Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
I . Pengantar
Dengan judul ini mau diasumsikan bahwa agama hanya dapat difahami dan dihayati secara benar
dalam suatu konteks tertentu. Dalam hal ini konteks Indonesia. Mengapa? Karena memahami dan
menghayati agama di luar konteks sulit, kalau tidak mau dikatakan mustahil. Pemahaman dan penghayatan
semacam itu tidak lebih dari semacam dongeng, sedangkan para tokoh pendirinya tidak lebih dari legenda
dan mite. Agama memang “diturunkan” dalam suatu konteks tertentu. Kekristenan misalnya difahami
sebagai agama1 yang dibawa oleh Yesus Kristus. Yesus sendiri beragama Yahudi, namun memberikan
pemahaman-pemahaman baru terhadap pengertian-pengertian lama yang selama ini dipegang. Misalnya,
dalam hal mengasihi, ternyata yang dikasihi bukan saja kawan, melainkan juga musuh. Jadi ketika
kekristenan muncul kemudian setelah wafat-Nya, agama ini tidak bisa dilepaskan dari tokoh Yesus, yang
secara kelahiran berasal dari latar-belakang budaya Yahudi, namun pada saat yang sama juga berada dalam
kontak intens dengan budaya Yunani-Romawi yang pada waktu itu memperlihatkan dominasi politik dan
militernya atas tanah Palestina. Ketika kekristenan dibawa keluar tanah Palestina oleh Paulus memasuki
dunia Hellenis, maka ia juga tidak mengabaikan konteks yang terhadapnya Injil diberitakan. “Demikianlah
bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi….bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat
aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat……Bagi orang-orang yang tidak hidup di
bawah hukum Taurat, aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat….” (I Kor. 9:20-
21). Tentu ini bukan sikap plin-plan, tetapi upaya yang sungguh-sungguh untuk mengakarkan Injil (boleh
dibaca: kekristenan) di dalam lingkup budaya yang di dalamnya ia dibawa. Contoh yang sangat menarik
adalah pidato Paulus di Areopagus (Atena) di mana ia menghentar para pendengarnya untuk memahami
bahwa mereka adalah orang-orang beragama, sebagaimana nampak dari sekian banyak mezbah dan
patung-patung yang menggambarkan kesalehan itu. Namun mereka masih punya “kekurangan” (ada
mezbah dengan tulisan: “Kepada Allah yang tidak dikenal”). Kekurangan itulah yang hendak diisi oleh Paulus
sekarang dengan memberitakan Yesus Kristus (Kis. Rasul 17:16-34). Dengan ini mau dikatakan, bahwa
Kekristenan yang dibawa Paulus hanya dapat difahami dan dihayati di dalam konteks yang memang sudah
familiar dengan para pendengar (alamat yang dituju), kendati inti pemberitaan itu sendiri berasal dari
“luar”. Kekristenan yang dibawa Paulus itu lalu memperoleh “warna” Hellenis. Ketika Injil-Injil ditulis,
konteks juga memperoleh pertimbangan penting. Injil Yohanes misalnya yang dituliskan di dalam konteks
Gnostik sangat jelas mempergunakan cara berpikir gnostisisme untuk pada akhirnya juga memperlihatkan
1
Dalam pengertian ini tidak diberi perhatian terhadap diskusi yang berkembang di dalam teologi Kristen, apakah
kekristenan layak disebut agama atau tidak. Karl Barth misalnya tidak terlalu senang dengan memberi label agama
kepada kekristenan. Bahkan bagi Barth, Religion ist Unglaube (Agama adalah ketidakpercayaan). Tidak percaya
kepada anugerah Allah sehingga sendiri menggapainya melalui agama. Kalau toh kekristenan diberi label agama,
itulah demi kepentingan praktis saja.
1|Page
bahwa Injil Yesus Kristus jauh lebih “tinggi” dari ajaran gnostik. Yang mau kita katakan adalah, bahwa Injil
hanya bisa difahami dan dihayati secara benar di dalam suatu konteks yang hidup.
Ketika Islam diturunkan di tanah Arab masyarakat Arab sedang berada dalam zaman Jahiliyah.
Secara sosiologis, bangsa Arab sebelum Islam merupakan bangsa yang hidup secara kesukuan. Mereka
hidup berpindah-pindah. Hal ini disebabkan kondisi geografis yang tidak mendukung, seperti model tanah
yang tandus, berbatu, padang pasir luas serta beriklim panas dan jarang turun hujan. Dalam keadaan
semacam ini, wajar jika mereka memiliki watak keras, suka berperang, merampok, berjudi, berzina,
sehingga terkesan jauh dari nilai-nilai moral-kemanusiaan. Demikian ini seakan-akan menjadi tradisi
masyarakat Arab sebelum Islam. Keadaan semacam inilah yang meniscayakan zaman tersebut disebut
zaman jahiliyyah.2 Islam hadir dan membawa penyadaran, bahkan pencerahan. Guna mencapai hal itu,
budaya Arab misalnya bahasa dipergunakan pada waktu itu. Maka Islam pun mesti difahami di dalam suatu
lingkup budaya tertentu. Ketika Islam keluar dari jazirah Arab, kendati bahasa Arab tetap dipertahankan
sebagai bahasa ibadah, namun mau tidak mau ia memperoleh bentuk dengan dikondisikan oleh budaya-
budaya yang dimasukinya. Alhasil, kalau kita berbicara mengenai agama dan keindonesian, asumsinya
adalah keindonesian menjadi konteks yang bukan saja menyekitari agama, tetapi dalam derajad tertentu
ikut mengkondisikan agama.
2
Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2008 hlm 15
2|Page
memperbudak, agama dapat membawa kepada sikap fanatisme, dogmatisme, legalisme dan
institusionalisme, di mana kebenaran diklaim bagi dirinya sendiri.
5
H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, (Harper Colophon Books, Publishers: New York, Hagerstown, San
Fransisco, London, 1975)
4|Page
Kebudayaan). Dalam perkembangan pemikiran di Asia kemudian ditambahkan sikap keenam, Christ
“Transforms” Christ, (Kebudayaan Mentransformasikan Kristus). Itulah sikap-sikap yang setidak-tidaknya
terjadi di dalam sejarah gereja. Contoh Kristus melawan kebudayaan misalnya kita temukan dalam sikap
para penginjil Barat yang secara langsung melihat kebudayaan dari daerah pekabaran Injil sebagai
bertentangan dengan Kristus, dan karena itu harus ditobatkan. Kristus dari kebudayaan terlihat dalam
upaya-upaya kaum Gnostik yang mengakomodasikan kekristenan dengan kebudayaan zamannya (misalnya
dalam interpretasi “ilmiah” dan “filosofis”mereka tentang pribadi dan karya Kristus). Contoh dari Kristus di
atas kebudayaan terlihat dalam teologi Thomas dari Aquinos. Ia dipandang sebagai seorang yang tidak
mempunyai pemahaman historis. Sebagai demikian, pemahaman terhadap Kristus tidak
mempertimbangkan proses sejarah yang memang mesti dialami oleh gereja dan orang-orang percaya.
Kristus dan kebudayaan dalam paradoks, terlihat dalam pandangan dualisme. Sedangkan Kristus sebagai
Pembaharu kebudayaan, pada umumnya dianut dewasa ini di mana-mana. Unsur-unsur budaya tidak
dibuang, tetapi ditransformasikan dengan memakai “ukuran” Kristus.
Bagi kekristenan itu sendiri, sering dikatakan bahwa karena kekristenan dibawa oleh penjajah
Belanda, maka ia menjadi agama penjajah. Dalam derajad tertentu ada benarnya. Perebutan benteng
Victoria di Ambon dari tangah Portugis oleh Belanda 400 tahun lalu ditandai pula untuk kali pertama liturgia
Gereja Protestan dipakai. Maka karena itu GPI misalnya memahami permulaan masuknya Protestantisme di
Indonesia pada era tersebut. Pada pihak lain, identifikasi itu tidak terlalu betul. Dalam banyak kasus justru
Pemerintah kolonial Belanda menghalang-halangi berbagai upaya-upaya pekabaran Injil. Ada sekian banyak
suku di Indonesia yang menganut agama Kristen bukan karena diinjili kaum penjajah, tetapi karena upaya-
upaya tidak kenal lelah dari para penginjil: Nommensen di Tanah Batak, Ottow dan Geisler di Tanah Papua,
Wielenga di Sumba, Kruyt di tanah Toraja, dan seterusnya. Memang ada juga “tuduhan” bahwa seakan-akan
kekristenan itu tidak bersifat nasionalis. Tetapi sejarah juga membuktikan bahwa nasional itu sangat
dijunjung tinggi oleh orang-orang Kristen. KGPM (Kerapatan Gereja Protestan Minahasa), HKI (Huria kristen
Indonesia) misalnya, adalah contoh dari gereja-gereja yang dari mula sangat bersifat nasionalis. Malah
berdirinya gereja-gereja ini justru merupakan protes terhadap kehadiran dan dominasi Belanda di
Indonesia. Dewasa ini kekristenan di Indonesia memperlihatkan karakternya yang makin lama makin
Indonesia. Gereja-gereja berusaha berpijak di atas bumi Indonesia. Kesimpulannya adalah kekristenan di
Indonesia makin lama bersifat Indonesia, tetapi pada saat yang sama umat Kristen Indonesia menyadari
bahwa mereka berada dalam persekutuan dengan semua orang beriman di mana-mana.
5|Page
kerukunan, tetapi menilik isinya, bukan tidak mungkin nanti bangsa Indonesia akan ditempatkan dalam
apartehid agama. Tentu saja keadaaan seperti ini tidak akan menolong bagi pembangunan sebuah bangsa
yang besar.
Di Indonesia hubungan antara negara dan agama masih tetap merupakan persoalan, atau setidak-
tidaknya masih belum terang benar. Kita selalu mendengar adanya pemahaman mengenai “pemisahan
antara negara dan agama”, suatu konsep yang memang diterapkan di negara-negara Barat. Intinya adalah
bahwa urusan negara mestinya tidak boleh dicampurtangani oleh agama. Negara-negara sudah pernah
mengalami bahwa campurtangan seperti ini akan merugikan, baik negara maupun agama. Di berbagai
negara-negara Islam, hubungan ini agaknya tidak terlalu merupakan persoalan, karena Islam adalah din wa
dawla (agama dan negara sekaligus), setidak-tidaknya dengan mencotohi yang dilakukan Nabi Muhammad
ketika beliau mendirikan negara kota Madinah. Dalam negara kota seperti itu Nabi adalah imam dan kepala
negara sekaligus, yang belakangan juga diikuti oleh para pengganti dan pengikutnya. Dalam sebuah negeri
seperti Arab pra islam, di mana kesatuan di antara suku-suku yang saling berperang belum merupakan
kenyataan, maka sistem itu dapat difahami. Nabi mesti menciptakan hukum-hukum yang jauh lebih “maju”
dari yang sudah dimiliki, sebab sebelumnya hukum yang berlaku adalah hukum kabilah-kabilah yang hanya
berlaku dalam suku-suku tertentu. Maka Islam memang merupakan unsur pemersatu suku-suku Arab. Islam
memperkuat nasionalisme Arab, dan sebaliknya Arab juga menjadi tulang punggung kekuatan Islam. Dalam
kebanyakan negara-negara Islam yang belakangan terbentuk, system ini juga diterapkan. Hal ini sangat
berbeda dengan yang dihadapi Yesus Kristus. Ketika beliau hidup di Palestina, perangkat hukum sipil
Romawi yang mengatur tatanan masyarakat sudah ada. Maka tidak lagi merupakan sesuatu yang urgen
untuk menciptakan hukum-hukum negara dalam sebuah masyarakat yang sudah tertata itu. Apalagi Yesus
sama sekali tidak bermasud mendirikan sebuah negara.
Persoalan yang dihadapi di Indonesia adalah, bahwa negeri kita bukanlah sebuah negara Islam.
Negara kita adalah sebuah negara Pancasila, yang secara normatip berarti tidak ada agama yang
memperoleh prioritas di atas agama-agama lainnya. Ini sekaligus juga berarti bahwa hubungan antara
negara dan agama mestinya berbeda dengan yang diterapkan dalam sebuah negara atas dasar agama
tertentu. Kita juga sangat mengenal rumusan, bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan
negara sekuler. Ini menandakan bahwa Indonesia tidak bisa disamakan dengan sebuah negara atas dasar
agama, tetapi pada saat yang sama, negara juga tidak dapat dianggap memusuhi agama. Tentu saja
perumusan negatip seperti ini akan sangat multi-interpretable. Itulah yang nampak di dalam kenyataannya..
Dalam prakteknya ada keterkaitan kuat antara negara dan agama, paling tidak dalam praktek-praktek yang
dijalankan oleh beberapa pemerintahan daerah, dan dalam derajaad tertentu juga oleh pemerintah pusat.
Keterkaitan antara “ulama” dan “umaroh”, kendati bisa diartikan sebagai adanya kerjasama yang baik,
namun tidak jarang diinterpretasi sebagai adanya kecenderungan “campurtangan” agama di dalam negara,
dan sebaliknya juga dominasi negara terhadap agama. Dengan diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999
mengenai pemerintahan daerah, ini juga membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk menciptakan
Perda-Perda yang kurang bisa memilah, mana urusan agama dan mana urusan negara. Bahkan “himbauan”
seorang bupati saja untuk mengenakan jilbab sudah menunjuk kepada “otonomi” yang hampir tidak
terkontrol di dalam menginterpretasikan UU tersebut. Yang lebih parah lagi, kalau UU tersebut juga dipakai
sebagai dasar untuk membuat perda-perda yang membatasi pembangunan rumah-rumah ibadah (hal itu
memang telah berlaku tanpa adanya perda-perda sedemikian. Hanya berdasarkan SKB yang sampai
6|Page
sekarang sangat sulit untuk dicabut). Memang harus diakui, banyaknya rumah-rumah ibadah yang dibangun
di dalam satu tempat, tentu saja menimbulkan persoalan. Kenyataan ini mestinya menjadikan umat (dalam
hal ini umat Kristen) untuk mengadakan introspeksi diri, apakah memang perlu mendirikan gedung-gedung
ibadah sebanyak itu. Namun hal ini tidak boleh menghilangkan hak warganegara untuk beribadah, seperti
misalnya ibadah yang juga dilarang dirumah-rumah tinggal atau ruko-ruko, dengan alasan bahwa itu bukan
rumah ibadah. Artinya dipakai tidak sesuai dengan peruntukannya. Bagaimanapun harus dijamin bahwa
setiap warga-negara mempunyai kesempatan beribadah sebagai ungkapan perasaan keberagamaannya itu.
Bagaimanapun kita hidup dan tinggal bersama dalam sebuah negara yang masyarakatnya sangat
majemk. Maka masyarakat berkeadaban (civil society) mesti diwujudkan. Civil society akan sangat diperkuat
dengan proses demokratisasi yang sehat. Masyarakat berkeadaban juga mengasumsikan adanya
kedewasaan warganegara di dalam berinteraksi satu sama lain. Penegakan hukum adalah juga salah satu ciri
dari masyarakat berkeadaban itu. Bagaimana mencapai hal ini? Tidak bisa lain dari kerjasama,
berkomunikasi dan berinteraksi di anatara anak bangsa yang sangat beranekaragam ini. Menempatkan diri
dalam isolasi, sama sekali tidak menolong kerukunana hidup. Pada saat yang sama, tentu saja berbagai
perangkat hukum yang terkesan diskriminatip mesti dihilangkan. Berbagai UU dan Perda-Perda yang tidak
sesuai dengan UUD 1945 harus secara tegas dianulir, sehingga bangsa kita tidak hidup dalam ambivalensi
hukum, yang menyebabkan juga berbagai ketidakpastian. Selanjutnya agama mesti ditempatkan kembali
pada “track” nya yang benar, yaitu sebagai yang memberi landasan moral dan etik bagi kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa. Hukum-hukum agama mesti dihindarkan untuk tidak menjadi hukum positip.
Ini berarti yang berlaku adalah hukum sipil. Tentu saja adalah panggilan para pemimpin agama-agama untuk
menafsirkan apakah dalam hukum-hukum sipil itu, berbagai prinsip kehidupan etik dan moral sebagaimana
dikandung oleh agama-agama telah tercakup.
Gereja juga mempunyai “hak” hidup di Indonesia, mereka tidak boleh mengisolasi dirinya, hidup
seakan-akan dalam satu pulau sendiri, masuk ke dalam ghetto. Kehidupan seperti itu sangat mudah
mengundang kecurigaan dan kecemburuan. Yang mesti dilakukan adalah solidaritas penuh. Setiakawan
menghadapi berbagai persoalan-persoalan bangsa. Nasib bangsa ini adalah pula nasib gereja. Pengharapan
bangsa ini bagi kesejahteraan manusia di bumi Indonesia, adalah pula pengharapan gereja. “Usahakanlah
kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah bagi kota itu kepada TUHAN, sebab
kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”
Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2008.
A.A.Yewangoe, Agama Dan Kerukunan, BPK-GM, Jakarta, 2001.
Jhon A. Titaley, Religiositas di Alinea Ketiga: “Pluralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agama-Agama”,
Satya Wacana Univeversity Press: Salatiga, 2013.
H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, Harper Colophon Books, Publishers: New York, Hagerstown, San
Fransisco, London, 1975.
7|Page