Está en la página 1de 8

Sering kita mendengar seseorang mengatakan "Aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya", atau

seruan "Kita harus mencintai Allah dan Rasul-Nya." Tapi, apa sesungguhnya makna
mencintai Allah dan Rasul-Nya itu?.

Al-Azhari berkata, “Arti cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati
dan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya.” Al-Baidhawi berkata, “Cinta adalah keinginan
untuk taat.” Ibnu Arafah berkata, “Cinta menurut istilah orang arab adalah menghendaki
sesuatu untuk meraihnya” Al-Zujaj berkata, “Cintanya manusia kepada Allah dan Rasul-Nya
adalah menaati keduanya dan ridha terhadap segala perintah Allah dan segala ajaran yang
dibawa Rasulullah saw.” Sedangkan arti cinta Allah kepada hamba-Nya adalah ampunan,
ridha dan pahala.

Al-Baidhawi berkata ketika menafsirkan firman Allah: Niscaya Allah akan mencintaimu dan
memberikan ampunan kepadamu (TQS. Ali ‘Imran [3]: 31 ). Maksudnya, pasti Allah akan
ridha kepadamu. Al-Azhari berkata, “Cinta Allah kepada hamba-Nya adalah memberikan
kenikmatan kepadanya dengan memberi ampunan.” Allah berfirman: Sesungguhnya Allah
tidak mencintai orang-orang kafir (TQS. Ali ‘Imran [3]: 32). Maksudnya, Allah tidak akan
memberi ampunan kepada mereka.

Sufyan bin Uyainah berkata, “Arti dari niscaya Allah akan mencintaimu adalah Allah akan
mendekat padamu. Cinta adalah kedekatan. Arti Allah tidak mencintai orang-orang kafir
adalah Allah tidak akan mendekat kepada orang kafir.” Al-Baghawi berkata, “Cinta Allah
kepada kaum Mukmin adalah pujian, pahala, dan ampunan-Nya bagi mereka.” Al-Zujaj
berkata, “Cinta Allah kepada makhluk-Nya adalah ampunan dan nikmatnya-Nya atas
mereka, dengan rahmat dan ampunan-Nya, serta pujian yang baik kepada mereka.

Cinta dalam arti yang telah disebutkan di atas merupakan suatu kewajiban. Karena
mahabbah (cinta) merupakan salah satu kecenderungan yang akan membentuk nafsiyah
seseorang. Kecenderungan ini terkadang berupa perkara alami yang berbentuk naluri yang
bersifat fitri (sesuai dengan penciptaan Allah). Naluri seperti ini tidak berhubungan dengan
mafhum (pemahaman) apapun; seperti kecenderungan manusia terhadap kepemilikan,
kecintaan pada kelestarian dirinya, kecintaan pada keadilan, kecintaan pada keluarga, anak,
dan sebagainya. Namun kecenderungan ini terkadang juga merupakan dorongan yang
berhubungan dengan mafhum tertentu. Mafhum inilah yang nantinya akan menentukan
jenis kecenderungan tersebut. Misalnya, bangsa Indian, mereka tidak mencintai bangsa
Eropa yang bermigrasi ke negeri mereka (karena menjajah mereka, ed.). Sementara itu
kaum Anshar mencintai orang-orang Muhajirin (dari Makkah) yang berhijrah ke mereka
(Madinah). Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah jenis kecintaan yang terikat dengan
mafhum syar’i, yang telah diwajibkan oleh Allah.

Dalil dari Al-Quran tentang hal ini adalah: Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (TQS. Al-
Baqarah [2]: 165).
Maknanya, orang-orang beriman itu lebih besar kecintaannya kepada Allah dibandingkan
dengan kecintaan orang-orang musyrik kepada tuhan-tuhan tandingan selain Allah.

Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,


harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (TQS. At-
Taubah [9]: 24).

CINTA DAN RIDHA TERHADAP ALLAH SWT


Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan
seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa
kasih sayang. Cinta dengan pengertian demikian sudah merupakan fitrah yang dimiliki
setiap orang. Islam tidak hanya mengakui keberadaan cinta itu pada diri manusia, tetapi
juga mengaturnya sehingga terwujud dengan mulia. Begi seorang mukmin, cinta pertama
dan yang utama sekali diberikan kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang
berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya
mereka menyesal).” Sejalan dengan cintanya kepada Allah SWT, seorang mukmin akan
mencintai Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Inilah yang disebut dengan cinta utama.
Sedangkan cinta kepada ibu-bapak, anak-anak, sanak saudara, harta benda, kedudukan,
dan segala macamnya adalah cinta menengah yang harus berada dibawah cinta utama.
Artinya, segala sesuatu baru boleh dicintai kalau diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan
pelaksanaan cinta itu harus pula sesuai dengan syariat yang telah diturunkan-Nya. Apabila
cinta menengah melebihi cinta utama maka cintanya akan menjadi hina, tidak ada nilainya.
Maka inilah yang disebut dengan cinta paling rendah. Pembagian ini didasarkan pada Surat
At-Taubah ayat 24: “Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-
isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan NYA. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik.” Konsekuensi cinta kepada Allah SWT adalah mengikuti semua yang diajarkan oleh
Rasulullah saw. Cinta kepada Allah SWT itu bersumber dari iman. Semakin tebal iman
seseorang semakin tinggi cintanya kepada Allah. Bahkan bila disebut nama Allah, hatinya
akan bergetal. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-Anfaal ayat 2: “Sesungguhnya orang-orang
yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya
kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” Sejalan dengan cinta, seorang Muslim haruslah
dapat bersikap ridha dengan segala aturan dan keputusan Allah SWT. Artinya dia harus
dapat menerima dengan sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang
dating dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan keyakinan seperti ini dia juga akan rela
menerima segala qadha dan qadar Allah terhadap dirinya. Dia akan bersyukur atas segala
kenikmatan, dan akan bersabar atas segala cobaan. Demikianlah sikap cinta dan ridha
terhadap Allah SWT. Dengan cinta kita mengharapkan ridha-Nya, dengan ridha kita
mengharapkan cinta-Nya

Cinta itu adalah suatu kecenderungan hati kepada sesuatu yang diinginkan dan dicintai
serta disenanginya. Menurut pendapat dari sebagian ahli Shufi. Menurut Imam Al-Ghazali :
Cinta kepada Allah itu adalah sebagai hasil dari Ma'rifatullah, disamping itu pula Imam Al-
Ghazali menambahkannya bahwa ketahuilah kalau Tajalii (memperoleh kenyataan)
keagungan Allah itu membawa kepada manusia untuk khauf kepada Allah.

Tajalii keindahan dan juga kecantikan Allah yang membawa manusia kepada rindu, tajalii
sifat Allah yang membawa manusia kepada cinta, sedangkan tajalii Dzat Allah membawa
manusia kepada Tauhid kepada Allah SWT. itu adalah suatu sikap yang sangat mulia yang
telah dikaruniakan Allah kepada manusia seorang hamba yang dikehendaki-Nya, (pendapat
dari Abu 'Ali) karenanya Allah SWT. memberitahukan kepada hambanya bahwa Allah
mencintai kepada hamba-Nya, dan sudah menjadi keharusan bagi hamba-Nya untuk selalu
mencintai pada Allah SWT.

Cenderung kepada Allah SWT. dan juga apa saja yang bersangkutan dengan Allah SWT.
tanpa dipaksa, itu adalah nilai bukti dari cinta kepada Allah (pendapat dari Al-Junaid).
Sedangkan pendapat dari seseorang yang lain adalah taat pada Allah, meninggalkan
larangan Allah, dan juga ridha terhadap apa yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Kepada-
Nya intinya bahwa itulah yang disebut dengan cinta kepada Allah SWT. Berkata pula Sahil
bahwa barangsiapa cinta kepada Allah, Ini hidup, akan tetapi barangsiapa yang cinta
kepada selain Allah maka dia mati.
Suatu sikap mental yang mana sikap itulah yang telah menolong manusia untuk
mengagungkan Allah SWT menuntut kepada keridhaan-Nya ingin selalu bertemu dengan-
Nya dan tidak merasa tenang dengan yang selain daripada-Nya, itulah ia selalu merasa
terus-menerus ingat kepada Allah, itulah yang dimaksud dengan cinta hamba kepada Allah
SWT.

Dengan jalan menyebut nama-Nya, selalu bertobat kepada-Nya, menyerah dan juga
menerima akan ketentuan-Nya, serta bersedia untuk meninggalkan nafsu syahwatnya
bahkan bersedia berkorban untuk segala-galanya demi untuk kepentingan Allah SWT. itu
adalah sebagai tanda seorang yang mencintai Allah SWT

Manakah yang lebih tinggi, antara kedudukan ma'rifatullah dan cinta kepada Allah SWT
Menurut pendapat dari orang Sufi telah berbeda-beda, sebagian dari mereka berpendapat
bahwa cinta kepada Allah itu lebih tinggi daripada ma'rifatullah sedangkan menurut
sebagian bahwa ma'rifatullah itu lebih tinggi dari cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa cinta kepada Allah SWT. itu lebih tinggi dari
ma'rifatullah, itu adalah pendapat Imam Al-Ghazali, dan dia mengatakan lagi sebagai
penambahannya ialah bahwa cinta tidak akan terjadi melainkan sesudah mencapai
ma'rifatullah.

Itulah tanda cinta kepada Allah, yang mana semua itu haruslah kita jadikan sebagai
pedoman dan tauladan sebagai pegangan hidup di dunia, agar mendapatkan kebahagiaan-
di dunia dan di akhirat kelak.
B. Rida

1. Pengertian rida

Perkataan rida berasal dari bahasa arab, radiya yang artinya senang hati (rela). Rida menurut
syariah adalah menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan Allah swt, baik berupa
hokum (peraturan-peraturan) maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Sikap rida
harus ditunjukkan, baik ketika menerima nikmat maupun tatkala ditimpa musibah.
Kebanyakan manusia merasa sukar atau gelisah ketika menerima keadaan yang menimpa dirinya,
seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat, kedudukan, kematian anggota
keluarganya, dan lain-lain, kecuali orang yang mempunyai sifat rida terhadap takdir. Orang yang
memiliki sifat rida tidak mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan yang dilakukannya. Ia tidak
menyesal dengan kehidupan yang diberikan Allah swt dan tidak iri hati atas kelebihan yang didapat
orang lain karena yakin bahwa semua itu berasal dari Allah swt. Sedangkan kewajibannya adalah
berusaha atau berikhtiar dengan kemampuan yang ada.
Rida terhadap takdir bukan berarti menyerah atau pasrah tanpa usaha lebih dulu untuk mencari
jalan keluarnya. Menyerah dan berputus asa tidak dibenarkan oleh tatanan hidup dan tidak
dibenarkan pula oleh ajaran Islam. Allah swt. memberikan cobaan atau ujian dalam rangka menguji
keimanan dan ketakwaan hamba-Nya. Firman Allah swt.:
Artinya : “ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar. (156) (yaitu) orang-orang yangapabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi
wa innaa ilaihi raaji'uun. Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali.
kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya
waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil. (Q.S. Al Baqarah:155-156).

Sikap rida dapat ditunjukkan melalui hal-hal sebagai berikut:


1. Sabar dalam melaksanakan kewajiban hingga selesai dengan kesungguhan usaha atau ikhtiar dan
penuh tanggung jawab.
2. Senantiasa mengingat Allah swt. dan tetap melaksanakan shalat dengan kusyuk.
3. Tidak iri hati atas kekurangan atau kelebihan orang lain dan tidak ria untuk dikagumi hasil usahanya.
4. Senantiasa bersyukur atau berterima kasih kepada Allah swt. atas segala nikmat pemberian-Nya. Hal
itu adalah upaya untuk mencapai tingkat tertinggi dalam perbaikan akhlak.
5. Tetap beramal saleh (berbuat baik) kepada sesama sesuai dengan keadaan dan kemampuan, seperti
aktif dalam kegiatan social, kerja bakti, dan membantu orangtua di rumah dalam menyelesaikan
pekerjaan mereka.
6. Menunjukkan kerelaan atau rida terhadap diri sendiri dan Tuhannya. Juga rida terhadap kehidupan
terhadap takdir yang berbentuk nikmat maupun musibah, dan terhadap perolehan rezeki atau karunia
Allah swt.
Menurut kamus besar Indonesia, rida diartikan rela, suka, dan senang hati.sedangkan menurut
bahasa adalah ketetapan hati untuk menerima segala keputusan yang sudah ditetapkan dan ridha
merupakan akhir dari semua keinginan dan harapan yang baik .

2. Karakteristik sikap rida

Apabila sebagian pendapat para ahli hikmah, rida dikelompokan menjadi tiga tingkatan, yaitu rida
kepada Alloh, rido pada apa yang datang dari Alloh, dan rida pada qada Alloh.
Rida kepada Allah adalah fardu ain.Rida pada apa yang datang dari Allah meskipun merupakan
sesuatu yang sangat luhur, hal ini termasuk ubudiah yang sangat mulia.
Sesungguhnya pilihan tuhan untuk hamba-Nya dibagi dua macam yaitu pertama, ikhtiyar ad-din
wa syar’I (pilihan keagamaan dan syariat).kedua, ikhtiyar kauni kadari (pilihan yang berkenaan
dengan alam dan takdir).Takdir yang tidak dicintai dan diridai Alloh yaitu perbuatan aib dan dosa-
dosa.
Macam-macam rida :
a. Ridha terhadap perintah dan larangan Allah
Artinya ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya. Pada hakekatnya seseorang yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha terhadap semua nilai
dan syari’ah Islam. Perhatikan firman Allah dalam Q.S. al-Bayyinah (98) ayat 8
Artinya : Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-
sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun
ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
(Q.S.al-Bayyinah ayat 8 )

Dari ayat tersebut dapat dihayati, jika kita ridha terhadap perintah Allah maka Allah pun ridha
terhadap kita.

b. Ridha terhadap taqdir Allah.


Mari kita simak, apa yang dikisahkan berikut ; pada suatu hari Ali bin Abi Thalib r.a. melihat Ady
bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya ; “Mengapa engkau tampak bersedih hati ?”. Ady
menjawab ; “Bagaimana aku tidak bersedih hati, dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel
dalam pertempuran”. Ali terdiam haru, kemudian berkata, “Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap
taqdir Allah swt. maka taqdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barang
siapa tidak ridha terhadap taqdirNya maka hal itupun tetap berlaku atasnya, dan terhapus amalnya”.
Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan yaitu ridha
dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan
kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang muslim.
Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan
mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera berlalunya
musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima taqdir Allah swt. Dan
menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab didalam hatinya selalu tertanam sangkaan baik
(Husnuzan) terhadap sang Khaliq bagi orang yang ridha ujian adalah pembangkit semangat untuk
semakin dekat kepada Allah, dan semakin mengasyikkan dirinya untuk bermusyahadah kepada
Allah.
Dalam suatu kisah Abu Darda’, pernah melayat pada sebuah keluarga, yang salah satu anggota
keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah swt. Maka Abu Darda’
berkata kepada mereka. “Engkau benar, sesungguhnya Allah swt. apabila memutuskan suatu
perkara, maka dia senang jika taqdirnya itu diterima dengan rela atau ridha.
Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di akhirat
derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah swt. dalam situasi
apapun (Hikmah, Republika, Senin 5 Februari 2007, Nomor: 032/Tahun ke 15)
c. Ridha terhadap perintah orang tua.
Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah swt.
karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, perintah Allah dalam Q.S. Luqman (31)
ayat 14 ;
Artinya : “ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. (Q.S. Luqman :14)

Bahkan Rasulullah bersabda : “Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang tua, dan murka Allah
tergantung murka orang tua”. Begitulah tingginya nilai ridha orang tua dalam kehidupan kita, sehingga
untuk mendapatkan keridhaan dari Allah, mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Ingatlah
kisah Juraij, walaupun beliau ahli ibadah, ia mendapat murka Allah karena ibunya tersinggung ketika
ia tidak menghiraukan panggilan ibunya.

d. Ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara


Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan merupakan salah satu
bentuk ketaatan kepada Allah swt. karena dengan demikian akan menjamin keteraturan dan
ketertiban sosial. Mari kita hayati firman Allah dalam Q.S. an-Nisa (4) ayat 59 berikut :
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( Q.S. an-Nisa :59)

Ulil Amri artinya orang-orang yang diberi kewenangan, seperti ulama dan umara (Ulama dan
pemerintah). Ulama dengan fatwa dan nasehatnya sedangkan umara dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku.
Termasuk dalam ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara adalah ridha terhadap
peraturan sekolah, karena dengan sikap demikian, berarti membantu diri sendiri, orang tua, guru dan
sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian mempersiapkan diri menjadi kader
bangsa yang tangguh.

3. Nilai Positif Sikap Rida

Rida merupakan kesadaran diri, perasaan jiwa, dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang
berkenaan sepenuh hati untuk menerima apa yang didapat ataupun yang dihadapi dengan penuh
semangat dan rasa kasih sayang.
4. Membiasakan Sikap Rida

Konsekuensi rida kepada Alloh harus mengikuti semua yang diajarkan oleh Rasululloh saw. (ittiba’
ar-Rasul). Apabila seorang rida kepada Alloh, tentu dia akan selalu berusaha melakukan segala
sesuatu yang diterima dari-Nya dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci-Nya.

También podría gustarte