Está en la página 1de 7

Program Pascasarjana STT-HKBP Pematangsiantar

Nama : Agus Rony Tua, S.Th


Mata Kuliah : Teologi Kontemporer
Dosen : Pdt. Dr. Apeliften Ch.B. Sihombing

PLURALISME AGAMA DAN KEINDONESIAAN


Sebuah Perenungan Tentang Kehadiran Agama di Indonesia
Dalam Upaya Membangun Kerukunan Umat Beragama

I . Pengantar
Dengan judul ini mau diasumsikan bahwa agama hanya dapat difahami dan dihayati secara benar
dalam suatu konteks tertentu. Dalam hal ini konteks Indonesia. Mengapa? Karena memahami dan
menghayati agama di luar konteks sulit, kalau tidak mau dikatakan mustahil. Pemahaman dan penghayatan
semacam itu tidak lebih dari semacam dongeng, sedangkan para tokoh pendirinya tidak lebih dari legenda
dan mite. Agama memang “diturunkan” dalam suatu konteks tertentu. Kekristenan misalnya difahami
sebagai agama1 yang dibawa oleh Yesus Kristus. Yesus sendiri beragama Yahudi, namun memberikan
pemahaman-pemahaman baru terhadap pengertian-pengertian lama yang selama ini dipegang. Misalnya,
dalam hal mengasihi, ternyata yang dikasihi bukan saja kawan, melainkan juga musuh. Jadi ketika
kekristenan muncul kemudian setelah wafat-Nya, agama ini tidak bisa dilepaskan dari tokoh Yesus, yang
secara kelahiran berasal dari latar-belakang budaya Yahudi, namun pada saat yang sama juga berada dalam
kontak intens dengan budaya Yunani-Romawi yang pada waktu itu memperlihatkan dominasi politik dan
militernya atas tanah Palestina. Ketika kekristenan dibawa keluar tanah Palestina oleh Paulus memasuki
dunia Hellenis, maka ia juga tidak mengabaikan konteks yang terhadapnya Injil diberitakan. “Demikianlah
bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi….bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat
aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat……Bagi orang-orang yang tidak hidup di
bawah hukum Taurat, aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat….” (I Kor. 9:20-
21). Tentu ini bukan sikap plin-plan, tetapi upaya yang sungguh-sungguh untuk mengakarkan Injil (boleh
dibaca: kekristenan) di dalam lingkup budaya yang di dalamnya ia dibawa. Contoh yang sangat menarik
adalah pidato Paulus di Areopagus (Atena) di mana ia menghentar para pendengarnya untuk memahami
bahwa mereka adalah orang-orang beragama, sebagaimana nampak dari sekian banyak mezbah dan
patung-patung yang menggambarkan kesalehan itu. Namun mereka masih punya “kekurangan” (ada
mezbah dengan tulisan: “Kepada Allah yang tidak dikenal”). Kekurangan itulah yang hendak diisi oleh Paulus
sekarang dengan memberitakan Yesus Kristus (Kis. Rasul 17:16-34). Dengan ini mau dikatakan, bahwa
Kekristenan yang dibawa Paulus hanya dapat difahami dan dihayati di dalam konteks yang memang sudah
familiar dengan para pendengar (alamat yang dituju), kendati inti pemberitaan itu sendiri berasal dari
“luar”. Kekristenan yang dibawa Paulus itu lalu memperoleh “warna” Hellenis. Ketika Injil-Injil ditulis,
konteks juga memperoleh pertimbangan penting. Injil Yohanes misalnya yang dituliskan di dalam konteks
Gnostik sangat jelas mempergunakan cara berpikir gnostisisme untuk pada akhirnya juga memperlihatkan
1
Dalam pengertian ini tidak diberi perhatian terhadap diskusi yang berkembang di dalam teologi Kristen, apakah
kekristenan layak disebut agama atau tidak. Karl Barth misalnya tidak terlalu senang dengan memberi label agama
kepada kekristenan. Bahkan bagi Barth, Religion ist Unglaube (Agama adalah ketidakpercayaan). Tidak percaya
kepada anugerah Allah sehingga sendiri menggapainya melalui agama. Kalau toh kekristenan diberi label agama,
itulah demi kepentingan praktis saja.
1|Page
bahwa Injil Yesus Kristus jauh lebih “tinggi” dari ajaran gnostik. Yang mau kita katakan adalah, bahwa Injil
hanya bisa difahami dan dihayati secara benar di dalam suatu konteks yang hidup.
Ketika Islam diturunkan di tanah Arab masyarakat Arab sedang berada dalam zaman Jahiliyah.
Secara sosiologis, bangsa Arab sebelum Islam merupakan bangsa yang hidup secara kesukuan. Mereka
hidup berpindah-pindah. Hal ini disebabkan kondisi geografis yang tidak mendukung, seperti model tanah
yang tandus, berbatu, padang pasir luas serta beriklim panas dan jarang turun hujan. Dalam keadaan
semacam ini, wajar jika mereka memiliki watak keras, suka berperang, merampok, berjudi, berzina,
sehingga terkesan jauh dari nilai-nilai moral-kemanusiaan. Demikian ini seakan-akan menjadi tradisi
masyarakat Arab sebelum Islam. Keadaan semacam inilah yang meniscayakan zaman tersebut disebut
zaman jahiliyyah.2 Islam hadir dan membawa penyadaran, bahkan pencerahan. Guna mencapai hal itu,
budaya Arab misalnya bahasa dipergunakan pada waktu itu. Maka Islam pun mesti difahami di dalam suatu
lingkup budaya tertentu. Ketika Islam keluar dari jazirah Arab, kendati bahasa Arab tetap dipertahankan
sebagai bahasa ibadah, namun mau tidak mau ia memperoleh bentuk dengan dikondisikan oleh budaya-
budaya yang dimasukinya. Alhasil, kalau kita berbicara mengenai agama dan keindonesian, asumsinya
adalah keindonesian menjadi konteks yang bukan saja menyekitari agama, tetapi dalam derajad tertentu
ikut mengkondisikan agama.

II. Esensi Agama Diturunkan Untuk Kemashlahatan Manusia


Pada umumnya orang beragama yakin, bahwa agama diturunkan Tuhan ke dunia ini bagi
kemashlahatan manusia. Agama adalah rahmat untuk seluruh alam (rahmatan li’l alamin menurut Islam),
orang beriman dipanggil untuk menjadi garam dan terang, (menurut ajaran Kristen), dan seterusnya. Hal
serupa pasti kita temukan juga pada agama-agama lainnya. Sebagai demikian, agama (mestinya) membawa
kesejukan bagi manusia. Kesejukan itu diungkapkan dalam ajaran mengenai cita-kasih. Dalam setiap agama
terdapat ajaran mengenai cinta-kasih. Dalam Kitab Suci Kristen, kepada orang beriman diperintahkan untuk
mengasihi Allah dengan sebulat-bulat hati, segenap jiwa dan segenap akal budi. Pada saat yang sama juga
diperintahkan untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri (Mat. 22:37-40). Bahkan Yesus Kristus, Orang
Nazaret itu menegaskan untuk mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kalian..” (Mat.
5:44). Rasul Paulus berbicara mengenai keutamaan kasih ( I Kor. 13:13, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini,
yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”).
Justru kasih memutuskan rantai kebencian, permusuhan dan kekerasan. Sayang sekali, dalam
penampakan historisnya (boleh dibaca: realitas sosialnya) tidak (selalu) demikian. Agama-agama, ketimbang
menyejukkan justru telah menempatkan manusia dalam permusuhan-permusuhan. Agama-agama,
ketimbang meruntuhkan tembok-tembok pemisah, justru membangun tembok-tembok baru yang
menawan manusia di dalamnya. Manusia menjadi terkotak-kotak menurut agama yang dianutnya. Dalam
sejarah manusia, dikenal berbagai perang agama, baik antara agama yang berbeda (misalnya perang-perang
salib dan perang-perang sabil), mau pun di antara penganut agama yang sama. Resonansi pertentangan dan
konflik-konflik itu, kendati laten, sewaktu-waktu bisa timbul begitu saja. Dalam kaitan itu agama pada saat
yang sama membebaskan dan memperbudak. Dalam sisinya yang membebaskan agama bisa
mentransformasikan suatu masyarakat yang tadinya berada dalam kegelapan, tetapi dalam sisinya yang

2
Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2008 hlm 15
2|Page
memperbudak, agama dapat membawa kepada sikap fanatisme, dogmatisme, legalisme dan
institusionalisme, di mana kebenaran diklaim bagi dirinya sendiri.

III. Perkembangan Agama-Agama Di Indonesia


Di negeri kita, pada waktu lalu kehidupan umat beragama sangat baik. Bahkan Indonesia pernah
dilihat sebagai contoh yang pas untuk memperlihatkan bagaimana relasi antar-umat beragama yang
harmonis itu terjadi. Inilah suatu kerukunan otentik. Yang dimaksud adalah kerukunan yang timbul dari
dalam hati orang-orang sendiri tanpa di atur-atur. Tidak direkayasa. Kita teringat misalnya akan adat-
kebiasaan pada perayaan hari-hari besar keagamaan yang dirayakan oleh semua orang beragama, tanpa
memandang agamanya. Paling tidak ada kerinduan menyampaikan ucapan selamat, tanpa dihalang-halangi
oleh perasaan ragu-ragu.
Kerukunan otentik itu mempunyai akarnya di dalam sejarah. Di kerajaan Majapahit pada abad ke
12, raja dibantu oleh para ahli yang beragama Hindu dan Buddha dalam hal-hal yang bersangkut-paut
dengan urusan-urusan keagamaan Sekitar abad ke 14 berlangsung kehidupan yang penuh toleransi dan
koeksistensi secara damai ketika dinasti Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa mewujudkan relasi yang amat
baik dengan dinasti Syailendra yang beragama Buddha Mahayana 3. Dikenal ucapan Mpu Tantular yang
terkenal: “Bhina Ika Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrowa” yang bermakna, “Berbeda-beda dia, tetapi
satu adanya, tidak ada ajaran yang menduakannya.” Ini lalu dipakai untuk menggambarkan kenyataan
bangsa kita yang sekalipun berbeda, namun satu adanya. Artinya, kendati bangsa kita sangat majemuk dari
segi suku dan agama, hal itu tidak pernah boleh merupakan sebab bagi terjadinya konflik dan permusuhan.
Sayang sekali dalam tahun-tahun terakhir ini, kerukunan otentik itu telah diganggu oleh politisasi agama.
Artinya agama diperalat begitu rupa sehingga ia menjadi alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik jangka
pendek. Kasus-kasus konflik Ambon, Poso dan seterusnya, memang bukan konflik agama, tetapi nuansa
yang muncul ke permukaan justru sangat berbau agama. Berbagai simbol-simbol agama dipakai dan
sekaligus dihancurkan dalam berbagai konflik itu.
Mengapa agama begitu gampang diperalat? Karena agama memang sangat rawan untuk
diperlakukan seperti itu. Pada agama orang menggantungkan seluruh eksistensinya, baik bagi masa kini mau
pun bagi masa depan, bahkan sesudah kematian. Maka kalau wilayah ini diganggu, dengan sendirinya orang
akan bangkit membelanya. Kalau perlu dengan jiwa. Hal ini bisa diperparah dengan sikap ketidakdewasaan
dari para penganut agama-agama itu sendiri. Maka muncullah berbagai front yang konon membela agama
itu. Padahal dalam sejarah suatu bangsa baru yang bernama Indonesia sudah ada satu peristiwa penting
yang memiliki dampak yang luas terhadap hubungan antar agama. Peristiwa itu telah tertuang secara tegas
dalam konstitusi bangsa yang baru itu yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Sayangnya peristiwa itu diabaikan
oleh generasi penerusnya, sehingga terancam hilang dengan dampak yang sangat besar terhadap kelanjutan
kehidupan bangsa ini.4 Religiositas yang merupakan konteks dasar dari terbentuknya Negara ini sudah tidak
lagi menjadi “sejarah” yang perlu untuk terus diingat.
Ketika Indonesia memasuki fase reformasi (1997/1998 dan seterusnya), berbagai kebebasan
ditawarkan. Termasuk kekebasan mendirikan partai-partai politik sebagai saluran penyaluran aspirasi politik.
Era di mana aspirasi politik dipaksakan untuk disalurkan hanya kepada dua partai politik (PDI dan PPP) dan
3
Lihat A.A.Yewangoe, Agama Dan Kerukunan, BPK-GM, Jakarta, 2001, p. 48 yang mengutip dari berbagai sumber.
4
Jhon A. Titaley, Religiositas di Alinea Ketiga: “Pluralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agama-Agama”, Satya
Wacana Univeversity Press: Salatiga, 2013, Hal. 30.
3|Page
Golkar telah lewat. Maka berlomba-lombalah orang mendirikan partai-partai politik. Dalam pendirian ini
tidak terkecuali partai-partai politik yang didasarkan atas agama tertentu. Adanya partai-partai politik yang
berdasar agama bukanlah sesuatu yang sama sekali baru dalam sejarah republik ini. Pada tahun-tahun
limapuluhan, sekian banyak partai politik berdasar agama didirikan (Masyumi, NU, Perti, Parkindo dan
Partai Katolik). Maka era itu biasanya ditipekan oleh para ahli ilmu politik sebagai era politik aliran, artinya
aspirasi politik disalurkan dan dikenal dengan menyiasati aliran yang berada di belakangnya atau yang
memberi motivasi bagi berdirinya partai politik tersebut.
Dalam era reformasi ini, sekian banyak partai poitik berdasar agama juga dikenal. Selain PPP yang
dalam era Orde Baru sudah ada, muncul PKS, PBR, PBB, PKB dan PAN. Dua yang disebut terakhir ini
seringkali mengklaim dirinya sebagai partai terbuka. Di kalangan Kristen, didirikan Partai Damai-Sejahtera.
Yang menarik dari pendirian partai-partai in adalah, klaimnya sebagai penyalur aspirasi politik umat
beragama yang berada di belakangnya. Dalam kasus PDS misalnya, klaim itu sangat jelas. Partai ini
mengklaim bahwa dialah penyalur aspirasi umat Kristen Indonesia yang selama ini hak-hak mereka telah
disia-siakan karena tidak tersedianya wadah khusus itu. Sementara itu kita mengetahui bahwa tidak semua
umat beragama masuk ke dalam partai-partai berdasarkan agama itu. Sebahagian besar adalah anggota-
anggota dari partai-partai bersifat nasionalis, yang lazimnya lintas-agama dan lintas-suku. Apakah keadaan
ini dengan sendirinya merusak relasi-relasi umat beragama? Tidak dengan sendirinya demikian, asal saja
setiap orang dibebaskan (membebaskan diri) dari sikap klaim-mengklaim. Yang saya maksudkan adalah,
biarlah setiap orang memilih partai yang menurut keyakinannya sungguh-sungguh menyalurkan aspirasi
politiknya. Jangan ada paksa-memaksa. Persoalan muncul apabila sebuah partai agama mengklaim dirinya
sebagai sangat agamis, dan meremehkan yang lainnya yang tidak tergabung dalam partai tersebut sebagai
tidak agamis. Atau paling tidak keberagamaan mereka diragukan.
Menurut saya, biarlah setiap orang mencari saluran aspirasi politiknya sesuai dengan minat masing-
masing. Saya sendiri secara pribadi berpendapat bahwa partai-partai agama sudah tidak relevan lagi dalam
sebuah masyarakat yang makin lama makin menuju kepada sebuat masyarakat sipil (civil society). Persoalan
kemanusiaan sudah begitu rumit sehingga mestinya diselesaikan lintas-agama dan lintas-suku. Selain itu,
ada kemungkinan menyamakan agama sebagai sebuah ideologi tertentu, padahalnya, sebagaimana telah
dikatakaan, agama itu diturunkan Tuhan.

IV. Inkulturasi Dan Kontekstualisasi


Di kalangan kekristenan, setidak-tidaknya dalam pergumulan teologi telah lama dipergumulkan apa
yang disebut inkulturasi dan/atau kontekstualisasi. Intinya adalah, bahwa kultur (budaya) yang di dalamnya
agama ada mesti membuat agama itu dikenal tanpa membuat agama terasing dari padanya. Kalau tidak
agama akan tercabut dari akar budaya, yang ujung-ujungnya akan merugikan agama itu sendiri. Di kalangan
teologi dikenal sebuah buku, yang belakangan sudah menjadi klasik, ditulis oleh H. Richard Niebuhr,
berjudul, Christ and Culture5. Dalam buku ini diuraikan bagaimana sikap gereja menghadapi kebudayaan.
Ada lima sikap dikemukakan: Christ Against Culture (Kristus Melawan Kebudayaan), The Christ of Culture
(Kristus Dari Kebudayaan), Christ Above Culture (Kristus Di atas Kebudayaan), Christ and Culture in Paradox
(Kristus dan Kebudayaan Dalam Paradoks), Christ The Transformer of Culture (Kristus Pembaharu

5
H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, (Harper Colophon Books, Publishers: New York, Hagerstown, San
Fransisco, London, 1975)
4|Page
Kebudayaan). Dalam perkembangan pemikiran di Asia kemudian ditambahkan sikap keenam, Christ
“Transforms” Christ, (Kebudayaan Mentransformasikan Kristus). Itulah sikap-sikap yang setidak-tidaknya
terjadi di dalam sejarah gereja. Contoh Kristus melawan kebudayaan misalnya kita temukan dalam sikap
para penginjil Barat yang secara langsung melihat kebudayaan dari daerah pekabaran Injil sebagai
bertentangan dengan Kristus, dan karena itu harus ditobatkan. Kristus dari kebudayaan terlihat dalam
upaya-upaya kaum Gnostik yang mengakomodasikan kekristenan dengan kebudayaan zamannya (misalnya
dalam interpretasi “ilmiah” dan “filosofis”mereka tentang pribadi dan karya Kristus). Contoh dari Kristus di
atas kebudayaan terlihat dalam teologi Thomas dari Aquinos. Ia dipandang sebagai seorang yang tidak
mempunyai pemahaman historis. Sebagai demikian, pemahaman terhadap Kristus tidak
mempertimbangkan proses sejarah yang memang mesti dialami oleh gereja dan orang-orang percaya.
Kristus dan kebudayaan dalam paradoks, terlihat dalam pandangan dualisme. Sedangkan Kristus sebagai
Pembaharu kebudayaan, pada umumnya dianut dewasa ini di mana-mana. Unsur-unsur budaya tidak
dibuang, tetapi ditransformasikan dengan memakai “ukuran” Kristus.
Bagi kekristenan itu sendiri, sering dikatakan bahwa karena kekristenan dibawa oleh penjajah
Belanda, maka ia menjadi agama penjajah. Dalam derajad tertentu ada benarnya. Perebutan benteng
Victoria di Ambon dari tangah Portugis oleh Belanda 400 tahun lalu ditandai pula untuk kali pertama liturgia
Gereja Protestan dipakai. Maka karena itu GPI misalnya memahami permulaan masuknya Protestantisme di
Indonesia pada era tersebut. Pada pihak lain, identifikasi itu tidak terlalu betul. Dalam banyak kasus justru
Pemerintah kolonial Belanda menghalang-halangi berbagai upaya-upaya pekabaran Injil. Ada sekian banyak
suku di Indonesia yang menganut agama Kristen bukan karena diinjili kaum penjajah, tetapi karena upaya-
upaya tidak kenal lelah dari para penginjil: Nommensen di Tanah Batak, Ottow dan Geisler di Tanah Papua,
Wielenga di Sumba, Kruyt di tanah Toraja, dan seterusnya. Memang ada juga “tuduhan” bahwa seakan-akan
kekristenan itu tidak bersifat nasionalis. Tetapi sejarah juga membuktikan bahwa nasional itu sangat
dijunjung tinggi oleh orang-orang Kristen. KGPM (Kerapatan Gereja Protestan Minahasa), HKI (Huria kristen
Indonesia) misalnya, adalah contoh dari gereja-gereja yang dari mula sangat bersifat nasionalis. Malah
berdirinya gereja-gereja ini justru merupakan protes terhadap kehadiran dan dominasi Belanda di
Indonesia. Dewasa ini kekristenan di Indonesia memperlihatkan karakternya yang makin lama makin
Indonesia. Gereja-gereja berusaha berpijak di atas bumi Indonesia. Kesimpulannya adalah kekristenan di
Indonesia makin lama bersifat Indonesia, tetapi pada saat yang sama umat Kristen Indonesia menyadari
bahwa mereka berada dalam persekutuan dengan semua orang beriman di mana-mana.

VI. Religiositas Indonesia Sebagai Bingkai Kerukunan Antar Umat Beragama


Relasi di antara umat beragama di Indonesia untuk waktu yang cukup lama dianggap sebagai contoh
yang baik. Hal itu bukan saja karena adanya jaminan konstitusional, sebagaimana diatur dalam fasal 29 UUD
1945, tetapi memang karena sifat bangsa Indonesia yang suka hidup rukun dan damai dari sononya. Bekas-
bekas cara hidup rukun itu bisa ditemukan di mana-mana, seperti misalnya sistem Pela-Gandong di Maluku.
Sayang sekali, kerukunan otentik itu mengalami gangguan akhir-akhir ini. Di mana letak persoalannya perlu
kita cermati. Tetapi rupanya, sebagaimana disinyalir, terlalu banyak faktor “luar” yang ikut mempengaruhi
tata-kehidupan otentik tersebut. “Politisasi agama” yang dalam pemilu yang lalu sangat marak, bukan saja
merusak raaleasi antar umat beragama yang berbeda, tetapi juga kerukunan intern agama itu sendiri. Kita
juga teringat misalnya akan Undang-Undang KUB. Kedengarannya indah, seakan-akan yang diatur adalah

5|Page
kerukunan, tetapi menilik isinya, bukan tidak mungkin nanti bangsa Indonesia akan ditempatkan dalam
apartehid agama. Tentu saja keadaaan seperti ini tidak akan menolong bagi pembangunan sebuah bangsa
yang besar.
Di Indonesia hubungan antara negara dan agama masih tetap merupakan persoalan, atau setidak-
tidaknya masih belum terang benar. Kita selalu mendengar adanya pemahaman mengenai “pemisahan
antara negara dan agama”, suatu konsep yang memang diterapkan di negara-negara Barat. Intinya adalah
bahwa urusan negara mestinya tidak boleh dicampurtangani oleh agama. Negara-negara sudah pernah
mengalami bahwa campurtangan seperti ini akan merugikan, baik negara maupun agama. Di berbagai
negara-negara Islam, hubungan ini agaknya tidak terlalu merupakan persoalan, karena Islam adalah din wa
dawla (agama dan negara sekaligus), setidak-tidaknya dengan mencotohi yang dilakukan Nabi Muhammad
ketika beliau mendirikan negara kota Madinah. Dalam negara kota seperti itu Nabi adalah imam dan kepala
negara sekaligus, yang belakangan juga diikuti oleh para pengganti dan pengikutnya. Dalam sebuah negeri
seperti Arab pra islam, di mana kesatuan di antara suku-suku yang saling berperang belum merupakan
kenyataan, maka sistem itu dapat difahami. Nabi mesti menciptakan hukum-hukum yang jauh lebih “maju”
dari yang sudah dimiliki, sebab sebelumnya hukum yang berlaku adalah hukum kabilah-kabilah yang hanya
berlaku dalam suku-suku tertentu. Maka Islam memang merupakan unsur pemersatu suku-suku Arab. Islam
memperkuat nasionalisme Arab, dan sebaliknya Arab juga menjadi tulang punggung kekuatan Islam. Dalam
kebanyakan negara-negara Islam yang belakangan terbentuk, system ini juga diterapkan. Hal ini sangat
berbeda dengan yang dihadapi Yesus Kristus. Ketika beliau hidup di Palestina, perangkat hukum sipil
Romawi yang mengatur tatanan masyarakat sudah ada. Maka tidak lagi merupakan sesuatu yang urgen
untuk menciptakan hukum-hukum negara dalam sebuah masyarakat yang sudah tertata itu. Apalagi Yesus
sama sekali tidak bermasud mendirikan sebuah negara.
Persoalan yang dihadapi di Indonesia adalah, bahwa negeri kita bukanlah sebuah negara Islam.
Negara kita adalah sebuah negara Pancasila, yang secara normatip berarti tidak ada agama yang
memperoleh prioritas di atas agama-agama lainnya. Ini sekaligus juga berarti bahwa hubungan antara
negara dan agama mestinya berbeda dengan yang diterapkan dalam sebuah negara atas dasar agama
tertentu. Kita juga sangat mengenal rumusan, bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan
negara sekuler. Ini menandakan bahwa Indonesia tidak bisa disamakan dengan sebuah negara atas dasar
agama, tetapi pada saat yang sama, negara juga tidak dapat dianggap memusuhi agama. Tentu saja
perumusan negatip seperti ini akan sangat multi-interpretable. Itulah yang nampak di dalam kenyataannya..
Dalam prakteknya ada keterkaitan kuat antara negara dan agama, paling tidak dalam praktek-praktek yang
dijalankan oleh beberapa pemerintahan daerah, dan dalam derajaad tertentu juga oleh pemerintah pusat.
Keterkaitan antara “ulama” dan “umaroh”, kendati bisa diartikan sebagai adanya kerjasama yang baik,
namun tidak jarang diinterpretasi sebagai adanya kecenderungan “campurtangan” agama di dalam negara,
dan sebaliknya juga dominasi negara terhadap agama. Dengan diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999
mengenai pemerintahan daerah, ini juga membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk menciptakan
Perda-Perda yang kurang bisa memilah, mana urusan agama dan mana urusan negara. Bahkan “himbauan”
seorang bupati saja untuk mengenakan jilbab sudah menunjuk kepada “otonomi” yang hampir tidak
terkontrol di dalam menginterpretasikan UU tersebut. Yang lebih parah lagi, kalau UU tersebut juga dipakai
sebagai dasar untuk membuat perda-perda yang membatasi pembangunan rumah-rumah ibadah (hal itu
memang telah berlaku tanpa adanya perda-perda sedemikian. Hanya berdasarkan SKB yang sampai

6|Page
sekarang sangat sulit untuk dicabut). Memang harus diakui, banyaknya rumah-rumah ibadah yang dibangun
di dalam satu tempat, tentu saja menimbulkan persoalan. Kenyataan ini mestinya menjadikan umat (dalam
hal ini umat Kristen) untuk mengadakan introspeksi diri, apakah memang perlu mendirikan gedung-gedung
ibadah sebanyak itu. Namun hal ini tidak boleh menghilangkan hak warganegara untuk beribadah, seperti
misalnya ibadah yang juga dilarang dirumah-rumah tinggal atau ruko-ruko, dengan alasan bahwa itu bukan
rumah ibadah. Artinya dipakai tidak sesuai dengan peruntukannya. Bagaimanapun harus dijamin bahwa
setiap warga-negara mempunyai kesempatan beribadah sebagai ungkapan perasaan keberagamaannya itu.
Bagaimanapun kita hidup dan tinggal bersama dalam sebuah negara yang masyarakatnya sangat
majemk. Maka masyarakat berkeadaban (civil society) mesti diwujudkan. Civil society akan sangat diperkuat
dengan proses demokratisasi yang sehat. Masyarakat berkeadaban juga mengasumsikan adanya
kedewasaan warganegara di dalam berinteraksi satu sama lain. Penegakan hukum adalah juga salah satu ciri
dari masyarakat berkeadaban itu. Bagaimana mencapai hal ini? Tidak bisa lain dari kerjasama,
berkomunikasi dan berinteraksi di anatara anak bangsa yang sangat beranekaragam ini. Menempatkan diri
dalam isolasi, sama sekali tidak menolong kerukunana hidup. Pada saat yang sama, tentu saja berbagai
perangkat hukum yang terkesan diskriminatip mesti dihilangkan. Berbagai UU dan Perda-Perda yang tidak
sesuai dengan UUD 1945 harus secara tegas dianulir, sehingga bangsa kita tidak hidup dalam ambivalensi
hukum, yang menyebabkan juga berbagai ketidakpastian. Selanjutnya agama mesti ditempatkan kembali
pada “track” nya yang benar, yaitu sebagai yang memberi landasan moral dan etik bagi kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa. Hukum-hukum agama mesti dihindarkan untuk tidak menjadi hukum positip.
Ini berarti yang berlaku adalah hukum sipil. Tentu saja adalah panggilan para pemimpin agama-agama untuk
menafsirkan apakah dalam hukum-hukum sipil itu, berbagai prinsip kehidupan etik dan moral sebagaimana
dikandung oleh agama-agama telah tercakup.
Gereja juga mempunyai “hak” hidup di Indonesia, mereka tidak boleh mengisolasi dirinya, hidup
seakan-akan dalam satu pulau sendiri, masuk ke dalam ghetto. Kehidupan seperti itu sangat mudah
mengundang kecurigaan dan kecemburuan. Yang mesti dilakukan adalah solidaritas penuh. Setiakawan
menghadapi berbagai persoalan-persoalan bangsa. Nasib bangsa ini adalah pula nasib gereja. Pengharapan
bangsa ini bagi kesejahteraan manusia di bumi Indonesia, adalah pula pengharapan gereja. “Usahakanlah
kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah bagi kota itu kepada TUHAN, sebab
kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”

VII. Daftar Bacaan

Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2008.
A.A.Yewangoe, Agama Dan Kerukunan, BPK-GM, Jakarta, 2001.
Jhon A. Titaley, Religiositas di Alinea Ketiga: “Pluralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agama-Agama”,
Satya Wacana Univeversity Press: Salatiga, 2013.
H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, Harper Colophon Books, Publishers: New York, Hagerstown, San
Fransisco, London, 1975.

7|Page

También podría gustarte