Está en la página 1de 18

CATUR MARGA YOGA

1. Pengertian catur marga yoga


Kata catur marga yoga berasal dari kata catur berarti empat. Marga berarti jalan dan yoga
berarti penyatuan dengan Brahman. Jadi catur marga adalah empat jalan atau cara umat
Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. S u m b e r a j a r a n c a t u r m a r g a a d a diajarkan dalam pustaka suci
Bhagawadgita, terutama pada trayodhyaya tentang karma yoga marga.

2. bagian - bagian catur marga yoga


1. Bhakti marga yoga

Adalah proses atau cara mempersatukan atman dengan Brahman dengan berlandaskan
atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi dan segala ciptaan-Nya.
Kata bhakti berarti hormat, taat, sujud, menyembah, mempersembahkan, cintah kasih
penyerahan diri seutuhnya pada Sang pencipta.

Seorang Bhakta (orang yang menjalani Bhakti marga) dengan sujud dan cinta,
menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai yadnya kepada
Sang Hyang Widhi. Cinta kasih yang mendalam adalah suatu cinta kasih yang bersifat umum
dan mendalam yang disebut maitri. Semangat tat twam asi sangat subur dalam hati sanubarinya.

Cinta bhaktinya kepada Hyang Widhi yang sangat mendalam, itu juga dipancarkan
kepada semua makhluk baik manusia binatang juga tumbuh-tumbuhan. Dalam doanya selalu
menggunakan pernyataan cinta dan kasih sayang dan memohon kepada Hyang Widhi agar semua
makhluk tanpa kecuali selalu berbahagia dan selalu mendapat anugrah termulia dari Hyang
Widhi. Jadi untuk lebih jelasnya seorang bhakta akan selalu berusaha melenyapkan
kebenciannya kepada semua makhluk sebaliknya ia selalu berusaha memupuk dan
mengembangkan sifat-sifat maitri, karuna, mudita dan upeksa (catur paramita).

Di dalam kitab suci Veda kita jumpai beberapa mantra tentang Bhakti salah satunya
adalah:
Arcata prarcata priyam edhaso Arcata, arcantu putraka uta puram na dhrsnvarcata
Rgveda VIII.69.8)
(pujalah, pujalah Dia sepenuh hati, Oh cendekiawan, Pujalah Dia. Semogalah semua anak- anak
ikut memuja- Nya, teguhlah hati seperti kukuhnya candi dari batu karang untuk memuja
keagungan- Nya).

Terhadap landasan filosofis ajaran Bhakti diatas, Drs. I Gusti Made Ngurah dkk
menyatakan pendapatnya: bhakti adalah perwujudan cinta yang tulus kepada Tuhan,
mengapa harus berbhakti kepada Tuhan karena Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala
isinya berdasarkan Yajnya. (Ngurah, 2006 : 80)

Sikap yang paling sederhana dalam kehidupan beragama adalah cinta kasih dan
pengabdian yang tulus. Tuhan dipandang sebagai yang paling disayangi, sebagai ibu, bapak,
teman, saudara, sebagai orangtua, sebagai tamu, dan sebagai seorang anak.
Pada umumnya kita mengenal dua bentuk bhakti yaitu bentuk Aparabhakti dan
parabhakti.
A. Apara bhakti artinya tidak utama; jadi apara bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang
Widhi yang tidak utama. Apara bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan
kesadaran rohaninya kurang atau sedang-sedang saja.
Aparabhakti, yaitu pemujaan atau persembahan dan kebaktian dengan berbagai permohonan dan
permohonan itu adalah wajar mengingat keterbatasan pengetahuan kita tentang hakekat bhakti.

B. Para artinya utama; jadi para bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang utama.
Para bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi
Parabhakti adalah bhakti berupa penyerahan diri yang setulusnya. Penyerahan diri kepada- Nya
bukanlah dalam pengertian pasif tidak mau melakukan berbagai aktivitas, tetapi aktif dan dengan
keyakinan bahwa bila bekerja dengan baik dan tulus maka akan memperoleh pahala yang baik
pula. Kita tidak boleh mendoakan seseorang untuk memperoleh kecelakaan dan sejenisnya.

Drs. I Gusti Made Ngurah dkk berpendapat : Seperti yang disampaikan bahwa
Tuhan yang Maha Esa adalah ibu dan bapa kita , seperti kita meminta sesuatu pada kedua
orangtua kita tidak semua permintaan dapat terpenuhi. Demikianlah bila kita memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Sesungguhnya kita sering mendapat karunia- Nya berupa kesejahteraan,
kegembiraan atau kebahagiaan, tetapi bila kita lalai, maka sekali waktu cobaan dan penderitaan
yang kita terima. Walaupun itu cobaan dan penderitaan, itupun sesungguhnya sebuah karunia,
kita harus mensyukuri agar kita segera mawas diri, memperbaiki kesalahan atau kelalaian kita.
(Ngurah, 2006 : 83)

Dalam meningkatkan kualitas bhakti kita kepada sang Hyang Widi ada beberapa jenis
bentuk bhakti yang disebut Bhavabhakti, sebagai berikut:
a. Santabhava, yaitu sikap bhakti seperti bhakti atau hormat seorang anak terhadap ibu dan
bapaknya.
b. Sakhyabava, yaitu bentuk bhakti yang meyakini Hyang Widi, manifestasiNya, Istadevata
atau Avatara- Nya sebagai sahabat yang sangat akrab dan selalu memberikan perlindungan dari
pertolongan pada saat yang diperlukan.
c. Dasyabhava, yaitu bhakti atau pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti sikap
seorang hamba kepada majikannya.
d. Vatsalyabhava, yaitu sikap bhakti seorang penyembah memandang Tuhan Yang Maha Esa
seperti anaknya sendiri.
e. Kantabhava, yaitu sikap bhakti seorang istri terhadap suami tercinta.
f. Maduryabhava, yaitu bentuk bhakti sebagai cinta yang amat mendalam dan tulus dari
seorang bhakta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara lahiriah bentuk- bentuk di Indonesia sama
halnya dengan di India, umat mewujudkannya melalui pembangunan berbagai Pura ( mandir),
mempersembahkan berbagai sesaji (naivedya), mempersembahkan kidung (bhajan), gamelan,
tari- tarian, dan sebagainya.

Cirri-ciri seorang Bhakti Marga yaitu :


a. Keinginan untuk berkorban
b. Keinginan untuk bertemu
Tuhan senang bila engkau menolong dan melayani sesama manusia (pengabdian /
dharmabakti). Kitab-kitab suci telah menetapkan 9 jalan bhakti, yaitu :
- Mendengarkan kisah-kisah Tuhan (shravanam)
- Menyanyikan kemuliaan Tuhan (kirtanam)
- Mengingat Nama-Nama Tuhan ( Vishnusmaranam)
- Melayani kaki Tuhan yang suci (padasevanam)
- Pemujaan (archanam)
- Sembah sujud (vandanam)
- Pengabdian (dasyam)
- Persahabatan (sneham)
- Pasrah / penyerahan diri kepada Tuhan sepenuhnya (atmanivedanam)
2. Karma marga yoga

Adalah jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa dengan karma atau
perbuatan yang baik tanpa pamrih. Dalam Bhagawadgita. III.19 dinyatakan sebagai berikut :
Tasmad asaktah satatam karyam karma samacara, asakto hy acaran karma, param apnoti
purusah
Artinya :
Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab
dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan
mencapai yang utama.

Sebab pada hakekatnya bekerja atau melayani orang atau makhluk lain secara hakekat adalah
karma baik untuk diri sendiri. Adalah lebih baik dapat menolong/melayani dari pada
ditolong/dilayani.

Bhagawadgita III.8 menegaskan sebagai berikut :


Niyatam kuru karma twam karma jyayo hyakarmanah sarira-yatrapi ca ten a prasidhyed
akarmanah.
Artinya :

Bekerjalah seperti yang telah ditentukan sebab berbuat lebih baik daripada tidak berbuat dan
bahkan tubuhpun tidak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya.

Dalam hubungan ini renungkalah cerita berikut :


Pada suatu hari Devi Laksmi mengadakan sayembara, dimana beliau akan memilih
suami. Semua Dewa dan para Danawa dating berduyun-duyun dengan harapan dapat terpilih.
Devi Laksmi belum mengumumkan janjinga, kemudian datanglah beliau dihadapan pelamarnya
dan berkata demikian : saya akan mengalungkan bunga kepada perya yang tidak menginginkan
diri saya. Tetapi mereka yang datang itu semua lobha, maka mulailah Devi Laksmi mencari
Dewa yang tiada berkeinginan, untuk dikalungi. Terlihatlah oleh Devi Laksmi wujudnya Dewa
Wisnu dengan tenangnya di atas ular Sesa yang sedang melingkar. Kalung perkawinan kemudian
diletakkan dileherNya dan sampai kinilah dapat kita lihat simbolis Devi Laksmi berada di
samping kaki Dewa Wisnu.
Dari cerita di atas dapat dikemukakan bahwa orang yang hanya mengharapkan hasil dari
kerjanya, akan menjadi kecewa dan putus asa bila hasil itu belum datang dan menyebabkan
kerjanya menjadi tidak maksimal, walaupun sesungguhnya hasil itu pasti datang hanya saja
waktunya bisa prarabda atau kryamana. Tetapi bagi karma yogin walaupun ia berbuat sedikit,
dilakukannya dengan senang hati dan merupakan kewajiban, serta tanpa pamrih, ia akan
mendapatkan hasil yang tidak ternilai. Maka itu ajaran suci selalu menyarankan kepada umatnya
agar menjadi seorang karma yogi yang selalu mendambakan pedoman rame inggawe sepi ing
pamrih (Banyak bekerja tanpa mengharapkan hasil)

Karma Marga Yoga menekankan kerja sebagai bentuk pengabdian dan bentuk
pengabdian dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran karma Yoga merupakan etos kerja
atau budaya kerja bagi umat Hindu di dalam usaha mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan
lahir batin. Di dalam Landasan filosofis ajaran karma, doa seorang karmayogin adalah untuk
memohon kesehatan dan kekuatan, badan yang sempurna dan umur panjang, kebaikan di dunia,
serta kekuatan untuk menghadapi segala bentuk kejahatan.
Salah satu contoh isi veda yang menjadi Landasan filosofis ajaran karma yaitu:
udyanam te purusa navayanam, jivatum te daksatatim krnomi
(Atharwaveda VIII.1.6.)
Artinya :
Oh manusia, giatlah bekerja untuk kemajuan, jangan mundur , Aku anugerahkan kekuatan dan
tenaga.

Manfaat karma marga yaitu :


a. Kehidupan di dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja sehingga kehidupan ini selalu dituntut
untuk bekerja.
b. Tidak seorangpun yang hidup di dunia ini terlepas dari kerja.
c. Dengan bekerja orang dapat mencapai kebebasan (tujuan hidup yang tertinggi), asal pekerjaan
itu dilakukan dengan tindakan mengikat diri pada hasilnya.

3. Jnana marga yoga


Jnana artinya kebijaksanaan filsafat (pengetahuan). Yoga berasal dari urat kata Yuj
artinya menghubungkan diri. Jadi jnana yoga artinya mempersatukan jiwatman dengan
paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari dan mengamalkan ilmu pengetahuan baik
science maupun spiritual, seperti hakekat kebenaran tentang Brahman, Atman. Dengan
pemanfaatan ilmu pengetahuan yang sejati akan mampu membebaskan diri dari ikatan-ikatan
keduniawian.

Ada tiga hal yang penting dalam hal ini yaitu kebulatan pikiran, pembatasan pada
kehidupan sendiri dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yang kokoh
tentram damai. Ketiga hal tersebut di atas merupakan dhyana yoga. Untuk tercapainya perlu
dibantu dengan abhyasa yaitu latihan-latihan dan vairagya yaitu keadaan tidak mengaktifkan
diri. Adapun kekuatan pikiran kita lakukan di dalam hal kita berbuat saja, pikiran harus kita
pusatkan kepadanya.

Pelajar Janayoga pertamatama melengkapi dirinya dengan tiga


cara yaitu:
Pembedaan (viveka)
Ketidakterikatan (vairagya)
Kebajikan

Ada enam macam( s a t s a m p a t ) , ya i t u :


1. Ketenangan (sama)
2. Pengekangan (dama)
3. p e n o l a k a n (uparati), ketabahan (titiksa)
4. Keyakina n (sraddha)
5. Konsentrasi (samadhana)
6. Kerinduan yang sangat akan pembebasan (mumuksutva).

Ada tujuh tahapan dari Jana atau pengetahuan, yaitu;


1. Aspirasi pada kebenaran(subhecha)
2. Pencarian filosofis (vicarana)
3. Penghalusan pikiran (tanumanasi)
4. Pencapaian sinar (sattwatti)
5. Pemisahan batin (asamsakti)
6. Penglihatan spiritual(padarthabhawana)
7. kebebasan tertinggi (turiya).

4. Raja marga yoga


Raja yoga adalah suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau moksa.
Melalui raja marga yoga seseorang akan lebih cepat mencapai moksa, tetapi tantangan yang
dihadapinya pun lebih berat, orang yang mencapai moksa dengan jalan ini diwajibkan
mempunyai seorang guru kerohanian yang sempurna untuk dapat menuntun dirinya ke arah
tersebut.

Adapun tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para raja yogin yaitu melakukan tapa,
brata, yoga, Samadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau
nafsu yang ada dalam diri kita kea rah yang positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci.
Sedangkan yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman dengan Brahman
dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.

Seorang raja yoga akan dapat menghubungkan dirinya dengan kekuatan rohani melalui
astangga yoga yaitu delapan tahapan yoga untuk mencapai moksa. Astangga yoga diajarkan oleh
Maharsi Patanjalai dalam bukunya yang disebut yoga sutra patanjali. Adapun bagian-bagian dari
astangga yoga adalah sebagai berikut :
a. Yama yaitu suatu bentuk larangan yang harus dilakukan oleh seseorang dari segi jasmani yaitu
:
Dilarang membunuh (ahimsa)
Dilarang berbohong (satya)
Pantang menginginkan sesuatu yang bukan miliknya (asteya)
Pantang melakukan hubungan seksual (brahmacari)
Tidak menerima pemberian dari orang lain (aparigraha)
b. Nyama yaitu pengendalian diri yang bersifat rohani yaitu :
Sauca (tetap suci lahir bhatin)
Santosa (selalu puas dengan apa yang datang)
Swadhyaya (mempelajari kitab-kitab keagamaan)
Iswara pranidhana (selalu bhakti kepada Tuhan)
Tapa (tahan uji)
c. Asana yaitu sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin
d. Pranayama yaitu mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna melalui tiga jalan yaitu :
Puraka (menarik nafas)
Kumbhaka (menahan nafas)
Recaka (mengeluarkan nafas)
e. Pratyahara yaitu mengontrol dan mengendalikan indriya dari ikatan obyeknya, sehingga orang
dapat melihat hal-hal suci
f. Dharana yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan
g. Dhyna yaitu pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu obyek. Dhyna
dapat dilakukan terhadap Ista Dewata
h. Samadhi yaitu penyatuan atman

Bila seseorang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh ia akan
dapat menerima getaran-getaran suci dan wahyu Tuhan. Keempat jalan untuk pencapaian moksa
itu sesungguhnya memiliki kekuatan yang sama bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Setiap
orang akan memilih kecenderungan memilih jalan-jalan tersebut, maka itu setiap orang memiliki
jalan mencapai moksa bervariasi.

Moksa sebagai tujuan hidup spiritual bukanlah merupakan suatu janji yang hampa
melainkan merupakan suatu keyakinan yang berakhir dengan kenyataan. Kenyataan dalam dunia
batin merupakan alam super transcendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan instuisi
yang dalam. Moksa merupakan suatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya, karena
demikianlah yang dijelaskan oleh kitab suci.
Oleh sebab itu marilah kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran astangga yoga dengan
tuntunan seorang guru yang telah memiliki kemampuan didalam hal tersebut.
Keempat jalan (marga) itu dapat dilakukan diberbagai tempat dan waktu sesuai
kemampuan seseorang dan keempatnya tidak dapat dipisahkan karena dalam prakteknya saling
berkaitan. Misalnya sembahyang , keempat cara (marga) itu dapat diamalkan sekaligus yaitu :
Rasa hormat atau berserah merupakan wujud bhakti marga.
Menyiapkan sarana kebhaktian merupakan wujud karma marga.
Pemahaman tentang sembahyang merupakan wujud jnana marga.
Duduk tegak-tenang-konsentrasi merupakan wjud raja marga.
Jika direnungkan dan diperhatikan maka sesungguhnya pengamalan agama Hindu sangat
mudah, praktis dan lues. Keluesan itu disebabkan karena agama Hindu dapat dilaksanakan :
- Dengan mempraktekan Catur Marga
- Oleh seluruh umat tanpa terkecuali
- Disegala tempat, waktu dan keadaan
- Tidak harus dengan materi
- Sesuai dengan kemampuan umat
- Sesuai dengan adat istiadat karena Hindu menjiwai adat istiadat.
Demikian agama Hindu dapat diamalkan selama 24 jam setiap hari dengan cara serta
bentuk pengamalan yang beraneka ragam. Untuk itu umat Hindu tidak patut memaksakan
bentuk pengamalan agama agar seragam dari segi materi maupun bentuk material lainnya,
apalagi keseragaman jumlah uang. Namun yang harus sama dan seragam ialah prinsip dasar
ajaran agama.

B. Implementasi Ajaran Catur Marga Yoga dalam Kehidupan Masyarakat Hindu.


Penerapan catur marga oleh umat Hindu sesungguhnya telah diterapkan secara rutin
dalam kehidupannya sehari-hari, termasuk juga oleh umat Hindu yang tinggal di Bali maupun
oleh umat Hindu yang tinggal di luar Bali. Banyak cara dan banyak pula jalan yang bisa
ditempuh untuk dapat menerapkannya. Sesuai dengan ajaran catur marga bahwa penerapannya
disesuaikan dengan kondisi atau keadaan setempat yang berdasarkan atas tradisi, sima, adat-
istiadat, drsta, ataupun yang lebih dikenal di Bali yakni desa kala patra atau desa mawa cara.

Inti dan penerapan dan Catur Marga adalah untuk memantapkan mengenai hidup dan
kehidupan umat manusia di alam semesta ini, terutama untuk peningkatan, pencerahan, serta
memantapkan keyakinan atau kepercayaan (sraddha) dan pengabdian (bhakti) terhadap Tuhan
Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memahami dan menerapkan ajaran
catur marga, maka diharapkan segenap umat Hindu dapat menjadi umat Hindu yang berkualitas,
bertanggung jawab, memiliki loyalitas, memiliki dedikasi, memiliki jati diri yang mulia, menjadi
umat yang pantas diteladani oleh umat manusia yang lainnya, menjadi umat yang memiliki
integritas tinggi terhadap kehidupan secara lahir dan batin, dan harapan mulia lainnya guna
tercapai kehidupan yang damai, rukun, tenteram, sejahtera, bahagia, dan sebagainya. Jadi dengan
penerapan dan ajaran catur marga diharapkan agar kehidupan umat Hindu dan umat manusia
pada umumnya menjadi mantap dalam berke-sraddha-an dan berke-bhakti-an kehadapan Tuhan
Yang Maha Esa, serta dapat diharmoniskan dengan kehidupan nyata dengan sesama manusia,
semua ciptaan Tuhan, dan lingkungan yang damai dan serasi di sekitar kehidupan masing-
masing

Tidak ada orang yang menjalankan catur marga itu sendiri-sendiri atau terpisah-pisah,
karena satu sama lainnya berkaitan. Perincian menjadi empat itu hanyalah untuk mengukur dan
memilih bobot jalan yang mana yang bisa diutamakan, sesuai dengan kemampuan masing-
masing.

Misalnya seorang yang kurang pengetahuan agama-nya, mungkin dengan mengutamakan


bhakti marga dan karma marga saja, ditambah pengetahuan minim (misalnya) rajin melakukan
trisandya (termasuk jnyana marga) dan asana (termasuk yoga marga). Bobotnya adalah bhakti
marga.Tetapi seorang wiku tentu bobotnya pada jnyana marga dan yoga marga, walaupun bhakti
marga yang menjadi dasar dan karma marga tidak juga ditinggalkan.

Kesimpulannya: keempat marga itu dilaksanakan bersama-sama, namun pemilihan mana


yang utama tergantung dari kemampuan individu. Inilah salah satu contoh kebesaran Agama
Hindu yang membedakannya dengan agama-agama lain yang dogmatis.

a. Mengenai penerapan bhakti marga oleh umat Hindu seperti berikut ini :
Melaksanakan doa atau puja tri sandhya seara rutin setiap hari;
Menghaturkan banten saiban atau jotan/ngejot atau yajnasesa;
Berbakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta semua manifestasi-Nya;
Berbakti kehadapan Leluhur;
Berbakti kehadapan para pahlawan pejuang bangsa;
Melaksanakan upacara dewa yajna (piodalan/puja wali, saraswati, pagerwesi, galungan,
kuningan, nyepi, siwaratri, purnama, tilem, tumpek landep, tumpek wariga, tumpek krulut,
tumpek wayang dan lain-lainnya);
Melaksanakan upacara manusia yajna (magedong-gedongan, dapetan, kepus puser,
macolongan, tigang sasihin, ngotonin, munggah deha, mapandes, mawiwaha, mawinten, dan
sebagainya);
Melaksanakan upacara bhuta yajna (masegeh, macaru, tawur, memelihara lingkungan,
memelihara hewan, melakukan penghijauan, melestarikan binatang langka, dan sebagainya);
Melaksanakan upacara pitra yajna (bhakti kehadapan guru rupaka atau rerama, ngaben,
ngerorasin, maligia, mamukur, ngeluwer, berdana punya kepada orang tua, membuat orang tua
menjadi hidupnya bahagia dalam kehidupan di alam nyata ini, dan sebagainya);
Melaksanakan upacara resi yajna (upacara pariksa, upacara diksa, upacara ngelinggihang
veda), berdana punya pada sulinggih atau pandita, berguru pada orang suci, tirtha yatra ke tempat
suci bersama sulinggih atau pandita, berguru pada orang suci, sungkem (pranam) pada sulinggih
sebagai guru nabe, menerapkan ajaran tri rnam, dan sebagainya.

b. Mengenai penerapan karma marga oleh umat Hindu seperti berikut ini :
Menerapkan filosofi ngayah;
Menerapkan filosofi matulungan;
Menerapkan filosofi manyama braya;
Menerapkan filosofl paras-paros sarpanaya salunglung sabayantaka;
Menerapkan filosofi suka dan duka;
Menerapkan filosofi agawe sukaning wong len;
Menerapkan filosofi utsaha ta larapana;
Menerapkan filosofi makarya;
Menerapkan filosofi makarma sane melah;
Menerapkan filosofi ala kalawan ayu;
Menerapkan filosofi karma phala;
Menerapkan filosofi catur paramita;
Menerapkan filosofi tri guna;
Menerapkan filosofi trikaya parisudha; dan
Menerapkan filosofi yama niyama brata dan berbagai ajaran agama Hindu.

c. Beberapa model atau bentuk nyata dan penerapan jnana marga berikut ini :
Menerapkan ajaran aguron-guron;
Menerapkan ajaran guru dan sisya;
Menerapkan ajaran guru bhakti;
Menerapkan ajaran guru susrusa;
Menerapkan ajaran brahmacari dan ajaran catur guru;
Menerapkan ajaran sisya sasana;
Menerapkan ajaran resi sasana;
Menerapkan ajaran putra sasana;
Menerapkan ajaran guru nabe, guru waktra, guru saksi;
Menerapkan ajaran catur asrama; dan
Menerapkan ajaran dalam wrati sasana, slokantara, sila krama, dan ajaran agama Hindu yang
bersumber pada Veda dan susastra Hindu lainnya.

d. Dalam penerapan yoga marga oleh umat Hindu, realitanya seperti berikut :
Melaksanakan introspeksi atau pengendalian diri;
Menerapkan ajaran tapa, brata, yoga dan samadhi;
Menerapkan ajaran astangga yoga;
Melakukan kerja sama atau relasi yang baik dan terpuji dengan sesama;
Menjalin hubungan kemitraan secara terhormat dengan rekanan, lingkungan, dan semua
ciptaan Tuhan di alam semesta ini;
Membangun pasraman atau paguyuban untuk praktek yoga;
Mengelola ashram yang bergerak di bidang pendidikan rohani, agama, spiritual, dan upaya
pencerahan diri lahir batin;
Menerapkan filosofi mulat sarira;
Menerapkan filosofi ngedetin/ngeret indriya;
Menerapkan filosfi mauna;
Menerapkan filosofi upawasa;
Menerapkan filosofi catur brata panyepian, dan
Menerapkan filosofi tapasya, pangastawa, dan menerapkan ajaran agama Hindu dengan baik
dan benar menuju keluhuran diri sebagai mahluk sosial dan religius.

YADNYA
1. Pengertian yadnyak
Jika ditinjau secara ethimologinya, kata yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata
yaj yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Yadnya (yajna)
dapat juga diartikan korban suci, yaitu korban yang didasarkan atas pengabdian dan cinta kasih.
2. Jenis Jenis Yadnya
1. Jenis-Jenis Pelaksanaan Yadnya

Adapun pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :

1. Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-
dewa.
2. Butha Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur
alam.
3. Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
4. Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah
meninggal.
5. Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci
umat Hindu.
kegiatan Yadnya ini didasari oleh Tri Rna yaitu tiga hutang yang mesti dibayar sehubungan
dengan keberadaan kita. adapun tri rana tersebut adalah :
1. Dewa Rna, hutang kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai para
dewata yang telah memberikan anungrahnya kepada setiap mahluk.
2. Pitra Rna, hutang kepada para leluhur termasuk orang tua, sehubungan dengan kelahiran
kita serta perhatiannya semasahidup.
3. Rsi Rna, hutang kepada para sulinggih, pemangku dan para guru lainya atas
bimbingannya selama ini.
hutang hutang tersebut kemudian dibayar dengan yadnya, yang kemudian diaplikasikan
dengan Panca Yadnya. adapun cara pembayaran tersebut adalah:
1. Dewa Rna, dibayar melalui Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
2. Pitra Rna, dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
3. Rsi Rna, dibayar melalui Rsi Yadnya.

2. FUNGSI DAN MAKNA YADNYA

1. Sarana untuk mengamalkan Weda


Yadnya adalah sarana untuk mengamalkan Weda yang dilukiskan dalam bentuk symbol-
simbol atau niyasa. Yang kemudian symbol tersebut menjadi realisasi dari ajaran Agama
Hindu.

2. Sarana untuk meningkatkan kualitas diri


Setiap kelahiran manusia selalu disertai oleh karma wasana. Demikian pula setiap
kelahiran bertujuan untuk meningkatkan kualitas jiwatman sehingga tujuan tertinggi yaitu
bersatunya atman dengan brahman ( brahman atman aikyam ) dapat tercapai. Dalam
upaya meningkatkan kualitas diri, umat Hindu selalu diajarkan untuk buatan baik.
Perbuatan baik yang paling utama adalah melalui Yadnya. Dengan demikian setiap
yadnya yang kita lakukan hasilnya adalah terjadinya peningkatan kualitas jiwatman.

3. Sebagai sarana penyucian


Dengan sebuah Yadnya sesuatu hal bisa disucikan seperti diadakannya Dewa Yadnya,
Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya yaitu pada bagian-bagian
tertentu mengandung makna dan tujuan untuk penyucian atau pembersihan.

4. Sarana untuk terhubung Kepada Ida Sang Hyang Widhi


Yadnya merupakan sarana yang dapat digunakan untuk mengadakan hubungan dengan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, seperti yang sering dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari.

5. Sarana untuk mengungkapkan rasa terima kasih


Dengan sebuah yadnya seseorang mampu mengungkapkan rasa syukur dan ucapan
terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sesame manusia, maupun kepada alam,
seperti yang sudah biasa dilakukan dalam penerapan Panca Yadnya.
Jenis-jenis Yadnya
Secara garis besar yadnya dapat kelompokkan sebagai berikut :
a. Dari segi waktu pelaksanaan Yadnya dapat dibedakan :
1. Nitya Yadnya
Yaitu yadnya yang dilakukan secara rutin setiap hari. Yadnya ini antara lain;
dalam bentuk persembahan yang berupa yadnya sesa, atau persembahyangan sehari-hari.
Sedangkan bagi sulinggih melakukan Surya Sewana. Yadnya dalam bentuk yang lain dapat
dilaksanakan melalui aktivitas sehari-hari. Bagi seorang siswa kewajiban sehari-hari adalah
belajar , bila dilakukan dengan penuh ikhlas merupakan yadnya. Bagi seorang petani, tukang,
pegawai dan sebagainya yang melaksanakan tugas sehari-hari dengan konsentrasi persembahan
kepada Tuhan disertai keikhlasan juga merupakan Nitya Yadnya.

1. Naimitika Yadnya
Yaitu Yadnya yang dilaksanakan secara berkala/ waktu-waktu tertentu. Khusus untuk yadnya ini
terutama yadnya dalam bentuk persembahan /upakara yaitu Upacara Piodalan, Sembahyang
Purnama dan Tilem, Hari Raya baik menurut wewaran maupun sasih.
Bagi bentuk yadnya yang lain tergantung kebiasaan pribadi perorangan/kelompok orang. Ada
orang pada setiap hari raya tertentu melaksanakan tapa brata sebagai wujud yadnya pengendalian
diri. Ada pula yang pada waktu tertentu setiap tahun atau setiap bulan melakukan dana punia
baik dihaturkan kepada sulinggih, orang tidak mampu dan sebagainya.
Disamping itu ada juga bentuk yadnya yang dilaksanakan secara insidental sesuai kebutuhan
dengan waktu yang tidak tetap/ tidak rutin. Contohnya upacara ngaben, nangluk merana,
tirtayatra. Demikian juga bentuk yadnya yang lain adakalanya dilakukan tidak dengan jadwal
waktu tertentu. Misalkan jika ada ujian sekolah ada siswa / mahasiswa yang puasa. Ada orang
yang tanpa diduga memperoleh rejeki yang lebih , maka sebagian dipuniakan untuk pura atau
untuk panti asuhan.

b. Berdasarkan nilai materi / jenis bebantenan suatu yadnya digolongkan menjadi :


1). Nista, artinya yadnya tingkatan kecil yang dapat di bagi lagi menjadi :

1. Nistaning nista, adalah terkecil dari yang kecil


2. Madyaning nista, adalah tingkatan sedang dari yang kecil.
3. Utamaning Nista, adalah tingkatan terbesar dari yang kecil
2). Madya, yaitu yandnya tingkatan sedang yang dapat dibagi lagi menjadi :

1. Nistaning Madya, adalah tingkatan terkecil dari yang sedang.


2. Madyaning madya, adalah tingkatan sedang dari yang sedang.
3. Utamaning madya, adalah tingkatan terbesar dari yang sedang.
3). Utama, yaitu yadnya tingkatan besar yang dapat dibagi menjadi :

1. Nistaning utama, adalah tingkatan terkecil dari yang besar


2. Madyaning Utama, adalah tingkatan sedang dari yang besar.
3. Utamaning Utama, adalah tingkatan terbesar dari yang besar.
c. Sedangkan apabila ditinjau dari tujuan pelaksanaan atau kepada siapa yadnya tersebut
dilaksanakan, dapat digolongkan menjadi :

1). Dewa Yadnya

2). Rsi Yadnya

3). Pitra Yadnya

4). Manusa Yadnya

5). Bhuta Yadnya

Kelima jenis yadnya di atas dikenal dengan istilah Panca Yadnya. Uraian mengenai Panca
Yadnya akan dibahas tersendiri setelah bagian ini.

d. Dari segi kualitas yadnya dapat dibedakan atas:

1). Satwika Yadnya yaitu yadnya yang dilaksanakan dasar utama sradha bakti, lascarya, dan
semata melaksanakan sebagai kewajiban. Apapun bentuk yadnya yang dilakukan seperti;
persembahan, pengendalian diri, punia, maupun jnana jika dilandasi bakti dan tanpa pamrih
maka tergolong Satwika Yadnya. Yadnya dalam bentuk persembahan / upakara akan sangat
mulia dan termasuk satwika jika sesuai dengan sastra agama, daksina, mantra, Annasewa, dan
nasmita.
2). Rajasika Yadnya yaitu yadnya dilakukan dengan motif pamrih serta pamer kemewahan,
pamer harga diri, bagi yang melakukan punia berharap agar dirinya dianggap dermawan.
Seorang guru/pendarmawacana memberikan ceramah panjang lebar dan berapi-api dengan
maksud agar dianggap pintar; semua bentuk yadnya dengan motif di atas tergolong rajasika
yadnya. Seorang yang melakukan tapa, puasa tetapi dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan,
kesaktian fisik, atau agar dianggap sebagai orang suci juga tergolong yadnya rajasik.
3). Tamasika Yadnya yaitu yadnya yang dilaksanakan tanpa sastra, tanpa punia, tanpa mantra
dan tanpa keyakinan. Ini adalah kelompok orang yang beryadnya tanpa arah tujuan yang
jelas,hanya ikut-ikutan. Contoh orang-orang yang tegolong melaksanakan tamasikan yadnya
antara lain orang yang pergi sembahyang ke pura hanya ikut-ikutan, malu tidak ke pura karena
semua tetangga pergi ke pura, orang gotong royong di pura atau di tempat umum juga hanya
ikut-ikutan tanpa menyadari manfaatnya. Termasuk dalam katagori ini adalah orang yang
beryadnya karena terpaksa. Terpaksa maturan karena semua orang maturan. Terpaksa
memberikan punia karena semua orang melakukan punia. Terpaksa puasa karena orang-orang
berpuasa. Jadi apapun yang dilaksanakannya adalah sia-sia, tiada manfaat bagi peningkatan
karmanya.

Jenis-jenis yadnya di atas diuraikan dalam Kitab Bhagawad Gita dalam beberapa sloka.
Untuk Yadnya yang berbentuk persembahan/upakara akan tergolong kualitas Satwika bila
yadnya dilaksanakan berdasarkan :

1. Sradha, artinya yadnya dilaksanakan dengan penuh keyakinan


2. Lascarya, yaitu yadnya dilaksanakan dengan tulus ikhlas tanpa pamrih sedikitpun.
3. Sastra, bahwa pelaksanaan yadnya sesuai dengan sumber-sumber sastra yang benar.
4. Daksina, yaitu yadnya dilaksanakan dengan sarana upacara serta punia kepada pemuput
yadnya/manggala yadnya.
5. Mantra dan gita, yaitu dengan melantunkan doa-doa serta kidung suci sebagai pemujaan.
6. Annasewa, artinya memberikan jamuan kepada tamu yang menghadiri upacara. Jamuan ini
penting karena setiap tamu yang datang ikut berdoa agar pelaksanaan yadnya berhasil.
Dengan jamuan maka karma dari doa para tamu undangan menjadi milik sang yajamana.
7. Nasmita, bahwa yadnya yang dilaksanakan bukan untuk memamerkan kekayaan dan
kemewahan
Apapun jenis yadnya yang kita lakukan seharusnya yang menjadi tolok ukur adalah kualitas
yadnya. Sedangkan kualitas yadnya yang harus dicapai setiap pelaksanaan yadnya adalah
Satwika Yadnya. Tidak ada gunanya yadnya yang besar tetapi bersifat rajas atau tamas.

MANUSIA HINDU
Pengertian Manusia Hindu
Dalam konsep Hindu, manusia pertama adalah Svambhu, yang artinya makhluk berpikir
pertama yang menjadikan dirinya sendiri. Secara etimologi kata manusia berasal dari kata manu
yang artinya pikiran atau berpikir, dalam bentuk genetif menjadi kata manusya, artinya ia yang
berpikir atau menggunakan pikirannya. Menurut konsep Hindu, manusia adalah kesatuan antara
badan jasmani dan jiwa (atman) menjadikan ia secara psikopisik terus berkembang. Secara
kosmologis, manusia ( yang berupa kesatuan jiwa badan jasmaninya ) yang sering disebut
mikrokosmos ( bhuana alit ) yang merupakan perwujudan dari makrokosmos ( bhuana agung
). Manusia juga dikatakan sebagai makhluk Tri Pramana karena memiliki tiga kemampuan utama
yaitu berpikir, berkata dan berbuat, yang menyebabkan ia berbeda dengan makhluk lainnya.
Dengan kemampuan berpikir, berkata dan berbuat, manusia melakukan perbuatan baik dan
perbuatan buruk yang disebut subha asubha karma. Dengan mengutamakan perbuatan baik yang
disebut subha karmainilah manusia mampu menolong dirinya sendiri, mengangkat dirinya dari
kesengsaraan. Inilah keistimewaan lahir menjadi manusia. Dimana tidak dimiliki oleh makhluk
lain selain manusia.
Secara umum manusia senang pada keindahan, baik itu keindahan alam maupun seni, dan
yang merupakan musuh besar manusia menurut agama Hindu yang disebut Sad Ripu. Sad Ripu
ini berada di dalam diri setiap manusia dimana sifat sifat tersebut akan mempengaruhi watak
dan perilaku manusia. Itulah sebabnya watak dan perilaku manusia berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Sad Ripu tidak bisa kita hilangkan karena begitu melekat dalam diri manusia. Satu
satunya cara adalah dengan mengendalikannya. Untuk itu, kita harus bisa mengendalikan sifat
tersebut agar nantinya kita mendapat ketenangan di dalam diri. Jika hati kita tenang, maka
pikiran pun akan tenang untuk menghasilkan pemikiran pemikiran yang jernih. Dari pemikiran
yang jernih kita senantiasa akan berkata dan berbuat yang baik.

2.2 Konsep Manusia Hindu


Konsep Hindu mengatakan bahwa manusia terdiri dari 2 unsur, yaitu jasmani dan
rohani. Dimana jasmani adalah badan, tubuh manusia sedangkan rohani merupakan hakekat
Tuhan yang abadi, kekal, yang disebut dengan Atman. Manusia memiliki 3 lapisan badan yang
disebut Tri Sarira yang terdiri dari Stula Sarira, Suksma Sarira, dan Anta Karana Sarira.Stula
Sarira atau raga manusia dalam konsep Hindu terdiri dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta yaitu
Pertiwi, Apah, Teja, Bayu, Akasa. Tubuh manusia merupakan Bhuana Alit atau Bhuana Sarira.
Proses terbentuknya pun sama seperti proses terjadinya Bhuana Agung atau alam semesta.
Sedangkan Suksma Sarira yaitu badan halus yang terdiri 3 unsur yang disebut Tri Antahkarana
terdiri dari manas atau alam pikiran, Buddhi atau kesadaran termasuk didalamnya intuisi dan
Ahamkara atau keakuan atau ego. Dalam Suksma Sarira terdapat unsur halus dari Panca Maha
Bhuta yang disebut Panca Tan Matra yaitu ; Sabda, Sparsa, Rupa, Rasa, Gandha membentuk
berbagai indra ( Panca Buddhindriya dan Panca Karmendriya). Sedangkan Anta Karana Sarira
merupakan unsur rohani yaitu jiwatman sendiri yang sifatnya sama seperti paramaatman, kekal
abadi.
Manusia secara harpiah, berasal dari kata manu yang artinya mahluk yang berpikir. Jadi manusia
merupakan mahluk yang telah dibekali salah satu kelebihan dibandingkan mahluk lainnya.
Dalam Hindu terdapat konsep Tri Pramana, yang terdiri dari Bayu, Sabda , Idep. Tumbuhan
hanya memiliki bayu atau tenaga untuk tumbuh, sedangkan binatang memiliki bayu dan sabda
dimana binatang memiliki tenaga untuk bertumbuh, berkembang dan mengeluarkan suara,
sedangkan manusia memiliki ketiganya. Pikiran hanya dimiliki oleh manusia yang telah dibekali
sejak dilahirkan. Dengan memiliki pikiran maka diharapkan manusia mempunyai wiweka
mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Pikiran dipakai berpikir terlebih dahulu
sebelum melakukan tindakan. Dengan pikirannya, manusia diharapkan mengetahui asal,
tujuan, tugas serta kewajibannya. Dengan mengetahui hal ini maka pola hidup serta cara
pandangnya terhadap kehidupan akan mampu mengilhami setiap tindakannya sehingga tetap
berada pada jalur yang benar, sesuai etika dan ajaran-ajaran dharma yang telah diungkapkan
dalam ajaran agama. Namun manusia juga termasuk makhluk yang lemah, karena tidak seperti
binatang yang lahir begitu saja langsung bisa berdiri, terbang, berjalan tanpa memerlukan
bantuan dari yang lain. Maka hendaknya ini dipahami terlebih dahulu untuk mengetahui dan
dapat memisahkan

TEOLOGI HINDU
Pengertian Teologi dan Brahmavidy
Di dalam The New Oxford Illustrated Dictionary (1978:1736) pengertian teologi dinyatakan
sebagai berikut: Science of religion, study of God or gods, esp. of attributes and relations with
man etc.; yang berarti ilmu agama, studi tentang Tuhan Yang Maha Esa atau Para Dewa,
teristimewa tentang atribut-Nya dan hubungannya dengan manusia, dan sebagainya. Adian
dalam Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan (2001:52) menyatakan teologi
adalah pengetahuan Yang Illahi. Kata logi berasal dari bahasa Yunani logos yang dapat diartikan
sebagai pengetahuan yang berkadar pengetahuan tinggi berbeda dengan opini sehari-hari. Logos
berbeda dengan opini karena ia murni kontemplasi tanpa digayuti kepentingan apapun. Teologi
kemudian dapat diartikan menjadi pengetahuan kontemplatif, bebas kepentingan, dan benar
tentang Yang Ilahi.
Kata teologi berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos artinya ilmu atau
pengetahuan. Jadi teologi berarti pengetahuan tentang Tuhan. Ada banyak batasan atau
definisi teologi sebagaimana uraian berikut: telogi secara harfiah berarti teori atau studi tentang
Tuhan. Dalam praktek, istilah dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan
tertentu atau pemikiran individu (Maulana, dkk. 2003: 500).
Ilmu ketuhanan dalam agama Hindu atau teologi Hindu diberi dengan bermacam macam istilah
antara lain:
a. Brahma Widya
b. Brahma Tatwa Jnana
Istilah Brahma adalah suatu istilah yang dipergunakan oleh umat Hindu untuk menyebutkan
nama Tuhan sebagai pencipta pemelihara maupun tempat tujuan dari manusia atau alam semesta
nanti pada zaman pralaya.
Mahadevan (1984:300) menyebut brahmavidy sebagai the knowledge of Brahman, sedang Apte
dalam Sanskrit English Dictionary (1987:466) menerjemahkan teologi dengan vara-
brahmajnam, paramrthavidy, adhytmajnavidy yang secara leksikal berarti pengetahuan
tentang ketuhanan, pengetahuan tertinggi, dan pengetahuan rohani (spiritual). Berdasarkan uraian
tersebut brahmavidy berarti pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Esa, mencakup semua
manifestasi-Nya, ciptaan-Nya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Pengertian yang
terakhir ini sudah mencakup pengertian yang amat luas tentang brahmavidy. Menurut Pudja
(1984:14) teologi di dalam Bahasa Sanskerta disebut Brahmavidy atau Brahma Tattva Jna.

Pada mulanya teologi merupakan istilah yang digunakan oleh para pemikir Kristen untuk
menunjukkan suatu disiplin ilmu yang membahas hal Tuhan dan Ketuhanan. Terminologi teologi
telah menjadi disiplin ilmu yang diakui oleh para pakar atau ilmuwan dan secara aksiologis atau
manfaat dalam penerapannya telah meluas ke seluruh dunia. Disiplin ilmu teolgi menjadi
demikian sangat berarti, karena kebeadaannya telah memenuhi tiga persyaratan sebagai sebuah
ilmu pengetahuan, yakni: (1) syarat ontologis atau objeknya jelas, (2) syarat epistemologis
(procedure), dan (3) syarat aksiologis (makna atau manfaat). Karena keabsahan dan keakuratan
dari disiplin ilmu teologi tersebut, maka epistemologi teologi telah menjadi pola, patokan,
rujukan dalam berteologi dari semua agama tanpa menyadari bahwa terminologi teologi setiap
agama tidak persis sama (Donder, 2006:15).
Bila memperhatian uraian di atas, maka brahmavidy di dalamnya sudah mencakup pengertian
teologi yang sangat luas dan dalam, dalam susastra Hindu berbagai atribut penggambaran Tuhan
Yang Maha Esa tampak dalam dua pandangan yang berbeda, yakni Tuhan Yang Maha Esa yang
berpribadi (Personal God) dan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak berpribadi (Impersonal God).
Untuk kepentingan bhakti (devotion) Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi menjadi objek
pemujaan umat Hindu umumnya.

2.2 Perbedaan Studi Keagamaan dan Teologi


Uraian ini merupakan saduran dari tulisan Frank Whaling dalam Aneka Pendekatan Studi
Agama, Connoly, Ed (2002, 311-374) sebagai berikut. Posisi teologi sangatlah penting dalam
berbagai pembahasan tentang studi dan pengajaran agama. Pendekatan teologis memfokuskan
pada sejumlah konsep, khususnya didasarkan pada ide theologos, studi atau pengetahuan tentang
Tuhan atau Dewa-Dewa. Praanggapan ini memuat pesan yang berbeda dari ilmu-ilmu
kemanusiaan atau sosial. Studi-studi keagamaan dalam bentuknya yang modern, dipandang
muncul dari Teologi Kristen. Sehingga studi keagamaan dan teologi menimbu1kan bermacam
pandangan, ada yang menganggap penting ada yang menganggap tidak penting atau bentuk pro
dan kontra lainnya.

Ada lima macam pendekatan teologis dalam studi agama, yaitu:


1) Teologi agama-agama (theologies of religions), yaitu teologi tertentu yang muncul dalam
tradisi keagamaan tertentu. Jadi teologi agama-agama adalah teologi yang mempelajari tentang
teologi tertentu yang muncul dari tradisi-tradisi keagamaan. Pada setiap agama merniliki tradisi-
tradisi yang sulit dicari sumbernya dalam kitab suci.
2) Teologi-teologi agama (theologies of religion) yaitu berbagai sikap teologis dalam tradisi
keagamaan partikular yang diadopsi dari luar agama. Jadi teologi-teologi agama adalah teologi
yang mempelajari tentang sikap teologis suatu agama terhadap tradisi-tradisi keagamaan yang
diambilnya dan luar agamanya. Misalnya orang Kristen di Bali menggunakan banten ke gereja,
menggunakan penjor saat hari raya Natal dan Tahun Baru, menggunakan pakaian adat Bali
yang lazim digunakan ke pura oleh umat Hindu namun digunakan oleh umat Kristen Bali ke
gereja.
3) Teologi agama (theology of religion) yaitu upaya membangun suatu teologi agama yang lebih
universal yang dalam hal ini mengkonsentrasikan pada kategori-kategori transenden. Jadi
pendekatannya mempelajari tentang teologi yang universal yang memfokuskan diri pada yang
transenden (spiritual, kesucian).
4) Teologi agama-agama global (a global theology of religion) yaitu dimulai dari situasi global
dalam seluruh kompleksitas, moral manusia, natural, dan dari sana kemudian
mengkonseptualisasikan kembali kategori-kategori teologis yang muncul dan tradisi keagamaan
tertentu yang dapat mengarahkan perkembangan situasi global, yang mempengaruhi setiap
orang. Jadi teologi agama-agama global adalah teologi yang mempelajari kompleksitas agama
termasuk di dalamnya; moral, manusia, natural, serta mengkonstruksi atau
mengkonseptualisasikan kembali kategori-kategori teologis itu.
5) Teologi agama perbandingan (comparative theology of religion). Melalui membaca teologi-
teologi agama tertentu, kita akan mengeksplorasikan beberapa titik temu dan perbandingan
teologis. Jadi teologi agama perbandingan adalah teologi yang mempelajari agama-agama
melalui memperbandingkan lewat uraian-uraian teologis setiap agama.
Perbedaan studi keagamaan dan teologi.
1) Studi keagamaan, selain bersifat multireligius, studi-studi keagamaan juga menggunakan
beragam pendekatan dan metode. Sehingga; filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah,
fenomenologi, psikologi, linguistik, dan sebagainya merupakan komponen-komponen dari studi
keagamaan.
2) Teologi, lebih merupakan suatu disiplin tersendiri dan meskipun teologi menggunakan
berbagai metode yang dipaparkan di atas, metode-metode itu berada di bawah concern teologi
dan sering kali juga gereja atau komunitas religius yang terkait.
3) Teologi, sering berpusat pada persoalan doktrin. Ortodoksi agama cenderung menitikberatkan
terhadap doktrin-doktrin dan elemen-elemen konseptual dalam agama sebagai salah satu yang
lebih sentral dibandingkan dengan praktek spiritual atau perilaku.
4) Studi keagamaan, memberi titik tekan yang sama terhadap elemen-elemen lain yang ada
dalam agarna seperti praktik sosial, ritual, estetika, spiritualitas, mite, simbol dan seterusnya.
Tidak ada penekanan yang berlebihan terhadap doktrin atau konsep.
5) Teologi memiliki perhatian khusus pada gagasan transendensi yang dianggap tidak perlu
diperdebatkan sejauh ada hubungannya dengan teologi.
6) Studi keagamaan titik fokusnya lebih kepada orang-orang beriman dan pengalarnan atau
keyakinannya ketimbang objek keyakinan.
7) Teologi berkepentingan dengan transendensi, sedangkan studi keagamaan tidak.
8) Dalam pembelajaran abad pertengahan, ilmu tetap memiliki tempat, seperti ditujukkan
Durkheim dan lainnya, tetapi menduduki tempat kedua. Meskipun demikian, pengetahuan
budaya dan ilmu adalah bagian dari totalitas pembelajaran yang diasarkan pada teologi. Seperti
dikemukakan oleh Aquinas, teologi adalah queen of sciences. Di era modern, model dominan
kembali mengalami perubahan. Eksperimen terhadap alam dan pengembangan ilmu-ilmu
kealaman yang terpancar darinya, menjadi landasan pengetahuan. Porosnya lebih berpusat pada
alam dibandingkan Tuhan atau manusia, dan titik tekannya pada ilmu-ilmu kealaman sebagai
kunci pembelajaran. Karena penelitian ilmiah disandarkan pada spesialisasi, dan pengetahuan
dibagi kedalam wilayah-wilayah khusus, dalam hal ini terjadi kemunduran ketika dipahami
terdapat totalitas pengetahuan.

Meskipun teologi dan turunannya, studi keagamaan bersamaan dengan humanitas masih tetap
ada dan dalam pendekatan terhadap pengetahuan memang cenderung menggunakan pandangan
dunia ilmiah tidak ada yang tersembunyi dari fakta bahwa pandangan tentang keutuhan
pengetahuan telah terpecah-pecah. Pengetahuan lebih ditemukan dalam bagian unsur-unsurnya,
disiplin-disiplinnya, ketimbang dengan totalitasnya. Di era sekarang dengan perspektif global,
terdapat concern yang lebih besar terhadap perlunya mengintegrasikan kembali pengetahuan,
bersamaan dengan kesadaran yang lebih dalam akan keuntungan dan kerugian pandangan dunia
ilmiah. Gerakan New Age dan posmodernisme, sekalipun memiliki kepentingan tertentu,
menghidupi semangat ini dan terdapat keinginan menyatukan kembali pengetahuan guna
memenuhi tuntutan dunia global. Dengan kata lain terdapat kesadaran yang lebih besar tentang
komplementaritas model-model pengetahuan dan perlunya interkoneksi yang lebih dalam.
Teologi dan studi-studi keagamaan, humanitas, dan ilmu-ilmu ke-alam-an saling membutuhkan
satu sama lainnya.
Ada tiga alasan bagi teologi maupun studi-studi keagamaan tentang pentingnya model
pengetahuan. Pertama, Konsep-konsep yang begitu penting bagi teologi hanyalah salah satu dari
delapan elemen yang dikemukakan dalam model ini. Studi-studi keagamaan berkaitan dengan
kedelapan elemen; (1) komunitas keagamaan (2) ritual, (3) etika, (4) keterlibatan sosial dan
politik (5) kitab sud dan mite, (6) konsep-konsep, (7) estetika, dan (8) spiritualitas, tanpa
melebihkan salah satunya. Terlebih lagi studi-studi keagamaan bersifat lintas budaya dan tidak
ada kepentingan tertentu untuk memperkembangkan salah satu tradisi. Kedua, Model ini
membahas gagasan transendensi, fokus yang memediasi dan keyakinan atau intensinalitas yang
juga terdapat dalam teologi. Bagi tradisi keagamaan tertentu, keyakinan adalah keyakinan
terhadap transendensi mereka sendiri, melalui fokus yang memediasikan yang begitu penting,
dan ini tampak jelas dalam teologi-teologi tertentu. Namun, selain pengertian ini, model ini dapat
menjelaskan struktur umum dan makna dari tradisi keagamaan tertentu, ia memiliki asumsi-
asumsi dasar yakni kepentingan umum (general interest). Model ini juga dapat menunjukkan
bahwa agama-agama secara radikal berbeda jika kita membandingkannya secara terbuka melalui
model ini. Di sisi lain, model ini juga dapat dipahami guna menunjukkan arah keyakinan, dan
transendensi sebagai kategori teologis universal dan oleh karenanya juga arah teologi agama
general. Ketiga, Meskipun teologi memiliki suatu kecenderungan terhadap formulasi doktrinal,
model ini menunjukkan bahwa formulasi-formulasi itu bisa jadi luas dan beragam. Teologi
memberi perhatian pada delapan elemen terkait dan dalam tahun-tahun terakhir perhatian ini
berkembang dalam tradisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita melihat meningkatnya minat
pada teologi komunitas-komunitas keagamaan, teologi skriptural, teologi doktrinal, teologi seni,
dan teologi ritual dan liturgi, etika teologi, teologi praksis sosial dan politis, dan teologi spiritual.

Singkatnya, meskipun batas-batas dan perhatian teologi dan studi-studi keagamaan itu terpisah,
namun bukan pemisahan yang mendasar. Keduanya, saling berjalin dengan cara seperti yang
telah disampaikan yaitu kaitannya dengan model-model pengetahuan barat dan dengan suatu
model agama general.
Tradisi cenderung beragam berdasarkan inti doktrin yang lebih kurang bersifat terben (given,
bahasa Bali muleketo), dan semua agama memiliki doktrin yang sifatnya seperti ini. Standar
kualitas konseptual tradisi Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah
menjadi parameter bagi Hindu way of life.
1) Konsep Hindu berpusat pada gagasan tentang Brahman sebagai realitas ultimate di balik alam,
2) tm sebagai diri inner dalam manusia,
3) Karma manusia sebagai lingkaran kelahiran kembali yang terus-menerus,
4) Penyelamatan sebagai pelepasan diri dari kelahiran kembali,
5) Cara-cara penyadaran inner (jna), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di dunia (di bawah
kuasa Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai manifestasi-Nya seperti iva,
Viu, Dev, dan dua inkarnasi dari Viu (avatra) yakni Rma dan Ka.
John Hick menguraikan bahwa ada tiga sikap teologis pokok yang dapat diterapkan tradisi
keagamaan terhadap wilayah keagamaan yang lebih luas: (1) Eksklusivisme, suatu pendapat
bahwa satu-satunya posisi yang benar adalah posisi keagamaannya sendiri, (2) Inklusivisme,
suatu pandangan bahwa tradisi keagamaan !ain juga memuat kebenaan religius tetapi di hari
akhir akan dimasukkan ke dalam posisi yang mereka miliki, (3) Pluralisme, pendapat bahwa
tradisi-tradisi keagamaan mengejawantahkan diri dalam beragam konsepsi mengenai yang sejati
(the real) dan memberi respon terhadapnya, dari sana muncul jalan kultur yang berbeda-beda
bagi manusia. Tiga sikap teologis itu beranggapan bahwa seseorang mencari dengan berangkat
dari suatu sistem teologis partikular dan berdasar pada sistem lainnya sebagai entitas yang
terpisah. Sikap-sikap ini mengasumsikan nahwa teologi berarti teologi partikular dari suatu
tradisi keagamaan partikular.
Agama Hindu sejak diturunkannya kitab suci Veda sudah mengamanatkan umatnya untuk
mengembangkan sikap inklusivisme dan pluralisme artinya mengakui ada kebenaran pada tradisi
keagamaan lain serta adanya beragam konsepsi yang sejati (the real) dan memberi respon
terhadapnya, seperti tampak dalam perkembangan agama Hindu di Bali, kepercayaan kepada roh
suci leluhur masih mendapatkan tempat yang semestinya.

BAB III TEOLOGI DALAM SUSASTRA SANSKERTA


3.1 Pengertian dan Lingkup Susastra Hindu
Di dalam pendahuluan telah diuraikan sepintas tentang sumber ajaran Agama Hindu, yakni Veda
sebagai sumber tertinggi dan otoritasnya sangat diakui karena Veda merupakan ruti atau wahyu
Tuhan Yang Maha Esa. Kitab suci Veda terdiri dari kitab-kitab:
1) Sahit ( Samitha ),
2) Brhmaa (Brahmana ),
3) rayaka ( Aranyaka), dan
4) Upaniad ( Upanisad ).
Kitab-kitab Sahit terdiri dari gveda, Yajurveda, Smaveda, dan Atharvaveda. Masing-masing
kitab Sahit tersebut memiliki kitab-kitab Brhmaa, rayaka, dan Upaniad. Unsur-unsur
upacara yang terdapat di dalam kitab Veda dikembangkan secara luas di dalam kitab-kitab
Brhmaa. Bila di dalam Veda upacara korban berarti untuk memohon karunia para devat dan
kemudian menjadi akhir dari segalanya. Di dalam kitab-kitab Brhmaa, para devat mempunyai
kedudukan yang penting terutama dalam sistem upacara.

También podría gustarte