
lisan, tulisan, gambar, lukisan gerak - gerik, dan mimik serta simbol ekspresif
lainnya. Perkembangan bahasa dimulai dengan masa meraban, bicara monolog,
haus nama-nama, gemar bertanya yang tidak selalu harus dijawab, membuat
kalimat sederhana, dan bahasa ekspresif dengan belajar menulis, membaca dan
menggambar permulaan.
d. Perkembangan Perilaku Kognitif
Dengan menggunakan hasil pengukuran tes inteligensi yang mencakup General
Information and Verbal Analogies, Jones dan Conrad (Loree,1970) menunjukkan
bahwa laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai masa remaja,
setelah itu kepesatannya berangsur menurun.
Puncak perkembangan pada umumnya tercapai di penghujung masa remaja akhir.
Perubahan-perubahan amat tipis sampai usia 50 tahun, dan setelah itu terjadi plateau
(mapan) sampai dengan usia 60 tahun selanjutnya berangsur menurun.
Dengan berpatokan kepada hasil tes IQ, Bloom (1964) mengungkapkan prosentase
taraf perkembangan sebagai berikut :
Usia Perkembangan
1 tahun Sekitar 20 %
4 tahun Sekitar 50 %
8 tahun Sekitar 80 %
13 tahun Sekitar 92 %
Tahap Ciri-Ciri
Kanak-Kanak Awal ( 0 – 3 ) Segala sesuatu dilihat berdasarkan pandangan
Subyektif sendiri
Kritis I ( 3 - 4 )
Pembantah, keras kepala
Trozt Alter
Kanak – Kanak Akhir ( 4 – 6 )
Masa Subyektif Menuju Mulai bisa menyesuaikan diri dengan aturan
Masa Obyektif
Anak Sekolah ( 6 – 12 )
Membandingkan dengan aturan – aturan
Masa Obyektif
Kritis II ( 12 – 13 )
Perilaku coba-coba, serba salah, ingin diuji
Masa Pre Puber
Remaja Awal ( 13 – 16 )
Mulai menyadari adanya kenyataan yang
Masa Subyektif Menuju
berbeda dengan sudut pandangnya
Masa Obyektif
Remaja Akhir ( 16 – 18 ) Berperilaku sesuai dengan tuntutan
Masa Obyektif masyarakat dan kemampuan dirinya
f. Perkembangan Moralitas
Ketika individu mulai menyadari bahwa ia merupakan bagian dari lingkungan sosial
dimana ia berada, bersamaan itu pula individu mulai menyadari bahwa dalam
lingkungan sosialnya terdapat aturan-aturan, norma-norma/nilai-nilai sebagai dasar
atau patokan dalam berperilaku. Keputusan untuk melakukan sesuatu berdasarkan
pertimbangan norma yang berlaku dan nilai yang dianutnya itu disebut moralitas.
Dalam hal ini, Kohlberg mengemukakan tahapan perkembangan moralitas individu,
sebagaimana tampak dalam tabel berikut :
Tingkat Tahap
1. Orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman
Pre Conventional (0 – 9)
2. Relativistik hedonism
3. Orientasi mengenai anak yang baik
Conventional (9 – 15) 4. Mempertahankan norma-norma sosial dan
otoritas
5. Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya
Post Conventional ( > 15 ) dengan lingkungan sosial
6. Prinsip etis universal
Tahapan Ciri-Ciri
Sikap reseptif meskipun banyak bertanya
Pandangan ke-Tuhan-an yang dipersonifikasi
Masa
Kanak-Kanak Penghayatan secara rohaniah yang belum mendalam
Hal ke-Tuhan-an dipahamkan secara ideosyncritic (menurut
khayalan pribadinya)
Sikap reseptif yang disertai pengertian
Pandangan ke-Tuhan-an yang diterangkan secara rasional
Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, melaksanakan
kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral
Sikap negatif disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat realita
orang – orang beragama yang hypocrit (pura-pura)
Masa Sekolah Pandangan ke-Tuhan-an menjadi kacau, karena beragamnya aliran
Masa paham yang saling bertentangan
Remaja Awal Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik, sehingga banyak yang
Masa enggan melaksanakan ritual yang selama ini dilakukan dengan
penuh kepatuhan
Remaja Akhir
Sikap kembali ke arah positif, bersamaan dengan kedewasaan
intelektual bahkan akan agama menjadi pegangan hidupnya
Pandangan ke-Tuhan-an dipahamkannya dalam konteks agama yang
dianut dan dipilihnya
Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses
identifikasi dan merindu puja, ia dapat membedakan antara agama
sebagai doktrin atau ajaran manusia
h. Perkembangan Perilaku Konatif
Perilaku konatif merupakan perilaku yang berhubungan dengan motivasi atau faktor
penggerak perilaku seseorang yang bersumber dari kebutuhan-kebutuhannya. Freud
(Di Vesta & Thompson dalam Abin Syamsuddin,2003) mengemukakan tentang
tahapan-tahapan perkembangan perilaku yang berhubungan obyek pemuasan
psychosexual, sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini :
Daerah
Cara Pemuasan Sasaran Pemuasan
Sensitif
A. MASA BAYI DAN KANAK-KANAK (INFANCY PERIOD)
Pre Genital
Infantile Sexuality
Period
Oral Stage Mulut dan benda
Early Oral Menghisap ibu jari Mulut sendiri, memilih dan
memasukkan benda kemulut
Late Oral Menggigit, merusak dengan mulut Memilih benda dan digigitnya
secara sadis
Anal Stage Dubur dan benda
Usia Ciri-Ciri
Bayi dilengkapi kepekaan umum terhadap rangsangan – rangsangan
Pada saat dilahirkan
tertentu (bunyi, cahaya, temperatur)
Kesenangan dan kegembiraan mulai didefinisikan dari emosi orang
0 - 3 bln
tuanya
Ketidaksenangan berdiferensiasi ke dalam kemarahan, kebencian dan
3 – 6 bln
ketakutan
9 – 12 bln Kegembiraan berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
Kecemburuan mulai berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih
18 bulan pertama
sayang
2 th Kenikmatan dan keasyikan berdiferensiasi dari kesenangan
Ketidaksenangan berdiferensiasi di dalam rasa malu, cemas dan
5 th kecewa sedangkan kesenangn berdiferensiasi ke dalam harapan dam
kasih sayang
j. Perkembangan Kepribadian
Meskipun kepribadian seseorang itu relatif konstan, namun dalam kenyataannya
sering ditemukan bahwa perubahan kepribadian dapat dan mungkin terjadi, terutama
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dari pada faktor fisik.
Erikson dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 2005 mengemukakan tahapan
perkembangan kepribadian dengan kecenderungan yang bipolar :
k. Perkembangan Karier
Perkembangan karier sangat erat kaitannya dengan pekerjaan seseorang.
Keberhasilan seseorang dalam suatu pekerjaan bukanlah sesuatu yang diperoleh
secara tiba-tiba atau secara kebetulan, namun merupakan suatu proses panjang dari
tahapan perkembangan karier yang dilalui sepanjang hayatnya, mulai dari usaha
memperoleh kesadaran karier, eksplorasi karier, persiapan karier hingga sampai pada
penempatan kariernya.
Tylor & Walsh (1979) menyebutkan bahwa kematangan karier individu diperoleh
manakala ada kesesuaian antara perilaku karier dengan perilaku yang diharapkan
pada umur tertentu. Adapun yang dimaksud dengan perilaku karier yaitu segenap
perilaku yang ditampilkan individu dalam usaha menyiapkan masa depan untuk
memperoleh kematangan kariernya.
Selanjutnya, berkenaan dengan tahapan perkembangan karier, Zunker (Popon Sy.
Arifin,1983) mengemukakan lima tahapan perkembangan karier individu,
sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini :
Tahap Ciri-Ciri Usia
Development of capacity, attitudes,
Growth interest, and needs associated with self (birth -14 or 15)
concept
Tentative phase in which choices are
Exploratory (15 – 24)
narrowed but not finalized
Trial and stabilization trhough work
Establishment (25 – 44)
experiences
A continual adjustment process to
Maintenance (45 – 64)
improve working position and situation
Preretirement consideration, work out
Decline (65 - …)
put, and eventual retirement.
Masa Dewasa :
Masa Tua
Tengah Baya
Masa Dewasa Awal
Masa Remaja (Adolesence) :
(1) Late Adolesence (18 – 21 th)
(2) Early Adolesence (16 – 17 th)
(3) Pre Adolesence (11 – 13 th)
Masa Kanak-Kanak (2 th – Remaja)
Masa Bayi (2 Minggu s.d. 2 th)
Masa Orok (10 –14 hari)
Masa Konsepsi (Pranatal) (0-9 bln)
D. Latihan
Soal :
Pilihan Ganda :
Pilihlah salah satu jawaban yang menurut Anda paling tepat, dengan cara memberikan tanda
silang (X) !
1. Perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling kebergantungan atau saling
mempengaruhi antara satu bagian dengan bagian lainnya.
a. Perkembangan bersifat progresif.
b. Perkembangan bersifat sistematis
c. Perkembangan berkesinambungan.
d. a, b dan c benar
2. Di bawah ini merupakan ciri-ciri umum perkembangan individu, kecuali :
a. Terjadinya perubahan dalam proporsi.
b. Diperolehnya tanda-tanda baru
c. Setiap individu menjadi lebih matang.
d. Lenyapnya tanda-tanda yang lama.
3. Ahli yang mengelompokkan tahapan perkembangan berdasarkan pendekatan didaktis.
a. Rosseau
b. Kretschmer
c. Piaget
d. Elizabeth Hurlock
4. Menurut Lovenger, tahapan perkembangan tertinggi untuk siswa tingkat SMTA, yaitu :
a. Konformistik
b. Seksama
c. Individualistik
d. Otonomi
5. Perkembangan fisik yang sangat pesat terjadi pada masa :
a. bayi (0-2 th), kanak-kanak (2-7 th) dan sekolah (7-12 th).
b. bayi (0-2 th), kanak-kanak (2-7 th) dan remaja (12-20 th).
c. kanak-kanak (2-7 th) dan remaja (12-20 th)
d. bayi (0-2 th) dan remaja (12-20 th).
6. Perkembangan psikomotorik utama yang harus dikuasai pada masa bayi dan masa kanak-
kanak :
a. Merangkak dan memegang
b. Memegang dan berjalan
c. Berjalan dan berbicara
d. Memegang dan berbicara
7. Pola urutan perkembangan bahasa adalah :
a. Meraban, bicara monolog, gemar bertanya, bahasa ekspresif, haus nama-nama.
b. Meraban, bicara monolog, gemar bertanya, haus nama-nama,. membuat kalimat
sederhana, bahasa ekspresif.
c. Meraban, bicara monolog, haus nama-nama, gemar bertanya, membuat kalimat
sederhana, dan bahasa ekspresif.
d. Meraban, bicara monolog, gemar bertanya, bahasa ekspresif, haus nama-nama,
membuat kalimat sederhana.
8. Kemampuan kognitif anak sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa,
namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan pemikirannya.
a. Tahap Sensori-Motor
b. Tahap Pra-Operasional
c. Tahap Konkret-Operasional
d. Tahap Formal-Operasional
9. Perkembangan perilaku sosial yang ditandai dengan usaha untuk membandingkan aturan
– aturan, terjadi pada masa :
a. Kanak-Kanak Awal (0–3 th)
b. Kanak – Kanak Akhir (4–6 th)
c. Anak Sekolah (6–12 th)
d. Remaja Awal (13–16 th)
10. Tahap perkembangan moralitas yang ditandai dengan orientasi mengenai anak yang baik
dan mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas.
a. Pre Conventional
b. Conventional
c. Post Conventional
d. Non Conventional
11. Perkembangan penghayatan keagamaan pada masa kanak-kanak ditandai oleh adanya :
a. Sikap negatif yang disebabkan melihat realita orang – orang beragama yang hypocrit
(pura-pura).
b. Hal ke-Tuhan-an dipahamkan secara ideosyncritic.
c. Pandangan ke-Tuhan-an yang kacau, karena beragamnya aliran paham yang saling
bertentangan.
d. Penghayatan rohaniah yang skeptik, sehingga enggan melaksanakan ritual.
12. Perkembangan emosi pada usia 0-3 bulan ditandai oleh adanya :
a. Kesenangan dan kegembiraan mulai didefinisikan dari emosi orang tuanya.
b. Kepekaan umum terhadap rangsangan – rangsangan tertentu (bunyi, cahaya,
temperatur)
c. Ketidaksenangan berdiferensiasi ke dalam kemarahan, kebencian dan ketakutan.
d. Kegembiraan berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang.
13. Perkembangan kepribadian yang ditandai oleh adanya dorongan untuk membentuk dan
memperlihatkan identitas diri, terjadi pada masa :
a. Infancy
b. Early Childhood
c. Pre-Schoolage
d. Adolescence.
14. Perkembangan karier yang ditandai oleh adanya proses penyesuaian yang
berkesinambungan untuk meningkatkan posisi dalam pekerjaan, terjadi pada tahap:
a. Growth
b. Exploratory
c. Establishment
d. Maintenance
15. Perkembangan fisik pada masa remaja awal ditandai oleh adanya:
a. Laju perkembangan secara umum berlangsung pesat.
b. Proporsi ukuran tinggi dan berat badan seringkali kurang seimbang.
c. Munculnya ciri-ciri sekunder (tumbul bulu pada pubic region, otot mengembang
pada bagian – bagian tertentu), disertai mulai aktifnya sekresi kelenjar jenis kelamin
(menstruasi pada wanita dan day dreaming pada laki-laki.
d. a, b, dan c benar
16. Perkembangan perilaku motorik pada masa remaja awal ditandai oleh adanya :
a. Aktif dalam berbagai jenis cabang permainan.
b. Jenis dan jumlah cabang permainan lebih selektif.
c. Gerak gerik mulai mantap.
d. a, b, dan c benar.
17. Perkembangan perilaku sosial pada masa remaja awal ditandai oleh adanya :
a. Bergaul dengan jumlah teman yang lebih terbatas dan selektif dan lebih lama (teman
dekat).
b. Kebergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai semangat konformitas
yang tinggi.
c. Menarik diri dari lingkungan sosialnya.
d. Berupaya mempelajari norma-norma yang berlaku di lingkungan sosialnya.
18. Perkembangan perilaku moralitas pada masa remaja akhir ditandai oleh adanya :
a. Mengidentifikasi dengan tokoh moralitas yang dipandang tepat dengan tipe idolanya.
b. Sudah dapat memisahkan antara sistem nilai – nilai atau normatif yang universal dari
para pendukungnya yang mungkin dapat ber-buat keliru atau kesalahan..
c. Adanya ambivalensi antara keinginan bebas dari dominasi pengaruh orang tua
dengan kebutuhan dan bantuan dari orang tua.
d. Dengan sikap dan cara berfikirnya yang kritis mulai menguji kaidah-kaidah atau
sistem nilai etis dengan kenyataannya dalam perilaku sehari-hari oleh para
pendukungnya.
19. Ciri-ciri Perkembangan perilaku keagamaan pada masa remaja awal, kecuali :
a. Mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan mulai dipertanyakan
secara kritis dan skeptis.
b. Penghayatan kehidupan keagamaan sehari-hari dilakukan atas pertimbangan adanya
semacam tuntutan yang memaksa dari luar dirinya.
c. Penghayatan secara rohaniah yang belum mendalam.
d. Masih mencari dan mencoba menemukan pegangan hidup.
20. Di bawah ini merupakan ciri perkembangan konatif pada masa remaja awal.
a. Lima kebutuhan dasar (fisiologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri dan aktualisasi
diri) mulai menunjukkan arah kecenderungannya.
b. Reaksi-reaksi dan ekspresi emosionalnya masih labil dan belum terkendali seperti
pernya-taan marah, gembira atau kesedihannya masih dapat berubah-ubah dan silih
berganti dalam yang cepat.
c. Kecenderungan-kecenderungan arah sikap dan nilai mulai tampak (teoritis,
ekonomis, estetis, sosial, politis, dan religius), meski masih dalam taraf eksplorasi
dan mencoba-coba.
d. Masa kritis dalam rangka menghadapi krisis identitasnya yang sangat dipengaruhi
oleh kondisi psiko-sosialnya, yang akan membentuk kepribadiannnya.
Uraian
1. Apa yang dimaksud dengan tugas perkembangan ?
2. Jelaskan tugas-tugas perkembangan individu pada masa remaja ! Bagaimana
implikasinya terhadap pendidikan ?
3. Jelaskan problema-problema yang terjadi pada masa remaja ! dan bagaimana pula peran
orang tua, guru serta masyarakat dalam upaya mencegah timbulnya berbagai prolema
pada remaja ?
B. Pokok Bahasan
1. Hakekat Belajar.
2. Teori-Teori Pokok Belajar.
3. Pembelajaran
4. Peran dan Kompetensi Guru
5. Pengelolaan Kelas.
C. Intisari Bacaan
1. Hakekat Belajar
Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam
pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005)
menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui
kegiatan belajar. Lantas, apa sesungguhnya belajar itu ?
Di bawah ini disampaikan tentang pengertian belajar dari para ahli :
Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan
oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan,
sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan
lingkungannya”.
Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang
dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap,
kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.
Crow & Crow dan (1958) : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan,
pengetahuan dan sikap baru”.
Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul perilaku
muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”
Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif
menetap sebagai hasil dari pengalaman”.
Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang
muncul karena pengalaman”
Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah
perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari
perubahan perilaku, yaitu :
a. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu
yang bersangkutan.
Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa
dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah
atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu
proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi
pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang
Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan
memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan
dengan Psikologi Pendidikan.
b. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya
merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh
sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh
itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan
berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang
“Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”,
maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan
dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar
Mengajar”.
c. Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup
individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa
mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka
pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan
untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun
mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia
menjadi guru.
Perilaku/Pribadi Perilaku/Pribadi
sebelum belajar Pengalaman, Praktik, setelah belajar
(Pre Learning) Latihan (Post Learning)
X=0 (Learning
Experience) X = (X+1) = 1
Y=1 Y = (Y+1) = 2
Z= 1 Z = (Z-1) = 0
Contoh 1 :
Mahasiswa X belajar akan mempelajari tentang “Teori-Teori Belajar” dalam perkuliahan
Psikologi Pendidikan pada semester 1. Pada awalnya dia tidak memiliki pengetahuan,
sikap dan keterampilan tentang “Teori-Teori Belajar” (Pre learning), namun setelah dia
membaca dan mengkaji buku dan berlatih mempraktekan “Teori-Teori Belajar” dalam
kegiatan simulasi (Learning Experience), maka dalam dirinya telah bertambah
kemampuannya, dengan bertambah pengetahuan, sikap keterampilannya tentang “Teori-
Teori Belajar” (Post Learning).
Contoh 2 :
Mahasiswa Y akan mempelajari tentang “Metode-Metode Pembelajaran”, dalam
perkuliahan Strategi Belajar Mengajar pada semester 2. Pada semester 1 dia telah
menguasai tentang “Teori-Teori Belajar” yang akan mendasari penguasaan “Metode-
Metode Pembelajaran” (Pre Learning). Setelah dia membaca dan mengkaji buku dan
berlatih mempraktekan “Metode-Metode Pembelajaran” dalam kegiatan simulasi
(Learning Experience), maka kemampuannya akan meningkat, dengan bertambah
pengetahuan, sikap keterampilannya tentang “Metode-Metode Pembelajaran” (Post
Learning).
Contoh 3 :
Mahasiswa Z memiliki kebiasaan merokok yang ingin dihilangkannya, lalu dia datang
meminta bantuan dari konselor yang ada di kampus (PreLearning). Kemudian oleh
konselor dia dilatih untuk menghilangkan kebiasaan merokoknya,-- menggunakan teknik-
teknik konseling tertentu-. Dengan tekun dan penuh kesungguhan dia mengikuti apa-apa
yang harus dilakukan untuk menghilangkan kebiasaan merokoknya (Learning
Experience). Akhirnya, dia dapat berhasil menghilangkan kebiasaan merokoknya (Post
Learning).
Belajar terjadi karena adanya sesuatu yang mendorong (motivasi) dan ada suatu tujuan
yang ingin dicapai. Seberapa kuat motivasi belajar yang dimiliki individu, --khususnya
motif berprestasi-- dan seberapa kuat komitmen individu terhadap tujuan belajarnya akan
menentukan kualitas perubahan perilaku belajarnya. Misalnya, seorang mahasiswa dalam
mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan, dia memiliki motivasi yang sangat kuat
untuk menjadi yang terbaik (the best) di kelasnya. Begitu juga, dia memiliki komitmen
yang kuat serta memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapainya secara jelas, maka sangat
mungkin mahasiswa tersebut akan memperoleh prestasi belajar yang tinggi dalam mata
kuliah Psikologi Pendidikan
Belajar juga merupakan bentuk pengalaman kehidupan melalui situasi nyata. Dalam
belajar, individu memperoleh pengalaman langsung melalui pengalaman indrawi yang
memungkinkan mereka memperoleh pengetahuan dari melihat, mendengar,
meraba/menjamah, mencicipi, dan mencium. Selain itu, dalam belajar individu juga
memperoleh berbagai pengalaman sosial melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Misalnya, mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan ingin
memperoleh pengetahuan tentang “Keterampilan Pengelolaan Kelas”, lalu dia bersama-
sama kawan-kawannya melakukan observasi langsung ke kelas. Dia dapat mengamati
langsung bagaimana guru mempraktekkan berbagai pendekatan dalam mengatasi
masalah-masalah yang muncul dalam pengelolaan kelas. Selain itu, dia juga memperoleh
pengalaman bagaimana bekerjasama dengan temannya dan berkomunikasi dengan orang
lain.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan
hasil belajar dapat berbentuk :
a. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara
tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda,
definisi, dan sebagainya.
b. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi
dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan
simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan
dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak,
aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan
masalah.
c. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan
pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi
kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar
terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil
pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses
pemikiran.
d. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih
macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam
diri individu yang akan memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi
suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang
menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
e. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang
dikontrol oleh otot dan fisik.
Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak
dalam :
a. Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari
kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia
terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar;
b. Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik,
keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan
kesadaran yang tinggi;
c. Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan
yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu
mencapai pengertian yang benar;
d. Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya
dengan menggunakan daya ingat;
e. Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar
pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan
“mengapa” (why);
f. Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik
atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan
keyakinan;
g. Inhibisi (menghindari hal yang mubazir);
h. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu);
i. Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah,
sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.
Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar
meliputi perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta
tingkatan aspek-aspeknya. (lihat tentang taksonomi perilaku individu pada Bab I)
1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap
bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar
belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan
sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat
samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu
maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk
tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan
dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang
berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau
bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang
pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung
membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan;
dan
6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu
pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku
“Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot
atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam
keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain
sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai
makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara
lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis
adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral
merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh
seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya
merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan
geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu
bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau
peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius,
virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain,
gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu
proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses
pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran
terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
3. Pembelajaran.
Belajar tidak hanya berlangsung sekolah saja, namun juga dilaksanakan di rumah maupun
masyarakat. Misalnya, seorang anak perempuan memiliki keterampilan bagaimana cara
mencuci piring, memasak, menyeterikan baju, sopan santun berhadapan dengan orang
tua dan sebagainya, biasanya lebih banyak diperoleh dari pengalaman belajarnya di
rumah.
Orang tua memiliki keterbatasan dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik di
rumah, sementara tuntutan kehidupan yang harus dipenuhi individu semakin tinggi, maka
kegiatan belajar di sekolah dijadikan pilihan untuk mengembangkan perilaku dan pribadi
individu dalam rangka memenuhi berbagai tuntutan kehidupan.
Berbeda dengan kegiatan belajar di rumah, kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah
lebih bersifat formal, disengaja dan direncanakan, dengan bimbingan guru atau pendidik
lainnya. Kegiatan belajar di sekolah ditandai dengan adanya interaksi antara atau
pendidik dengan peserta didik, atau peserta didik dengan peserta didik untuk mencapai
tujuan belajar yang telah ditetapkan. Interaksi pendidikan seperti itu biasa disebut
pembelajaran.
Bentuk-bentuk kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik di sekolah sangat ditentukan
oleh pendekatan-pendekatan pembelajaran yang diberikan oleh guru. Secara garis
besarnya, terdapat dua pendekatan pembelajaran, yaitu :
a. Pendekatan Ekspositorik adalah pendekatan yang bisa dijadikan pedoman dalam
memilih metode yang sifatnya penyampaian informasi, termasuk metode ceramah
dan sejenisnya. Pendekatan ini lebih berpusat kepada guru dan pada umumnya guru
bertindak sebagai sumber informasi yang utama.
b. Pendekatan Heuristik yaitu yang bisa dijadikan pedoman dalam memilih metode
yang sifatnya praktek, termasuk discovery-inquiry, eksperimen, observasi dan
sejenisnya. Pendekatan ini lebih menekankan kepada aktivitas siswa dan guru lebih
banyak berperan sebagai fasilitator, motivator dan pembimbing untuk kepentingan
belajar peserta didiknya.
a. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan
dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
b. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi,
memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar
sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person),
konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik
(manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
c. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa,
menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat
keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik
mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin
menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru
dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan
dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas
kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah,
keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran,
pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran
dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai
pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan
sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator),
dan agen masyarakat (social agent).
Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas
pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut
pandang psikologis. Dalam hubungannya dengan aktivitas pengajaran dan administrasi
pendidikan, guru berperan sebagai :
a. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
b. Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan
kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
c. Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;
d. Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan
disiplin;
e. Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan
dapat berlangsung dengan baik;
f. Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan
perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa
depan; dan
g. Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :
a. Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan
kepada masyarakat;
b. Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus
menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
c. Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik
di sekolah;
d. model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh
mpara peserta didik; dan
e. Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa
aman berada dalam didikan gurunya.
Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :
a. Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami
psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik;
b. seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru
adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar
manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan
pendidikan;
c. Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan
kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
d. Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu
menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan
e. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab
bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
a. Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002)
mengemukan dua peran utama guru yaitu menciptakan keteraturan (establishing
order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud
keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung
dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik
di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan
guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber
belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses
pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa
mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan
berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus
lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik.
Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well
informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh,
berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan
satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian
cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan
kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi
tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif.
Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya
secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna
mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan
dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut
asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para
peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir
memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun,
disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang
berlangsung.
Untuk meningkatkan profesionalisme guru di Indonesia, pemerintah telah menetapkan
Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang di dalamnya
mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan profesi guru, diantaranya adalah berkenaan
dengan kualifikasi, kompetensi, sertifikasi dan remunerasi guru. Berkenaan dengan
kompetensi guru, dalam Undang-Undang tersebut dikemukakan empat jenis kompetensi
yang harus dikuasai guru yaitu :
a. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta
didik yang meliputi:
1. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
2. pemahaman terhadap peserta didik;
3. pengembangan kurikulum/silabus;
4. perancangan pembelajaran;
5. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
6. evaluasi hasil belajar; dan
7. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya.
b. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang :
1. mantap;
2. stabil;
3. dewasa;
4. arif dan bijaksana;
5. berwibawa;
6. berakhlak mulia;
7. menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
8. mengevaluasi kinerja sendiri; dan
9. mengembangkan diri secara berkelanjutan.
c. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari
masyarakat untuk :
1. berkomunikasi lisan dan tulisan;
2. menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;
3. bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan
4. bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
d. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran
secara luas dan mendalam yang meliputi:
1. konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/ koheren
dengan materi ajar;
2. materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah;
3. hubungan konsep antar mata pelajaran terkait;
4. penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan
5. kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan
nilai dan budaya nasional,
Sementara itu, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000)
mengemukakan tiga jenis kompetensi yang seyogyanya dimiliki guru, yaitu :
a. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang
diajarkannya, dapat memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam
proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
b. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan peserta didik,
sesama guru, maupun masyarakat luas.
c. Kompetensi personal; memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani.
Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang
menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani.
Dengan jumlah yang berbeda namun esensinya sama, Moh. Surya (1997)
mengetengahkan lima jenis kompetensi guru, meliputi :
a. Kompetensi profesional, yaitu berbagai kemampuan yang diperlukan untuk dapat
mewujudkan dirinya sebagai guru profesional . Kompetensi profesional meliputi
aspek kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus
diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya, dan rasa
kebersamaan dengan sejawat guru lainnya.
b. Kompetensi sosial, yaitu kemampuan yang diperlukan oleh seorang guru agar
berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini
termasuk keterampilan interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
c. Kompetensi personal, yaitu kualitas kemampuan pribadi seorang guru yang
diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup
kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri,
pengarahan diri, dan perwujudan diri.
d. Kompetensi intelektual, yaitu penguasaan berbagai ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan tugasnya sebagai guru.
e. Kompetensi spiritual, yaitu kualitas keimanan dan ketaqwaan sebagai seorang yang
beragama.
Sebagai pembanding, National Board for Profesional Teaching Skill (NBPTS)
merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru
untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and
Be Able to Do, di dalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:
a. Teachers are Committed to Students and Their Learning :
1. Penghargaan guru terhadap perbedaan individual peserta didik.
2. Pemahaman guru tentang perkembangan belajar peserta didik.
3. Perlakuan guru terhadap seluruh peserta didik secara adil, dan
4. Misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir peserta didik.
b. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to
Students :
1. Apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan,
disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain.
2. Kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran,
3. Mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara
(multiple path).
c. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning :
1. Penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran.
2. Menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group
setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan
peserta didik.
3. Menilai kemajuan peserta didik secara teratur, dan
4. Kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
d. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience :
1. Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan
terbaik.
2. Guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang
pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
e. Teachers are Members of Learning Communities:
1. Guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi
dengan kalangan profesional lainnya.
2. Guru bekerja sama dengan tua orang peserta didik.
3. Guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Mengutip pemikiran Davis dan Margareth A. Thomas dalam bukunya Effective Schools
and Effective Teachers, Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) memaparkan tentang
beberapa kemampuan guru yang mencerminkan guru yang efektif, yaitu mencakup :
a. Kemampuan yang terkait dengan iklim kelas, seperti :
1. Memiliki kemampuan interpersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan
empati, penghargaan kepada peserta didik, dan ketulusan.
2. Memiliki hubungan baik dengan peserta didik
3. Secara tulus menerima dan memperhatikan peserta didik.
4. Menunjukkan minat dan enthusias yang tinggi dalam mengajar.
5. Mampu menciptakan atmosfer untuk bekerja sama dan kohesivitas dalam
kelompok.
6. Melibatkan peserta didik dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan
pembelajaran.
7. Mampu mendengarkan peserta didik dan menghargai hak peserta didik untuk
berbicara dalam setiap diskusi; dan
8. Mmeminimalkan friksi-friksi di kelas jika ada.
b. Kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen, seperti:
1. Memiliki kemampuan secara rutin untuk mengahadapi peserta didik yang tidak
memiliki perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan, dan mampu
memberikan transisi dalam mengajar.
2. Mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berfikir
yang berbeda.
c. Kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik dan penguatan
(reinforcement), yaitu :
1. Mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon peserta didik.
2. Mampu memberikan respon yang membantu kepada peserta didik yang lamban
belajar.
3. Mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban yang kurang memuaskan.
4. Mampu memberikan bantuan kepada peserta didik yang diperlukan.
d. Kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, antara lain:
1. Mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif.
2. Mampu memperluas dan menambah pengetahuan metode-metode pengajaran.
3. Mampu memanfaatkan perencanaan kelompok guru untuk menciptakan metode
pengajaran.
5. Pengelolaan Kelas
Dalam uraian di atas telah disinggung bahwa salah satu keterampilan yang harus dimiliki
guru adalah keterampilan dalam mengelola kelas. Pengelolaan kelas merupakan hal yang
berbeda dengan pengelolaan pembelajaran. Pengelolaan pembelajaran lebih menekankan
pada kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut dalam suatu
pembelajaran. Sedangkan pengelolaan kelas lebih berkaitan dengan upaya-upaya untuk
menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar
(pembinaan rapport, penghentian perilaku peserta didik yang menyelewengkan perhatian
kelas, pemberian ganjaran, penyelesaian tugas oleh peserta didik secara tepat waktu,
penetapan norma kelompok yang produktif), didalamnya mencakup pengaturan orang
(peserta didik) dan fasilitas.
Terdapat dua macam masalah pengelolaan kelas, yaitu :
a. Masalah Individual :
1. Attention getting behaviors (pola perilaku mencari perhatian).
2. Power seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan kekuatan)
3. Revenge seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan balas dendam).
4. helplessness (peragaan ketidakmampuan).
b. Masalah Kelompok :
1. Kelas kurang kohesif, karena alasan jenis kelamin, suku, tingkatan sosial
ekonomi, dan sebagainya.
2. Penyimpangan dari norma-norma perilaku yang telah disepakati sebelumnya.
3. Kelas mereaksi secara negatif terhadap salah seorang anggotanya.
4. “Membombong” anggota kelas yang justru melanggar norma kelompok.
5. Kelompok cenderung mudah dialihkan perhatiannya dari tugas yang tengah
digarap.
6. Semangat kerja rendah atau semacam aksi protes kepada guru, karena
menganggap tugas yang diberikan kurang fair.
7. Kelas kurang mampu menyesuakan diri dengan keadaan baru.
Berangkat dari teori-teori belajar sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, terdapat
beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan kelas, yaitu :
a. Behavior - Modification Approach (Behaviorism Apparoach)
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa perilaku “baik”
dan “buruk” individu merupakan hasil belajar. Upaya memodifikasi perilaku dalam
mengelola kelas dilakukan melalui pemberian positive reinforcement (untuk
membina perilaku positif) dan negative reinforcement (untuk mengurangi perilaku
negatif).
b. Socio-Emotional Climate Approach (Humanistic Approach)
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa proses belajar
mengajar yang baik didasari oleh adanya hubungan interpersonal yang baik antara
peserta didik - guru dan atau peserta didik – peserta didik dan guru menduduki posisi
penting bagi terbentuknya iklim, sosio-emosional yang baik.
Dalam hal ini, Carl A. Rogers mengemukakan pentingnya sikap tulus dari guru
(realness, genuiness, congruence); menerima dan menghargai peserta didik sebagai
manusia (acceptance, prizing, caring, trust) dan mengerti dari sudut pandangan
peserta didik sendiri (emphatic understanding).
Sedangkan Haim C. Ginnot mengemukakan bahwa dalam memecahkan masalah,
guru berusaha untuk membicarakan situasi, bukan pribadi pelaku pelanggaran dan
mendeskripsikan apa yang ia lihat dan rasakan; serta mendeskripsikan apa yang perlu
dilakukan sebagai alternatif penyelesaian.
Hal senada dikemukakan William Glasser bahwa guru seyogyanya membantu
mengarahkan peserta didik untuk mendeskripsikan masalah yang dihadapi;
menganalisis dan menilai masalah; menyusun rencana pemecahannya; mengarahkan
peserta didik agar committed terhadap rencana yang telah dibuat; memupuk
keberanian menanggung akibat “kurang menyenangkan”; serta membantu peserta
didik membuat rencana penyelesaian baru yang lebih baik.
Sementara itu, Rudolf Draikurs mengemukakan pentingnya Democratic Classroom
Process, dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat memikul
tanggung jawab; memperlakukan peserta didik sebagai manusia yang dapat secara
bijak mengambil keputusan dengan segala konsekuensinya; dan memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk menghayati tata aturan masyarakat.
c. Group Process Approach
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa pengalaman
belajar berlangsung dalam konteks kelompok sosial dan tugas guru adalah membina
dan memelihara kelompok yang produktif dan kohesif. Richard A. Schmuck &
Patricia A. Schmuck menegemukakan prinsip – prinsip dalam penerapan pendekatan
group proses, yaitu : (a) mutual expectations; (b) leadership; (c) attraction (pola
persahabatan); (c) norm; (d) communication; (d) cohesiveness
D. Latihan :
Soal :
Pilihan Ganda
A. Tujuan :
Setelah mempelajari Bab ini, diharapkan Anda dapat :
1. Mendefinisikan bimbingan dan konseling.
2. Mengidentifikasi fungsi, prinsip, asas, jenis layanan dan kegiatan pendukung bimbingan
dan konseling.
3. Menjelaskan peran kepala sekolah dan guru mata pelajaran dalam Bimbingan dan
Konseling, orientasi baru, prosedur umum bimbingan dan konseling. bimbingan terhadap
peserta didik bermasalah, proses konseling.
4. Menerapkan teknik – teknik dalam konseling.
5. Menganalisis kasus dan mengatasi masalah yang dihadapi peserta didik.
B. Pokok Bahasan
1. Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling.
2. Peran Kepala Sekolah dan Guru Mata Pelajaran dan Wali Kelas dalam Bimbingan dan
Konseling.
3. Kegiatan Layanan dan Pendukung Bimbingan dan Konseling.
4. Prosedur Umum Bimbingan dan Konseling.
5. Bimbingan terhadap Peserta Didik Bermasalah.
6. Proses dan Teknik Konseling.
C. Intisari Bacaan
1. Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling
a. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang didalamnya terkandung
beberapa makna. Sertzer & Stone (1966) menemukakan bahwa guidance berasal
kata guide yang mempunyai arti to direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan,
menentukan, mengatur, atau mengemudikan). Sedangkan menurut W.S. Winkel
(1981) mengemukakan bahwa guidance mempunyai hubungan dengan guiding : “
showing a way” (menunjukkan jalan), leading (memimpin), conducting (menuntun),
giving instructions (memberikan petunjuk), regulating (mengatur), governing
(mengarahkan) dan giving advice (memberikan nasehat).
Penggunaan istilah bimbingan seperti dikemukakan di atas tampaknya proses
bimbingan lebih menekankan kepada peranan pihak pembimbing. Hal ini tentu saja
tidak sesuai lagi dengan arah perkembangan dewasa ini, dimana pada saat ini klien
lah yang justru dianggap lebih memiliki peranan penting dan aktif dalam proses
pengambilan keputusan serta bertanggungjawab sepenuhnya terhadap keputusan
yang diambilnya.
Untuk memahami lebih jauh tentang pengertian bimbingan, di bawah ini
dikemukakan pendapat dari beberapa ahli :
Miller (I. Djumhur dan Moh. Surya, 1975) mengartikan bimbingan sebagai
proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri yang
dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum di sekolah,
keluarga dan masyarakat.
Peters dan Shertzer (Sofyan S. Willis, 2004) mendefiniskan bimbingan sebagai :
the process of helping the individual to understand himself and his world so that
he can utilize his potentialities.
United States Office of Education (Arifin, 1978) memberikan rumusan
bimbingan sebagai kegiatan yang terorganisir untuk memberikan bantuan secara
sistematis kepada peserta didik dalam membuat penyesuaian diri terhadap
berbagai bentuk problema yang dihadapinya, misalnya problema kependidikan,
jabatan, kesehatan, sosial dan pribadi. Dalam pelaksanaannya, bimbingan harus
mengarahkan kegiatannya agar peserta didik mengetahui tentang diri pribadinya
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Jones et.al. (1970) mengemukakan : “guidance is the help given by one person
to another in making choice and adjusment and in solving problem.
I. Djumhur dan Moh. Surya, (1975) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu
proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu
dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk
dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima
dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction)
dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan
potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan
lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah
dikemukakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada
peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan
merencanakan masa depan”.
Prayitno, dkk. (2003) mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling adalah
pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun
kelompok agar mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan
pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karier, melalui
berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang
berlaku.
Dari beberapa pendapat di atas, tampaknya para ahli masih beragam dalam
memberikan pengertian bimbingan, kendati demikian kita dapat melihat adanya
benang merah, bahwa :
2. Peranan Kepala Sekolah, Guru Mata Pelajaran dan Wali Kelas dalam Bimbingan
dan Konseling
Dalam kurikulum 2004, secara tegas dikemukakan bahwa : “Sekolah
berkewajiban memberikan bimbingan dan konseling kepada siswa yang menyangkut
tentang pribadi, sosial, belajar, dan karier”. Dengan adanya kata “kewajiban”, maka
setiap sekolah mutlak harus menyelenggarakan bimbingan dan konseling.
Keberhasilan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah, tidak lepas dari
peranan berbagai pihak di sekolah. Selain Guru Pembimbing atau Konselor sebagai
pelaksana utama, penyelenggaraan Bimbingan dan konseling di sekolah, juga perlu
melibatkan kepala sekolah , guru mata pelajaran dan wali kelas.
Kepala sekolah selaku penanggung jawab seluruh penyelenggaraan pendidikan di sekolah
memegang peranan strategis dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling di
sekolah.
Secara garis besarnya, peran, tugas dan tanggung jawab kepala sekolah, sebagai berikut :
a. Mengkoordinir segenap kegiatan yang diprogramkan dan berlangsung di sekolah,
sehingga pelayanan pengajaran, latihan, dan bimbingan dan konseling merupakan
suatu kesatuan yang terpadu, harmonis, dan dinamis.
b. Menyediakan prasarana, tenaga, dan berbagai kemudahan bagi terlaksananya
pelayanan bimbingan dan konseling yang efektif dan efisien.
c. Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan
program, penilaian dan upaya tidak lanjut pelayanan bimbingan dan konseling.
d. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling Di
sekolah kepada Dinas Pendidikan yang menjadi atasannya.
e. Menyediakan fasilitas, kesempatan, dan dukungan dalam kegiatan kepengawasan
yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah Bidang BK.
Sedangkan, peran, tugas dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam
bimbingan dan konseling adalah :
a. Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa
b. Membantu Guru Pembimbing mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan
layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa
tersebut.
c. Mengalihtangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling
kepada Guru Pembimbing
d. Menerima siswa alih tangan dari Guru Pembimbing, yaitu siswa yang menuntut Guru
Pembimbing memerlukan pelayanan pengajar /latihan khusus (seperti pengajaran/
latihan perbaikan, program pengayaan).
e. Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan
siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan pembimbingan dan konseling.
f. Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan
layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani
layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
g. Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti konferensi
kasus.
h. Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian
pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.
Sebagai pengelola kelas tertentu dalam pelayanan bimbingan dan konseling, Wali Kelas
berperan :
a. membantu Guru Pembimbing melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di kelas yang
menjadi tanggung jawabnya;
b. membantu Guru Mata Pelajaran melaksanakan peranannya dalam pelayanan
bimbingan dan konseling, khususnya dikelas yang menjadi tanggung jawabnya;
c. membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya dikelas
yang menjadi tanggung jawabnya, untuk mengikuti/menjalani layanan dan/atau
kegiatan bimbingan dan konseling;
d. berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus bimbingan dan konseling, seperti
konferensi kasus; dan
e. mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling
kepada Guru Pembimbing.
Berkenaan peran guru mata pelajaran dan wali kelas dalam bimbingan dan konseling,
Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan bahwa guru-guru mata pelajaran dalam
melakukan pendekatan kepada siswa harus manusiawi-religius, bersahabat, ramah,
mendorong, konkret, jujur dan asli, memahami dan menghargai tanpa syarat.
3. Kegiatan Layanan dan Pendukung Bimbingan dan Konseling
Kegiatan layanan merupakan kegiatan dalam rangka memenuhi fungsi-fungsi bimbingan
dan konseling. Sedangkan kegiatan pendukung merupakan kegiatan untuk menopang
terhadap keberhasilan layanan yang diberikan.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional saat ini terdapat tujuh jenis layanan dan
lima kegiatan pendukung. Namun sangat mungkin ke depannya akan semakin
berkembang, baik dalam jenis layanan maupun kegiatan pendukung. Para ahli bimbingan
di Indonesia saat ini sudah mulai meluncurkan dua jenis layanan baru yaitu layanan
konsultasi dan layanan mediasi. Namun, kedua jenis layanan ini belum dijadikan sebagai
kebijakan formal dalam sistem pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tujuh jenis layanan dan lima kegiatan
pendukung bimbingan dan konseling yang saat ini diterapkan dalam pendidikan nasional.
a. Kegiatan Layanan Bimbingan dan Konseling
1. Layanan Orientasi; Layanan orientasi merupakan layanan yang memungkinan
peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan
obyek-obyek yang dipelajari, untuk mempermudah dan memperlancar
berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya
diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap awal semester. Tujuan
layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan
diri dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai, yang berfungsi untuk
pencegahan dan pemahaman.
2. Layanan Informasi; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik
menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar,
pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi adalah
membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat tentang
sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan
informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi
untuk pencegahan dan pemahaman.
Remedial/Referal
Evaluasi/Follow Up
a. Identifikasi kasus; merupakan upaya untuk menemukan peserta didik yang diduga
memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson dalam Abin Syamsuddin
Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling,
yakni :
1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta
didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta
didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta
didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas
pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra
kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke
arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan
cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari
suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk
dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa
diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi
peserta didik.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik
yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
b. Identifikasi Masalah; langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis,
karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks
Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek :
(1) substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4)
personality. Untuk mengidentifikasi masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah
mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa
yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk
mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani
dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5)
karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (8)
hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu
senggang.
c. Diagnosis; upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang
melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar
Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat
dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam
dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau
kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor yang besumber dari
dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan,
kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya;
dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk
didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
d. Prognosis; langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta
didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif
pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan
menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil
keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus,
dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama
menangani kasus - kasus yang dihadapi.
e. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus); jika jenis dan sifat serta sumber
permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih
berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian
bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih
mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas
hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
f. Evaluasi dan Follow Up; cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha
pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat
seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap
pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas telah memberikan
kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu :
1. Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan
masalah yang dibahas;
2. Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui
layanan, dan
3. Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah
pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan
masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan
beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu
apabila:
1. Peserta didik telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang
dihadapi.
2. Peserta didik telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Peserta didik telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri
dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Peserta didik telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Peserta didik telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Peserta didik mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan,
mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
7. Peserta didik telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha
perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar
pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
5. Bimbingan terhadap Peserta Didik Bermasalah
Bimbingan terhadap peserta didik bermasalah tetap menjadi perhatian bimbingan dan
konseling, namun perlu diingat bahwa tidak semua masalah peserta didik harus ditangani
oleh Guru Pembimbing (konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004)
mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya,
sebagaimana dalam bagan berikut :
Masalah peserta
Sedang Guru Pembimbing
didik
a. Masalah (kasus) ringan, seperti : membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang
tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap
awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan
guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan
mengadakan kunjungan rumah.
b. Masalah (kasus) sedang, seperti : gangguan emosional, berpacaran, dengan
perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan
di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang,
melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru
pembimbing (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah,
ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi
kasus.
c. Masalah (kasus) berat, seperti : gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan
narkotika, pelaku kriminalitas, peserta didik hamil, percobaan bunuh diri,
perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal
(alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum
yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
6. Proses Konseling dan Teknik-Teknik Konseling
Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta
didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian lebih.
Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan
bimbingan dan konseling.
Dalam prakteknya, memang strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih
dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan,
namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena
itu, guru maupun konselor seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik
konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka
pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan efisien.
a. Proses Konseling
Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap
mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap
perubahan dan tindakan).
1. Tahap Awal
Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai
konselor dan klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang
perlu dilakukan, diantaranya :
a. Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport).
Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-
asas bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan,
keterbukaan; dan kegiatan.
b. Memperjelas dan mendefinisikan masalah.
Jika hubungan konseling sudah terjalin dengan baik dan klien telah
melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu memperjelas masalah
klien.
c. Membuat penaksiran dan perjajagan
Konselor berusaha menjajagi atau menaksir kemungkinan masalah dan
merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan
semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi
antisipasi masalah.
d. Menegosiasikan kontrak
Membangun perjanjian antara konselor dengan klien, berisi :
1. Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh
klien dan konselor tidak berkebaratan.
2. Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien.
3. Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan
tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh
rangkaian kegiatan konseling.
2. Tahap Inti (Tahap Kerja)
Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling selanjutnya
adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja. Pada tahap ini terdapat beberapa hal
yang harus dilakukan, diantaranya :
a. Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam.
Penjelajahan masalah dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan
alternatif baru terhadap masalah yang sedang dialaminya. Konselor
melakukan reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau
kembali permasalahan yang dihadapi klien.
b. Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.
Hal ini bisa terjadi jika :
1. Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara
konseling, serta menampakan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan
memecahkan masalah yang dihadapinya.
2. Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang
bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar –
benar peduli terhadap klien.
c. Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak.
Kesepakatan yang telah dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh
pihak konselor maupun klien.
3. Tahap Akhir (Tahap Tindakan)
Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
a. Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses
konseling
b. Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan
yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
c. Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
d. Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya
Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ;
a. Menurunnya kecemasan klien
b. Perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis.
c. Pemahaman baru dari klien tentang masalah yang dihadapinya.
d. Adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.
b. Teknik-Teknik Konseling
Dalam konseling perorangan terdapat dua jenis teknik yang biasa dilakukan, yaitu :
(1) teknik umum dan (2) teknik khusus.
1. Teknik Umum
Teknik umum merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam tahapan-
tahapan konseling dan merupakan teknik dasar konseling yang harus dikuasai
oleh konselor. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan disampaikan beberapa
jenis teknik umum, diantaranya :
a. Perilaku Attending
Perilaku attending disebut juga perilaku menghampiri klien yang mencakup
komponen kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku attending
yang baik dapat :
1. Meningkatkan harga diri klien.
2. Menciptakan suasana yang aman
3. Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh perilaku attending yang baik :
1. Kepala : melakukan anggukan jika setuju
2. Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
3. Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan
klien agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
4. Tangan : variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah,
menggunakan tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk
menekankan ucapan.
5. Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga
selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada
lawan bicara.
Contoh perilaku attending yang tidak baik :
1. Kepala : kaku
2. Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat
saat klien sedang bicara, mata melotot.
3. Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien
menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
4. Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk
memberi kesempatan klien berfikir dan berbicara.
5. Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.
b. Empati
Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan
klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien.
Empati dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku
attending mustahil terbentuk empati.
Terdapat dua macam empati, yaitu :
a. Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami
perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat
terlibat dan terbuka.
Contoh ungkapan empati primer :
” Saya dapat merasakan bagaimana perasaan Anda”.
” Saya dapat memahami pikiran Anda”.
” Saya mengerti keinginan Anda”.
b. Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor
terhadap perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih
mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan
tersebut. Keikutan konselor tersebut membuat klien tersentuh dan
terbuka untuk mengemukakan isi hati yang terdalam, berupa perasaan,
pikiran, pengalaman termasuk penderitaannya.
Contoh ungkapan empati tingkat tinggi :
”Saya dapat merasakan apa yang Anda rasakan, dan
saya ikut terluka dengan pengalaman Anda itu”.
c. Refleksi
Refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien tentang
perasaan, pikiran, dan pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap
perilaku verbal dan non verbalnya. Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu :
1. Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat
memantulkan perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku
verbal dan non verbal klien.
Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan adalah ....”
” Barangkali Anda merasa....”
” Hal itu rupanya seperti ...(kiasan)”
” Adakah yang Anda maksudkan...”
2. Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan
pendapat klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non
verbal klien.
Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan...”
” Barangkali yang akan Anda utarakan adalah...”
” Adakah yang Anda maksudkan...”
3. Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-
pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan
non verbal klien.
Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan suatu...”
” Barangkali yang akan Anda utarakan adalah...”
” Adakah yang Anda maksudkan peristiwa...”
d. Eksplorasi
Eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman
klien. Hal ini penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia
batin, menutup diri, atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Dengan
teknik ini memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut,
tertekan dan terancam.
Seperti halnya pada teknik refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik
eksplorasi, yaitu :
1. Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien
yang tersimpan.
Contoh :
” Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang dimaksudkan
....”
” Saya kira rasa sedih Anda sangat mendalam. Dapat Anda kemukakan
lebih lanjut ?”
2. Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan
pendapat klien.
Contoh :
” Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut ide Anda tentang
sekolah sambil bekerja”
” Saya kira pendapat Anda mengenai hal itu baik. Dapatkah Anda
menguraikannya lebih lanjut ?
3. Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali
pengalaman-pengalaman klien.
Contoh :
” Saya terkesan dengan pengalaman yang Anda lalui Namun saya ingin
memahami lebih jauh tentang pengalaman tersebut dan pengaruhnya
terhadap pendidikan Anda”
e. Menangkap Pesan (Paraphrasing)
Menangkap Pesan (Paraphrasing) adalah teknik untuk menyatakan kembali
esensi atau initi ungkapan klien dengan teliti mendengarkan pesan utama
klien, mengungkapkan kalimat yang mudah dan sederhana, biasanya ditandai
dengan kalimat awal : adakah atau nampaknya, dan mengamati respons klien
terhadap konselor.
Tujuan paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan kembali kepada klien
bahwa konselor bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang
dikatakan klien; (2) mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam
bentuk ringkasan ; (3) memberi arah wawancara konseling; dan (4)
pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
Contoh dialog :
Klien : ” Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak
mengambilnya. Saya tidak tahu mengapa demikian ? ”
Konselor : ” Tampaknya Anda masih ragu.”
f. Pertanyaan Terbuka (Opened Question)
Pertanyaan terbuka yaitu teknik untuk memancing siswa agar mau berbicara
mengungkapkan perasaan, pengalaman dan pemikirannya dapat digunakan
teknik pertanyaan terbuka (opened question). Pertanyaan yang diajukan
sebaiknya tidak menggunakan kata tanya mengapa atau apa sebabnya.
Pertanyaan semacam ini akan menyulitkan klien, jika dia tidak tahu alasan
atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya, lebih baik gunakan kata tanya
apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.
Contoh :
” Apakah Anda merasa ada sesuatu yang ingin kita bicarakan ? ”
” Bagaimana perasaan Anda saat ini ?”
” Dapatkah Anda mengemukakan hal itu lebih lanjut ?”
g. Pertanyaan Tertutup (Closed Question)
Dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka,
dalam hal-hal tertentu dapat pula digunakan pertanyaan tertutup, yang
harus dijawab dengan kata Ya atau Tidak atau dengan kata-kata singkat.
Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1) mengumpulkan informasi; (2)
menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3) menghentikan pembicaraan
klien yang melantur atau menyimpang jauh.
Contoh dialog :
Klien : ”Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti
belajar kelompok yang selama ini belum pernah saya
lakukan”.
Konselor : ”Biasanya Anda menempati peringkat berapa ? ”.
Klien : ” Empat ”
Konselor : ” Sekarang berapa ? ”
Klien : ” Sebelas ”
h. Dorongan minimal (Minimal Encouragement)
Dorongan minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan
langsung yang singkat terhadap apa yang telah dikemukakan klien.Misalnya
dengan menggunakan ungkapan : oh..., ya...., lalu..., terus....dan...
Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapat mengarah agar
pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan
mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan pada saat klien kurang
memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas
pembicaraan klien.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya putus asa... dan saya nyaris... ”
(klien menghentikan pembicaraan)
Konselor : ” ya...”
Klien : ” nekad bunuh diri”
Konselor : ” lalu...”
i. Interpretasi
Yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman klien
dengan merujuk pada teori-teori, bukan pandangan subyektif konselor,
dengan tujuan untuk memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti dan
berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru tersebut.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan
perhatian membantu orang tua merupakan bakti saya pada
keluarga, karena adik-adik saya banyak dan amat
membutuhkan biaya.”
Konselor : ” Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah
mutlak bagi semua warga negara. Terutama hidup di kota
besar seperti Anda. Karena tantangan masa depan makin
banyak, maka dibutuhkan manusia Indonesia yang berkualitas.
Membantu orang tua memang harus, namun mungkin
disayangkan jika orang seperti Anda yang tergolong akan
meninggalkan SMA”.
j. Mengarahkan (Directing)
Yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu.
Misalnya menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor atau
menghayalkan sesuatu.
Klien : ” Ayah saya sering marah-marah tanpa sebab. Saya tak
dapat lagi menahan diri. Akhirnya terjadi pertengkaran
sengit.”
Konselor : ” Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap
dan kata-kata ayah Anda jika memarahi Anda.”
k. Menyimpulkan Sementara (Summarizing)
Yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah
pembicaraan semakin jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk :
(1) memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari
hal-hal yang telah dibicarakan; (2) menyimpulkan kemajuan hasil
pembicaraan secara bertahap; (3) meningkatkan kualitas diskusi; (4)
mempertajam fokus pada wawancara konseling.
Contoh :
” Setelah kita berdiskusi beberapa waktu alangkah baiknya jika simpulkan
dulu agar semakin jelas hasil pembicaraan kita. Dari materi materi
pembicaraan yang kita diskusikan, kita sudah sampai pada dua hal:
pertama, tekad Anda untuk bekerja sambil kuliah makin jelas; kedua,
namun masih ada hambatan yang akan hadapi, yaitu : sikap orang tua
Anda yang menginginkan Anda segera menyelesaikan studi, dan waktu
bekerja yang penuh sebagaimana tuntutan dari perusahaan yang akan Anda
masuki.”
l. Memimpin (leading)
Yaitu teknik untuk mengarahkan pembicaraan dalam wawancara konseling
sehingga tujuan konseling .
Contoh dialog :
Klien :” Saya mungkin berfikir juga tentang masalah
hubungan dengan pacar. Tapi bagaimana ya?”
Konselor : ” Sampai ini kepedulian Anda tertuju kuliah kuliah
sambil bekerja. Mungkin Anda tinggal merinci kepedulian
itu. Mengenai pacaran apakah termasuk dalam kerangka
kepedulian Anda juga ?”
m. Fokus
Yaitu teknik untuk membantu klien memusatkan perhatian pada pokok
pembicaraan. Pada umumnya dalam wawancara konseling, klien akan
mengungkapkan sejumlah permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh
karena itu, konselor seyogyanya dapat membantu klien agar dia dapat
menentukan apa yang fokus masalah. Misalnya dengan mengatakan :
” Apakah tidak sebaiknya jika pokok pembicaraan kita berkisar dulu soal
hubungan Anda dengan orang tua yang kurang harmonis ”.
Ada beberapa yang dapat dilakukan, diantaranya :
1. Fokus pada diri klien.
Contoh :
” Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan Anda lakukan ”.
” Tampaknya Anda berjuang sendirian”
2. Fokus pada orang lain.
Contoh :
” Roni, telah membuat kamu menderita, Terangkanlah tentang dia dan
apa yang telah dilakukannya ?”
l. Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan
(perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan
sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya
sendiri melalui peran tertentu.
m. Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu
dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang
negatif.
D. Latihan :
Soal :
Berdasarkan catatan absensi yang ada di wali kelas, pada semester yang lalu dia sering
tidak masuk sekolah, tanpa alasan yang jelas. Selama bulan Februari 2006, tercatat sudah
tujuh hari dia tidak masuk kelas. Padahal ketika masih duduk di kelas X kehadirannya
termasuk bagus. Berdasarkan informasi dari rekan sekelasnya, bahwa jika dia tidak
masuk kelas, dia suka nongkrong di terminal. Bahkan Andi, kawan sekelasnya, pernah
menyaksikan dia dalam keadaan teler di terminal dan sempat meminta paksa uang
kepadanya.
Dalam buku Laporan Pendidikan semester yang lalu, prestasi belajarnya sungguh sangat
tidak memuaskan, hampir terjadi pada semua mata pelajaran, kecuali untuk Mata
Pelajaran Kesenian, prestasinya malah jauh berada di atas kawan-kawannya. Ketika dia
masih duduk dibangku SD, dia pernah meraih predikat sebagai Siswa Berprestasi se-
Kecamatan Nunjauh Disana dan pernah menjadi Juara Pertama Lomba Nyanyi Anak-
Anak se- Kabupaten Nun Jauh Disana.
Melihat kondisi demikian, jika dibiarkan tentunya Fulan sangat beresiko tinggi untuk
tidak naik kelas bahkan mungkin dikeluarkan dari sekolah.
Tugas :
www.puskur.go.id.