Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Adalah proses atau cara mempersatukan atman dengan Brahman dengan berlandaskan
atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi dan segala ciptaan-Nya.
Kata bhakti berarti hormat, taat, sujud, menyembah, mempersembahkan, cintah kasih
penyerahan diri seutuhnya pada Sang pencipta.
Seorang Bhakta (orang yang menjalani Bhakti marga) dengan sujud dan cinta,
menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai yadnya kepada
Sang Hyang Widhi. Cinta kasih yang mendalam adalah suatu cinta kasih yang bersifat umum
dan mendalam yang disebut maitri. Semangat tat twam asi sangat subur dalam hati sanubarinya.
Cinta bhaktinya kepada Hyang Widhi yang sangat mendalam, itu juga dipancarkan
kepada semua makhluk baik manusia binatang juga tumbuh-tumbuhan. Dalam doanya selalu
menggunakan pernyataan cinta dan kasih sayang dan memohon kepada Hyang Widhi agar semua
makhluk tanpa kecuali selalu berbahagia dan selalu mendapat anugrah termulia dari Hyang
Widhi. Jadi untuk lebih jelasnya seorang bhakta akan selalu berusaha melenyapkan
kebenciannya kepada semua makhluk sebaliknya ia selalu berusaha memupuk dan
mengembangkan sifat-sifat maitri, karuna, mudita dan upeksa (catur paramita).
Di dalam kitab suci Veda kita jumpai beberapa mantra tentang Bhakti salah satunya
adalah:
Arcata prarcata priyam edhaso Arcata, arcantu putraka uta puram na dhrsnvarcata
Rgveda VIII.69.8)
(pujalah, pujalah Dia sepenuh hati, Oh cendekiawan, Pujalah Dia. Semogalah semua anak- anak
ikut memuja- Nya, teguhlah hati seperti kukuhnya candi dari batu karang untuk memuja
keagungan- Nya).
Terhadap landasan filosofis ajaran Bhakti diatas, Drs. I Gusti Made Ngurah dkk
menyatakan pendapatnya: bhakti adalah perwujudan cinta yang tulus kepada Tuhan,
mengapa harus berbhakti kepada Tuhan karena Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala
isinya berdasarkan Yajnya. (Ngurah, 2006 : 80)
Sikap yang paling sederhana dalam kehidupan beragama adalah cinta kasih dan
pengabdian yang tulus. Tuhan dipandang sebagai yang paling disayangi, sebagai ibu, bapak,
teman, saudara, sebagai orangtua, sebagai tamu, dan sebagai seorang anak.
Pada umumnya kita mengenal dua bentuk bhakti yaitu bentuk Aparabhakti dan
parabhakti.
A. Apara bhakti artinya tidak utama; jadi apara bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang
Widhi yang tidak utama. Apara bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan
kesadaran rohaninya kurang atau sedang-sedang saja.
Aparabhakti, yaitu pemujaan atau persembahan dan kebaktian dengan berbagai permohonan dan
permohonan itu adalah wajar mengingat keterbatasan pengetahuan kita tentang hakekat bhakti.
B. Para artinya utama; jadi para bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang utama.
Para bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi
Parabhakti adalah bhakti berupa penyerahan diri yang setulusnya. Penyerahan diri kepada- Nya
bukanlah dalam pengertian pasif tidak mau melakukan berbagai aktivitas, tetapi aktif dan dengan
keyakinan bahwa bila bekerja dengan baik dan tulus maka akan memperoleh pahala yang baik
pula. Kita tidak boleh mendoakan seseorang untuk memperoleh kecelakaan dan sejenisnya.
Drs. I Gusti Made Ngurah dkk berpendapat : Seperti yang disampaikan bahwa
Tuhan yang Maha Esa adalah ibu dan bapa kita , seperti kita meminta sesuatu pada kedua
orangtua kita tidak semua permintaan dapat terpenuhi. Demikianlah bila kita memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Sesungguhnya kita sering mendapat karunia- Nya berupa kesejahteraan,
kegembiraan atau kebahagiaan, tetapi bila kita lalai, maka sekali waktu cobaan dan penderitaan
yang kita terima. Walaupun itu cobaan dan penderitaan, itupun sesungguhnya sebuah karunia,
kita harus mensyukuri agar kita segera mawas diri, memperbaiki kesalahan atau kelalaian kita.
(Ngurah, 2006 : 83)
Dalam meningkatkan kualitas bhakti kita kepada sang Hyang Widi ada beberapa jenis
bentuk bhakti yang disebut Bhavabhakti, sebagai berikut:
a. Santabhava, yaitu sikap bhakti seperti bhakti atau hormat seorang anak terhadap ibu dan
bapaknya.
b. Sakhyabava, yaitu bentuk bhakti yang meyakini Hyang Widi, manifestasiNya, Istadevata
atau Avatara- Nya sebagai sahabat yang sangat akrab dan selalu memberikan perlindungan dari
pertolongan pada saat yang diperlukan.
c. Dasyabhava, yaitu bhakti atau pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti sikap
seorang hamba kepada majikannya.
d. Vatsalyabhava, yaitu sikap bhakti seorang penyembah memandang Tuhan Yang Maha Esa
seperti anaknya sendiri.
e. Kantabhava, yaitu sikap bhakti seorang istri terhadap suami tercinta.
f. Maduryabhava, yaitu bentuk bhakti sebagai cinta yang amat mendalam dan tulus dari
seorang bhakta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara lahiriah bentuk- bentuk di Indonesia sama
halnya dengan di India, umat mewujudkannya melalui pembangunan berbagai Pura ( mandir),
mempersembahkan berbagai sesaji (naivedya), mempersembahkan kidung (bhajan), gamelan,
tari- tarian, dan sebagainya.
Adalah jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa dengan karma atau
perbuatan yang baik tanpa pamrih. Dalam Bhagawadgita. III.19 dinyatakan sebagai berikut :
Tasmad asaktah satatam karyam karma samacara, asakto hy acaran karma, param apnoti
purusah
Artinya :
Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab
dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan
mencapai yang utama.
Sebab pada hakekatnya bekerja atau melayani orang atau makhluk lain secara hakekat adalah
karma baik untuk diri sendiri. Adalah lebih baik dapat menolong/melayani dari pada
ditolong/dilayani.
Bekerjalah seperti yang telah ditentukan sebab berbuat lebih baik daripada tidak berbuat dan
bahkan tubuhpun tidak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya.
Karma Marga Yoga menekankan kerja sebagai bentuk pengabdian dan bentuk
pengabdian dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran karma Yoga merupakan etos kerja
atau budaya kerja bagi umat Hindu di dalam usaha mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan
lahir batin. Di dalam Landasan filosofis ajaran karma, doa seorang karmayogin adalah untuk
memohon kesehatan dan kekuatan, badan yang sempurna dan umur panjang, kebaikan di dunia,
serta kekuatan untuk menghadapi segala bentuk kejahatan.
Salah satu contoh isi veda yang menjadi Landasan filosofis ajaran karma yaitu:
udyanam te purusa navayanam, jivatum te daksatatim krnomi
(Atharwaveda VIII.1.6.)
Artinya :
Oh manusia, giatlah bekerja untuk kemajuan, jangan mundur , Aku anugerahkan kekuatan dan
tenaga.
Ada tiga hal yang penting dalam hal ini yaitu kebulatan pikiran, pembatasan pada
kehidupan sendiri dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yang kokoh
tentram damai. Ketiga hal tersebut di atas merupakan dhyana yoga. Untuk tercapainya perlu
dibantu dengan abhyasa yaitu latihan-latihan dan vairagya yaitu keadaan tidak mengaktifkan
diri. Adapun kekuatan pikiran kita lakukan di dalam hal kita berbuat saja, pikiran harus kita
pusatkan kepadanya.
Adapun tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para raja yogin yaitu melakukan tapa,
brata, yoga, Samadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau
nafsu yang ada dalam diri kita kea rah yang positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci.
Sedangkan yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman dengan Brahman
dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
Seorang raja yoga akan dapat menghubungkan dirinya dengan kekuatan rohani melalui
astangga yoga yaitu delapan tahapan yoga untuk mencapai moksa. Astangga yoga diajarkan oleh
Maharsi Patanjalai dalam bukunya yang disebut yoga sutra patanjali. Adapun bagian-bagian dari
astangga yoga adalah sebagai berikut :
a. Yama yaitu suatu bentuk larangan yang harus dilakukan oleh seseorang dari segi jasmani yaitu
:
Dilarang membunuh (ahimsa)
Dilarang berbohong (satya)
Pantang menginginkan sesuatu yang bukan miliknya (asteya)
Pantang melakukan hubungan seksual (brahmacari)
Tidak menerima pemberian dari orang lain (aparigraha)
b. Nyama yaitu pengendalian diri yang bersifat rohani yaitu :
Sauca (tetap suci lahir bhatin)
Santosa (selalu puas dengan apa yang datang)
Swadhyaya (mempelajari kitab-kitab keagamaan)
Iswara pranidhana (selalu bhakti kepada Tuhan)
Tapa (tahan uji)
c. Asana yaitu sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin
d. Pranayama yaitu mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna melalui tiga jalan yaitu :
Puraka (menarik nafas)
Kumbhaka (menahan nafas)
Recaka (mengeluarkan nafas)
e. Pratyahara yaitu mengontrol dan mengendalikan indriya dari ikatan obyeknya, sehingga orang
dapat melihat hal-hal suci
f. Dharana yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan
g. Dhyna yaitu pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu obyek. Dhyna
dapat dilakukan terhadap Ista Dewata
h. Samadhi yaitu penyatuan atman
Bila seseorang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh ia akan
dapat menerima getaran-getaran suci dan wahyu Tuhan. Keempat jalan untuk pencapaian moksa
itu sesungguhnya memiliki kekuatan yang sama bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Setiap
orang akan memilih kecenderungan memilih jalan-jalan tersebut, maka itu setiap orang memiliki
jalan mencapai moksa bervariasi.
Moksa sebagai tujuan hidup spiritual bukanlah merupakan suatu janji yang hampa
melainkan merupakan suatu keyakinan yang berakhir dengan kenyataan. Kenyataan dalam dunia
batin merupakan alam super transcendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan instuisi
yang dalam. Moksa merupakan suatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya, karena
demikianlah yang dijelaskan oleh kitab suci.
Oleh sebab itu marilah kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran astangga yoga dengan
tuntunan seorang guru yang telah memiliki kemampuan didalam hal tersebut.
Keempat jalan (marga) itu dapat dilakukan diberbagai tempat dan waktu sesuai
kemampuan seseorang dan keempatnya tidak dapat dipisahkan karena dalam prakteknya saling
berkaitan. Misalnya sembahyang , keempat cara (marga) itu dapat diamalkan sekaligus yaitu :
Rasa hormat atau berserah merupakan wujud bhakti marga.
Menyiapkan sarana kebhaktian merupakan wujud karma marga.
Pemahaman tentang sembahyang merupakan wujud jnana marga.
Duduk tegak-tenang-konsentrasi merupakan wjud raja marga.
Jika direnungkan dan diperhatikan maka sesungguhnya pengamalan agama Hindu sangat
mudah, praktis dan lues. Keluesan itu disebabkan karena agama Hindu dapat dilaksanakan :
- Dengan mempraktekan Catur Marga
- Oleh seluruh umat tanpa terkecuali
- Disegala tempat, waktu dan keadaan
- Tidak harus dengan materi
- Sesuai dengan kemampuan umat
- Sesuai dengan adat istiadat karena Hindu menjiwai adat istiadat.
Demikian agama Hindu dapat diamalkan selama 24 jam setiap hari dengan cara serta
bentuk pengamalan yang beraneka ragam. Untuk itu umat Hindu tidak patut memaksakan
bentuk pengamalan agama agar seragam dari segi materi maupun bentuk material lainnya,
apalagi keseragaman jumlah uang. Namun yang harus sama dan seragam ialah prinsip dasar
ajaran agama.
Inti dan penerapan dan Catur Marga adalah untuk memantapkan mengenai hidup dan
kehidupan umat manusia di alam semesta ini, terutama untuk peningkatan, pencerahan, serta
memantapkan keyakinan atau kepercayaan (sraddha) dan pengabdian (bhakti) terhadap Tuhan
Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memahami dan menerapkan ajaran
catur marga, maka diharapkan segenap umat Hindu dapat menjadi umat Hindu yang berkualitas,
bertanggung jawab, memiliki loyalitas, memiliki dedikasi, memiliki jati diri yang mulia, menjadi
umat yang pantas diteladani oleh umat manusia yang lainnya, menjadi umat yang memiliki
integritas tinggi terhadap kehidupan secara lahir dan batin, dan harapan mulia lainnya guna
tercapai kehidupan yang damai, rukun, tenteram, sejahtera, bahagia, dan sebagainya. Jadi dengan
penerapan dan ajaran catur marga diharapkan agar kehidupan umat Hindu dan umat manusia
pada umumnya menjadi mantap dalam berke-sraddha-an dan berke-bhakti-an kehadapan Tuhan
Yang Maha Esa, serta dapat diharmoniskan dengan kehidupan nyata dengan sesama manusia,
semua ciptaan Tuhan, dan lingkungan yang damai dan serasi di sekitar kehidupan masing-
masing
Tidak ada orang yang menjalankan catur marga itu sendiri-sendiri atau terpisah-pisah,
karena satu sama lainnya berkaitan. Perincian menjadi empat itu hanyalah untuk mengukur dan
memilih bobot jalan yang mana yang bisa diutamakan, sesuai dengan kemampuan masing-
masing.
a. Mengenai penerapan bhakti marga oleh umat Hindu seperti berikut ini :
Melaksanakan doa atau puja tri sandhya seara rutin setiap hari;
Menghaturkan banten saiban atau jotan/ngejot atau yajnasesa;
Berbakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta semua manifestasi-Nya;
Berbakti kehadapan Leluhur;
Berbakti kehadapan para pahlawan pejuang bangsa;
Melaksanakan upacara dewa yajna (piodalan/puja wali, saraswati, pagerwesi, galungan,
kuningan, nyepi, siwaratri, purnama, tilem, tumpek landep, tumpek wariga, tumpek krulut,
tumpek wayang dan lain-lainnya);
Melaksanakan upacara manusia yajna (magedong-gedongan, dapetan, kepus puser,
macolongan, tigang sasihin, ngotonin, munggah deha, mapandes, mawiwaha, mawinten, dan
sebagainya);
Melaksanakan upacara bhuta yajna (masegeh, macaru, tawur, memelihara lingkungan,
memelihara hewan, melakukan penghijauan, melestarikan binatang langka, dan sebagainya);
Melaksanakan upacara pitra yajna (bhakti kehadapan guru rupaka atau rerama, ngaben,
ngerorasin, maligia, mamukur, ngeluwer, berdana punya kepada orang tua, membuat orang tua
menjadi hidupnya bahagia dalam kehidupan di alam nyata ini, dan sebagainya);
Melaksanakan upacara resi yajna (upacara pariksa, upacara diksa, upacara ngelinggihang
veda), berdana punya pada sulinggih atau pandita, berguru pada orang suci, tirtha yatra ke tempat
suci bersama sulinggih atau pandita, berguru pada orang suci, sungkem (pranam) pada sulinggih
sebagai guru nabe, menerapkan ajaran tri rnam, dan sebagainya.
b. Mengenai penerapan karma marga oleh umat Hindu seperti berikut ini :
Menerapkan filosofi ngayah;
Menerapkan filosofi matulungan;
Menerapkan filosofi manyama braya;
Menerapkan filosofl paras-paros sarpanaya salunglung sabayantaka;
Menerapkan filosofi suka dan duka;
Menerapkan filosofi agawe sukaning wong len;
Menerapkan filosofi utsaha ta larapana;
Menerapkan filosofi makarya;
Menerapkan filosofi makarma sane melah;
Menerapkan filosofi ala kalawan ayu;
Menerapkan filosofi karma phala;
Menerapkan filosofi catur paramita;
Menerapkan filosofi tri guna;
Menerapkan filosofi trikaya parisudha; dan
Menerapkan filosofi yama niyama brata dan berbagai ajaran agama Hindu.
c. Beberapa model atau bentuk nyata dan penerapan jnana marga berikut ini :
Menerapkan ajaran aguron-guron;
Menerapkan ajaran guru dan sisya;
Menerapkan ajaran guru bhakti;
Menerapkan ajaran guru susrusa;
Menerapkan ajaran brahmacari dan ajaran catur guru;
Menerapkan ajaran sisya sasana;
Menerapkan ajaran resi sasana;
Menerapkan ajaran putra sasana;
Menerapkan ajaran guru nabe, guru waktra, guru saksi;
Menerapkan ajaran catur asrama; dan
Menerapkan ajaran dalam wrati sasana, slokantara, sila krama, dan ajaran agama Hindu yang
bersumber pada Veda dan susastra Hindu lainnya.
d. Dalam penerapan yoga marga oleh umat Hindu, realitanya seperti berikut :
Melaksanakan introspeksi atau pengendalian diri;
Menerapkan ajaran tapa, brata, yoga dan samadhi;
Menerapkan ajaran astangga yoga;
Melakukan kerja sama atau relasi yang baik dan terpuji dengan sesama;
Menjalin hubungan kemitraan secara terhormat dengan rekanan, lingkungan, dan semua
ciptaan Tuhan di alam semesta ini;
Membangun pasraman atau paguyuban untuk praktek yoga;
Mengelola ashram yang bergerak di bidang pendidikan rohani, agama, spiritual, dan upaya
pencerahan diri lahir batin;
Menerapkan filosofi mulat sarira;
Menerapkan filosofi ngedetin/ngeret indriya;
Menerapkan filosfi mauna;
Menerapkan filosofi upawasa;
Menerapkan filosofi catur brata panyepian, dan
Menerapkan filosofi tapasya, pangastawa, dan menerapkan ajaran agama Hindu dengan baik
dan benar menuju keluhuran diri sebagai mahluk sosial dan religius.
YADNYA
1. Pengertian yadnyak
Jika ditinjau secara ethimologinya, kata yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata
yaj yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Yadnya (yajna)
dapat juga diartikan korban suci, yaitu korban yang didasarkan atas pengabdian dan cinta kasih.
2. Jenis Jenis Yadnya
1. Jenis-Jenis Pelaksanaan Yadnya
1. Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-
dewa.
2. Butha Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur
alam.
3. Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
4. Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah
meninggal.
5. Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci
umat Hindu.
kegiatan Yadnya ini didasari oleh Tri Rna yaitu tiga hutang yang mesti dibayar sehubungan
dengan keberadaan kita. adapun tri rana tersebut adalah :
1. Dewa Rna, hutang kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai para
dewata yang telah memberikan anungrahnya kepada setiap mahluk.
2. Pitra Rna, hutang kepada para leluhur termasuk orang tua, sehubungan dengan kelahiran
kita serta perhatiannya semasahidup.
3. Rsi Rna, hutang kepada para sulinggih, pemangku dan para guru lainya atas
bimbingannya selama ini.
hutang hutang tersebut kemudian dibayar dengan yadnya, yang kemudian diaplikasikan
dengan Panca Yadnya. adapun cara pembayaran tersebut adalah:
1. Dewa Rna, dibayar melalui Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
2. Pitra Rna, dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
3. Rsi Rna, dibayar melalui Rsi Yadnya.
1. Naimitika Yadnya
Yaitu Yadnya yang dilaksanakan secara berkala/ waktu-waktu tertentu. Khusus untuk yadnya ini
terutama yadnya dalam bentuk persembahan /upakara yaitu Upacara Piodalan, Sembahyang
Purnama dan Tilem, Hari Raya baik menurut wewaran maupun sasih.
Bagi bentuk yadnya yang lain tergantung kebiasaan pribadi perorangan/kelompok orang. Ada
orang pada setiap hari raya tertentu melaksanakan tapa brata sebagai wujud yadnya pengendalian
diri. Ada pula yang pada waktu tertentu setiap tahun atau setiap bulan melakukan dana punia
baik dihaturkan kepada sulinggih, orang tidak mampu dan sebagainya.
Disamping itu ada juga bentuk yadnya yang dilaksanakan secara insidental sesuai kebutuhan
dengan waktu yang tidak tetap/ tidak rutin. Contohnya upacara ngaben, nangluk merana,
tirtayatra. Demikian juga bentuk yadnya yang lain adakalanya dilakukan tidak dengan jadwal
waktu tertentu. Misalkan jika ada ujian sekolah ada siswa / mahasiswa yang puasa. Ada orang
yang tanpa diduga memperoleh rejeki yang lebih , maka sebagian dipuniakan untuk pura atau
untuk panti asuhan.
Kelima jenis yadnya di atas dikenal dengan istilah Panca Yadnya. Uraian mengenai Panca
Yadnya akan dibahas tersendiri setelah bagian ini.
1). Satwika Yadnya yaitu yadnya yang dilaksanakan dasar utama sradha bakti, lascarya, dan
semata melaksanakan sebagai kewajiban. Apapun bentuk yadnya yang dilakukan seperti;
persembahan, pengendalian diri, punia, maupun jnana jika dilandasi bakti dan tanpa pamrih
maka tergolong Satwika Yadnya. Yadnya dalam bentuk persembahan / upakara akan sangat
mulia dan termasuk satwika jika sesuai dengan sastra agama, daksina, mantra, Annasewa, dan
nasmita.
2). Rajasika Yadnya yaitu yadnya dilakukan dengan motif pamrih serta pamer kemewahan,
pamer harga diri, bagi yang melakukan punia berharap agar dirinya dianggap dermawan.
Seorang guru/pendarmawacana memberikan ceramah panjang lebar dan berapi-api dengan
maksud agar dianggap pintar; semua bentuk yadnya dengan motif di atas tergolong rajasika
yadnya. Seorang yang melakukan tapa, puasa tetapi dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan,
kesaktian fisik, atau agar dianggap sebagai orang suci juga tergolong yadnya rajasik.
3). Tamasika Yadnya yaitu yadnya yang dilaksanakan tanpa sastra, tanpa punia, tanpa mantra
dan tanpa keyakinan. Ini adalah kelompok orang yang beryadnya tanpa arah tujuan yang
jelas,hanya ikut-ikutan. Contoh orang-orang yang tegolong melaksanakan tamasikan yadnya
antara lain orang yang pergi sembahyang ke pura hanya ikut-ikutan, malu tidak ke pura karena
semua tetangga pergi ke pura, orang gotong royong di pura atau di tempat umum juga hanya
ikut-ikutan tanpa menyadari manfaatnya. Termasuk dalam katagori ini adalah orang yang
beryadnya karena terpaksa. Terpaksa maturan karena semua orang maturan. Terpaksa
memberikan punia karena semua orang melakukan punia. Terpaksa puasa karena orang-orang
berpuasa. Jadi apapun yang dilaksanakannya adalah sia-sia, tiada manfaat bagi peningkatan
karmanya.
Jenis-jenis yadnya di atas diuraikan dalam Kitab Bhagawad Gita dalam beberapa sloka.
Untuk Yadnya yang berbentuk persembahan/upakara akan tergolong kualitas Satwika bila
yadnya dilaksanakan berdasarkan :
MANUSIA HINDU
Pengertian Manusia Hindu
Dalam konsep Hindu, manusia pertama adalah Svambhu, yang artinya makhluk berpikir
pertama yang menjadikan dirinya sendiri. Secara etimologi kata manusia berasal dari kata manu
yang artinya pikiran atau berpikir, dalam bentuk genetif menjadi kata manusya, artinya ia yang
berpikir atau menggunakan pikirannya. Menurut konsep Hindu, manusia adalah kesatuan antara
badan jasmani dan jiwa (atman) menjadikan ia secara psikopisik terus berkembang. Secara
kosmologis, manusia ( yang berupa kesatuan jiwa badan jasmaninya ) yang sering disebut
mikrokosmos ( bhuana alit ) yang merupakan perwujudan dari makrokosmos ( bhuana agung
). Manusia juga dikatakan sebagai makhluk Tri Pramana karena memiliki tiga kemampuan utama
yaitu berpikir, berkata dan berbuat, yang menyebabkan ia berbeda dengan makhluk lainnya.
Dengan kemampuan berpikir, berkata dan berbuat, manusia melakukan perbuatan baik dan
perbuatan buruk yang disebut subha asubha karma. Dengan mengutamakan perbuatan baik yang
disebut subha karmainilah manusia mampu menolong dirinya sendiri, mengangkat dirinya dari
kesengsaraan. Inilah keistimewaan lahir menjadi manusia. Dimana tidak dimiliki oleh makhluk
lain selain manusia.
Secara umum manusia senang pada keindahan, baik itu keindahan alam maupun seni, dan
yang merupakan musuh besar manusia menurut agama Hindu yang disebut Sad Ripu. Sad Ripu
ini berada di dalam diri setiap manusia dimana sifat sifat tersebut akan mempengaruhi watak
dan perilaku manusia. Itulah sebabnya watak dan perilaku manusia berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Sad Ripu tidak bisa kita hilangkan karena begitu melekat dalam diri manusia. Satu
satunya cara adalah dengan mengendalikannya. Untuk itu, kita harus bisa mengendalikan sifat
tersebut agar nantinya kita mendapat ketenangan di dalam diri. Jika hati kita tenang, maka
pikiran pun akan tenang untuk menghasilkan pemikiran pemikiran yang jernih. Dari pemikiran
yang jernih kita senantiasa akan berkata dan berbuat yang baik.
TEOLOGI HINDU
Pengertian Teologi dan Brahmavidy
Di dalam The New Oxford Illustrated Dictionary (1978:1736) pengertian teologi dinyatakan
sebagai berikut: Science of religion, study of God or gods, esp. of attributes and relations with
man etc.; yang berarti ilmu agama, studi tentang Tuhan Yang Maha Esa atau Para Dewa,
teristimewa tentang atribut-Nya dan hubungannya dengan manusia, dan sebagainya. Adian
dalam Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan (2001:52) menyatakan teologi
adalah pengetahuan Yang Illahi. Kata logi berasal dari bahasa Yunani logos yang dapat diartikan
sebagai pengetahuan yang berkadar pengetahuan tinggi berbeda dengan opini sehari-hari. Logos
berbeda dengan opini karena ia murni kontemplasi tanpa digayuti kepentingan apapun. Teologi
kemudian dapat diartikan menjadi pengetahuan kontemplatif, bebas kepentingan, dan benar
tentang Yang Ilahi.
Kata teologi berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos artinya ilmu atau
pengetahuan. Jadi teologi berarti pengetahuan tentang Tuhan. Ada banyak batasan atau
definisi teologi sebagaimana uraian berikut: telogi secara harfiah berarti teori atau studi tentang
Tuhan. Dalam praktek, istilah dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan
tertentu atau pemikiran individu (Maulana, dkk. 2003: 500).
Ilmu ketuhanan dalam agama Hindu atau teologi Hindu diberi dengan bermacam macam istilah
antara lain:
a. Brahma Widya
b. Brahma Tatwa Jnana
Istilah Brahma adalah suatu istilah yang dipergunakan oleh umat Hindu untuk menyebutkan
nama Tuhan sebagai pencipta pemelihara maupun tempat tujuan dari manusia atau alam semesta
nanti pada zaman pralaya.
Mahadevan (1984:300) menyebut brahmavidy sebagai the knowledge of Brahman, sedang Apte
dalam Sanskrit English Dictionary (1987:466) menerjemahkan teologi dengan vara-
brahmajnam, paramrthavidy, adhytmajnavidy yang secara leksikal berarti pengetahuan
tentang ketuhanan, pengetahuan tertinggi, dan pengetahuan rohani (spiritual). Berdasarkan uraian
tersebut brahmavidy berarti pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Esa, mencakup semua
manifestasi-Nya, ciptaan-Nya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Pengertian yang
terakhir ini sudah mencakup pengertian yang amat luas tentang brahmavidy. Menurut Pudja
(1984:14) teologi di dalam Bahasa Sanskerta disebut Brahmavidy atau Brahma Tattva Jna.
Pada mulanya teologi merupakan istilah yang digunakan oleh para pemikir Kristen untuk
menunjukkan suatu disiplin ilmu yang membahas hal Tuhan dan Ketuhanan. Terminologi teologi
telah menjadi disiplin ilmu yang diakui oleh para pakar atau ilmuwan dan secara aksiologis atau
manfaat dalam penerapannya telah meluas ke seluruh dunia. Disiplin ilmu teolgi menjadi
demikian sangat berarti, karena kebeadaannya telah memenuhi tiga persyaratan sebagai sebuah
ilmu pengetahuan, yakni: (1) syarat ontologis atau objeknya jelas, (2) syarat epistemologis
(procedure), dan (3) syarat aksiologis (makna atau manfaat). Karena keabsahan dan keakuratan
dari disiplin ilmu teologi tersebut, maka epistemologi teologi telah menjadi pola, patokan,
rujukan dalam berteologi dari semua agama tanpa menyadari bahwa terminologi teologi setiap
agama tidak persis sama (Donder, 2006:15).
Bila memperhatian uraian di atas, maka brahmavidy di dalamnya sudah mencakup pengertian
teologi yang sangat luas dan dalam, dalam susastra Hindu berbagai atribut penggambaran Tuhan
Yang Maha Esa tampak dalam dua pandangan yang berbeda, yakni Tuhan Yang Maha Esa yang
berpribadi (Personal God) dan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak berpribadi (Impersonal God).
Untuk kepentingan bhakti (devotion) Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi menjadi objek
pemujaan umat Hindu umumnya.
Meskipun teologi dan turunannya, studi keagamaan bersamaan dengan humanitas masih tetap
ada dan dalam pendekatan terhadap pengetahuan memang cenderung menggunakan pandangan
dunia ilmiah tidak ada yang tersembunyi dari fakta bahwa pandangan tentang keutuhan
pengetahuan telah terpecah-pecah. Pengetahuan lebih ditemukan dalam bagian unsur-unsurnya,
disiplin-disiplinnya, ketimbang dengan totalitasnya. Di era sekarang dengan perspektif global,
terdapat concern yang lebih besar terhadap perlunya mengintegrasikan kembali pengetahuan,
bersamaan dengan kesadaran yang lebih dalam akan keuntungan dan kerugian pandangan dunia
ilmiah. Gerakan New Age dan posmodernisme, sekalipun memiliki kepentingan tertentu,
menghidupi semangat ini dan terdapat keinginan menyatukan kembali pengetahuan guna
memenuhi tuntutan dunia global. Dengan kata lain terdapat kesadaran yang lebih besar tentang
komplementaritas model-model pengetahuan dan perlunya interkoneksi yang lebih dalam.
Teologi dan studi-studi keagamaan, humanitas, dan ilmu-ilmu ke-alam-an saling membutuhkan
satu sama lainnya.
Ada tiga alasan bagi teologi maupun studi-studi keagamaan tentang pentingnya model
pengetahuan. Pertama, Konsep-konsep yang begitu penting bagi teologi hanyalah salah satu dari
delapan elemen yang dikemukakan dalam model ini. Studi-studi keagamaan berkaitan dengan
kedelapan elemen; (1) komunitas keagamaan (2) ritual, (3) etika, (4) keterlibatan sosial dan
politik (5) kitab sud dan mite, (6) konsep-konsep, (7) estetika, dan (8) spiritualitas, tanpa
melebihkan salah satunya. Terlebih lagi studi-studi keagamaan bersifat lintas budaya dan tidak
ada kepentingan tertentu untuk memperkembangkan salah satu tradisi. Kedua, Model ini
membahas gagasan transendensi, fokus yang memediasi dan keyakinan atau intensinalitas yang
juga terdapat dalam teologi. Bagi tradisi keagamaan tertentu, keyakinan adalah keyakinan
terhadap transendensi mereka sendiri, melalui fokus yang memediasikan yang begitu penting,
dan ini tampak jelas dalam teologi-teologi tertentu. Namun, selain pengertian ini, model ini dapat
menjelaskan struktur umum dan makna dari tradisi keagamaan tertentu, ia memiliki asumsi-
asumsi dasar yakni kepentingan umum (general interest). Model ini juga dapat menunjukkan
bahwa agama-agama secara radikal berbeda jika kita membandingkannya secara terbuka melalui
model ini. Di sisi lain, model ini juga dapat dipahami guna menunjukkan arah keyakinan, dan
transendensi sebagai kategori teologis universal dan oleh karenanya juga arah teologi agama
general. Ketiga, Meskipun teologi memiliki suatu kecenderungan terhadap formulasi doktrinal,
model ini menunjukkan bahwa formulasi-formulasi itu bisa jadi luas dan beragam. Teologi
memberi perhatian pada delapan elemen terkait dan dalam tahun-tahun terakhir perhatian ini
berkembang dalam tradisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita melihat meningkatnya minat
pada teologi komunitas-komunitas keagamaan, teologi skriptural, teologi doktrinal, teologi seni,
dan teologi ritual dan liturgi, etika teologi, teologi praksis sosial dan politis, dan teologi spiritual.
Singkatnya, meskipun batas-batas dan perhatian teologi dan studi-studi keagamaan itu terpisah,
namun bukan pemisahan yang mendasar. Keduanya, saling berjalin dengan cara seperti yang
telah disampaikan yaitu kaitannya dengan model-model pengetahuan barat dan dengan suatu
model agama general.
Tradisi cenderung beragam berdasarkan inti doktrin yang lebih kurang bersifat terben (given,
bahasa Bali muleketo), dan semua agama memiliki doktrin yang sifatnya seperti ini. Standar
kualitas konseptual tradisi Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah
menjadi parameter bagi Hindu way of life.
1) Konsep Hindu berpusat pada gagasan tentang Brahman sebagai realitas ultimate di balik alam,
2) tm sebagai diri inner dalam manusia,
3) Karma manusia sebagai lingkaran kelahiran kembali yang terus-menerus,
4) Penyelamatan sebagai pelepasan diri dari kelahiran kembali,
5) Cara-cara penyadaran inner (jna), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di dunia (di bawah
kuasa Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai manifestasi-Nya seperti iva,
Viu, Dev, dan dua inkarnasi dari Viu (avatra) yakni Rma dan Ka.
John Hick menguraikan bahwa ada tiga sikap teologis pokok yang dapat diterapkan tradisi
keagamaan terhadap wilayah keagamaan yang lebih luas: (1) Eksklusivisme, suatu pendapat
bahwa satu-satunya posisi yang benar adalah posisi keagamaannya sendiri, (2) Inklusivisme,
suatu pandangan bahwa tradisi keagamaan !ain juga memuat kebenaan religius tetapi di hari
akhir akan dimasukkan ke dalam posisi yang mereka miliki, (3) Pluralisme, pendapat bahwa
tradisi-tradisi keagamaan mengejawantahkan diri dalam beragam konsepsi mengenai yang sejati
(the real) dan memberi respon terhadapnya, dari sana muncul jalan kultur yang berbeda-beda
bagi manusia. Tiga sikap teologis itu beranggapan bahwa seseorang mencari dengan berangkat
dari suatu sistem teologis partikular dan berdasar pada sistem lainnya sebagai entitas yang
terpisah. Sikap-sikap ini mengasumsikan nahwa teologi berarti teologi partikular dari suatu
tradisi keagamaan partikular.
Agama Hindu sejak diturunkannya kitab suci Veda sudah mengamanatkan umatnya untuk
mengembangkan sikap inklusivisme dan pluralisme artinya mengakui ada kebenaran pada tradisi
keagamaan lain serta adanya beragam konsepsi yang sejati (the real) dan memberi respon
terhadapnya, seperti tampak dalam perkembangan agama Hindu di Bali, kepercayaan kepada roh
suci leluhur masih mendapatkan tempat yang semestinya.